Saturday, April 20, 2013

Belajar Menulis pada Zaman Internet


Oleh Andreas Harsono
Bahana Mahasiswa

SUATU HARI datang seorang model Jakarta ke tempat saya. Dia tanya bagaimana mengatasi mantan pacar, yang memaki-maki, mengancam santet, serta memukulnya. Dia ketakutan dan lari dari kost. Dia minta tolong ojek diantar ke polisi. Ironisnya, polisi hanya menganjurkan “jalan damai” serta tak mau kasih surat pengantar visum ke dokter.

Pengaduan lain dari seorang perawat asal Jayapura. Kakaknya ditangkap polisi. Kakaknya bawa pisau. Kakaknya ditahan dan dipukuli. Kakaknya dituduh hendak bunuh orang. Kakaknya sebetulnya hendak beli ikan di pasar Depapre, dekat Jayapura. Si perawat bilang, “Di Papua biasa bawa piso untuk potong ikan, potong daging, potong sayur.” Tapi polisi curiga, setiap orang Papua bawa pisau, disangka hendak serang orang Indonesia.

Ada satu kesamaan antara si model dan si perawat. Mereka hanya cerita, cerita, dan cerita … tanpa menulis. Saya anjurkan buatlah kronologi. Buatlah surat pengaduan. Namun mereka sulit menulis laporan tersebut. Si model menulis kronologi dua halaman isinya hanya dua alinea. Si perawat hanya tahu kakaknya kena pasal makar. Alamak! Bawa pisau dituduh makar? Apakah didampingi pengacara saat pemeriksaan polisi? Dia tak tahu.

“Mereka dapat perlakuan sangat kasar sekali. Satu hari satu malam,” kata si perawat.

Pengalaman tersebut bukan barang baru. Saya seringkali berhadapan dengan orang yang dirampas hak-haknya --dari petani kehilangan tanah sampai pendeta kehilangan gereja, dari mubalig Ahmadiyah masjidnya disegel sampai ustad Syiah madrasah dibakar-- namun ketika diminta menulis, diminta bikin laporan, diminta draft surat, perlu berminggu-minggu bahkan tak jarang, mereka patah semangat, lantas tak ada kelanjutan.

Menulis adalah dunia pemikiran. Menulis juga dunia dokumentasi. Menulis adalah membela diri. Menulis adalah memikirkan cara-cara yang benar dan adil untuk membela diri. Menulis juga bisa berguna buat membela hak orang yang dianiaya. Sayangnya, banyak orang, setidaknya di Jakarta, tak bisa menulis.

“Jadi nggak perlu disuruh cerita lagi. Capek ngulang-ngulang cerita yang sama,” kata si model.


SISTEM PENDIDIKAN di Indonesia, celakanya, tak mendidik anak untuk menulis. Al Jazeera bikin program menarik. Judulnya, “Educating Indonesia.” Temuannya, “… why Indonesia's education system is one of the worst in the world.” Mengapa sistem pendidikan di Indonesia salah satu yang terburuk di dunia. Sebabnya, mulai dari kanker korupsi pada Kementerian Pendidikan sampai kurikulum yang membelenggu anak-anak. Pendidikan terlalu sering mengantar siswa ke dunia penuh dikte, penuh hafalan, dan sedikit kesempatan menyusun kata-kata dengan teratur.

Kini zaman internet. Saya percaya internet bisa dipakai untuk mengatasi kebobrokan sistem pendidikan di Indonesia. Internet bisa dipakai untuk memperjuangkan hak asasi manusia. Bila wartawan tak mau menghabiskan waktu guna bantu seorang gadis muda dipukuli mantan pacarnya, dia bisa menulis dan memakai internet guna memperjuangkan hak dia. Baik si perawat maupun si model bisa menulis, mempengaruhi opini publik, menarik perhatian aparat hukum.

Tapi internet juga bisa dipakai menyebarkan kebencian. Internet tak berbeda dengan media apapun: cetak, radio, televisi. Ia bisa dipakai mencari kebenaran tapi juga bisa menyebarkan kebohongan. Bedanya, lewat internet, sekarang setiap orang bisa jadi penerbit dengan bikin blog, entah Blogger atau Wordpress. Setiap orang bisa siaran dengan You Tube atau Vimeo. Setiap orang bisa jadi komentator dengan Facebook atau Twitter. Setiap orang bisa memulai petisi dengan Change.org.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menulis dalam buku Blur: How to Know What's True in the Age of Information Overload bahwa teknologi internet secara revolusioner mengubah dunia informasi. Internet praktis menghilangkan peranan ruang redaksi sebagai gatekeeper alias penjaga gawang informasi. Wartawan kini tak memiliki peranan buat menentukan apa yang perlu diberitakan, apa yang tak perlu. Sebaliknya, teknologi internet menciptakan banyak sampah informasi.

Bila si model dan si perawat tak bisa menulis dengan rapi, dengan logika tersusun, dengan bahasa dingin, isinya juga akan menambah sampah.

Internet tak mengubah makna tentang keperluan informasi yang bermutu. Maksudnya, agar masyarakat bisa mengambil keputusan bermutu buat mengatur kehidupan mereka. Artinya, bila orang hendak memanfaatkan internet –dari Facebook sampai Change.org, dari You Tube sampai Twitter—buat membela hak mereka, mau tak mau, mereka harus belajar menulis dengan baik.

