Thursday, November 13, 2003

Obituari Layla Mirza


SEPANJANG Sabtu kemarin saya risau ketika mengerjakan tata letak Pantau edisi Desember. Sejak pagi hari, ada telepon masuk. Antara lain dari Mbak Rani, salah satu orang penting di radio Mara; Mbak Titin, salah satu dosen Universitas Padjajaran, Mohamad Sunjaya dari Actors Unlimited, dan beberapa rekan lain di Bandung.

Pesannya, macam-macam. Mulai dari laporan perkembangan kritis Mbak Ea –panggilan akrab Layla Mirza. Sunjaya, salah satu pendiri Institut Studi Arus Informasi, adalah mentor dari Mbak Ea sekaligus orang yang memperkenalkan kami pada 1996 ketika Indonesia mulai bergejolak. Mbak Ea lantas sering mengundang saya ke Bandung, memberi kuliah di Universitas Padjajaran.

Sekitar pukul 12:00 Titin bilang sekarang juga saya harus terbang ke Bandung. Saya harus lihat Mbak Ea. Mungkin waktunya tidak lama.

Sedih sekali. Minta tolong seorang rekan mencarikan tiket pesawat terbang ke Bandung tapi tak dapat.

Sekitar pukul 17:00 telepon masuk lagi –kali ini mungkin lebih dari 20 kali: Mbak Ea sudah tiada. Ada Mohamad Iqbal, Budi Setiyono, Yusuf, Bakti Tejamulya dan istrinya, di kantor dan saya merasa tertekan sekali.

Saya pergi ke sebuah ruang yang sepi, tak ada orang, di kantor LeBoYe Kemang yang lengang itu, dan berpikir, soal hubungan akrab kami. Saya tiba-tiba menangis sedih mengenang almarhumah.

She is such a sweet person! Why should she die? She is needed by so many people.

Rasanya ada ketidakadilan di sini. Ea masih muda. Anaknya dua masih kecil-kecil. Mirza, suaminya, juga sangat mencintai Ea. Mirza orang praktis yang selalu membantu Ea.

Cerita penyakitnya, mula-mula rahim Ea diangkat pada 1999 karena terkena kanker. Ea sempat mengirim email pada saya, ketika itu tinggal di Cambridge, Boston, dan mengeluh karena ia merasa sudah bukan perempuan lagi –karena tak bisa hamil lagi. Aduh, duh, saya bilang tak benar. Kami curhat-curhatan lewat email karena perasaan kehilangan begitu dalam pada Ea.

Dia cerita bagaimana biaya operasi begitu mahal tapi ada teman-teman membantu.

Ketika pulang ke Indonesia, saya baru tahu bahwa Ea mengalami begitu banyak kesulitan karena perawatan pasca-operasi, antara lain, chemotherapy. Rambuknya rontok, kesehatannya menurun, harus menelan banyak obat, tapi Ea masih orang yang menggembirakan. Senyumnya lebar. Selalu cium pipi. Selalu merangkul.

Dia mengundang saya beberapa kali memberi ceramah di Universitas Padjajaran. Kami sering main bersama, makan di Bandung, main bowling. Rekan-rekan kerjanya ikut bersinar dan ceria karena keberadaan Ea. Baik di radio Mara maupun di Universitas Padjajaran.

Dia cerita merasa dekat dengan Gusti Allah karena pengalaman kanker. Dia cerita bagaimana Mirza begitu memperhatikannya. Dia juga menjadi lebih saleh dan memakai jilbab –dengan model yang terkadang aneh.

Sebaliknya, sejak 1999 saya juga banyak terlibat membantu Ea dengan radio Mara. Kami mencari dana bersama-sama untuk melakukan perbaikan gedung, membeli alat, dan melatih para wartawannya. Jadinya, sering bolak-balik Bandung-Jakarta.

Belakangan kami sering bicara soal perbaikan kurikulum pendidikan wartawan di Padjadjaran. Dia minta saya ikut mengajar bahkan sempat terpikir ide bikin kuliah rutin.

Ea juga banyak tahu berbagai macam kesulitan pribadi yang saya alami. Dia pula yang duduk berjam-jam di suatu kamar di Hotel Horizon, Bandung, awal tahun ini ketika saya kecewa dengan penutupan Pantau. Dia mendukung upaya penerbitan Pantau lagi.

Ea juga menyediakan telinga ketika saya butuh teman bicara. Mulai dari soal anak hingga pekerjaan. Orang yang manis sekali. Orang yang mau mendengarkan. Saya jarang punya teman dengan kualitas keramahan dan ketulusan sekelas Ea.

Pertengahan tahun ini ketahuan kalau kanker itu ternyata masih ada. Ea masuk rumah sakit lagi. Dia sempat minta doa ketika akan operasi. Kanker menjalar ke ususnya. Ternyata keadaan makin buruk. Ususnya harus dipotong 50 centimeter.

Sempat kirim-kiriman SMS ketika saya tahu ia harus operasi lagi. Saya bilang, “Cantik, kau harus hadir kalau saya nanti ….”

Ea menelepon balik dan gemas bilang kenapa disapa “cantik” maka kami pun mengobrol lagi. Saya ingat saya sedang mengalami macet di Jalan Radio Dalam. Hingga sampai Pondok Indah, kami masih mengobrol soal macam-macam. Saya juga mendorongnya untuk menerima pencalonan dari Institut Studi Arus Informasi agar bersedia jadi anggota Komisi Penyiaran Indonesia.

Dia bilang mungkin waktunya tak lama. Saya sedih sekali. Tapi dia tetap optimis.

Kamis lalu, ibunya memberitahu saya bahwa Ea dioperasi sekali lagi, selama 7.5 jam. Dia tak pernah siuman hingga meninggal kemarin.

Di pojok LeBoYe itu saya menangis. Ada rasa kehilangan. Ada rasa menyesal tak ada di sampingnya ketika Ea pergi.

Selamat jalan sahabat!

Hilang satu tumbuh seribu!

Kau pergi meninggalkan nama harum, kenangan manis, dan ribuan sahabat. Beristirahatlah dengan tenang. Everything would be okay.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.