Thursday, December 30, 2010

Putri Sulung Bangsa Papua

FORUM DEMOKRASI Rakyat Papua Bersatu memberikan gelar "Putri Sulung Bangsa Papua" kepada aktivis hak asasi manusia Carmel Budiardjo dari London pada 28 Desember 2010 di Bali. Acara dihadiri beberapa tokoh Papua, termasuk Mama Yosepha Alomang dari Timika, Pendeta Benny Giay dari STT Walter Post, Federika Korain dan Salmon Yumame dari Forum Demokrasi. 

Acara diselenggarakan di Bali karena Budiardjo, sebagai non-warga Indonesia, memerlukan "surat jalan" bila hendak masuk ke Papua. Aturan tersebut dipakai oleh Indonesia untuk menghalangi aktivis, wartawan maupun diplomat internasional, datang ke Papua.

Menurut siaran pers Forum Demokrasi, "Ibu Carmel Budiardjo, yang saat ini telah berusia 85 tahun, menunjukkan komitmen untuk berjuang bersama bangsa Papua agar menemukan jati diri dan kebebasan hakiki yang diberikan oleh Tuhan kepada bangsa Papua." Dia dinilai "terbukti gigih" dalam memperjuangkan "harkat dan martabat" bangsa Papua sejak 1970an. 

Budiardjo dibaptis dengan nama: Papuaumau (bahasa Mee) atau Venia Ati (bahasa Maybrat) atau Bin Syowi (bahasa Biak). Semua kata tersebut berarti "putri sulung" dalam tiga bahasa di Papua. 

Benny Giay mengatakan "Ibu Carmel" adalah "orang asli Papua" karena perjuangan dan komitmen terhadap hak asasi manusia. Prosesi pengukuhan ditandai dengan prosesi tarian adat oleh mahasiswa dan mahasiswi di Bali. 

Mereka mengantar Mama Yosepha, yang memikul noken berisi gambar Carmel Budiardjo. Lukisan kayu ini menggambarkan Budiardjo dengan salah satu tangan menantang Pulau Papua dan manusia Papua. Sekaligus tertulis juga nama Papua Carmel Budiardjo: Papuaumau atau Venia Ati atau Bin Syowi.
   
Gambar kulit kayu Putri Sulung Bangsa Papua ©2010 Salmon Yumame

Dalam pidatonya, Carmel Budiardjo mengatakan dia terharu dan berterimakasih kepada Forum Demokrasi. Dia menyatakan akan tetap bikin kampanye soal hak asasi manusia bangsa Papua. 

Carmel Budiardjo kelahiran London pada 1925. Dia lulus dari University of London pada 1946. Dia bertemu dengan Suwondo Budiardjo, seorang pegawai Indonesia, ketika mereka ada di Praha. Mereka menikah dan pindah ke Jawa pada 1952. Carmel bekerja untuk Departemen Luar Negeri. 

Pada 1965, Mayor Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan serta memenjarakan ribuan kaum komunis Indonesia, termasuk Suwondo selama 12 tahun. Carmel sendiri, sebagai ekonom kiri, dipenjara tiga tahun, dibebaskan karena dia warga negara Inggris, dan dideportasi dari Indonesia pada 1971. 

Di London, Carmel Budiardjo mendirikan Tapol, singkatan dari "tahanan politik," guna kampanye pembebasan para tapol di Indonesia. Tapol lantas memperluas kampanye mereka dengan riset tentang kegiatan militer Indonesia dan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur, Aceh dan Papua. 

Buletin Tapol merupakan referensi penting soal hak asasi manusia di Indonesia pada 1970an hingga 1990an. Pada 1983, Tapol menerbitkan buku West Papua: The Obliteration of a People

Dia menulis otobiografi Surviving Indonesia’s Gulag soal kekejaman militer Indonesia terhadap para tapol komunis. 

Kerja Budiardjo di bidang hak asasi manusia mendapat penghargaan di berbagai tempat. Pada 1995, Carmel Budiardjo menerima penghargaan Right Livelihood Award dari Stockholm. 

Pada 1999, International Forum for Aceh, yang berpusat di New York, memberi gelar khas perempuan Aceh kepada "Tjut Carmel Budiardjo." 

Menurut M. Nur Djuli dari International Forum for Aceh, "Kami juga memberinya sebuah plaque bertuliskan poem bahasa Aceh, bunyinya: Reudôk di glé ujeuën muprœt-prœt, aneuëk guda rœt ôn naleuëng paya. Meunyo lôn ingat budi gata gœt bak tiep simpang rœt lôn rô ië mata." 

