Sunday, October 23, 2011

Muara Lembu


Muara Lembu adalah tempat dimana orang biasa membiarkan kerbau mereka merumput. Ada ratusan kerbau dibiarkan makan, minum dan istirahat. Saya tak pernah melihat pemandangan ini. Kami main ke Muara Lembu, mengambil video kerbau, sungai serta padang rumput luas. Herman Yanuar, Lovina, Aang Ananda Suherman, Yaya Nurul Fitria dan Rubianto Lee bergurau ketika tercium bau kotoran kerbau ... atau baru lain ya?

Mereka semua mahasiswa dari Universitas Riau, Pekanbaru. Suka bergurau. Suka bergaya. Suka diskusi. Bercanda dari pagi hingga malam.

Rubianto Lee berasal dari Bagansinembah, Riau. Dia suka main musik dan seorang drummer. Kini belajar peternakan. Menyenangkan bisa bicara dengan orang yang tahu soal pertanian dan peternakan. Lebih asyik lagi dia juga musikus. I always enjoy my time with these students.

©Andreas Harsono

Thursday, October 20, 2011

Crackdown in Abepura


On October 19, 2011, Indonesian police and the army fired warning shots to disperse approximately 1,000 Papuans gathered for a peaceful pro-independence demonstration in the Papua provincial capital, Jayapura, after one of the leaders read out the 1961 Papua Declaration of Independence. In an ensuing crackdown by the security forces on the demonstrators, at least three people were killed and dozens were injured. Witnesses said several had gunshot wounds.


At about 2:30 p.m. on October 19, at the “Third Papuan Congress,” Forkorus Yaboisembut, chairman of the Papuan Customary Council, read out a 1961 Declaration of Independence, and said that he and Edison Waromi, the president of the West Papua National Authority, had been elected by the Congress as president and prime minister respectively of the “Democratic Republic of West Papua.”

About 30 minutes later, the event concluded and the crowd started to disperse, but about 1,000 people remained in the field, talking, and socializing. At approximately 3:30 p.m., the police and military, who had deployed anti-riot trucks and surrounded the field since midnight the night before, began firing military assault weapons over the crowds and into the air.

Witnesses said that most of the people in the field began running. Others stopped and surrendered, putting their hands up. The police then arrested approximately 300 people, ordering them to strip down to their underwear. Witnesses say that security forces pistol-whipped or beat those they arrested with rattan canes and batons, resulting in several injuries.

Many others fled into the woods near the field, with some using a road by a nearby school and military outpost. Witnesses said the police and military forces followed into the woods and there arrested numerous others.

The three reported deaths are:
  • Daniel Kadepa, 25, a law student at Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Umel Mandiri. A witness said that Kadepa died from gunshot wounds to the head after soldiers fired on him as he was running away.
  • Max Asa Yeuw, 35, a member of the Penjaga Tanah Papua (Papua Land Guard or PETAPA).
  • Yakobus Samansabra, 53, a member of PETAPA, had bullet wounds to his torso, reportedly in the back.
  • Several other PETAPA members had gunshot wounds.

Sunday, October 16, 2011

Saidatul Fitriah di Lampung


Aku diundang hadir dalam acara ulang tahun Aliansi Jurnalis Independen di Bandar Lampung. Majalah mahasiswa Teknokra mengundang aku datang ke acara mereka dimana Teknokra dan AJI Lampung memperingati kehidupan almarhum Saidatul "Atul" Fitriah dari Teknokra. Mereka memberikan Anugerah Saidatul Fitriah.

Pada 28 September 1999, reporter Atul ditugaskan Teknokra mengambil foto sebuah demonstrasi mahasiswa di Universitas Bandar Lampung. Menurut Juwendra Asdiansyah, redaktur Teknokra yang menugaskan Atul, Atul dipukul kepalanya oleh aparat keamanan.

Di rumah sakit, Atul mengatakan bahwa dia merasa sudah diincar aparat saat liputan. Menurut hasil rontgen, tengkorak Atul cekung melengkung, akibat pukulan benda tumpul. Atul meninggal di rumah sakit Abdul Moeloek pada 3 Oktober 1999. Polisi Lampung tak pernah melakukan investigasi serius terhadap kematian Atul. Alasan mereka kurang bukti.

