Wednesday, March 26, 2014

Diskusi Jagal bersama Joshua Oppenheimer di Bangkok


Makan malam bersama Joshua Oppenheimer di sebuah mall di Bangkok. Beberapa kawan Bangkok bergabung, mengobrol soal The Act of Killing, film yang penting sekali untuk warga Indonesia.

FOREIGN Correspondent Club of Thailand mengundang saya untuk bicara soal film Jagal: The Act of Killing bersama Joshua Oppenheimer. Ini sebuah acara singkat. Hanya enam jam di club wartawan tersebut. Saya terbang dari Jakarta dengan Air Asia, tiba di Bangkok, sempat mampir di South East Asia Press Alliance, dan menuju club.

Joshua Oppenheimer pidato depan puluhan wartawan. Panjang film ini 2 jam 40 menit. Joshua bicara bahwa intinya adalah persoalan kekebalan hukum di Indonesia.

Kesan saya, Joshua orang yang articulate, tajam dalam mengemukakan pemikirannya. Dia bicara dengan kosakata yang kaya sekali. Dia juga teliti dalam memilih makanan. Dia cerita tahun demi tahun yang dia pakai buat merekam berbagai pelaku pembantaian 1965-1966 di Medan dan sekitarnya. Dia tentu ditanya soal reaksi dia karena film tersebut tak mendapatkan hadiah Oscar.

Joshua berpendapat dengan sistem penilaian Oscar, sejak awal dia tak percaya dia akan dapat Oscar. Penjurian kurang mengerti makna film dokumentasi. Mereka juga berat dengan dunia hiburan. Kini dia tinggal di Copenhagen, Denmark. Dia selalu pakai kaos hitam.

Mulanya, saya datang pakai batik lengan panjang. Lihat Joshua cuma pakai kaos hitam, saya melepaskan batik tersebut, dan tampil dengan kaos hitam pula. Saya tak mau muncul kesan saya tampil berbeda dengan sutradara film, tentu saja, bintang utama dalam diskusi club.

Di Bangkok, juga bertemu dengan dua kawan dari Human Rights Watch: Shaivalini Parmar serta Kyle Knight. Parmar warga negara India tapi dibesarkan di Bangladesh. Kini Parmar tinggal di Bangkok, sedang belajar bahasa Thai. Knight warga negara Amerika, tinggal di Katmandu, Nepal, baru saja pindah ke Bangkok. Mereka ikut menonton film di club.

Saya menginap dua malam di Le Fenix Sukhumvit Hotel, sekitar 10 menit jalan kaki dari stasiun kereta Nana. Praktis sekali. Saya kemana-mana naik kereta api termasuk ke airport. Ini beda sekali dengan periode 1995-1999 ketika saya bekerja untuk harian The Nation. Bangkok belum punya kereta api dalam kota. Saya ditempatkan di hotel ini oleh panitia.

Friday, March 21, 2014

Sakit Gigi


PERTAMA cabut gigi seumur hidup. Geraham belakang kanan sudah terlalu rusak. Crown patah karena makan ikan asin. Maka harus cabut gigi. Perlu dua bulan lebih buat tanam implant. Ia terbuat dari titanium dan bisa menempel pada tulang geraham.

Mula-mula posisi dari gigi yang dicabut dibiarkan kosong agar luka sembuh dan permukaan geraham menutup. Ketika sudah sembuh maka dipasang impant.


Saya memilih klinik gigi Neu di Senayan guna perawatan gigi saya. Klinik ini didirikan drg Andri Suwardi. Saya sudah langganan di klinik ini lebih dari 15 tahun. Dia alumnus dari Universitas Moestopo Beragama serta mengambil beberapa kursus lanjut di Swiss dan New York.

Tuesday, March 18, 2014

Ruwet, Bolos Kuliah dan Keluar dari Asrama


Munawaroh, Teti Setiawati serta Lucinda Aprilia ketika bicara soal berbagai kesulitan yang timbul di kampus dan asrama. Mereka minta saya datang ke kampus guna bicara masalah yang diharapi Lucinda.

KEMARIN SIANG tadi saya pergi menemui Munawaroh, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan MH Thamrin, karena seorang mahasiswanya, Lucinda "Kukuk" Aprilia, keluar dari asrama sejak seminggu sebelumnya. Lucinda adalah keponakan saya dari Pontianak. Mamaknya, Norma, adalah kakak isteri saya, Sapariah.

Lucinda mengambil program kebidanan selama tiga tahun. Dia mulai kuliah Juli 2013, pindah dari Pontianak ke Jakarta. Dia minta tolong agar dia dibantu biaya kuliah, asrama, uang saku, keperluan kuliah dan seterusnya. Kami bersedia membantunya.

Persoalan yang dihadapi Lucinda ternyata cukup rumit. Dia punya persoalan dengan kawan-kawannya di asrama maupun di kelas. Munawaroh, maupun kepala asrama, Teti Setiawati, mengatakan Lucinda beberapa kali bicara kurang akurat dengan kawan-kawannya. Dia dianggap sering "mengadu domba" kawan-kawannya.

