Saturday, April 26, 2014

Belajar kemiskinan dari film "Jalanan"

SELAMA puluhan tahun kecewa dengan film buatan Indonesia, malam ini pikiran saya berubah. Ada film buatan Indonesia yang bermutu, yang logat para pemain natural, bahasa bukan bahasa kebanyakan penulis skenario, film yang memberikan ruang soal khayalan tentang Indonesia lewat ruangan yang luas, tidak sempit, tidak norak, tidak bodoh.

Poster "Jalanan" dan saya mejeng tengah.
Namanya, "Jalanan" dengan sutradara Daniel Ziv. Ia mengikuti perjalanan tiga pengamen di kota Jakarta: Bambang "Ho" Mulyono, Titi Juwariyah and Boni Putera.

Ziv merekam mereka selama empat tahun. Dari menyanyi di jalanan, menyanyi dalam bus, menyanyi sambil latihan. Namun Ziv juga masuk ke kehidupan mereka, dari sulit cari uang buat makan sampai perceraian.

Pengamen Boni menyanyikan karyanya sendiri dalam bus kota walau tak bisa menulis. Boni hanya bisa membaca. Boni sejak kecil sudah hidup di jalanan: mengemis, main kecrekan tutup botol, lalu main gitar. Dia tinggal di bawah sebuah jembatan di Jalan Sudirman bersama isteri dan anak. Dia mencuri air PAM Jaya agar bisa hidup dengan air bersih.

Titi seorang perempuan Jawa, tak bisa sekolah SMP, kemiskinan, memutuskan pergi ke Jakarta. Dia punya tiga anak, yang dititipkan pada orang tua dan mantan suami. Ada adegan dimana suaminya, yang tak mau bekerja bila bukan kantoran, menceraikan Titi.

Titi menangis dan terpaksa meninggalkan anak pada suami karena, sebagai penyanyi jalanan, dia tak mampu mengasuh anaknya. Titi harus bekerja setiap hari. Namun Titi kost dan ambil paket persamaan ijazah SMA agar bisa menaiki tangga sosial. Ada harapan pada masa depan.


Ho juga asal Jawa. Saya suka adegan ketika Ho mecemooh orang-orang demonstrasi anti-korupsi di Jakarta. Dia bilang bila orang-orang tersebut punya kesempatan berkuasa, mereka juga korupsi. Sinis memang tapi mungkin Ho benar.

Ho keberatan orang bilang "Insya Allah" karena, "Saya bukan orang Arab. Saya orang Indonesia."

Ada adegan dimana Ziv merekam Ho sedang bercengkrama dengan pekerja seks, tawar-menawar, buat satu pelayanan seksual.

Namun Ho jatuh cinta pada seorang janda tiga anak. Dia traktir perempuan tersebut di sebuah rumah makan Minangkabao. Mereka akhirnya menikah sesudah ditelantarkan di Kantor Urusan Agama beberapa jam menunggu ... kemungkinan karena miskin.

Ia sekali lagi ketidakbecusan dan kepongahan Kementerian Agama. Sejak 1970an, korupsi sudah melanda Kementerian Agama, menurut Deliar Noer dalam buku Administration of Islam in Indonesia.

Tak heran bila promosi Jalanan berbunyi, "A film about Indonesia, street music, love, prison, politics, sex, corruption, rice fields, globalization and heartache!"

Saya kira film Jalanan serta "Jagal: The Act of Killings" adalah film Indonesia yang menandakan ada trend perbaikan dalam dunia perfilman di Indonesia. Saya suka dengan editing film non-fiksi ini dikerjakan oleh Ernest Hariyanto dari Ubud. Halus sekali. Saya tak tahu berapa ratus jam video dijadikan film ini.

Mengapa Jalanan dan Jagal menarik?

Roy Peter Clark dari Poynter Institute menulis dalam buku Writing Tools: 50 Essential Strategies for Every Writer bahwa kosakata seorang pembaca rata-rata --atau pemirsa rata-rata-- lebih besar dari kosakata seorang penulis rata-rata. 

