Saturday, September 07, 2013

Makam Munir di Batu

KETIKA menemani papa saya operasi di rumah sakit RKZ Malang, saya menyempatkan berkunjung ke makam seorang sahabat, pejuang hak asasi manusia, Munir bin Thalib, di Batu, dekat Malang. Saya menghormati Munir. Bila berada dekat Malang, saya selalu menyempatkan diri ziarah ke makam Munir.

Munir, pemuda Arab kelahiran Batu pada 1965, mati diracun dalam penerbangan Garuda Indonesia route Jakarta-Amsterdam pada 7 September 2004. Dia meninggal usia 39 tahun. Masih muda sekali. Saya pribadi mengetahui pembunuhan Munir ketika sedang ikut diskusi panel soal LGBT (Lesbian, Gay, Bisex and Transgender) di Puncak. Sebuah SMS masuk dari Maria Hartiningsih dari harian Kompas bahwa Munir meninggal dalam pesawat Garuda.

Batu nisan Munir Said Thalib dgn keterangan, "human rights activist." Makam Munir terletak persis di sebelah ibunya, Jamilah, yang meninggal lima tahun sesudah pembunuhan anaknya.  Kini pemerintah kota Batu hendak mendirikan monumen buat mengenang Munir maupun korban pelanggaran hak asasi manusia lain di Indonesia. 

Munir banyak berjasa dalam advokasi pelanggaran hak asasi manusia. Dia mendampingi keluarga korban penculikan aktivis dan mahasiswa pada 1997-1998 di Jakarta. Dia juga selidiki penembakan mahasiswa-mahasiswa di Jakarta pada 1998. Dia juga bekerja di Aceh, East Timor dan Papua. Dia terlibat dalam tiga organisasi hak asasi manusia: Lembaga Bantuan Hukum, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Imparsial.


Pada September 2004, dia sedang bersiap untuk berangkat ke Utrecht, kota di Belanda, dimana dia akan kuliah hukum lagi di Utrecht University. Menurut Suciwati, isteri Munir, suaminya kemungkinan meninggal dunia ketika pesawat berada di atas benua Eropa.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji mencari para pembunuh Munir. Dia mengatakan kasus pembunuhan Munir adalah "the test of our history." Saya tidak yakin Yudhoyono benar-benar bersungguh-sungguh ketika mengeluarkan kalimat tsb. Hingga sembilan tahun sesudah pembunuhan Munir, kita belum tahu siapa saja pembunuhnya.

Hujan baru reda ketika adik saya, Hardian Wahyuni, menemani ziarah ke makam Munir pada 7 Juni 2013. Dian mengambil gambar saya depan batu nisan Munir dan ibunya. Saya suka dengan pepohonan di pemakaman ini. Udara sejuk dan bersih.