Lucinda mengatakan dia sudah izin Mamak dan Sapariah untuk keluar dari asrama dan pindah ke tempat kost Rp 400 ribu sebulan, menurut Teti Setiawati. Ketika Setiawati minta diberikan nomor Sapariah, guna verifikasi, Lucinda tak memberikannya. Ketika Munawaroh minta nomor telepon, Lucinda memberikan nomor orang lain, keponakan isteri saya lainnya, dengan nama "Sapariah."

Munawaroh mengatakan beruntung dia mendapatkan nomor telepon isteri saya dalam formulir sekolah. Lucinda juga beberapa kali bolos kuliah. Dia tak ikut yudisium pada Januari 2014, menurut Munawaroh. Dia pulang ke Pontianak dengan alasan ibunya "sakit" bahkan "comma," menurut Setiawati. Lucinda membantah kata "comma."

Singkat kata, mereka minta Lucinda kembali ke asrama karena ia sesuai dengan kontrak antara setiap mahasiswa dengan manajemen sekolah. Mulanya, Lucinda menolak dan berpendapat suasana asrama tak baik buat dia belajar. Lucinda minta waktu semalam buat berpikir.


PADA 7 Juli 2013, Lucinda mengirim surat dan minta dibantu biaya sekolah dan uang bulanan kepada saya. Dia bilang dia ingin keluar dari kesuntukan di Pontianak. Saya menyetujui dan minta pakailah kesempatan belajar di Jakarta untuk berubah dari lingkungannya di Pontianak.

Norma senang kami mau bantu Lucinda sekolah. Dia mempercayakan pengawasan Lucinda kepada saya. Sapariah sempat mengingatkan bahwa keponakannya ini bandel sejak di Pontianak.

Pada 8 Juli 2013, saya membalas suratnya:

Dear Kukuk,

Terima kasih untuk perinciannya. Om commit untuk sediakan tahun pertama dari biaya kuliah sampai bulanan. Om harap dalam setahun prestasi akademik Kukuk di atas rata-rata. Bila dalam tahun pertama ada masalah, prestasi di bawah rata-rata, Om tentu akan evaluasi kelanjutan pembiayaan dalam tahun kedua. Ini akan berlanjut sampai tahun ketiga.

Om percaya bahwa bahwa pendidikan untuk anak perempuan adalah investasi yang penting buat masa depan masyarakat. Ada slogan World Bank, "Educating girls is one of the strongest ways not only to improve gender equality, but to promote economic growth and the healthy development of a society." Ada multiplier effect dalam mendidik anak perempuan. Lebih banyak perempuan terdidik mendorong masyarakat makin sehat.

Om anggap bantuan ini adalah utang Kukuk. Bukan kepada Om atau Mbak Ya tapi utang kepada seorang gadis lain di masa depan Kukuk. Bila Kukuk berhasil dengan studi ini, hingga lulus dan bekerja, Om ingin Kukuk membiayai seorang gadis lain untuk sekolah. Tolong suatu hari sampaikan pada Om bahwa Kukuk mulai membiayai anak perempuan lain --anak orang lain-- untuk sekolah macam Kukuk.

Selamat berjuang dan semoga berhasil.

Lucinda bersama tante dan pamannya pada 1 Januari 2014 di Monumen Nasional, Jakarta. 

Saya minta Lucinda bikin laporan bulanan kepada saya. Lucinda hanya kirim sekali. Kemarin malam, saya bicara via telepon cukup lama dengan Norma. Dia bilang dia sulit tidur sejak diberitahu bahwa anaknya keluar dari asrama.

Saya bilang ada baiknya Lucinda dibantu oleh psikolog. Munawaroh, Sapariah maupun Norma setuju bila Lucinda bertemu psikolog. Namun Munawaroh minta dia kembali dulu ke asrama.

Sampai sekarang saya belum tahu perkembangan Lucinda dengan asrama dan sekolahnya. Mudah-mudahan dia sudah kembali ke asrama dan mencoba mengatasi kekurangannya dalam komunikasi.

Saya akan mulai menulis perkembangan Lucinda lewat blog. Saya kuatir kesibukan saya, serta berbagai macam persoalan dari Pontianak yang jadi bebannya, tak bisa saya atasi tanpa catatan. Saya hendak menulis agar bisa beri perhatian. Saya berharap Lucinda suatu hari lulus, menjadi bidan serta bisa membantu banyak perempuan lain.

It's tough to be a guardian. Saya berharap Lucinda bisa melewati masa sulit di asrama dan kampusnya.


Update: Malam ini Teti Setiawati mengirim pesan bahwa Lucinda sudah kembali ke asrama.

Bagaimana memilih politisi dalam pemilihan umum?


Iwan Fals, dalam konser "Lagu untuk Negeri" di Monumen Nasional pada 15 Maret 2014, mengatakan bahwa pemilihan umum adalah harapan. "Satu suara adalah satu harapan," katanya. Bila politikus yang dipilih ternyata korupsi ya dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

Surat buat Norman Harsono

PADA 9 April 2014, Norman akan memilih pertama kalinya dalam pemilihan umum di Indonesia. Tadi pagi, kita mendapat surat pemberitahuan bahwa Norman sudah punya hak memilih. Papa ingin menjelaskan bagaimana Norman seharusnya, secara sistematis, menggunakan hak tersebut.

