Thursday, January 27, 2011

Indonesia Antara Fiksi dan Fakta


Muzakkir Abdullah, an Acehnese peasant of hamlet Seumirah, Nisam, was found dead in June 2003. Several Indonesian soldiers abducted him earlier that day. His sisters found his dead body. Indonesian military commander Major Gen. Bambang Darmono kicked Reuters photographer Tarmizy Harva, who took this photo, out of Aceh. But who killed Muzzakir?

Sebuah Kuburan, Sebuah Nama
James Richardson Logan menciptakan terminologi "Indonesia" dalam suatu diskusi di Penang bersama George Earl pada 1850. Inilah asal-usul wacana soal "ras Indonesia."

Gadjah Mada buatan Muh. Yamin
Muhammad Yamin bikin macam-macam pembenaran soal "sejarah nasional." Cerita-cerita fiksi soal Majapahit dan Gadjah Mada lantas masuk pelajaran sekolah.

Jalan ke Kupang dan Pulau Rote
Bertemu Jerzy Messakh, keturunan raja-raja Thie, yang menguasai Pulau Ndana, serta interview Piet Tallo, gubernur Nusa Tenggara Timur.

Semuel Waileruny
Pemimpin Forum Kedaulatan Maluku di Ambon. Bagaimana dia melihat nasionalisme Alifuru? Dewan Maluku Selatan sah ketika menyatakan kemerdekaan Republik Maluku Selatan 25 April 1950. Kok dari Golkar pindah jauh?

A Prostitution Racket in Merauke
Chief Sergeant Ukas organized not only the financial affaris of the Merauke military command but also a prostitution racket. It is a picture of the Indonesian military involvement in illegal businesses.

Murder at Mile 63
U.S. and Indonesia officials worked together to bring Papuan guerilla fighter Antonius Wamang to justice. Questions remained on the killing of three school teachers near the Freeport McMoran copper mining site in Papua. Press Release

Precisely, 86 locations in three years
I visited more than 80 locations in three years, including 40 small towns, 14 villages, 11 isles and two peculiar beaches, literary from Sabang to Merauke, from Miangas in the north to Ndana in the south.

Jungkir Balik di El Tari
Pengalaman bekerja di harian Flores Pos di kota Ende, suratkabar kecil mengabdi kepentingan masyarakat, belum terkena polusi konglomerat media Jakarta.

Perjalanan di Jayapura
Organisasi Papua Merdeka mulai 28 Juli 1965 berupa jaringan mempertahankan kedaulatan Papua. Namun mereka lemah sekali. Mengapa orang Papua merasa dijajah Indonesia? Bagaimana terbentuknya nasionalisme Papua? Apa peran cendekiawan Indonesia?

Biak, Militer dan Melanesia
Ada grafiti, "Papua Pasti Merdeka," tercoret dekat tempat dokter praktek bersama di Jalan Selat Makassar kota Biak. Ada grafiti serupa dekat menara air Biak. Apa maknanya?

Kepulauan Wakatobi
Nama gabungan empat pulau: Wangiwangi, Kaledupa, Tomea dan Binongko. Juga dikenal dengan Kepulauan Tukang Besi karena banyak tukang besi. Norman ikut naik perahu, melihat laut dan mencari keong.

Blitar dan Laptop Dicuri
Blitar adalah kuburan Soekarno, pemikir nasionalisme Indonesia. Blitar dekat Candi Palah, bangunan terbesar kerajaan Majapahit, mitos Indonesia kuna.

Pramoedya, fascism and his last interview
Javaism, Pramoedya Ananta Toer insisted, keeps Indonesia enslaved. Javanism is to be loyal and obedient toward your bosses. Under Javanism, Indonesia has no rule of law and justice.

Protes "Indopahit" Lewat Kaos Anarkis
Jayapura, Kupang, Pontianak, Aceh maupun London menggunakan kaos guna menyampaikan pesan politik, meledek “Indopahit” –Indonesia keturunan Majapahit.

Tobelo, Tobelo, Tobelo
Kota kecil ujung Halmahera. Ada pantai mulia. Kehidupan ekonomi naik. Ada rekonsiliasi pasca konflik, terbuka, tak dibuat-buat, namun masih ada curiga. Bagaimana melihat Kao dan Makian? Rasanya melihat kelelawar dijual di pasar?

Ternate dan Gambar Rp 1,000
Ide gambar uang kertas Rp 1,000 asalnya dari pemandangan Pulau Maitara dan Pulau Tidore. Sudut itu diambil dari Pulau Ternate.

