Wednesday, March 08, 2006

RUU Aceh, Federalisme atau Negara Kesatuan?

Oleh Samiaji Bintang
Sindikasi Pantau

SETELAH pensiunan jenderal-jendral serta profesor Universitas Indonesia plus Universitas Gadjah Mada bilang keberatan terhadap RUU Aceh, kini giliran peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bicara makna perjanjian Helsinki dalam rapat dengar pendapat dengan panitia RUU Aceh di Senayan.

Mereka menerangkan apakah RUU Aceh itu akan bikin Indonesia jadi negara federal, negara konfederasi atau negara kesatuan?

Syamsuddin Haris, Lukman Hakim dan Syarif Hidayat dari LIPI bilang bahwa perjanjian Helsinki akan membuat Indonesia jadi “negara federal.” Namun RUU Aceh versi DPRD Aceh (lawan dari versi Departemen Dalam Negeri) mengarah pada “konfederasi.” Hanya RUU versi Departemen Dalam Negeri yang tetap mempertahankan “negara kesatuan.”

Mereka merasa waswas terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bila rancangan versi DPRD Aceh diloloskan parlemen. “Jangan sampai RUU ini didikte MoU (nota kesepahaman) Helsinki,” kata Syamsuddin Senin lalu.

Syarif Hidayat melakukan presentasi dengan perangkat Power Point. Dia mempertanyakan istilah “self governance” (pemerintahan sendiri) dalam rancangan itu. Menurutnya, frase itu berasal dari ide federalisme –dimana suatu negara yang memiliki negara-negara bagian.

“Tujuannya people government atau kedaulatan rakyat,” kata Syarif.

Soewarno, legislator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, tak mau kalah. Dia menduga Aceh bakal merdeka seperti Timor Leste pada 1999. Mantan presiden Megawati Soekarnoputri, ketua partainya, sudah mengungkap hal ini dalam sebuah diskusi Februari lalu.

“Orang Aceh menggunakan istilah Aceh dalam bingkai NKRI. Sedangkan Papua menggunakan istilah Papua dalam selimut NKRI. Jangan-jangan di balik istilah itu ada agenda lain?” kata Soewarno.

Menurut Syarif, “pemerintahan Aceh” yang dimaksud dalam isi nota kesepahaman Helsinki memang menganut semangat federalisme dimana Aceh mendapatkan “otonomi penuh.” Ini beda dengan RUU Aceh versi DPRD Aceh dimana “konfederasi” memiliki “otonomi luas” sedangkan versi Jakarta “otonomi khusus.” Tingkat kemampuan mengatur diri sendiri beda-beda dimana "penuh" paling bisa mengatur sendiri sedang "khusus" paling susah.

Pembicaraan memang terjebak pada isu apakah RUU Aceh ini akan bikin pecah Indonesia –bukan pada tujuan mencapai perdamaian di bumi Aceh.

Federasi sendiri bukan wacana baru di Indonesia. Wakil Presiden Mohamad Hatta konsisten mengusahakan Indonesia jadi “negara serikat.” Hatta pula yang memimpin perundingan dengan Den Haag pada 1949 ketika kerajaan Belanda akhirnya mau menyerahkan kedaulatan Hindia Belanda kepada “Republik Indonesia Serikat.”

RIS terdiri dari Negara Indonesia Timur (ibukota Makassar), Pasundan (Bandung), Jawa Timur (Surabaya), Madura, Sumatra Selatan (Palembang), Republik Indonesia (Jogjakarta) serta beberapa negara bagian lain –kebanyakan dibuat berdasarkan wilayah kesultanan-kesultanan. Namun struktur ini dibubarkan pada Agustus 1950. Alasannya, “kaum republieken” curiga Lt. Gubernur Jenderal Hubertus J. van Mook dari Batavia hendak “memecah belah” Indonesia.

Kecurigaan itu tidak sepenuhnya benar karena beberapa saat sesudah pembubaran RIS, beberapa bangsa mengangkat senjata melawan “Republik Indonesia” yang pindah dari Jogjakarta ke Jakarta termasuk Perjuangan Rakyat Semesta Alam di Minahasa serta Republik Maluku Selatan di Pulau Ambon dan Pulau Seram.

Di Aceh, pada 1958, Hasan Tiro menulis buku “Demokrasi untuk Indonesia” yang memuat model dan sistem pemerintahan federal yang dianggapnya cocok bagi Indonesia. “Sudah semestinya pembagian pemerintahan daerah kita dilakukan atas dasar daerah suku-suku bangsa itu,” kata Tiro.

Tiro juga berpendapat bahwa pembagian daerah tanpa mempedulikan asas itu, bukan saja melanggar hak-hak suku bangsa, “Tetapi juga pelanggaran terhadap kenyataan yang pada akhirnya mengacaukan susunan pemerintahan dan melemahkan negara sendiri.” Dia ingin Jakarta memberikan otonomi kepada bangsa-bangsa yang membentuk Indonesia ini.

Usul itu tidak diindahkan Jakarta. Di New York, Hasan Tiro kuliah doktoral di Universitas Columbia dan bikin riset tentang sejarah Aceh. Hasilnya, Hasan Tiro mengganti idenya tentang “negara federal Indonesia” dengan “Aceh merdeka.”

Dia berpendapat kesultanan Aceh tidak pernah menyerahkan kedaulatan kepada Belanda sehingga Belanda juga tidak berhak memberikan Aceh kepada Indonesia.

Pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro menyatakan kemerdekaan Aceh dari Indonesia serta memulai pendidikan dan perang gerilya. GAM baru berubah haluan, dari merdeka ke federalisme, sesudah tsunami Desember 2004. GAM bersedia berunding dengan Indonesia di Helsinki.

Aceh boleh mengatur diri sendiri kecuali enam hal: moneter, hubungan luar negeri, fiskal, kehakiman, pertahanan dan kebebasan beragama. Enam hal itu adalah wilayah Indonesia.

Keterangan LIPI tak urung bikin gerah beberapa legislator. “Aceh tetap dalam NKRI!” sergah Farhan Hamid dari Aceh. Entah serius, entah mengejek. Dia juga mengajak mereka bertepuk tangan.

Federal atau tidak, Farhan protes pembagian porsi dana pemerintah dan “daerah” yang tergabung dalam Indonesia. Dana dari belanja untuk daerah-daerah se-Indonesia hanya 24 persen kendati sudah diberikan otonomi. Ini jauh berbeda dibanding dana yang diperoleh “pusat” sebesar 76 persen.

“Istilahnya kewenangan diserahkan kepada pemerintah daerah, tapi uang entar dulu,” seloroh Farhan.

Sayangnya, para peneliti LIPI ini tak bikin riset lebih jauh soal uang. Federalisme, konfederalisme atau unitarianisme, ujung-ujungnya ya pembagian uang juga.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.