Menulis akhirnya tetap jadi keperluan penting, bahkan makin penting, pada zaman internet.


WARGA kini seharusnya bisa melihat media dengan fungsi baru. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menyebut budaya baru konsumsi media dengan istilah “look forward” sebagai lawan dari budaya lama “look backward.” Dulu media hanya tempat warga duduk menonton atau duduk membaca. Warga hanya bisa memilih apa yang disediakan Metro TV atau disajikan Tempo. Kini warga “look forward” dengan mencari informasi lewat internet, tak terpaku pada Metro TV atau Tempo, tapi bisa terus-menerus pindah website.

Ada delapan fungsi media pada zaman internet, menurut Kovach dan Rosenstiel.

Authenticator –Masyarakat tak melihat wartawan hanya sebagai penyedia informasi. Mereka memerlukan wartawan untuk menerangkan bukti dan dasar untuk memahami mengapa suatu informasi bisa dipercaya.

Sense Maker – Jurnalisme juga harus menerangkan sesuatu masuk akal atau tidak. Kebingungan dan ketidakpastian lebih sering muncul. Masyarakat menjadi kesulitan untuk menyaring mana yang masuk akal, mana propaganda, mana tipu-tipu dst.

Investigator – Wartawan harus terus berfungsi sebagai investigator guna mengawasi kekuasaan serta membongkar kejahatan dalam pelaksanaan pemerintahan.

Witness Bearer –Warga bisa membantu wartawan dengan bekerja sama menjadi saksi kejadian-kejadian penting. Ada potensi menciptakan kemitraan media dengan warga. Disini juga terletak kewajiban masyarakat untuk memberdayakan jurnalisme.

Empowerer –Wartawan memberdayakan warga dengan berbagi pengalaman dan pengetahuan dalam newsgathering. Warga memberdayakan wartawan dengan pengalaman dan keahlian mereka.

Smart Aggregator – Masyarakat memerlukan aggregator cerdas yang rajin menelusuri web serta menawarkan informasi bermutu kepada masyarakat. Saya pribadi memakai twitter @andreasharsono untuk mengusulkan link website yang berguna buat “follower” saya.

Forum Organizer –Jika wartawan membayangkan bahwa tujuan mereka adalah memberi inspirasi kepada masyarakat, maka forum organizer adalah fungsi yang masuk akal guna mendorong masyarakat mengambil keputusan yang bermutu buat perbaikan pemerintahan mereka. Masyarakat memerlukan “alun-alun” dimana mereka bisa belanja informasi dengan lengkap.

Role Model –Kini banyak organisasi berita membuat kelas-kelas jurnalisme untuk warga dan mendidik warga dalam meliput dan menulis. Kovach dan Rosenstiel memuji pendekatan ini namun wartawan harus mengerti bahwa perilaku mereka sekarang masuk ranah publik, bukan hanya laporan-laporan mereka. Mereka juga perlu jadi role model.

Bila seorang warga tahu fungsi baru media, dan dia hendak pakai internet guna menulis, maka dia perlu belajar soal apa yang disebut verifikasi. Setiap informasi harus diverifikasi. Setiap informasi harus akurat. Jangan mengandalkan konon, konon, konon ….

Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima platform dalam verifikasi:
  • Jangan menambah atau mengarang apa pun;
  • Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
  • Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi saat liputan;
  • Bersandarlah terutama pada liputan diri sendiri;
  • Bersikaplah rendah hati dan berpikir terbuka.
Seorang warga juga harus tahu pasal-pasal pencemaran nama baik dalam hukum Indonesia. Ini penting karena Indonesia termasuk salah satu negara yang paling buruk soal kebebasan berekspresi dan masih menganut pidana pencemaran nama baik (criminal defamation). Ada hukum soal internet dimana pencemaran nama baik bisa dihukum penjara maksimal enam tahun atau denda maksimal Rp 1 milyar. Ingat kasus ibu Prita Mulyasari? Dia digugat pidana maupun perdata oleh rumah sakit yang dikecamnya lewat email. Ibu Prita ditahan kejaksaan Tangerang selama 21 hari.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ada sejumlah pasal pencemaran nama baik dengan cakupan terlalu luas dan samar-samar, menurut Human Rights Watch. Pasal-pasal ini melarang warga dengan sengaja mengeluarkan pernyataan yang mencemarkan reputasi orang lain walau, dalam banyak kasus, isinya memang benar. Hukuman penjara akan lebih berat bila pencemaran nama baik dilakukan terhadap para pejabat. Human Rights Watch menganjurkan Indonesia lakukan revisi terhadap pasal-pasal yang jahat ini.

Hukum internasional soal hak asasi manusia memungkinkan suatu negara membatasi kebebasan berekspresi guna melindungi reputasi orang lain. Tapi pembatasan macam ini dibatasi hanya pada masalah yang dianggap penting dan sekhusus mungkin. Ia juga hanya berupa perkara perdata … bukan pidana.