Satuan Tugas Yon Infanteri Linud 432 dari Maros bertugas di Wutung, perbatasan Papua-PNG. Batalion ini terdiri 450 orang dan dibagi tiga kompi: Kompi A disebut Ajax, Kompi B disebut Beruang dan Kompi C disebut Camar. Biasanya satu batalion non-organik ditempatkan di perbatasan selama 12 bulan. Di sepanjang perbatasan, dari utara ke selatan, sepanjang 760 km, ditempatkan empat batalion Indonesia bergantian.

Wutung: Satu Desa Dua Negara
Dua jam dari Jayapura ke perbatasan Papua New Guinea, ada kampung Wutung, yang mungil, apik, bersih. Satu sisi daerah Indonesia. Sisi satunya, Papua New Guinea.

Asing di Tanah Acheh
Ketika ramai-ramai minta "orang asing" keluar dari Aceh, Kompas menurunkan satu esai aku soal siapa yang "asing" di Acheh.

Tahun Kelahiran Hasan di Tiro
Gerakan Acheh Merdeka mengatakan dia lahir 4 September 1930. Paspor Swedia dan sejarahwan Anthony Reid menunjuk tahun 1925. Bagaimana dengan 1923?

Miangas, Nationalism and Isolation
It takes three days to travel from Manado to Miangas but only four hours sailing from southern Philippines. How do the islanders of Miangas view nationalism in the Indonesia-Philippines border island?

Republik Indonesia Kilometer Nol
Pemerintah Hindia Belanda membangun kota pelabuhan Sabang lebih baik dari pemerintah Indonesia. Mengapa kota pelabuhan ini tak tumbuh sebesar Singapura? Apa makna nasionalisme Acheh dari Sabang? Bagaimana Hasan di Tiro bikin deklarasi bangsa Acheh? Mengapa Gus Dur memberikan syariah Islam di Aceh?

Penyu, Sukamade dan Meru Betiri
Meru Betiri sebuah cagar alam luasnya 56,000 hektar di timur Pulau Jawa. Disini ada jazirah bernama Sukamade dimana selama ribuan tahun penyu-penyu raksasa dari Samudera Hindia dan Pacific datang bertelur.

Puri Lukisan Ubud
Ubud adalah tempat wajib kunjung bila ke Bali. Musium Puri Lukisan merekam perkembangan seni di Pulau Bali. Bagaimana Walter Spies mempengaruhi karya seni lewat organisasi Pita Maha di Ubud? Maestro I Gusti Nyoman Lempad ikut rancang musium ini. English

Duma dan Cahaya Bahari
Nama negeri itu diganti, dari Moroduku (“tanah para raksasa”) ke "Duma" --dari “Duma wi doohawa” yang artinya, "Tapi dia (Van Dijken) tak dilukai.”

Merauke dan Benny Moerdani
Kapten Benny Moerdani terjun ke Merauke Juni 1962. Tujuannya, mendukung diplomasi Indonesia di New York, untuk mendapatkan Papua dari Belanda. Apa makna uti possidetis juris dari Perserikatan Bangsa-bangsa?

Barisan Melayu Bersatu datang ke Rumah Adat Melayu pada 20 Februari 2008. Mereka minta pemerintah melarang warga Tionghoa menggunakan bahasa Hakka atau Tio Chew. Mereka juga menuntut pemerintah melarang perayaan Imlek dengan barongsai dan naga. Mereka minta semua aksara Mandarin dilarang di tempat-tempat umum. Lukas B. Wijanarko merekam aksi namun tak ada satu pun media Pontianak maupun Jakarta memuat karyanya.

Protes Lewat Kaos Anarkis
Pakaian senantiasa punya makna politik, dari tenun Lio hingga batik Melayu, dari safari ala Jenderal Soeharto hingga jas necis ala Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya punya makna politik.

Wednesday, January 26, 2011

Launching Antologi di Pekanbaru


Poster launching buku dari Bahana.

BAHANA MAHASISWA dari Universitas Riau akan launching antologi Agama Saya Adalah Jurnalisme pada Ahad, 6 Februari 2011, di Pustaka Soeman HS, Pekanbaru. Bahana adalah tabloid mahasiswa di Universitas Riau.

Saya sengaja meluncurkan buku tidak di Jakarta namun di Pekanbaru sebagai simbol ketidaksukaan saya terhadap sentralisme Indonesia. Semua hal soal kuasa dari kekuasaan politik hingga militer, dari partai hingga bisnis, dipusatkan di Jakarta. Pemerintahan ada di Jakarta. Partai politik harus di Jakarta. Multinational corporation harus di Jakarta. Konglomerat harus di Jakarta.