Tahun ini, menurut Komisi Pemilihan Umum, ada lebih dari 214.5 juta warga punya hak memilih. Mereka akan memilih dua kali: parlemen pada 9 April dan presiden pada 9 Juli. Mereka boleh tidak menggunakan hak mereka. Secara hukum, tidak apa-apa bila ada warga tidak memilih. Mungkin mereka kecewa, mungkin mereka protes atau mungkin saja berhalangan untuk memilih.

Norman mungkin ingat ketika konser Iwan Fals di Monumen Nasional, Iwan bilang setiap satu suara adalah satu harapan.

Harapan belum tentu dipenuhi. Banyak politisi di Indonesia mutunya buruk ... bahkan buruk sekali, dari mereka yang bodoh sampai korupsi. Banyak yang bodoh plus jahat sampai yang pelaku diskriminasi, rasialisme, sektarianisme dan kekerasan. Norman berhak untuk kecewa dan tak memilih.

Tapi Papa setuju dengan Iwan Fals. Kita perlu berharap akan adanya perbaikan di negeri ini. Bila orang yang kita pilih ternyata jahat maka kita harus dukung usaha membuktikan kejahatan mereka. Kalau bisa diadili. Cukup banyak politisi sudah diadili di Indonesia. Sayang, belum ada satu pun presiden Indonesia diadili karena kejahatannya.

Buat Papa, tahun ini adalah pemilihan umum kedelapan.

Pada 1983, saat umur Papa sama dengan Norman, Papa juga ikut memilih pertama kali. Tapi itu zaman Presiden Soeharto. Dia memerintah dengan tangan besi. Pada 1983, Papa memilih boikot dengan jadi "golongan putih" karena pemilihan umum sangat dibatasi. Presiden Soeharto dan partainya, Golongan Karya, menang terus-menerus pada pemilihan 1971, 1978, 1983, 1988, 1993 dan 1998. Dia berkuasa selama 33 tahun. Papa lubangi semua kertas suara. Artinya, Papa terus-menerus boikot pemilihan umum.

Keadaan baru berubah sesudah Soeharto mundur dari kepresidenan pada Mei 1998.

Pada 1999, Indonesia mengadakan pemilihan umum dengan ruang kebebasan yang jauh lebih terbuka. Papa berhenti boikot dan memilih politikus. Papa sudah lupa siapa yang Papa pilih tapi Papa ingat Papa pernah memilih Aberson M. Sihaloho, seorang politikus Batak Simalungun, namun dia kalah. Papa juga memilih Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden pada pemilihan 2004. Papa menyesal memilih Yudhoyono. Dia mungkin berhasil di bidang ekonomi tapi dia terbukti politikus yang sektarian. Yudhoyono membahayakan kebhinekaan di Indonesia.

Yudhoyono membuktikan bahwa pemilihan umum bukan obat mujarab. Iwan Fals benar. Pemilihan umum adalah harapan. Ia bisa berakhir dengan kekecewaan. Demokrasi sekarang masih electoral democracy. Ia hanya bebas mencoblos.

Di Indonesia, demokrasi belum memasuki proses civic democracy dimana kebebasan sipil (civic liberties) --termasuk kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, kebebasan berserikat-- serius dilindungi.

Yudhoyono tidak bicara soal kebebasan beragama tapi bicara soal "kerukunan beragama" --eufemisme untuk penindasan kepada kaum minoritas agama termasuk Ahmadiyah, Kristen, Syiah dan sebagainya. Artinya, Yudhoyono termasuk orang yang tidak mendukung civic democracy.

Papa berharap pemilihan umum ini memberi harapan perubahan ke civic democracy.


KELUARGA kita tinggal di bilangan Senayan. Artinya, kita sekeluarga, termasuk Norman, punya hak suara untuk memilih di provinsi Jakarta dan memilih wakil dari Jakarta. Total ada 7.024.669 warga Jakarta yang punya hak memilih lewat 17.035 tempat pemungutan suara (voting booth).

Jutaan warga tersebut memiliki hak mencoblos buat tiga badan legislasi: Dewan Perwakilan Rakyat (nasional), Dewan Perwakilan Daerah (nasional), serta DPRD Jakarta (provinsi).

Jakarta memang hanya punya DPRD Jakarta dengan total anggota 106 orang. Maksudnya, Jakarta tidak punya kabupaten atau kota. Jakarta hanya punya "kota administrasi" --Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat-- serta Kabupaten Kepulauan Seribu. Kota administrasi dipimpin walikota yang ditunjuk Gubernur Jakarta. Mereka tidak dipilih sehingga juga tak ada DPRD tingkat II di Jakarta.

Norman menonton
konser Iwan Fals.
Di Indonesia, hanya Jakarta yang tidak punya DPRD tingkat II. Bila kita tinggal di provinsi-provinsi lain, Norman akan lihat warga Indonesia di sana mendapat hak mencoblos buat empat dewan: DPR, DPD, DPRD tingkat I (provinsi), serta DPRD tingkat II (kabupaten dan kota).

Indonesia total punya 416 daerah tingkat II, termasuk enam di Jakarta, sehingga Indonesia hanya punya 410 DPRD kota atau kabupaten. Untuk DPRD kabupaten atau kota, masing-masing berjumlah antara 20-50 orang, tergantung populasi. Makin banyak populasi makin banyak pula anggota DPRD kabupaten atau kota.