Kini pertanyaannya adalah apakah si model dan si perawat mau belajar menulis, sekaligus mengerti hukum pencemaran nama baik, dan menyadari bahwa internet bukan hanya buat chatting? Internet juga untuk membela hak-hak mereka. Saya kira pertanyaan ini berlaku bukan hanya buat si model dan si perawat. Ini juga berlaku buat Anda.


Andreas Harsono dari Yayasan Pantau, Jakarta, biasa menulis soal hak asasi manusia, jurnalisme, dan media. Dia pernah menjadi murid Bill Kovach di Nieman Foundation on Journalism, Universitas Harvard.

Wednesday, April 17, 2013

Human Rights Watch Statement to the Aceh House of Representatives


Hearing on Proposed “Truth and Reconciliation Commission”
Banda Aceh, April 17, 2013

Mr. Chairman, Members of the House of Representatives, thank you for the opportunity to submit a statement on today’s hearing on the proposal to set up a Truth and Reconciliation Commission in Aceh.

Human Rights Watch is an independent organization dedicated to promoting and protecting human rights around the globe. Human Rights Watch has reported on the human rights situation in Aceh for over 20 years. Our first report, Human Rights Abuses in Aceh, was published in December 1990. We published a series of reports on abuses during the armed conflict by the Indonesian armed forces and other state security forces, and by the armed opposition Gerakan Aceh Merdeka (Free Aceh Movement, or GAM).

Human Rights Watch strongly believes that accountability for past serious international crimes is the foundation for post-conflict reconstruction based on the rule of law and respect for human rights. Impunity for atrocities committed in the past sends the message that such crimes may be tolerated in the future. Peace and justice should be seen as complementary, not contradictory, objectives.

The 2005 Helsinki peace agreement and the 2006 Aceh Governing Law mandate that a truth and reconciliation commission should be established in Aceh. Human Rights Watch recognizes that truth and reconciliation commissions can play a valuable role in addressing past human rights abuses and in establishing facts for victims and the public, here and abroad. However, Human Rights Watch believes that truth and reconciliation commissions should not preclude justice for victims, including efforts to prosecute perpetrators for serious human rights abuses, either by providing immunity or making evidence unavailable or unusable in potential court cases.

Human Rights Watch documented various human rights abuses during the conflict in Aceh. They include:

• Extrajudicial killings
• Attacks on civilians
• Enforced disappearances
• Torture and other ill-treatment
• Sexual violence
• Arbitrary detention and due process violations
• Forced displacement
• Looting and pillage
• Extortion and restrictions on economic activity
• Threats, intimidation, and unlawful restrictions on domestic and international journalists
• Restrictions on freedom of movement
• Arson attacks on schools
• Compulsory night guard duty (jaga malam)

To be credible and effective, the proposed Truth and Reconciliation Commission in Aceh should have a mandate that would allow it to independently examine the actions of both the Indonesian security forces and GAM. It should attempt an impartial documentation of human rights abuses, from the beginning of the conflict in 1976 to the signing of the Helsinki agreement in August 2005. Information should be documented and made public in a manner that would allow it to respond to the needs of victims; to promote healing and reconciliation; to assist efforts to pursue criminal accountability; and to prevent a repetition of the abuses suffered.

The proposed Truth and Reconciliation Commission should make recommendations on improvements to the legal and judicial system to address impunity for past serious violations. It should identify impediments that prevent victims from using legal system to seek redress for human rights abuses perpetrated both during the conflict and since then, and make recommendations to overcome them.

Human Rights Watch believes that the proposed Truth and Reconciliation Commission would be greatly enhanced if the commission’s staff includes women at all levels and persons with expertise in sexual and gender-based violence. These gender advisers should provide gender sensitization training and ensure that the work of the proposed Truth and Reconciliation Commission, including investigations and hearings, are carried out in a sensitive manner. The final report on the findings of the proposed commission needs to give full attention to gender-specific abuses committed during the Aceh conflict.

There are too many victims to recount here. But in closing please allow me to mention the names of some of the victims whose families have still not learned the truth about what happened to their loved ones or obtained justice. The first is Jafar Siddiq Hamzah, who was abducted and killed in August 2000 in Medan. Another victim was Maj.-Gen. (retired) Teuku Djohan, the provincial chairman of then ruling party, Golkar, in Banda Aceh on May 10, 2001, just as he was leaving the city’s main mosque after sunset prayers. Others include Fuadi Mukhtar, and Teungku Usma, and Mak Pri who were killed in May 2001 in Aceh’s Samalanga subdistrict.

We urge you to uncover the truth of what happened to these people.

We wish you success in your discussions and in drafting a law on setting up a Truth and Reconciliation Commission in Aceh.

Andreas Harsono
Researcher
On behalf of Human Rights Watch

For more Human Rights Watch reporting on Indonesia, please visit: http://www.hrw.org/asia/indonesia

More Human Rights Watch Documents About Rights Abuses in Aceh
Aceh at War: Torture, Ill-Treatment, and Unfair Trials (2004)
Aceh Under Martial Law: Inside the Secret War (2003)
Aceh Under Martial Law: Muzzling the Messengers (2003)
Aceh Under Martial Law: Can These Men Be Trusted to Prosecute This War?
The War in Aceh (2001)
Continuing Human Rights Violations In Aceh (1991)
Human Rights Abuses In Aceh (1990)

Masukan untuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh


Rapat Dengar Pendapat soal “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi”
Banda Aceh, April 17, 2013

Bapak Ketua serta para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang terhormat, terima kasih untuk kesempatan dalam dengar pendapat hari ini soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh.