Seorang penulis di atas rata-rata, memakai kosakata di atas pembaca, pendengar atau pemirsa rata-rata. Penulis di atas rata-rata memperkaya khayalan pemirsa ... sesuatu yang gagal dilakukan kebanyakan penulis skenario film Indonesia.

Baik Daniel Ziv maupun Joshua Oppenheimer, sutradara Jagal, berhasil menggunakan kosakata orang kebanyakan yang belum bisa dipakai oleh kebanyakan penulis skenario rata-rata film Indonesia.

Saya kira ini kelebihan Jalanan maupun Jagal. Dalam Jalanan, Daniel Ziv mampu menangkap bahasa orang Jakarta, yang sangat beragam, dari dialek Betawi ala Boni sampai Jawa medog ala Ho, maupun bahasa orang Medan dalam film Jagal.

Ketika film selesai, sebagai warga Jakarta, saya belajar dari Ho, Titi maupun Boni. Mereka dapat uang Rp 50 ribu sehari, terkadang kurang, hanya cukup buat makan sehari atau dua. Saya jadi malu bila pesan makan Rp 50 ribu satu kali makan. Saya merasa lebih menghargai uang, lebih menghargai kehidupan, ketika lihat sesama warga Jakarta begitu sulit hidup di Jakarta.

Akhirnya, "Jalanan" bukan saja cerita soal pengamen Jakarta. Daniel Ziv merekam perkembangan Jakarta, juga Indonesia, dari kampanye anti korupsi sampai kemunafikan.

Menarik untuk lihat apa yang kelak terjadi pada Boni, Titi dan Ho, 10 atau 20 tahun lagi.

Wednesday, April 16, 2014

Steve Paikin Interview: Indonesia Divided?



Canadian journalist Steve Paikin of TV Ontario in Toronto invited me to come to his studio and talked about the rise of religious discriminations and violence in Indonesia. He has his own talk show called The Agenda with Steve Paikin.

Paikin began his March 14 interview by declaring, "Former Secretary of State Hillary Rodham Clinton once said, 'If you want to know whether Islam, democracy, modernity and women's rights can coexist, go to Indonesia.' However, recent and frequent violent attacks against the country's religious minorities suggest the nation of Indonesia is not the pluralistic paradise once described."

Paikin asked me to discuss Clinton's 2007 argument. I obviously questioned Clinton's remark. I think Hillary Clinton will regret that remark if she knows the situation on the grounds.

Paikin asked me about the spiritual makeup of Indonesia, its government, the violence committed against groups, and how the outside world can lend a helping hand. I also talked about the violence against Ahmadiyah Muslims in the brutal killing in Cikeusik, Banten, on February 6, 2011.

We also touched on the difference concept of "religious freedom" under Indonesia's Constitution and "religious harmony" introduced by President Susilo Bambang Yudhoyono.

The recorded interview is broadcast today in Ontario.


Thursday, April 10, 2014

Jokowi, Perahu Papua Dikayuh ke Mana?


Alumnus Australia National University


Ketika Jokowi berkampanye ke Jayapura, suami saya menjabat tangan Jokowi di airport Sentani. Banyak warga, orang asli Papua maupun pendatang, berebut bersalaman. Mereka cerita Jokowi keluar lewat ruang kedatangan penumpang umum, bukan VIP ala kebanyakan pejabat.

Sejumlah perempuan asli Papua memeluk Jokowi. "Tuhan memberkati Bapa," kata mereka. Ia menjadi suatu doa dan asa tak terucap bahwa akan ada perubahan bagi Papua yang adil, damai, dan bermartabat bila Jokowi terpilih sebagai presiden.

Jokowi bilang dia mau "menyelesaikan Papua dengan hati dan kerja nyata, bukan janji-janji". Jokowi bicara soal pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur.

Bagi kami, orang Papua, ucapannya mengingatkan pada ungkapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika berpidato di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada 16 Agustus 2011. Yudhoyono bicara "membangun Papua dengan hati" serta menghormati "hak-hak asasi manusia dan budaya Papua".