Dari website Komisi Pemilihan Umum, Norman bisa mendapat nama-nama calon legislatif DPR, DPD dan DPRD Jakarta, yang bisa dipilih warga Jakarta Pusat:
Nanti saat pemilihan, Norman akan dapat tiga lembar kertas suara. Norman hanya mencoblos satu nama dari setiap kertas.

Berapa jumlah masing-masing dewan tersebut?

Menurut UU Pemilihan Umum tahun 2012, jumlah anggota DPR adalah 560 orang.

Jumlah anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan empat. Indonesia sekarang ada 33 provinsi --dari Aceh sampai Papua-- sehingga 33 provinsi x 4 utusan = 132 anggota DPD. Norman harus memilih satu dari 35 calon senator dalam daftar pemilihan di Jakarta.

Bagaimana dengan DPRD (provinsi) Jakarta?

Menurut UU Pemilihan Umum, untuk DPRD provinsi, setiap DPRD memiliki antara 35-100 politisi. Jakarta akan punya 106 karena penduduknya besar sekali.

Papa sudah cek semua calon legislator dari ketiga daftar tersebut.

Untuk DPRD Jakarta, dari total 132 politisi untuk daerah pemilihan Jakarta Pusat --rumah kita di Senayan masuk Jakarta Pusat-- hanya satu orang yang Papa kenal namanya: Wahyu Effendi dari Nasdem.

Kebetulan Wahyu Effendi seorang aktivis. Wahyu ikut menulis buku Tionghoa dalam Cengkeraman SKBRI pada 2008. Sisanya, 131 politisi, tak ada satu pun yang Papa kenal. Kita harus pakai Google bila ingin tahu track record 131 politisi tersebut.

Untuk DPR dan DPD, Papa kenal cukup banyak dari mereka lewat media --misalnya Sabam Sirait dan AM Fatwa dari daftar DPD. Kebanyakan politisi tak dikenal masyarakat. Banyak politisi juga berasal dari keluarga-keluarga kaya. Norman perlu mempelajari masing-masing calon dan pilihlah politikus yang Norman anggap bermutu, yang integritas dan karakternya, bisa dipercaya.

Norman tentu tahu bila hendak menilai orang, nilailah mereka berdasar karakter dan integritasnya. Dari pergaulan dalam keluarga, Norman tentu belajar bahwa jangan menilai orang dari kelas sosial, etnik, agama atau ideologi. Kita perlu tahu etnik, agama, kelas dan ideologi guna memperkaya pemahaman kita tapi, at the end of the day, pada akhirnya, kita harus menilai orang dari karakter dan integritas mereka.

Papa kira demokrasi, thus masa depan, Indonesia, akan ditentukan oleh generasi muda macam Norman. Papa sering menerangkan bahwa demokrasi sebenarnya adalah cara-cara damai buat melakukan pergantian pemimpin. Demokrasi ini tak datang dengan mudah. Banyak penguasa tak mau diganti oleh orang di luar orang yang dia percaya, terutama keluarganya. Demokrasi sekarang ada berdasarkan perjuangan dan pengorbanan banyak orang, termasuk beberapa teman Papa, yang mati, yang diculik, dan yang hilang sampai sekarang.

Tanggung jawab kalian adalah menjadikan demokrasi ini menjadi demokrasi yang melindungi hak asasi manusia, kebebasan sipil, serta berbagai kaum minoritas di Indonesia.

Selamat memakai hak pilih dalam demokrasi di Indonesia.



Ralat: Saya mulanya menulis pemilihan 1999 yang dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Seharusnya ia adalah pemilihan 2004. Naskah ini sudah dikoreksi. 

Saturday, March 15, 2014

Debat kecil soal pencalonan Jokowi


Makan bubur ayam dan berdebat soal pencalonan Jokowi bersama Imam Shofwan, Elina Agustin, Budi Setiyono dan Della Syahni dekat Gedung DPR Senayan. Si kecil Jalu, putra dari pasangan Setiyono-Agustin, tampaknya ikut menikmati debat kami.

Semalam sesudah Jokowi mencalonkan diri sbg presiden dari PDI Perjuangan, saya naik mobil dan lihat2 Jakarta pagi hari. Saya lewat pasar. Saya lewat jembatan. Saya lihat kemacetan lalu lintas. Saya lihat aturan lalu lintas dilanggar secara telanjang. Di Jalan Palmerah Selatan, orang naik sepeda motor melawan arus satu arah. Di Jalan Palmerah Utara, dekat kantor The Jakarta Post, orang berjualan di jalan, makan separuh badan jalan.

Saya kira benar bahwa kerja baik Jokowi di Jakarta jauh dari selesai. Ada arah yang benar dengan memulai bangun Mass Rapid Transport (MRT), mengeruk sungai, mengusahakan kesehatan masyarakat, menaikkan upah minimal buruh dll. Ini penting guna mengatasi kemacetan lalu lintas Jakarta yang sudah kusta. Pengerukan sungai dan waduk guna mengatasi banjir. Tapi belum terlihat hasilnya. Namun saya juga tahu Jokowi dinilai populer. Dia dianggap politikus yang tulus. Dia dianggap mau bekerja.

Pencalonannya, memancing debat publik yang besar, baik dengan argumentasi yang sehat maupun teori konspirasi ngawur.