Human Rights Watch adalah organisasi independen untuk promosi dan perlindungan hak asasi manusia. Human Rights Watch sudah memantau pelanggaran hak asasi manusia di Aceh lebih dari 20 tahun. Laporan pertamanya, Human Rights Abuses in Aceh, terbit pada Desember 1990. Kami terus menerbitkan berbagai laporan pada masa konflik, antara militer Indonesia maupun aparat keamanan lainnya, dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka.

Human Rights Watch percaya bahwa akuntabilitas terhadap kejahatan masa lalu adalah fondasi bagi rekonstruksi pasca-konflik dengan acuan pada supremasi hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Impunitas dari kekejaman masa lalu akan menciptakan kesan bahwa kekejaman tersebut dapat toleransi di masa depan. Kami percaya perdamaian dan keadilan harus dilihat sebagai tujuan, yang saling melengkapi, bukan saling berlawanan.

Perjanjian Helsinki tahun 2005 dan UU Pemerintahan Aceh tahun 2006 memberi mandat bahwa sebuah komisi kebenaran dan rekonsiliasi harus dibuat di Aceh. Human Rights Watch sadar bahwa komisi kebenaran dan rekonsiliasi bisa berperan penting dalam menjawab soal pelanggaran hak asasi manusia serta mencari dan menyajikan fakta masa lalu kepada korban dan masyarakat, di sini maupun di luar negeri. Namun, Human Rights Watch percaya bahwa komisi kebenaran dan rekonsiliasi tak boleh mencegah korban untuk mencari keadilan --termasuk upaya pidana terhadap para pelaku pelanggaran hak asasi manusia—lewat impunitas atau membuat barang bukti tak bisa diakses dan dipakai dalam sidang pengadilan.

Human Rights Watch merekam berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Aceh. Mereka termasuk:

• Pembunuhan ekstrajudisial
• Penyerangan terhadap kaum sipil
• Penghilangan paksa
• Penyiksaan dan Perlakuan sewenang-wenang
• Kekerasan seksual
• Penahanan sewenang-wenang dan pelanggaran proses hukum
• Pemindahan paksa
• Penjarahan (looting) dan perampasan saat perang (pillage)
• Pemalakan dan pembatasan kegiatan ekonomi
• Ancaman, intimidasi, dan pembatasan yang tak baik terhadap wartawan domestik maupun internasional
• Pembatasan ruang bergerak
• Pembakaran sekolah
• Kewajiban jaga malam

Agar kredible dan efektif, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh harus mendapat mandat dimana ia bisa secara independen memeriksa berbagai tindakan, baik dari aparat keamanan Indonesia maupun pihak GAM. Ia harus bisa berupaya membuat dokumentasi yang imparsial, tak berat sebelah, terhadap berbagai pelanggaran hak asasi manusia, sejak konflik dimulai pada 1976 hingga penandatangan perjanjian Helsinki pada Agustus 2005. Informasi tersebut harus diarsipkan serta disiarkan kepada masyarakat sedemikian rupa sehingga ia bisa memenuhi keperluan emosional para korban; promosi proses kesembuhan dan rekonsiliasi; membantu upaya menuntut pertanggungjawaban para pelaku; dan mencegah kemungkinan terjadinya pengulangan atas pelanggaran serupa.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga harus membuat rekomendasi perbaikan sistem hukum dan kehakiman (judiciary) agar bisa menjawab persoalan impunitas masa lalu dalam pelanggaran serius. Ia harus identifikasi macam-macam hambatan bagi para korban dalam memakai jalur hukum guna mencari keadilan, baik terahadap pelanggaran masa konflik atau sesudahnya, dan membuat rekomendasi bagaimana mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

Human Rights Watch percaya bahwa ide pendirian Komisi Kebenaran dan Rekonsialiasi akan lebih kuat bila staf mereka meliputi kaum perempuan, di berbagai level, serta orang yang punya kepakaran bidang kekerasan seksual (sexual and gender-based violence). Para penasehat gender ini harus memberi pelatihan sensitif gender dan memastikan bahwa pekerjaan komisi, termasuk investigasi dan dengar pendapat, dilakukan dengan sensitif gender. Laporan akhir dari komisi perlu memberi perhatian terhadap pelanggaran dan kekerasan seksual (gender-specific abuses) yang dilakukan zaman konflik Aceh.

Banyak sekali korban yang harus disebutkan namanya. Kami menutup pernyataan ini dengan menyebut nama beberapa korban dimana keluarga mereka masih belum tahu sepenuhnya bagaimana orang-orang yang mereka cintai dibunuh dan masih menunggu keadilan. Pertama adalah Jafar Siddiq Hamzah, yang diculik dan dibunuh pada Agustus 2000 di Medan. Korban lain adalah May. Jenderal Haji Teuku Djohan, ketua Golkar di Banda Aceh, pada 10 Mei 2001, dibunuh ketika baru pulang dari sholat di masjid raya. Lainnya termasuk Fuadi Mukhtar, dan Teungku Usma, serta Mak Pri yang dibunuh Mei 2001 di Samalanga.