Namun tak ada wujud nyata dari janji Yudhoyono. Papua tetap diurus dengan cara sama sejak Papua dimasukkan dalam administrasi Indonesia pada 1963. Kekerasan negara tetap ada. Tahanan politik, yang ditiadakan Presiden Abdurrahman Wahid, meningkat pada era Yudhoyono. Pada 2007, Yudhoyono mengeluarkan aturan yang larang bendera Bintang Kejora. Ini menciptakan kekerasan aparat terhadap setiap orang Papua yang menaikkan bendera Bintang Kejora. Polisi membatasi noken Bintang Kejora, kalung, gelang, topi, dan lain-lain.

Setiap bulan, setiap minggu, ada orang Papua dipukul tentara, polisi, atau sipir penjara. Kini, ada 74 tapol tersebar di berbagai penjara di seluruh Papua. Pemerintahan Yudhoyono berdalih tak ada "tahanan politik" di Indonesia. Ini bohong. Pada 2011, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan Filep Karma, seorang tapol di penjara Abepura, "ditahan sewenang-wenang" oleh pemerintah. PBB minta Karma dibebaskan, namun Yudhoyono tak peduli.

Ditambah lagi dengan eksploitasi sumber daya alam yang tanpa hiraukan hak orang Papua. Ia terus saja berlangsung dari Teluk Bintuni sampai Merauke. Papua diisolasi dari dunia luar, sejak 1963, dengan adanya pembatasan terhadap wartawan, akademikus, pekerja kemanusiaan, bahkan pengamat dari PBB.

Inikah apa yang disebut Yudhoyono sebagai "menata Papua dengan hati"? Jika Jokowi datang dengan ungkapan sama dengan Yudhoyono, sulit bagi kami di Papua untuk melihat adanya harapan bagi Papua yang adil, damai, dan bermartabat. Apalagi Jokowi diusung PDI Perjuangan dengan rekam jejak gelap di Papua. Presiden Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1/2003, yang memecah Papua menjadi dua provinsi. Ini langkah awal yang mengacaukan Otonomi Khusus di Papua lewat Undang-Undang Nomor 21/2001.

Pada masa Megawati, Theys Eluay, pemimpin Papua, dibunuh tujuh prajurit Kopassus pada 10 November 2001. Proses hukumnya berbelit-belit, hukuman tak adil, dan bikin luka mendalam di hati rakyat Papua. Dalam periode Megawati, terjadi pembengkakan militer di Papua: angkatan darat, laut, serta udara.

Ini pekerjaan rumah Jokowi. Masih ada tiga bulan menuju pemilihan presiden. Kami harap Jokowi menjabarkan kebijakan atas Papua. Dia sebaiknya ikuti PBB agar Papua dibuka kepada dunia luar. Dia sebaiknya ingat Wahid yang membiarkan Bintang Kejora, lambang budaya Papua.

Wednesday, April 09, 2014

Pemilihan legislator di Palmerah

Seorang tetangga kami datang memilih bersama anaknya. Acara pemilihan umum ternyata juga jadi ajang masyarakat bertemu, saling cerita, soal keluarga. Tetangga kami bekerja di sebuah toko sepatu di Permata Hijau

SAYA sekeluarga memakai hak pilih kami di sebuah tempat pencoblosan suara di daerah Palmerah, Jakarta. Ini sesuai dengan surat panggilan dari Komisi Pemilihan Umum. Ada tiga orang anggota keluarga kami berhak mencoblos: isteri, anak dan saya sendiri.

Suasana pencoblosan enak. Santai. Mudah-mudahan ia bisa hasilkan pemimpin yang benar. Saya tentu tak mau Indonesia meniru Mesir dan Thailand. Jadi ingat pada pemilihan umum 2004, saya menggunakan hak pilih saya di sebuah desa terpencil, yang belum dibangun dari kebakaran, di Pulau Halmahera.

Ada selusin warga, dipimpin Slamet Widodo, ketua Rukun Warga kami (ujung kanan pakai kopiah hitam), yang jadi ketua panitia pemilihan.