Lalu saya pergi sarapan bubur ayam dgn kawan2 Yayasan Pantau --Budi Setiyono dari Historia, Della Syahni dari Kompas.com, Imam Shofwan dari Pantau serta Elina Agustin, mantan guru bahasa Perancis yang cuti karena mengasuh anak-- dan mengobrol soal apa yang kira2 akan terjadi dgn pemilihan 2014.

Saya diingatkan bahwa dalam jumpa pers di rumah Megawati Soekarnoputri pada September 2012, Jokowi mengatakan dia akan menyelesaikan masa jabatan gubernur Jakarta, lengkap lima tahun, takkan ikut pemilu 2014.

Janji tentu diingkari oleh Jokowi. Persoalannya, apakah Jokowi punya kemungkinan menolaknya? Kebetulan saya kenal dekat dgn beberapa wartawan yang dekat betul dgn Jokowi. Selama Jokowi menolak pencalonan, menurut wartawan2 tsb, Jokowi memang tak mau bicara soal presiden. Dia merasa sudah berat dgn kerja gubernur. Sepuluh tahun pun persoalan Jakarta takkan selesai.

Ada satu wartawan bilang Jokowi ngeri dgn kemungkinan tanggungjawab baru sebagai calon presiden. Dia merasa tak punya ketrampilan dan pengetahuan untuk kampanye sebagai presiden. Tapi dua minggu sebelum pencalonan diumumkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, atau mungkin perlahan-lahan sebulan sebelumnya, ketika saya bicara dgn beberapa kawan, termasuk dari Sekretarita Nasional Jokowi, saya tahu Jokowi mulai berubah pikiran.

Saya jadi ingin wawancara Jokowi dan mencari tahu apa yang jadi pertimbangannya.

Siapa yang menjanjikan bantuan pikiran untuk Jokowi?


Namun pencalonan Jokowi membuat kaum oligarki di Indonesia berdebar-debar. Ini fenomena menarik sehingga Jokowi jadi bahan debat publik.

Kata "oligarki" berasal dari kata Yunani ὀλιγαρχία (oligarkía). Ia terdiri dari dua kata ὀλίγος (olígos), artinya "sedikit", dan ἄρχω (arkho), artinya "menguasai atau memerintah." Oligarki berarti sebuah struktur dimana kekuasaan dikontrol sedikit orang. Mereka bisa berasal dari keluarga bangsawan, keluarga kaya, keluarga elite, terdidik, atau keluarga militer. Keluarga-keluarga ini mewariskan pengaruh mereka dari satu generasi ke generasi berikut.

Rahman Tolleng dari Forum Demokrasi mengatakan bahwa demokrasi Indonesia pasca-1998 adalah demokrasi oligarki. Di Jakarta, oligarki ini bisa dilihat dari keluarga Bakrie, keluarga Djojohadikusumo, Soeharto, Soekarno, Wahid, Wibowo-Yudhoyono, dan lainnya. Kandidat presiden termasuk Aburizal Bakrie, Prabowo S. Djojohadikusumo, dan Wiranto. Bila dilihat di ibukota provinsi, juga bisa dilihat oligarki berkuasa. Contoh mutakhir Ratu Atut Chosiyah dari Banten. Kebanyakan anggota parlemen, dari DPR sampai DPRD tingkat II, memerlukan duit buat menang. Thus kebanyakan juga orang berduit, langsung maupun tak langsung, yang menguasai legislasi.

Ini jauh berbeda dengan zaman Soekarno maupun Soeharto dimana kekuasaan, sedikit atau banyak, dikuasai kaum cendekia, setidaknya ada tempat penting buat kaum cendekia. Soekarno anak seorang guru. Soeharto anak priyayi kecil ... tapi dia jadi tentara yang kasih tempat buat teknokrat. Masih banyak nama bisa dijejerkan, dari Tan Malaka sampai Rahman Tolleng sendiri.

Jokowi bukan bagian dari oligarki. Dia dari keluarga sederhana. Sebagai pengusaha meubel, Jokowi pribadi cukup kaya tapi asetnya sekitar Rp 30an milyar saja. Ini jauh lebih kecil dari saingannya. Jokowi adalah fenomena non-oligarki di Indonesia. Pencalonannya tentu menarik.

Bagaimana dgn pekerjaan yang belum selesai?

Kepada Kompas, Jokowi mengatakan, "Saya kira kembali ke konstitusi, kembali ke undang-undang, kembali ke aturan. Kalau aturan memperbolehkan, saya kira itulah aturan. Kalau aturan tak boleh, saya kira tidak akan ada."

Di Jakarta, masih ada Wakil Gubernur Basuki "Ahok" Purnama bukan? Mudah-mudahan Ahok mau bekerja sampai selesai.

Saya kuatir waktu adalah kemewahan buat politisi bermutu di Indonesia. Mereka dikejar-kejar untuk mencalonkan bupati, gubernur atau apapun karena partai, media dan berbagai pressure group, memang membuat kebutuhan terhadap mereka meningkat. Ini indikator yang kurang menyenangkan buat kaum oligark.

Omong-omong, bubur ayam ini terletak di jalanan dekat DPR Senayan.

Ia enak sekali lho!