Kami mendorong Anda untuk mencari kebenaran terhadap apa yang terjadi para orang-orang tersebut.

Kami berharap Anda berhasil dalam mendiskusikan dan membuat qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh.


Andreas Harsono
Human Rights Watch


Untuk membaca liputan Human Rights Watch soal Indonesia, silahkan mengunjungi: http://www.hrw.org/asia/indonesia

Dokumen Human Rights Watch soal pelanggaran di Aceh
Aceh at War: Torture, Ill-Treatment, and Unfair Trials (2004)
Aceh Under Martial Law: Inside the Secret War (2003)
Aceh Under Martial Law: Muzzling the Messengers (2003)
Aceh Under Martial Law: Can These Men Be Trusted to Prosecute This War?
The War in Aceh (2001)
Continuing Human Rights Violations In Aceh (1991)
Human Rights Abuses In Aceh (1990)

Monday, April 15, 2013

12 Tahun Mengajar Narasi

PADA
awal tahun 2000, dari sebuah flat kecil di Cambridge, dekat Boston, saya melontarkan sebuah diskusi kecil buat rekan-rekan di Jakarta. Intinya, saya bertanya mengapa di Jakarta, tak ada media dengan ruang buat naskah panjang? Istilah kerennya, "narasi" sebagai terminologi yang membedakan struktur naskah tersebut dengan "feature" maupun "piramida terbalik."

Diskusi jadi panjang. Ada tanggapan dari Atmakusumah Astraatmadja, Nirwan Dewanto dan seterusnya. Harap maklum. Saya sedang senang diskusi karena lagi belajar di Universitas Harvard. Banyak waktu buat baca buku dan diskusi. Singkat kata, beberapa kawan, termasuk Janet Steele, dosen Universitas George Washington, menawarkan saya untuk mengajar genre tersebut di Komunitas Utan Kayu. Bahkan ada yang usul mengapa tak bikin majalah dengan genre tersebut?

Pertengahan 2001, dengan sponsor dari Kedutaan Amerika Serikat, guna membayari tiket pesawat Steele, kursus pun dimulai. Steele baru saja selesai masa mengajar di Universitas Indonesia. Dia tampaknya jatuh cinta dengan Indonesia. Kursus ini, plus riset soal majalah Tempo, membuat Steele tetap datang ke Jakarta setiap liburan semester. Belakangan, Janet Steele menerbitkan risetnya dengan buku Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia.

Dan kursus ini ternyata berjalan terus, diadakan oleh Yayasan Pantau. Ia sudah berjalan tanpa sponsor, hanya berdasarkan iuran, atau terkadang dapat sponsor untuk beberapa beasiswa, dan tak terasa kini sudah 12 tahun berjalan.

Ia rutin diadakan di Jakarta, minimal setahun dua kali, tapi juga di berbagai kota lain: Ambon, Banda Aceh, Bandung, Davao City, Ende, Jayapura, Makassar, Manado, Pontianak, Timika dan lainnya. Kini kami sedang bersiap bikin angkatan XXI di Jakarta: kursus jurnalisme sastrawi.

Saturday, April 06, 2013

Reuni Wartawan Jakarta


SELALU menyenangkan bertemu kawan-kawan lama. Bicara soal kenangan 20 tahun lalu. Bicara soal berat badan. Atau sekedar mengenang cerita konyol masa lalu, mulai dari kebiasaan mengobrol di McDonald's Sarinah --satu-satunya restoran McDonald's di Jakarta pada awal 1990an-- hingga liputan-liputan edan zaman Presiden Soeharto. Salah satu puncak dari liputan tersebut, tentu saja, adalah krisis ekonomi 1997 yang disusul mundurnya Soeharto pada Mei 1998.

Pada 1993-1994, saya bekerja untuk harian The Jakarta Post dan kenal dengan cukup banyak wartawan muda. Saya bergabung bersama sembilan reporter lain dan bersama-sama dididik selama tiga bulan, termasuk Rudy Madanir (kaos merah), Imanuddin Razak (baju putih) dan Yoko N. Sari (kaos merah tua).


Sabtu ini kami berkumpul di Jakarta, di rumah Chrisinno Icn (kaos hijau), juga sobat di Jakarta Post namun beda angkatan. Ada juga Ida Khouw (baju putih, celana hitam), redaktur Jakarta Post dan "adik kelas" kami. Reuni ini diadakan bukan hanya untuk alumni Jakarta Post namun, dalam kacamata saya, untuk kalangan wartawan yang menulis dalam bahasa Inggris di Jakarta. Entah mereka yang bekerja untuk Jakarta Post atau Associated Press, AFP, Kyodo, Reuters dan lainnya.

Sensen Gustafsson, salah seorang rekan kami yang tinggal di Stockholm, berjasa dengan membuat sebuah group Facebook dan mengundang reuni. Chrisinno menyebut Sensen Gustafsson "sukses mengerahkan massa." Kami hanya bercanda, makan siomay, bakmi goreng, nasi goreng, pudeng dan lain-lain.