Salah satu elemen sentralisme Indonesia --atau biasa diidentifikasi sebagai "Negara Kesatuan Republik Indonesia"-- adalah media massa. Lebih dari 90 persen media yang ada di seluruh NKRI adalah milik perusahaan-perusahaan yang berpusat di Jawa: Jakarta atau Surabaya.

Antologi ini bicara soal media. Ia berisi kritik saya terhadap "media Palmerah" yang sangat Jawa sentris. Isinya, 34 naskah saya antara 1999 dan 2010. Saya kritik dari harian Kompas hingga majalah Tempo, dari Metro TV hingga RCTI, dari Detik.com hingga macam-macam media online lain.

Saya ingin bicara soal kritik ini tidak dimulai dari Jakarta. Tapi dari pinggiran. Pekanbaru adalah option pinggiran. Ia tidak sekeras Papua atau Atjeh dalam memandang NKRI. Namun ia juga tidak selunak daerah lain. Riau adalah daerah yang sibuk mencari jati diri kemelayuan mereka. Ada gesekan antara Melayu dan non-Melayu. Masih dalam batas wajar. Pekanbaru adalah option menarik untuk meluncurkan antologi ini.

See you in Pekanbaru!

Saturday, January 15, 2011

Antologi Kedua


SAYA cukup puas dengan reaksi awal terhadap antologi 'Agama' Saya Adalah Jurnalisme. Tentu ada orang yang salah tafsir terhadap judul antologi. Atau hanya baca sebagian. Antologi tersebut, kalau dibaca, akan membuat mereka lebih mengerti macam-macam standard jurnalisme serta bagaimana sebagian besar standard tersebut diabaikan media Palmerah atawa media mainstream di Jakarta.

Ini mendorong saya ingin menulis naskah panjang soal internet maupun perubahan dunia komunikasi akibat internet. Saya kira zaman ini tak ada perubahan cara manusia hidup, lebih besar diakibatkan sesuatu, daripada internet. Ia mengubah cara orang memandang hidup dan dunia. Mulai cara orang mendapatkan informasi hingga bagaimana organisasi besar --termasuk negara, multinational corporation, militer-- dibikin kelabakan gara-gara kecepatan dan keluasan internet. Internet menyatukan tiga infrastruktur: transaksi dagang, komunikasi privat dan jurnalisme.

Saya lagi baca buku Ken Auleta Googled: The End of the World as We Know It maupun karya baru Bill Kovach dan Tom Rosenstiel Blur: How To Find Truth Within the Information Overload. Auleta menerangkan banyak aspek soal Google maupun kedua pendiri perusahaan ini: Sergey Brin dan Larry Page. Auleta kurang happy dengan Google. Saya juga baca review kritis buku tersebut di New York Times.

Beberapa kenalan, termasuk Fahri Salam dari Pantau, yang membantu saya sunting 'Agama' Saya Adalah Jurnalisme, maupun isteri saya, Sapariah Saturi, usul agar liputan-liputan panjang saya juga dijadikan buku. Saya tertarik pada ide mereka. Saya syaratkan liputan tersebut minimal 5,000 kata.

Liputan soal internet tersebut hendak saya gabung dengan antologi kedua. Ia akan cerita soal Wikileaks, Facebook, You Tube dan sebagainya.

Ia kelak akan jadi naskah panjang dimana saya baca buku namun juga liputan. Saya sudah bertemu Bill Kovach dan bicara soal internet di Washington DC. Kovach membuat saya lebih mengerti soal Google, Facebook, Twitter, You Tube, blog dan sebagainya. Bagaimana saya harus memandang new media ini.

Sebagian dari naskah panjang tersebut ada dalam blog saya, termasuk "Ahmadiyah, Rechtstaat dan Hak Asasi Manusia" (soal kebebasan beragama), "Dewa dari Leuwinanggung" (profil musikus Iwan Fals), "Panasnya Pontianak, Panasnya Politik" (ketegangan antar etnik) maupun "Hoakiao dari Jember" (soal diskriminasi terhadap orang Tionghoa). Ada beberapa naskah lain yang tak ada dalam blog saya, termasuk "Cermin Jakarta, Cermin New York" (soal majalah The New Yorker). Ada juga beberapa naskah lain yang praktis tak diketahui oleh audience Indonesia karena naskah-naskah tersebut terbit dalam bahasa Jepang atau Inggris. Misalnya, "Murder at Mile 63" (pembunuhan guru-guru Freeport di Papua).