Teknokra menginapkan aku di sebuah villa di pinggiran kota Bandar Lampung. Pagi hari ketika bangun aku mendapatkan pemandangan mengagumkan. ©Andreas Harsono

AJI Lampung dan Teknokra ingin ada liputan serius terhadap kematian Atul. Sudah 12 tahun berlalu dan belum ada jawaban terhadap kematian wartawan mahasiswa ini. AJI Lampung juga mengadakan Anugerah Saidatul Fitriah.

Juwendra Asdiansyah, kini bekerja untuk Tribun Lampung, tahu banyak soal kejadian tersebut. Mereka minta aku pidato pada malam ulang tahun tersebut. Aku kira memang harus diupayakan dana dan team guna menyelidiki ulang kematian Atul.

Tuesday, October 11, 2011

In Memoriam: Pak Zul

BEBERAPA saat sesudah pembredelan Detik, Editor dan Tempo, saya diperkenalkan oleh Goenawan Mohamad kepada koleganya: Zulkifly Lubis. Dia salah satu direktur majalah Tempo, biasa dipanggil Pak Zul atau ZL. Kesannya, ZL lebih banyak bekerja dalam manajemen Tempo, Temprint maupun Grafiti. Urusannya, lebih banyak soal uang, gedung, mobil dan lain-lain.

Beberapa bulan kemudian, Januari 1995, enam wartawan Tempo, termasuk GM, ZL dan Toriq Hadad, seorang redaktur Tempo, serta beberapa kenalan mereka, termasuk Ashadi Siregar (Yogyakarta) dan Muhammad Sunjaya (Bandung), mendirikan Institut Studi Arus Informasi. Tujuannya, wahana kampanye kebebasan pers di Indonesia. 

GM menjadi ketua. ZL menjadi bendahara. Toriq Hadad jadi direktur program. Kantornya, di Jalan Utan Kayu 68-H, tempat yang baru dibeli oleh Tempo. Mereka mengajak beberapa wartawan muda, termasuk saya, ikut serta. Saya diminta mengurus administrasi dengan berbagai lembaga dana.

United States Agency for International Development, salah satu lembaga pendana yang membantu ISAI, minta saya ikut kursus manajemen NGO di Brattleboro, Vermont. Sebulan di Vermont, saya kembali ke Jakarta, dan November 1995, kami mulai bekerja mengurus organisasi.

Alamak! 

Manajemen NGO tak bisa dipelajari hanya sebulan. ZL membimbing kami mengatur organisasi. Dia membuat sistem keuangan, personalia, pembelian dan lain-lain. Gerakan perlu logistik rapi. ZL mengatur semua menjadi rapi walau orang-orang yang kami hadapi dengan background aktivis, seniman, wartawan dan lain-lain. Kepala bisa pecah mengatur orang dengan talenta bermacam-macam. 

Pengalaman ZL sebagai direktur Tempo, tentu saja, sangat membantu pembuatan sistem manajemen ISAI, belakangan, juga Teater Utan Kayu dan Salihara. Namun ZL bukan finance figure steril. Dia mengerti perjuangan demokrasi. Saya melihat selama delapan tahun bekerja dengan mereka, GM adalah figur pemimpin. ZL adalah figur palang pintu.

ZL sering bilang pada saya, bahwa kami perlu “mengamankan” GM. 

Bila keputusan bersama sudah dibuat dan GM sudah mengambil keputusan, ZL minta semua barisan rapi menjalankan keputusan itu. Ini perjuangan menegakkan demokrasi, kebebasan pers dan masyarakat madani di Indonesia. Khusus soal keuangan, ZL tegas sekali.

ZL kelahiran Medan 1944, putra HM Dahlan Lubis, seorang pedagang. Mungkin background keluarga pedagang Batak ikut menjadikan dia tahu betapa uang harus diatur transparan. Dia sering meledek orang yang tak bayar utang. Dia jengkel sekali dengan orang yang berutang pada perusahaan-perusahaan dimana dia bekerja dan tak membayar. 

Tahun 1996, ketika rezim Presiden Soeharto menggulingkan Megawati Soekarnoputri, sebagai ketua Partai Demokrasi Indonesia, media umum makin ketakutan. Sebagian juga makin terpengaruh pola pandang rezim. 

Kami memutuskan bikin Blok M, organisasi wartawan bawah tanah. Kalau di Jawa saja begitu, entah bagaimana penderitaan di daerah macam Acheh, Papua Barat dan Timor Leste. Kami memutuskan kerja sama dengan organisasi sipil di Acheh, Papua Barat dan Timor Leste.