Peserta reuni datang gelombang pertama (dari kiri ke kanan): Kanthi Koeniger, Tasha Tampubolon, Ezki Suyanto, Sensen Gustafsson, Evi Suryati Tambunan, Yusi Parianom (kepala hanya terlibat sebagian), Ida Khouw, Lily G Nababan, Oka Barta Daud (kaos kuning), Chrisinno Icn, Christine Tjandraningsih, Yoko Sari, Lia Natalia, Lenita Sulthani, Imanuddin Razak (tak terlihat), Rudy Madanir dan Andreas Harsono.

Kini ada yang bekerja sebagai wartawan freelance. Ada yang jadi anggota Komisi Penyiaran Indonesia. Ada sastrawan. Ada pegawai lembaga internasional. Saya terkadang tak percaya bahwa sudah 20 tahun berlalu sejak kami mulai sama-sama bekerja, liputan di lapangan. Kini semua terserak ke berbagai kota: Jakarta, London, New York, Singapura, Stockholm dan lain-lain.

Namun cerita soal Mei 1998 selalu menarik untuk diulang kembali. Ia adalah liputan yang membuat generasi ini sebagai saksi sebuah momen penting dalam sejarah Indonesia.

Thursday, April 04, 2013

Pernyataan Keluarga Korban Cebongan


Kami keluarga korban penyerangan biadab di LP Cebongan, Sleman Yogyakarta pada 23 Maret 2013 kecewa atas berbagai pernyataan-pernyataan yang berkembang di publik. Dalam suasana duka, kami membaca dan menyaksikan pernyataan-pernyataan berbagai pihak dalam merespon peristiwa tersebut. Kami menilai, berbagai pernyataan tersebut sangat tidak etis, tendensius dan tidak berprikemanusiaan. Kami pun menilai peristiwa penyerangan itu merupakan kejahatan kemanusiaan yang merendahkan nilai-nilai dan martabat kemanusiaan.

Sebagai warga negara, kami merasakan negara telah absen dalam peristiwa di LP Cebongan, tempat dimana seharusnya setiap warga negara merasakan aman dibawah perlindungan aparatusnya. Kami kecewa karena negara tidak hanya gagal melindungi namun pembiaran yang terjadi sudah dimaksudkan sebagai bentuk keterlibatan dalam membantai warga negaranya sendiri.

Kami mengetahui dari pemberitaan, bahwa saat ini pihak kepolisian tengah melakukan penyelidikan atas peritiwa tersebut. Demikian pula pihak TNI melalui KASAD telah membentuk tim investigasi internalnya. Tak ketinggalan Komnas HAM yang telah memulai penyelidikan dengan mengunjungi tempat peristiwa dan memeriksa saksi-saksi.

Kami keluarga menyambut baik atas inisiatif itu, meskipun bagi kami, respon yang ada lebih lambat dari apa yang menjadi harapan kami. Ditengah para pihak tersebut bekerja, kami menerima dan mendengar isu-isu, kami membaca provokasi-provokasi, dan kontra informasi yang secara sistematis disebarkan diberbagai segmen masyarakat.

Kami kemudian ragu atas kerja profesional tim yang dibentuk. Berbagai informasi dan dokumen penyelidikan yang seharusnya di jaga kerahasiaannya justeru berdedar dan menjadi bahan provokasi ke publik.

Kami keluarga korban menuntut kebenaran atas peristiwa tersebut, bukan kesimpulan dan opini yang jauh dari fakta. Dalam suasana duka yang mendalam, atas kepergian ke-empat saudara/keluarga, kami menyatakan:

1. Pentingnya segera Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono membentuk dan memimpin Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) atas kasus penyerangan di LP Cebongan 23 Maret 2013;

2. Menuntut pertanggungjawaban Kepala Kepolisian Daerah DIY atas kebijakan dan ketidakmampuannya memberi perlindungan kepada para tahanan di LP Cebongan yang juga merupakan tahanan titipan Polda DIY. Kami menilai Kapolda DIY patut diperiksa oleh TGPF yang dibentuk olehh Presiden karena indikasi pembiaran atas ancaman yang telah diketahuinya.

3. Meminta Presiden sebagai panglima tertinggi TNI untuk memerintahkan kepada pimpinan TNI membuka diri dan bekerjasama kepada TGPF dan segera memerintahkan kepada panglima TNI untuk membubarkan tim investigasi internal TNI yang dibentuk oleh KASAD. Kami menilai tim internal TNI yang terbentuk tidak mampu memberi kebenaran atas peristiwa yang terjadi karena faktor independensi dalam penyelidikan.

Demikian pernyataan ini kami sampaikan, atas perhatiannya diucapkan terimakasih.

