Monday, June 30, 2014

Analisis Kebencian Obor Rakyat

Andreas Harsono
Gatra minggu keempat Juni 2014
Ketika Bagir Manan, seorang pensiunan hakim dan kini ketua Dewan Pers, bicara soal Obor Rakyat, dia berpendapat, "Sampai saat ini kita tidak temukan perusahaan ini diselenggarakan badan usaha berlandas hukum. Oleh itu karyanya tidak di-cover undang-undang pers …. Alamat bohong, semua redaksi nama samaran," ujarnya.
Menurut Bagir Manan, Dewan Pers melindungi media jika persyaratan terpenuhi. "Ini tidak memenuhi sehingga … di luar jangkauan Dewan Pers." Singkatnya, Dewan Pers mempersilahkan polisi bertindak.
Namun Darmawan Sepriyossa dari Obor Rakyat menulis mereka “partisan … tidak cover both sides” namun “ … media partisanlah yang selalu mengiringi atau turut serta dalam sejarah kebangkitan sebuah negara.”
Darmawan mencontohkan Suara Independen, penerbitan tanpa izin zaman Orde Baru, ketika beberapa wartawan mereka dihukum penjara pada 1995 karena melanggar pasal 154 KUHP (menyebarkan kebencian terhadap pemerintah) serta UU Pokok Pers 1982 (terbit tanpa izin).
Selain Darmawan ada Setyardi Budiono. Keduanya pernah kerja buat majalah Tempo. Setyardi dikeluarkan dari Tempo karena soal keuangan. Pada 2007, duet ini menyerang Tempo ketika Tempo bikin investigasi penggelapan pajak Asian Agri, menurut Metta Dharmasaputra dalam buku Saksi Kunci.
Salah satu cara pandang terhadap jurnalisme adalah menghitung apakah Obor Rakyat memenuhi 10 elemen jurnalisme. Ini analisis Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam dua buku mereka The Elements of Journalism dan Blur: How to Know What's True in the Age of Information Overload.
1. Menurut Kovach dan Rosenstiel, kewajiban utama jurnalisme adalah mencari kebenaran. Rasanya repot membela Obor Rakyat ketika mereka fitnah kandidat presiden Joko Widodo sebagai bukan Muslim.
2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara. Darmawan menulis loyalitasnya kepada " ... kalangan Muslim, mayoritas yang ironisnya justru tak pernah menjadi tuan di negerinya sendiri." Made Tony Supriatma dari Indoprogress menulis bahwa argumentasi Darmawan bahaya, “Kondisi mental inilah yang memberikan pembenaran (orang) melakukan kekerasan. Orang Hutu di Rwanda --yang mayoritas-- merasa menjadi korban orang Tutsi. Mereka menyembelih orang Tutsi dengan pembenaran bahwa semua penderitaan Hutu karena orang Tutsi.”
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Darmawan mengakui dia tak lakukan cover both sides. Suara Independen, terbitan Aliansi Jurnalis Independen, sebaliknya adalah media yang berusaha verifikasi.
4. Wartawan boleh berpihak namun harus independen, menurut Kovach dan Rosenstiel. Pada 1995, ketika bersaksi buat Tri Agus Susanto Siswowiharjo, redaktur penerbitan Kabar dari Pijar, wartawan senior Atmakusumah Astraatmadja bicara soal "jurnalisme advocacy.” Maksudnya, ingin perubahan atau penyadaran atau semacam warning bahwa ada sesuatu yang harus diubah. Advokasi tak salah tapi ia harus independen. Siswowiharjo orang independen, bukan bayaran, Kabar dari Pijar penerbitan sederhana. Saya belum tahu apakah Obor independen dari kubu Prabowo S. Djojohadikusumo dan Hatta Rajasa.
5. Wartawan harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan. Darmawan mengatakan Obor Rakyat mau memantau Jokowi karena media tak kritis terhadap Jokowi. Media yang mana? TV One dan MNC bela kandidat Prabowo, menurut Reuters. Bahkan Jokowi kalah dari segi pemberitaan televisi. Memantau politisi juga tidak lewat fitnah.
6. Wartawan harus memberi forum bagi publik untuk menguatkan demokrasi. Obor Rakyat tak memberi tempat untuk penguatan demokrasi. Obor malah membahayakan proses pemilihan umum di Indonesia. Taufik Basari dari kubu Jokowi menuduh Obor melanggar UU Pemilihan Umum tahun 2008 dengan kampanye hitam.