ZL mengatur sewa ruang, beli komputer, sewa mesin fotokopi. ZL atur agar satu unit dan unit lain bisa bekerja independen. Sistem dibikin tapi cukup flexible. Namun, ZL juga mengerti bahwa dia sendiri tak boleh tahu dimana Blok M berada. 

Dia minta saya dan kawan-kawan mencari tempat. ZL percaya dan teken uang sewa. 

Blok M bekerja menerbitkan media alternatif. Mulai dari percetakan hingga internet.

Tak disangka, krisis moneter menerpa Asia pada awal 1997. Saat dolar menguat terhadap rupiah, ZL minta saya merupiahkan dana simpanan ISAI. Jual dolar dan memasukkan ke rupiah. Ini peluang mendapatkan bunga deposito. Sebab, dana ISAI, yang disimpan—karena belum semua program dijalankan -- tak dapat bunga bila menganggur. Deposito berbunga hampir 50 persen. Dolar naik dari Rp 2,300 menjadi Rp 7000. Mei 1998, ketika Presiden Soeharto mundur, berbekal bunga bank lumayan besar dan tambahan dana pribadi GM, kami membeli tanah dan membangun gedung Teater Utan Kayu.

Beberapa hari sesudah Soeharto mundur, ZL tampak senang sekali. 

Dia traktir saya makan, "Apa saja yang you suka!"

Sesudah Presiden Soeharto turun, gerakan kekerasan atas nama Islam, mulai merebak. Bom meledak di berbagai tempat. Fatwa-fatwa sempit bermunculan. Kaum minoritas dianiaya. Utan Kayu, yang berkembang sebagai tempat dimana keberagaman dirayakan, termasuk sasaran kekerasan.

ZL ternyata turun tangan juga. Sejak 1970an, ketika dia kuliah di Jogjakarta dan bersahabat dengan pendeta Th. Sumartana, ZL bergabung dengan Interfidei, organisasi yang mempromosikan dialog antar iman. ZL berpendapat, agama harus dipisahkan dari politik. Dia berpendapat, pendirian negara Islam adalah politik basi. Ini menarik kalau saya ingat HM Dahlan Lubis adalah aktivis Masjumi, partai besar yang kampanye “negara Islam.”

Pada 2008, ZL ikut teken pernyataan Aliansi Kebangsaan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Tujuan AKKBB adalah mencegah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, untuk membuat aturan yang diskriminasi terhadap kaum minoritas agama, terutama Ahmadiyah. Sayang, SBY tidak mau mendengar pendapat AKKBB. Dia mengeluarkan keputusan diskriminasi Ahmadiyah pada Juni 2008. Dampaknya, kekerasan terhadap kaum Ahmadiyah meningkat drastis.

Saya mulai sering menulis pembunuhan terhadap kaum Ahmadiyah, penutupan macam-macam gereja, penjara untuk aktivis Bahai dan lain-lain. Setiap kali kami bertemu, ZL tanya bagaimana perkembangan Ahmadiyah. Terakhir kami bertemu di rumah sakit di Jakarta dimana ZL dirawat karena kanker paru-paru. Saya cerita soal kesulitan Ahmadiyah. Dia memegang tangan saya. Dugaan saya, dia merasa prihatin dengan makin meluasnya diskriminasi terhadap orang Ahmadiyah.

Subuh, 11 September 2011, saya mendapat kabar dari Irawan Saptono, direktur ISAI, bahwa ZL meninggal dunia. Kanker paru-paru penyebabnya. Dia meninggal dalam usia 67 tahun.

Seorang kawan baik sudah pergi jauh. Sore hari, saya berada di kuburan Layur, Rawamangun, ikut mengantar ZL. Ada banyak kawannya hadir disana. Saya mengenangnya sebagai seseorang yang bekerja dalam diam. Naluri ZL adalah naluri seorang pejuang. Sore itu adalah suatu sore penghormatan buat seorang pejuang kemanusiaan.

Naskah ini dibuat untuk antologi Zulkifly Lubis 1944-2011: Sahabat Sepanjang Hayat. Andreas Harsono ikut mendirikan Institut Studi Arus Informasi pada Januari 1995 bersama Zulkifly Lubis.