Taman Nostalgia, Gong Perdamaian Kupang, 4 April 2013

Victor Manbait
Keluarga Korban Yohanes Juan Manbait
Yani Rohi Riwu
Keluarga Korban Gamaliel Yermianto Rohi Riwu
Albert Yohanes
Keluarga Korban Hendrik Benyamin Sahetapy Engel
Yohanes Lado
Keluarga Korban Adrianus Chandra Galaja

Contact person Victor Manbait 0852-28048248

Wednesday, April 03, 2013

Kursus Jurnalisme Sastrawi XXI

Jakarta, 3–14 Juni 2013

Kursus Jurnalisme Sastrawi pada 2011 di Yayasan Pantau, Jakarta. Peserta datang dari Aceh, Ambon, Jakarta, Manado, Pontianak, Pekanbaru, Surabaya dan sebagainya. Wilson (kaos merah muda), penulis buku A Luta Continua, jadi guest speaker

Bagaimana cara menulis panjang? Bukankah relevansi media cetak makin terletak pada kemampuannya menyajikan analisis?

Pada 1973 di New York, Tom Wolfe mengenalkan sebuah genre baru: New Journalism. Ia mengawinkan disiplin keras dalam jurnalisme dengan daya pikat sastra. Ibarat novel tapi faktual. Genre ini mensyaratkan liputan dalam, namun memikat. Genre ini kemudian dikenal dengan nama narative reporting atau literary journalism. Menurut Nieman Reports, sejak 1980an, suratkabar-suratkabar di Amerika banyak memakai elemennya ketika kecepatan televisi memaksa tampil dengan laporan mendalam.

Di Jakarta, genre ini diperkenalkan lewat sebuah kursus pada Juli 2001. Mula-mula, idenya hanya bikin dua kali namun permintaan tetap datang. Kelas-kelas baru pun dibuat setiap tahun. Peserta datang dari berbagai kota, dari Banda Aceh hingga Perth, dari Pontianak hingga Kuching, dari Ende hingga Kupang. Alumninya, kini mulai bermunculan. Ada yang menulis buku. Ada yang jadi pemimpin redaksi. Ada yang sekolah lanjut.

Kursus ini dibuat dua minggu. Peserta adalah orang yang biasa menulis untuk media. Setidaknya berpengalaman sekitar lima tahun. Peserta maksimal 16 orang agar pengampu punya perhatian memadai buat semua peserta. Calon peserta diharapkan mengirim biodata dan contoh tulisan agar pengampu mengetahui kemampuan dasar peserta lebih awal. Biaya pendaftaran Rp 3 juta. Biaya tersebut sudah termasuk buku dan materi kursus non buku sekitar 200 halaman serta coffe break dan makan siang. Bisa transfer ke rekening Pantau: Bank Mandiri, cabang Kebayoran Lama: 128.00.0435019.2.

INSTRUKTUR

Janet Steele -- Profesor dari George Washington University, spesialisasi sejarah media, mengajar mata kuliah narrative journalism. Menulis buku The Sun Shines for All: Journalism and Ideology in the Life of Charles A. Dana dan Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia. Saat ini dia sedang menulis tentang jurnalisme dan Islam.

Andreas Harsono -– Peneliti, wartawan, salah satu pendiri Yayasan Pantau, anggota International Consortium of Investigative Journalists, mendapatkan Nieman Fellowship di Universitas Harvard. Menyunting buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat serta menulis antologi "Agama" Saya Adalah Jurnalisme. Kini menyelesaikan buku A Nation in Name: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism.

SILABUS

MINGGU PERTAMA -- JANET STEELE

Senin, 3 Juni 2013 pukul 10:00-12:00 – Pembukaan: perkenalan, membicarakan silabus dan membagi tugas. Diskusi tentang kemungkinan jurnalisme sastrawi untuk keperluan suratkabar, lebih praktis, serta sejarah dan perbedaan antara "new," “literary" dan "narrative" journalism.

Bacaan: “The Girl of the Year” oleh Tom Wolfe; “Dua Jam Bersama Hasan Tiro” oleh Arif Zulkifli; “A Boy Who Was Like a Flower” oleh Anthony Shadid, “Bearing Witness in Syria: A Reporter’s Last Days,” oleh Tyler Hicks, dan “Kegusaran Tom Wolfe” oleh Septiawan Santana Kurnia.

Senin, 3 Juni 2013 pukul 13:00-15:00-- Diskusi lanjutan tentang definisi jurnalisme sastrawi, dari Tom Wolfe hingga Mark Kramer, dan pengaruhnya pada perkembangan surat kabar mainstream di Amerika Serikat.

Tugas untuk hari Rabu: Menulis tentang sebuah peristiwa yang disaksikan. Mulai dengan adegan, tanpa "penjelasan" bersadarkan karya Tom Wolfe "The Girl of the Year." Topiknya bisa apa saja tapi yang bisa memikat pembaca untuk membaca narasi itu. Mohon tak membuat lebih panjang dari dua halaman, dua spasi agar semua peserta bisa mendapat bagian membacakan karyanya.

Rabu, 5 Juni 2013 pukul 10:00-12:00 -- Diskusi tentang pekerjaan rumah.

Bacaan: “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” oleh Chik Rini; sebagian dari buku “In Cold Blood” karya  Truman Capote dan kliping dari harian The New York Times pada 1959 “Wealthy Family, 3 of Family Slain.”

Rabu, 5 Juni 2013 pukul 13:00-15:00 -- Diskusi tentang immersion reporting berdasarkan karyaTruman Capote “In Cold Blood” serta membandingkannya dengan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.”