Dari 12 partai yang ikut pemilihan ini, hanya dua partai tak ada saksi di tempat kami: Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia dan Partai Bulan Bintang. Seharian saya ada di tempat pencoblosan. Saya perhatikan ada wakil dari KPU hilir mudik di sekitar lingkungan kami buat memeriksa proses perhitungan suara.

Ketika ada selebritas datang mencoblos, maka suasana jadi mencair. Saksi-saksi dan petugas pemilihan minta foto bareng pasangan artis Arumi Bachin dan Emil Dardack. Mereka tetangga kami.

Isteri saya, Sapariah Saturi, mencoblos di bilik bersama anak-anak dan keponakan kami. Ramai juga suasana pemilihan umum di lingkungan kami. Ia bukan sekedar momen politik tapi momen bertetangga, saling sapa, mengobrol dan bergurau. Saya ikut makan siang bersama panitia: nasi kotak.

Anak sulung saya, Norman Harsono, juga pertama kali memilih. Dia sudah umur 17 tahun lebih. Dia bikin riset kecil untuk memilih. Namun pada malam menjelang pemilihan, dia menyerah dan bilang mau mencoblos sesuai dengan kesimpulan riset saya. Akhirnya, Sapariah juga ikutan saya. Kami tak memilih partai. Kami memilih individu.

Slamet Widodo memimpin proses perhitungan suara. Kertas demi kertas dipampang dan dihitung. Proses ini lama sekali. Ia berlangsung sejak pukul 13 sampai pukul 18. 


Kebanyakan pemilih tak kenal dgn calon legislator mereka. Di tempat saya memilih, saya kira, 95 persen pemilih tak tahu siapa politisi yang namanya ada di kertas suara. Padahal kami tinggal di Senayan, hanya 100 meter dari gedung DPR. Saya kira salah satu kelemahan sistem pemilihan legislator adalah para calon tak tinggal di daerah pemilihan. Ini membuat pemilih tak kenal calon legislator.

Daerah Palmerah adalah daerah PDIP. Saya perhatikan PDIP dapat 73 suara ... tertinggi dari semua partai. Dari total tujuh calon legislator PDIP, empat calon tertinggi: Setiana Widjaja dapat 20 suara; Syahriz Ferdian Aziz dapat 15 suara; Eriko Sotarduga dapat 10 suara; Masinton Pasaribu dapat 9 suara.

Setiana Widjaja yang dapat suara terbanyak adalah pengelola kursus di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dia dianggap membesar-besarkan background pendidikannya. Dalam riwayat resminya, Widjaja bilang dia dapat gelar "doctoral of education" dari University of Berkeley pada 2007.

Persoalannya, di California tak ada universitas dengan nama tersebut. Adanya, University of California, Berkeley, biasa disingkat UC Berkeley. Ini kampus terkemuka di Amerika Serikat. Dalam website Diaspora Memilih, mereka mempertanyakan gelar tersebut.

Malamnya, dari quick count Center for Strategic and International Studies, saya tahu bahwa PDIP berada di peringkat pertama dgn hasil 19.8 persen, Golkar 14.6 persen, Gerinda 11.8 persen, dan Partai Demokrat 9.7 persen. Saya tak kaget PDIPI dapat tempat pertama. Mungkin malah kaget karena ia tak lebih dari 20 persen. Menariknya, ada dua partai kecil, mencuat hasilnya: PKB dan Nasdem.

Senang Nasdem bisa dapat suara lumayan. Menurut survei Australian National University, Nasdem banyak menaruh aktivis dalam daftar calon mereka serta secara proporsional paling tinggi persentase perempuannya. Saya juga tak kaget ketika tahu PBB dan PKPI jadi partai paling sedikit perolehan suaranya.

Thursday, April 03, 2014

Makan malam dengan Jokowi di rumah Iwan Fals


Saya diundang ikut "sarasehan" dgn Jokowi di rumah Iwan Fals. Rencananya, pertemuan Jokowi dgn beberapa seniman. Saya bukan seniman tapi saya pernah menulis soal Iwan Fals. Saya diminta bicara hak asasi manusia.

