Thursday, April 06, 2006

Kapan Wartawan Mencuri?


APA batas seorang wartawan boleh melakukan penyamaran? Sekitar enam tahun lalu, saya ikut sebuah konferensi wartawan di Universitas Stanford, San Fransisco. Ada satu sesi yang khusus mendiskusikan isu ini. Intinya, kapan seorang wartawan boleh mencuri? Kapan ia boleh memakai kamera tersembunyi? Kapan ia boleh memalsukan identitasnya?

Penyamaran juga mencuri bukan? Artinya, penyamaran itu dilakukan untukmendapatkan data, dokumen, gambar atau suara secara tidak terus-terang. Padahal kita tahu wartawan tidak boleh mencuri. Baik mencuri omongan, mencuri gambar, mencuri dokumen dan sebagainya.

Bill Kovach, seorang wartawan tua yang saya hormati, membawakan keynote speech. Kovach memberikan beberapa contoh dimana ada satu kasus dengan televisi ABC. Mereka bikin penyamaran tentang perlakuan buruk terhadap anak-anak cacat mental di sebuah rumah sakit.

ABC mendapatkan pujian. Rumah sakit itu terpaksa mengubah kebijakan mereka. Pemerintah setempat juga mintamaaf. Lalu terjadi perubahan besar-besaran aturan pemerintah soal rumahsakit anak-anak cacat.

Tapi pada kasus lain, juga terjadi pada ABC, penyamaran mereka tentang pabrik pengemasan daging berbuah gugatan hukum. Belakangan mereka terpaksa minta maaf dan membayar denda. Mereka terbukti bersalah karena data dan gambar yang mereka tampilkan tidak proporsional.

Perusahaan itu memang menghasilkan beberapa potong daging yang busuk namun jumlahnya sangat kecil. Mereka juga disalahkan karena menyadap telepon seorang eksekutif perusahaan daging tersebut.

Dari dua kasus pada sebuah televisi yang sama itu, Kovach memberikan beberapa pedoman bila kita terpaksa harus mencuri:

Pertama, motivasi kita melakukan pencurian atau penyamaran tujuannya murni untuk kepentingan publik. Kita tak mencari sensasi. Kita juga tak mengejar hadiah di bidang jurnalisme. Artinya, ada sebuah isu dimana publik, secara masuk akal, kita perhitungkan penting untuk tahu.

Masalah selingkuh dimana kedua belah pihak saling suka, tentu saja, akan diperdebatkan bila masuk ranah publik. Atau maling-maling kecil. Tapi kejahatan kerah putih atau pelanggaran hak asasi manusia, tentu lebih mudah diterima orang bila dimasukkan dalam ranah publik.

Kedua, wartawan sudah melakukan prosedur yang biasa untuk mendapatkan data, informasi, dokumen gambar atau suara, dengan frekuensi cukup, namun belum berhasil mendapatkan apa yang dicarinya. Artinya, ada dugaan si sumber memang hendak menyembunyikan informasi yang kita cari.

Bill Kovach menekankan pentingnya prosedur normal ini ditempuh. Kita tidak boleh langsung saja menyamar. Harus mencoba prosedur biasa dulu. Kovach juga orang yang tidak terburu-buru memberi label "investigasi."

Mencuri atau tidak juga tidak harus dikaitkan dengan investigasi. Bondan Winarno, penulis buku Bre X: Sebongkah Emas di Kaki Langit soal geolog Michael de Guzman yang dinyatakan mati bunuh diri, ternyata masih hidup, pernah mengatakan dalam sebuah seminar Yayasan Pantau bersama Unesco bahwa label "investigasi" ini sering cuma jadi gagah-gagahan.

Kalau belum bikin"investigasi" seakan-akan belum wartawan sejati. Winarno menekankan pentingnya kerja dulu. Meliput makanan pun, seperti yang dilakukannya dengan "Jalan Sutera," tak kalah sulit dan tak kalah penting dengan investigasi skandal emas Busang.

Ketiga, pekerjaan mencuri harus dilakukan dengan seizin atasan si reporter. Artinya, ini pekerjaan di luar standar normal. Maka para editor harus tahu dan memberikan izin. Siapa tahu kelak ada gugatan hukum. Lebih baik kita bekerja dengan sepengetahuan para redaktur kita lebih dulu. Lebih baik mempersiapkan semuanya dengan teliti daripada ribut belakangan.

Kovach juga menekankan tentang kemungkinan secara hukum kita dinyatakan bersalah. Artinya, bersiap-siaplah bila menghadapi gugatan hukum atau membayar denda. Mungkin bahkan masuk penjara.

Tentu lucu sekali bila kita kelak terbukti salah tapi mengelak tanggungjawabnya? Kuncinya, bagaimana melakukan liputan ini dengan kekuatan moral yang secarahukum bisa dibenarkan walau secara teknis bisa disalahkan. Kovach menekankan tentang pentingnya kita membicarakan apakah suatu isu termasuk "kepentingan publik" atau bukan sebelum melakukan penyamaran.

Keempat, ketika hasil pencurian ini disajikan ke publik, entah lewat televisi, radio, internet atau suratkabar, kita juga harus transparan menjelaskan bahwa ia didapat dengan mencuri namun prosedur itu terpaksa ditempuh karena prosedur normal tidak berhasil.