Tugas untuk hari Jumat: Tulislah sebuah narasi dengan gaya orang pertama (“saya” atau “aku” atau “abdi” atau “gua” atau lainnya) untuk menggambarkan sebuah adegan. Gunakan model “Buru, Menziarahi Negeri Penghabisan” oleh Amarzan Loebis, atau ”Bearing Witness in Syria,” oleh Tyler Hicks, dimana penulis memasukkan dirinya dalam laporannya. Bahan ini akan dibacakan di depan kelas. Panjang maksimal dua halaman, dua spasi.

Jumat, 7 Juni 2013 pukul 10:00-12:00 -- Diskusi tentang pekerjaan rumah yang dibuat berdasarkan “Buru, Menziarahi Negeri Penghabisan” serta persoalan kata “saya.”

Bacaan: “Kehidupan Pengungsi Sampit di Pasar Keputran” oleh Marta Nurfaida, “It’s an Honor” oleh Jimmy Breslin, “Buru, Menziarahi Negeri Penghabisan” oleh Amarzan Loebis.

Jumat, 7 Juni 2013 pukul 13:00-15:00 -- Diskusi tentang persoalan struktur narasi, dengan contoh ”Kehidupan Pengungsi Sampit di Pasar Keputran,”dan bagaimana memanfaatkan narasi dalam berita hangat (breaking news) dengan contoh “It’s an Honor” oleh Jimmy Breslin.

Sabtu, 8 Juni 2013 pukul 13:00-15:00
Diskusi jurnalisme pada awal Orde Baru bersama Rahman Tolleng, pemimpin redaksi mingguan Mahasiswa Indonesia (Bandung), salah satu jurnal menarik dan berpengaruh, pada 1966-1974. Dia ikut mendirikan harian Suara Karya milik Golkar.

MINGGU KEDUA – ANDREAS HARSONO

Senin, 10 Juni 2013 pukul 10:00-12:00 -- Diskusi tentang dasar-dasar dan etika jurnalisme. Pedomannya, The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.

Bacaan: Buku Sembilan Elemen Jurnalisme terjemahan karya Kovach dan Rosenstiel disediakan dalam paket. Ada resensinya oleh Andreas Harsono. “Media Bias in Covering the Tsunami in Aceh” karya Andreas Harsono.

Senin, 10 Juni 2013 pukul 13:00-15:00 –Diskusi soal jurnalisme sastrawi, membedakan mana yang fakta dan mana yang fiksi, tujuh pertimbangan dalam genre ini.

Bacaan: “Kegusaran Tom Wolfe” oleh Septiawan Santana Kurnia; “Ibarat Kawan Lama Datang Bercerita” oleh Andreas Harsono dalam buku Jurnalisme Sastrawi; laporan-laporan dalam Nieman Narrative Journalism Conference.

Tugas untuk hari Rabu: Perhatikan sesuatu dilingkungan Anda. Bikin deskripsi dengan padat. Manfaatkan penciuman, pendengaran, warna, gerakan, kasar-halus, kontras (lucu, aneh, menarik) dan sebagainya. Hindarkan klise macam “nyiur melambai” atau “angin sepoi-sepoi.” Bikin deskripsi yang akan merampas perhatian pembaca! Maksimal satu halaman. Bacalah ”Reporting in the key to good journalism” soal push up oleh Steven A.Holmes.

Rabu, 12 Juni 2013 pukul 10:00-12:00 – Diskusi struktur narasi dengan contoh “Hiroshima” karya John Hersey.

Bacaan: “Hiroshima” oleh John Hersey; “Menyusuri Jejak John‘Hiroshima’ Hersey” oleh Bimo Nugroho.

Rabu, 12 Juni 2013 pukul 13:00-15:00– Diskusi tentang sumber anonim dan teknik interview. Berlatih interview dengan bantuan video dan layar televisi.

Bacaan: “Tujuh Kriteria Sumber Anonim”; “Ten Tips for Better Interviews

Tugas untuk hari Jumat: Carilah seseorang yang menarik serta wawancarailah dia. Gunakan wawancara itu guna membuat deskripsi dan dialog. Pilih kalimat-kalimat yang bernas, memikat, indah, kuat serta menyentak. Maksimal satu halaman. Pikirkan dampak dari setiap kalimat dalam mengikat emosi pembaca.

Jumat, 14 Juni 2013 pukul 10:00-12:00 – Satu isu namun muncul dalam tiga pendekatan. Isunya Aceh. Perhatikan beda ketiga struktur.

Bacaan: “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah; “Republik Indonesia Kilometer Nol” karya Andreas Harsono; “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini.

Jumat, 14 Juni 2013 pukul 13:00-15:00 – Liputan agama dan meningkatnya serangan kepada minoritas agama. Mengapa dan bagaimana meliputnya?

Bacaan: ”Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia” oleh Human Rights Watch. Bila tak sempat baca laporan panjang tsb, bisa baca ringkasannya. Buat perbandingan, silahkan baca ”The Double Game” karya Lawrence Wright.

Informasi lebih lanjut dan pendaftaran, hubungi:

Imam Shofwan
Mobile: +6281392352986
Office: +62 21 7221031
Email: bung.imam@gmail.com