Sunday, March 09, 2014

Gus Dur menulis pengantar buku


Lies Marcoes dalam Facebook

Suatu hari Gus Dur datang ke Grafiti Press tempat Ismed Natsir, suami saya, bekerja sebagai editor.

Dia tanya, "Med ada yang bisa saya bantu, ada perlu untuk pendaftaran anak sekolah".

Suami saya menjawab, "Ada Gus ... membuat pengantar untuk buku".

Gus Dur pun bersetuju. Ia duduk membuka-buka dan membaca draft buku. Tak terlalu lama -hanya selintasan membaca. Lalu ia minta mesin tik, dan mulailah ia menulis, tanpa tip-ex tanpa ada satu pun kalimat yang dia perbaiki. Dalam waktu tak sampai satu dua jam, pengantar redaksi untuk buku pun selesai.

Sembari dia mengetik, suami saya mengurus pembayaran. Selesai, ia pun pamit dengan mengantongi honor untuk biaya sekolah salah satu dari empat anaknya yang akan masuk SMA ...

Sore hari menjelang pulang, suami saya baru sempat membaca pengantar itu, dan ia terperangah .... Pengantar redaksi yang luar biasa keren, segar dan jenaka. Itulah pengantar Mati Ketawa Cara Rusia.

Friday, March 07, 2014

Sepeda dan Airport di Toronto


TORONTO kota terbesar di Kanada. Selama beberapa hari saya jalan-jalan di Toronto. Suhu sekitar minus 10 Celcius. Sopir taxi kebanyakan migran, dari Sierra Leonne sampai Bangladesh, dari Pakistan sampai India.

Saya menginap di Holiday Inn di Carlton Street, downtown Toronto, dan jalan kaki atau naik kereta api. Enak sekali jalan-jalan di Toronto. Kereta api praktis hanya terdiri dua jalur. Ia biasa disebut TTC (Toronto Transit Commission).

Namun saya justru sempat tersesat ketika hendak pergi ke Munk School of Global Affairs, Universitas Toronto, karena sopir tak tahu alamat sekolah tersebut: Devonshire Pl. Padahal ia terletak di jantung kota Toronto. Hanya 20 menit jalan kaki dari hotel saya. Jengkel juga karena 30 menit terlambat.

Saya justru lancar saja ketika pergi ke tempat lebih jauh di Toronto. Termasuk ketika pergi ke Universitas York atau berkunjung ke rumah kawan di daerah Kliping, batas paling barat kota Toronto. Cukup bawa uang tiga dollar dan bisa kemana-mana naik kereta api.

Toronto ada program bike share. Ini sepeda bisa dipakai bersama-sama. Sepeda bisa diparkir di tempat-tempat yang ditentukan. Ia membantu mengatasi kemacetan lalu lintas karena orang didorong pakai moda transportasi campuran. Ia dengan mudah ditemukan dekat stasiun kereta api. Orang bisa naik kereta api lalu pindah sepeda. Program ini juga pernah saya lihat di Brussels, New York dan Washington DC.

Salah satu perhatian saya di Toronto pada airport Billy Bishop di sebuah pulau kecil, namanya Pulau Toronto, sekitar 200 meter dari pinggir pantai kota Toronto. Airport ini biasa dipakai satu perusahaan penerbangan bernama Porter. Saya terkesan dengan airport ini karena praktis sekali. Bila hendak naik pesawat, kita harus pergi ke sebuah pelabuhan kecil, khusus satu ferry, terletak di Bathurst Street. Cuma 10 menit naik taxi dari hotel.

Ia tentu jadi persoalan karena terletak persis di tengah kota Toronto. Derau suara pesawat tentu mengganggu warga, setidaknya, warga Pulau Toronto. Dalam ferry, saya membaca iklan dimana Billy Bishop klaim bahwa mereka adalah airport yang paling dipantau tingkat kebisingannya.

Harian Globe & Mail di Starbucks.
Saya sering bepergian. Tahun lalu, mungkin saya hanya berada di rumah selama enam atau tujuh bulan total. Sisanya dalam perjalanan. Saya sering merasa bosan, kesepian, rindu keluarga ... bila berada di airport. Banyak kawan saya tak mengerti. Mereka sering anggap orang yang sering bepergian itu menyenangkan.

Mungkin belum merasakan bagaimana jalan sendiri. Dari pesan tiket sampai pesan hotel. Dari cari alamat dalam setiap pertemuan sampai cara untuk sampai ke alamat tersebut: jalan kaki, kereta api, taxi atau bagaimana?

Belum lagi menentukan pakaian, dari sepatu --boot cocok buat udara dingin tapi tak setiap hari suhu dingin-- sampai jas, overcoat, topi, sarung tangan dan lain-lain. Belum lagi ukuran bagasi. Belum lagi visa, paspor serta uang dalam beberapa mata.

Mendapatkan airport macam Billy Bishop, yang serba cepat dan praktis, membuat pekerjaan menunggu jadi pendek. Ia mengurangi rasa bosan, jenuh dan kesepian.