Saya tanya Iwan soal mengapa sekarang dia mau dukung politikus? Dia bilang tidak juga. Dia kenal Jokowi. Dia mau bikin konser dgn target 4 juta penonton. Dia ingin jadikan konser tsb sbg ajang tak buang sampah sendiri. Juga ingin nyanyi "Indonesia Raya" tiga stanza.

Lumayan mengobrol dgn Iwan.

Ternyata ada sekitar 50 wartawan datang. Ini belum lagi pendukung Seknas Jokowi. Makan malam tak cukup. Ceritanya, Jokowi juga harus segera pergi ke Karawang. Saya cuma sempat tanya dua hal: kebebasan beragama dan Papua.

Saya tanya apa program Jokowi untuk mengatasi kekerasan atas nama agama? Ini mencuat selama 10 tahun terakhir dengan rezim SBY melembagakan "kerukunan beragama" --mayoritas dan minoritas jadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan-- dan diam-diam menolak "kebebasan beragama" yang ada dalam UUD 1945.

Jokowi jawab semuanya kembali ke UUD 1945. Dia bilang dia selalu mengatakan tidak ketika diminta mengganti Lurah Susan dgn alasan dia Kristen jadi lurah di daerah mayoritas Muslim. Empat kali kelompok intoleran minta Lurah Susan diganti. "Empat kali saya bilang tidak," katanya.

Saya juga tanya soal tapol Papua. PBB minta Indonesia bebaskan tapol Papua. Saya juga tanya soal pembatasan wartawan asing pergi ke Papua sejak 1963. Bila dia jadi presiden apakah dia akan hentikan pembatasan tsb?

Jokowi bilang dia tak mengerti masalah ini. Dia harus mempelajari dulu.

Waktunya sangat terbatas. Jokowi sempat singgung soal gereja Katholik Kampung Duri, yang ditolak militan Sunni. Ada langkah sedang diambil buat menyelesaikan namun dia bilang belum saatnya dibuka. Saya rasa tak ada kesempatan untuk tahu pemikiran Jokowi lebih dalam.

Namun Seknas Jokowi kini sedang mempersiapkan sebuah response terhadap permintaan dari Human Rights Watch agar dijelaskan platform Jokowi di bidang hak asasi manusia. 

Saya bicara dgn beberapa orang Seknas Jokowi tentang riset berbagai hal tsb. Intinya, saya usul agar mereka membebaskan tahanan politik di Papua dan Papua Barat. Ini persoalan yang terus-menerus terjadi karena orang Papua yang protes terhadap pemerintahan Indonesia, sering menaikkan bendera Bintang Kejora. Ia lantas dituduh makar, ditangkap, sering disiksa bahkan ada yang meninggal. Tahanan politik ini harus dibebaskan. Mereka tak terlibat kekerasan. 

Saya juga usul wartawan asing diperlakukan sama bila hendak liputan ke sana. Sama dengan pergi ke Sumatra, Kalimantan, Bali, Jawa dan seterusnya. Sejak 1967 setidaknya, militer Indonesia membatasi wartawan asing maupun peneliti internasinal masuk ke dua provinsi tersebut. 

Iwan Fals tanya soal kesehatan Dr. Arief Budiman, dosen saya di Salatiga, yang kena Parkinson. Pada 1980an, Iwan suka baca pemikiran Arief Budiman. Iwan menganggap Arief adalah "guru" dia. 

Pada 1989, saya pernah menulis soal pertemuan Iwan Fals dgn Arief Budiman dimana Arief cerita soal Victor Jara dari Chile. Kami juga diskusi soal makin meningkatnya kekerasan atas nama agama di Indonesia.

Saya usul bagaimana bila Iwan konser dengan memakai paduan suara dari gereja GKI Yasmin di Bogor. Dia tertarik dengan ide tsb namun ingin memikirkannya lebih dulu. Dia tanya apakah GKI Yasmin suka lagu-lagu ciptaannya. Saya bilang bisa dilatih bukan?