7. Wartawan harus berusaha membuat hal penting jadi menarik dan relevan. Obor Rakyat tentu saja tak taat elemen ini. Obor malahan sensasional.
8. Wartawan harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional. Obor tak proporsional.
9. Jurnalisme harus mendengarkan hati nurani karyawannya. Saya belum bisa menilai apa duet tersebut memberi tempat kepada hati nurani.
10. Warga punya tanggungjawab terhadap jurnalisme.
Kalau dilihat dari teori Kovach dan Rosenstiel, saya kira, Obor tak terlihat sebagai produk jurnalisme.
Namun masih banyak hal belum terungkap. Bagaimana kaitan Setyardi dengan orang Istana Merdeka? Velix Wanggai? Andi Arief? Apa kaitan Obor Rakyat dengan pekerjaan Setyardi sebagai komisaris perusahaan negara? Berapa rupiah mereka habiskan buat percetakan 100,000 eksemplar? Sistem distribusinya berapa rupiah? Mengapa pesantren sengaja diberi gratis? Siapa lagi terlibat dalam Obor?
Walau bukan jurnalisme, bukankah Darmawan-Setyardi bebas berpendapat? Mereka punya hak mencerca Jokowi bukan? Mereka berhak curiga Jokowi keturunan Cina Singapura? Tidakkah mereka berhak menulis Jokowi bukan Muslim? Mereka berhak mengatakan Jokowi akan angkat Muslim Syiah sebagai menteri agama? Mereka boleh kecam Jokowi bela Ahmadiyah, Kristen, Syiah dan seterusnya? Mereka berhak ungkapkan sektarianisme dan rasialisme?
Saya kira prinsip kebebasan berpendapat harus dihormati di Indonesia.
Kalau duet tersebut dikriminalkan, bagaimana dengan ribuan pemakai sosial media? Tiap hari saya baca status Facebook berisi fitnah. Setiap menit ada olok-olok terhadap Prabowo maupun Jokowi di Twitter. Kompasiana, sebagai tempat blogger, banyak berisi fitnah.
Kalau mau, polisi bisa pakai KUHP buat jerat mereka. Sederhana sekali. KUHP memuat sejumlah pasal soal pencemaran nama baik. KUHP melarang seseorang sengaja mengeluarkan pernyataan, lisan maupun tertulis, yang mencemarkan reputasi orang lain. KUHP juga mengandung pasal siar kebencian (hate speech). Hukumannya penjara.
Tapi harus dibedakan antara free speech dan hate speech.
Kritik adalah free speech. Olok-olok calon presiden adalah free speech. Kritik terhadap Jokowi ingkar janji sebagai gubernur Jakarta adalah free speech. Human Rights Watch berpendapat hukuman pidana adalah penyelesaian yang tak sebanding dengan pencemaran reputasi seseorang. Human Rights Watch mengusulkan para pejabat di Indonesia sebaiknya dilarang mengajukan tuntutan pidana soal free speech. Jokowi maupun Jusuf Kalla tak perlu mengajukan gugatan soal nama baik.
Hate speech adalah perbuatan kriminal, menurut International Convenant on Civil and Political Rights. Negara punya tanggungjawab melarang serta menghukum pelaku siar kebencian terhadap etnik, agama atau bangsa. Hate speech punya tiga unsur: menyiarkan kebencian terhadap agama, etnik atau bangsa tertentu; mendorong diskriminasi; serta menganjurkan kekerasan.
Obor Rakyat mungkin tak menganjurkan kekerasan namun ia mengandung unsur kebencian dan diskriminasi terhadap non-Muslim. Kalau pun Jokowi orang Kristen atau keturunan orang Cina Singapura, apakah dia tak berhak untuk mencalonkan diri sebagai presiden? Obor Rakyat tersirat menganjurkan diskriminasi terhadap warga Kristen dan etnik Tionghoa. Singkatnya, Obor Rakyat bukan persoalan mengolok-olok Jokowi, tapi menyiarkan kebencian terhadap non-Muslim maupun minoritas Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia.

Andreas Harsono menulis buku “Agama” Saya Adalah Jurnalisme serta terlibat penterjemahan dua buku Bill Kovach dan Tom Rosenstiel ke Bahasa Indonesia