Porter adalah perusahaan penerbangan kecil dgn pusat Toronto. Mereka pakai pesawat kecil, efisien layani Amerika utara. Perhatikan es di sekeliling pulau. Dari hotel ke airport hanya 10 menit naik taxi. Naik ferry hanya 10 menit. Dalam setengah jam sudah siap. Praktis sekali.
Porter markasnya di airport Billy Bishop di Toronto. Mereka sering diprotes krn bising. Selama 75 tahun Porter mengembangkan sistem yang relatif kurang bising. Mereka pakai pesawat baling-baling. Poster ini saya ambil dari dinding ferry yang mengantar penumpang, setiap 15 menit, dari daratan Toronto ke airport. Perjalanan ferry hanya 10 menit.
Billy Bishop airport di Toronto. Praktis dan efisien. Ia terletak di sebuah pulau kecil, hanya beberapa ratus meter dari daratan Toronto. Ia dipakai oleh perusahaan Porter dgn pesawat terbang baling2, menjangkau Ottawa, Washington DC, New York dan sekitarnya. Airport kecil tak berarti harus kalah dgn airport internasional.

Wednesday, March 05, 2014

Niagara Falls dekat Toronto


SEBUAH janji wawancara dengan harian Toronto Star batal. Wartawannya kelelahan karena liputan malam hari. Ini membuat saya tiba-tiba punya waktu luang seharian.

Seorang kawan sekolah zaman saya belajar di SMA Katolik Sint Albertus Malang, yang kini tinggal di Mississauga, kota di tetangga Toronto, berbaik hati mengantar saya lihat Niagara Falls, tiga air terjun terkenal, yang terletak antara perbatasan Kanada dan Amerika Serikat. Niagara sekitar dua jam naik mobil dari Mississauga.

Dari Toronto, saya naik metro ke Kipling, stasiun paling barat dari Toronto, dan dijemput Andhy Djianto, kawan zaman sekolah di Malang, yang sudah beberapa tahun menetap di Mississauga. Djianto menikah dengan sesama kawan sekolah kami, Naniek Handoko, yang terkenal karena hampir selalu ranking pertama dalam kelas paralel kami, dari kelas satu sampai lulus, antara 1981 dan 1984. Mereka punya tiga anak, semuanya di Mississauga.

Horseshoe Falls dengan ketinggian 53 meter di sisi Kanada. 
Niagara sebenarnya nama dari tiga air terjun: Horseshoe Falls (ketinggian 53 meter), American Falls (21–30 meter) dan Bridal Veil Falls yang paling kecil (17 meter). Mereka terletak antara perbatasan negara bagian Ontario (Kanada) dan negara bagian New York (Amerika Serikat). Tepatnya, mereka jatuh dari Danau Erie ke Danau Ontario, danau yang besar sekali, terletak antara Kanada dan Amerika Serikat.

Namun negara-bangsa membuat air terjun in terpisah secara hukum. American Falls dan Bridal Veil Falls terletak di sisi Amerika Serikat. Horseshoe Falls terletak dalam negara Kanada.

Aliran air yang tenang berubah jadi salju permukaan. 
Kami tentu datang dari sisi Kanada. Djianto parkir mobil di sebuah mall dan kami jalan kaki. Suhu sekitar minus 10 Celcius. Di Niagara ia terasa lebih dingin karena angin bertiup lumayan kencang. Ini bikin dingin seakan masuk ke tulang. 

Kami berjalan sepanjang trotoar dengan pembatas besi, antara trotoar dan jurang air terjun. Djianto bantu beberapa turis yang minta tolong diambilkan gambarnya. Entah berapa ribu liter air jatuh dari air terjun ini setiap detik. Suara air gemuruh.

Saya berjalan dekat dengan Horseshoe Falls. Suara gemuruh. 
Saya kenal Niagara sejak masih sekolah di Jember pada 1970an. Ia muncul di berbagai bacaan maupun film yang saya tonton. Saya bayangkan bila musim panas, tanpa salju dan angin macam hari ini, entah berapa ribu turis mengunjungi Niagara.

Apa arti kata Niagara?

Ada beberapa versi. Dari Wikipedia, seorang sarjana meneliti dan mengambil kesimpulan kata "Niagara" berasal dari nama sebuah suku Indian yang biasa dipanggil orang "Niagagarega" pada abad 17. Dia mendapatkan nama tersebut dari sebuah peta buatan Perancis.

Ada sarjana lain berpendapat ia berasal dari nama sebuah kota milik etnik "Ongniaahra," maknanya "titik ketika tanah dipecah jadi dua."

Namun ada yang berpendapat ia berasal dari bahasa Mohawk (Mohikan) dengan arti "leher." Maksudnya, leher dari Danau Erie ke Danau Ontario.

Entah mana yang benar.

Bintang hiburan Marilyn Monroe muncul dalam film Niagara (1953) dimana sebagian shooting dilakukan di Niagara Falls. Pada 1980, aktor Christopher Reeve dan Margot Kidder juga datang ke Niagara Falls untuk shooting film Superman II. 

Senang bisa lihat air terjun ini ketika umur saya hampir 50 tahun. Terima kasih untuk Andhy Djianto yang membawa saya melihat Niagara. Pada awal 1980an, ketika kami masih berumur belasan tahun dan sering naik sepeda motor di Malang, saya tentu tak pernah membayangkan piknik ke Niagara bersama Djianto.

Ottawa: Ibukota Paling Dingin di Dunia?