Kita harus memberikan kesempatan kepada audiens untuk menilai sendiri. Kita tentu juga harus minta tanggapan dari pihak yang kita curi untuk dimuat tanggapannya bersama dengan presentasi hasil penyamaran kita. Tanggapan ini diminta tak pada saat penyamaran. Ia diminta sesudah kita mendapatkan informasi tersebut.

Kalau ingatan saya tidak memperdayai saya, Kovach bicara soal syarat-syarat itu. Saya akan coba mencari lagi pidatonya di Universitas Stanford tersebut. Tapi sementara begitu dulu dari saya.

3 comments:

Anonymous said...

Salam kenal, Mas. Nice blog. Jadi kangen jadi wartawan yang tinggal kenangan :)

Anyway, kalo yang seperti kita (saya) nonton di TV itu apa dong, Mas? Itu lho, acara berbau sex di malam hari. Di situ kan sering ada liputan ke panti pijat (bahkan di kamar) dengan hidden camera. Apakah publik butuh tau tentang panti pijat itu? Apakah reporternya memang sudah melakukan prosedur standar tapi ditolak pihak narasumber sehingga harus 'mencuri'? Atau cuma for the sake of entertainment aja ya? Hmmm...

Anonymous said...

Andreas,

Aku sepakat dengan pedoman mengenai "diperbolehkannya" seorang wartawan untuk melakukan "pencurian."

Sekadar menambahkan, ya: Aku kira yang dimaksud Kovach dengan kisah jaringan TV ABC yang tersandung
kasus liputan investigatif itu adalah kasus gugatan jaringan supermarket Food Lion. Itu terjadi tahun 1992. Penjelasan mengenai ini secara rinci dimuat antara lain di buku "The Big Chill: Investigative Reporting in the
Current Media Environment", yang dieditori Marilyn Greenwald dan Joseph Bernt (terbit tahun 2000). Aku pernah menggunakan bahan ini, untuk artikelku yang dimuat di Kolom Majalah Tempo, edisi April 2004.

Inti dari kasus ABC versus Food Lion itu adalah sbb:
* reporter ABC mendapat tips bahwa ada praktek busuk berlangsung di
supermarket Food Lion: supermarket ini menjual daging yang sudah kedaluarsa dan buah-buahan yang dijilati tikus.
* ABC mengirim reporternya dalam penyamaran. Caranya: si reporter melamar untuk bekerja di supermarket tersebut, memalsukan identitasnya. Dia diterima, dan mulai melakukan investigasinya, antara lain dengan memasang kamera tersembunyi di beberapa sudut toko tersebut untuk merekam gambar daging kedaluarsa yang tetap dijual itu, juga gambar tikus yang sedang menjilati buah-buahan.
* rekaman itu kemudian siap ditayangkan. Baru pada saat terakhir si reporter meminta tanggapan dari manager Food Lion, dan si manajer menolak memberikan
penjelasan. Bahkan meminta agar rekaman itu tak ditayangkan.
* ABC nekad menayangkannya. Food Lion menggugat. Dalam proses pengadilan yang cukup panjang, pengadilan ternyata memenangkan Food Lion, dengan alasan
sbb:

* si reporter memberikan keterangan palsu saat melamar pekerjaan
* si reporter tidak menunjukkan kinerja yang baik di tempat kerjanya itu, lantaran lebih sibuk memikirkan upaya investigasinya.

Ada problem cukup serius juga di sini, sebenarnya lebih pada masalah etika, namun bisa meluas ke wilayah hukum. Problem tersebut adalah: si reporter melakukan investigasi itu selama beberapa lama, dan sementara itu praktek
penjualan daging kedaluarsa dan buah-buahan tercemar itu tetap berlangsung.
Tentu saja sudah banyak konsumen yang menikmati produk buruk tersebut, dan bukan tak mungkin terkena penyakit. Inilah yang kemudian banyak disesalkan
orang, karena si reporter lebih mementingkan liputannya ketimbang segera memberitahu pihak berwenang agar kejahatan publik tersebut tidak berlanjut. Artinya, tak usah menunggu terlampau lama sampai si reporter mendapatkan rekaman gambar yang benar-benar sempurna.

Ihwal istilah investigatif: sekali lagi, kita berdua agak berbeda dalam memandang masalah ini. Aku kira ini istilah yang sah saja digunakan. Kita tak perlu memandangnya dengan sinis. Istilah ini juga sudah dipakai secara
luas, sudah menjadi istilah global. Tentu kamu sendiri juga tahu persis soal ini. Bagiku kriteria JI ini bisa dirumuskan dengan sederhana: ia membongkar
sesuatu (bukan sekadar menerima), dan yang dibongkar adalah perbuatan yang merugikan (atau berpeluang merugikan) orang banyak.

Trims dan salam,

Arya Gunawan

Anonymous said...

Wonderful blog..

Saya tahu blog Anda dari Yuli Ahmada, wartawan Surya Surabaya. Blog Anda ini menjadi salahsatu link di blognya.

"Kapan Wartawan Mencuri?" membuat saya termangu sejenak.
Keterpaksaan itu dilakukan saat default procedure tidak lagi kompromi. Tetapi, whatever, disitulah tantangannya.
Membuat sesuatu yang sepertinya menjadi situasi normal akan tetapi sarat pelanggaran kembali menjadi benar-benar NORMAL.

Hal yang kadang membuat kita mengelus dada adalah kenyataan seringkali wartawan MEMANFAATKAN identitasnya itu..
Entah apa tendensinya..

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.