Kalau Anda pikir naskah-naskah tersebut punya tema beda-beda, saya kira, tunggu dulu untuk sepakat pada kesimpulan tersebut. Semua isi antologi, mulai dari naskah lama hingga naskah baru soal internet, akan mengerucut pada dua minat saya: jurnalisme (sebagai lawan propaganda namun jurnalisme dan propaganda sama-sama bagian dari komunikasi) serta bagaimana media dijadikan ajang membangun solidaritas etnik serta agama, atau beberapa etnik, thus menindas kaum minoritas.

Antologi kedua ini tentu juga mencerminkan sebagian dari pengalaman saya ketika jalan dari Aceh hingga Papua, antara 2003 dan 2007, guna menulis buku A Nation in Name: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Mudah-mudahan A Nation in Name bisa selesai tahun ini. Sebuah perusahaan penerbitan buku sudah setuju menerbitkannya. Kini saya lagi cari waktu, mungkin sebulan atau dua bulan, guna update manuskrip tersebut serta bikin footnote. Ia perlu update karena ada beberapa perkembangan baru.

Saya sendiri belum punya judul untuk antologi kedua. Sapariah usul Hoakiau dari Djember karena dia anggap naskah ini paling unggul dari segi teknik penceritaan. Janet Steele dari George Washington University juga mengatakan karya tersebut adalah karya terbaik saya.

Saya pribadi tertarik judul yang senada dengan rubrik Reportage dari majalah Granta. Ini sebuah rubrik dimana Granta, sebuah majalah sastra terbitan London, memakai kata Perancis "reportage" atau "reporting" (English) atau "liputan" (Melayu) guna menerangkan kegiatan seorang wartawan mencari informasi. Granta sengaja memakai kata Perancis karena ada nuansa kedalaman pada kata tersebut, yang tak dapat ditemukan dalam terminologi "reporting." Sempat juga terpikir memakai nama rubrik dari almarhum majalah Pantau "Reporter dari Lapangan" karena saya suka sekali dengan pemikiran bahwa reporter harus bekerja di lapangan.

Ironisnya, saya sendiri belum pernah mengisi rubrik ini ketika menyunting majalah Pantau. Tiga reporter Pantau, Alfian Hamzah, Chik Rini dan Coen Husain Pontoh, secara baik pernah mengisi rubrik tersebut. Hamzah dengan "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan" (soal kehidupan satu batalion tentara Jawa di Aceh), Rini dengan "Sebuah Kegilaan dari Simpang Kraft" (pembantaian orang-orang Aceh di Lhokseumawe) serta Pontoh dengan liputan soal seorang Islamis asal Madiun bikin operasi kekerasan di Manila.

Anda punya ide lain?



Update 19 Juli 2011

Sepulang dari Singapore selama seminggu, saya memutuskan hendak memberi judul Hoakiao dari Jember untuk antologi kedua. Alasannya? Macam-macam. Nanti saya akan jelaskan dalam pengantar antologi. Namun pengalaman di Singapore, termasuk membeli antologi Chinese Diaspora Since Admiral Zheng He with Special Reference to Maritime Asia editor Leo Suryadinata, ikut membentuk kesimpulan ini. Sederhananya, saya lagi kesel dan kekesalan tersebut membuat saya memakai judul usulan Sapariah.

Saturday, January 08, 2011

Lost Wallet in Philadelphia


I AM WRITING this message here for anyone who might find my wallet in Philadelphia. I might lose it either at the Dunkin Donut counter at 4268 Ridge Avenue or Arthur Ashe Youth Tennis and Education, 4842 Ridge Avenue, PA 19129.

I was at the Dunkin Donut outlet around 12 midday, buying a cup of hot chocolate and a muffin. I went with a friend later, picking up his son at the tennis school.

I have my ID card, driving license, ATM card and two credit cards inside that wallet. I also have some US dollars and Indonesian rupiahs. They're all under my own name: Andreas Harsono.

If you happen to find that brown leather wallet, please call me at 215-2918448. You could also leave in Comment here. I really appreciate this assistance.

Update


Kareem Bryant, a tennis coach at the Arthur Ashe tennis school, found the wallet and called a friend of mine in Washington DC, asking her to get in touch with me. I met him at the school on Sunday, thanking him for finding my wallet and my cell phone. Kareem Bryant is also a school principal and a former student-athlete at Central Connecticut State University. Now I have my wallet back.