Salju turun di Ottawa.
SELAMA tiga malam saya berada di Ottawa, bertemu dengan politisi dan beberapa kawan. Ottawa kota kecil, penduduk sekitar sejuta orang, tapi juga ibukota Kanada. Ia baru diresmikan pada 1855 menyusul dibukanya sebuah kanal, biasa disebut Rideau, yang menghubungkan daerah Ottawa dengan Kingston, di Danau Ontario.

Orang Ottawa sering menyebut kota mereka sebagai ibukota terdingin di dunia. Ada juga yang bilang "terdingin kedua" sesudah Ulaan Bator, Mongolia.

Tapi peringkat selalu menimbulkan tanda tanya.

Bagaimana dengan kota-kota di Skandinavia?

Bagaimana dengan kekencangan angin? Bagaimana dengan suhu rata-rata?

Musim dingin? Musim panas?

Apapun argumentasi mereka, saya percaya bahwa Ottawa adalah kota yang dingin. Selama tiga malam di Ottawa, saya tak pernah mendapatkan suhu di atas minus 10 Celcius. Selalu di bawah titik beku. Hari kedua bahkan mencapai minus 15 Celcius.

Pemandangan dari kamar Lord Elgin Hotel.
Dari kamar hotel saya bisa melihat Rideau Canal Skateway, landasan skating terpanjang di dunia, dgn panjang 7.8 kilometer. Pada musim salju ia skating rink tapi pada musim lain ia merupakan kanal air sepanjang 200 kilometer. Pendirian kota Ottawa dimulai dari pembangunan kanal ini. Saya baca bahwa kanal ini dibangun guna menghadapi kemungkinan perang antara Kanada dan Amerika Serikat.

Kamar hangat Lord Elgin Hotel.
Sebenarnya pada musim salju pun ia tetap merupakan kanal. Di bawah es masih mengalir aliran air. Namun suhu udara bikin permukaannya padat. Tebal permukaan es, menurut kawan saya, Phelim Kine dari Human Rights Watch, sekitar dua kaki atau 60an cm. Ribuan orang main skating di kanal ini. Ia melewati kota Ottawa.

Saya tinggal di Lord Elgin Hotel dekat daerah ini. Ia hotel cantik buatan 1941. Dari kamar bisa lihat kanal tapi kalau keluar ... dingin alamak!

Jadi cuma senang lihat orang skating atau sekedar jalan pelan-pelan. Semua putih, bersih. Ottawa memang termasuk kota paling bersih di Amerika Utara.

Rideau Canal Skateway.
Seafood spaghetti dalam kamar.
SAYA perhatikan banyak sekali orang main skating sore hari ketika cuaca agak kurang dingin. Tapi pagi hari, saya lihat hanya satu atau dua orang melaju dengan skating. Kelihatannya asyik. Saya bayangkan olahraga ini menguatkan otot-otot paha.

Saya praktis pesan makan dari hotel saja. Enggan sekali untuk keluar beli makan. Sempat sekali makan di Rideau Center. Pesan pho Vietnam yang panas. Tapi jalan kaki terlalu lama telinga sakit. Kalau naik taxi ... mahal sekali bukan?

Masak makan saja harus naik taxi?

Lord Elgin Hotel di Ottawa. 

Baju hangat pinjaman.


TRANSPORTASI di Ottawa memang kurang nyaman. Saya praktis harus pakai taxi ke mana-mana karena sistem kereta api belum berkembang. Sayang sekali. Semua sopir taxi, setidaknya yang mangkal depan hotel saya, adalah orang asal Lebanon. Baik mereka yang Druze, Kristen maupun Muslim. Mereka semua warga Kanada.

Saya tak suka bertanya agama orang. Tapi orang Lebanon tampaknya suka memperkenalkan diri dengan agama mereka ... apalagi ketika tahu saya datang dari Jakarta.

Mereka suka bicara soal kebebasan beragama di Lebanon serta perang-perang di Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk Suriah. Saya beritahu bahwa agama Druze dilarang di Aceh, sebuah provinsi di utara Pulau Sumatra, sejak April 2011. Mereka bilang tindakan pemerintah Aceh tersebut bodoh sekali.

China Town di Ottawa.
SEORANG kawan di New York menganjurkan saya coba dim sum di restoran kecil bernama Hung Sum di China Town. Saya naik taxi ke Hung Sum. Pesan bubur, ceker ayam serta cakue. Memang enak sekali. Banyak pengunjung orang Canton. Mungkin mereka berasal dari Hong Kong.

Ketika naik pesawat terbang, Porter, jurusan Ottawa-Toronto, saya perhatikan bagaimana mereka membersihkan badan pesawat. Di landasan, saya lihat beberapa truk hilir-mudik membersihkan runway.

Ketika pesawat mau take off, ada truk datang dan menyirami badan pesawat, penumpang lengkap dalam pesawat, dengan cairan warna hijau. Mereka sirami dengan teliti bagian sayap pesawat dan ekor. Dalam bahasa Inggris, cairan ini disebut anti-icing fluid. Ia vital guna membuat pesawat bisa take off sesuai dengan disain pesawat tersebut. Ada sekitar 20 menit pesawat disirim dengan cairan.

Pendek kata, kesan saya soal Ottawa cuma satu: dingin, dingin sekali.

Airport Ottawa. Salju dimana-mana.