Makna puisi dalam bahasa Aceh tersebut: Thunder on the mountain, showering rains, A filly grazing swamp grass, Whenever I recall your good deeds, At every street corners Tears drop from my eyes

Carmel Budiardjo memang banyak bekerja untuk masyarakat yang mengalami penindasan --meminjam terminologi Hasan di Tiro-- oleh "bangsa Indonesia Jawa." Hasan di Tiro adalah pendiri Acheh/Sumatra National Liberation Front

Tahun lalu Presiden Timor Leste Jose-Ramos Horta memberi Bintang Timor Leste kepada Budiardjo karena "impressive contribution to peace, to the Timorese people and to humanity." 

Di Bali, acara ditutup dengan jamuan khas Papua berupa papeda, kuah ikan, petatas, keladi dan daun kasbi. Budiardjo didampingi putra dan putri dia dalam upacara tersebut.

Tuesday, December 28, 2010

Merayakan Natal 2010 di Polda Papua


Ricky Dajoh seorang photographer Minahasa yang besar di Jayapura, bezoek Filep Karma dan Buchtar Tabuni di tahanan Polda Papua. Dia mengambil gambar mereka ketika para tahanan sedang merayakan Natal pada 25 Desember 2010. Karma dan Tabuni adalah tahanan politik. Mereka dihukum penjara oleh pengadilan Indonesia karena menyatakan aspirasi politik mereka secara damai.

Sebuah Teratak di Stadthuys


Teratak Munsyi di Stadthuys ©2010 Sapariah Saturi

KETIKA jalan-jalan lihat Stadthuys, sebuah benteng dan bekas kantor Vereenigde Oost-Indische Compagnie di Melaka, kini dijadikan beberapa museum, saya lihat ada "teratak munsyi." Munsyi adalah terminologi untuk ahli bahasa, penterjemah, sastrawan maupun guru. Di museum pendidikan Stadthuys, munsyi yang dijadikan contoh adalah Abdullah bin Abdul Kadir (1796–1854), seorang guru Melayu keturunan Hadramaut, Melayu dan Tamil, biasa mengajar pengajian al Qur'an.

Dalam antologi Agama Saya Adalah Jurnalisme, saya juga memakai istilah "munsyi" untuk Noam Chomsky, profesor dari Massachusetts Institute of Technology di Cambridge. Menurut Arts and Humanities Citation Index, Chomsky adalah penulis yang paling sering dikutip di seluruh dunia akademik untuk periode 1980–1992.

Dalam Bahasa Malaysia, kata "munsyi" sering dipakai namun ia jarang digunakan dalam Bahasa Indonesia. Entah kenapa. Novelis Remy Sylado alias Yapi Tambayong suka memakai kata ini. Dia menyebut dirinya sendiri seorang munsyi. Remy Sylado, memang seorang munsyi, antara lain berkat buku 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing.

Dalam bahasa Urdu, "munshi" berarti seorang penulis atau sekretaris. Kata ini lantas dipakai di British India serta British Malaya dimana Abdullah bin Abdul Kadir bekerja. Dalam bahasa Persia, kata منش (munshi) adalah gelar kehormatan untuk orang yang menguasai beberapa bahasa.

Saya minta isteri saya, Sapariah, memotret teratak munsyi --tempat belajar bahasa serta mengaji al Quran dekat museum tsb. Saya suka dengan ide orang belajar di tempat kecil dan tempat terbuka macam teratak ini.

Tuesday, December 14, 2010

Kebebasan pers pasca-Soeharto, adakah?


OLEH ANDREAS HARSONO
Bisnis Indonesia

BULAN lalu saya berdiskusi dengan Atmakusumah Astraatmadja, mantan Ketua Dewan Pers dan pemenang Ramon Magsaysay Award for Journalism. "Pak Atma" wartawan terhormat. Pada 1960-an, dia bekerja sebagai wartawan harian Indonesia Raya hingga diberedel Orde Baru pada 1974. Dia lalu bekerja di United States Information Service, Jakarta. Pada 1990-an, sebagai reporter kurcaci, saya mulai mengenalnya sebagai instruktur di Lembaga Pers Dr. Soetomo. Tugasnya, mengajar hukum dan etika pers untuk wartawan. Sesudah Presiden Soeharto mundur pada Mei 1998, Astraatmadja jadi Ketua Dewan Pers (2000-2003).

Tema diskusi kami sederhana saja. Bagaimana menilai mutu jurnalisme di Pulau Jawa satu dekade sesudah Soeharto mundur? Banyak orang bilang sekarang media di Indonesia sudah bebas. Sudah tidak ada pemberedelan suratkabar. Pada zaman Soeharto, to be fair juga zaman Soekarno, banyak suratkabar diberedel. Banyak wartawan diancam. Mutu jurnalisme sulit dibilang baik. Wartawan tak bisa bekerja bila mereka berada dalam ketakutan.

Ada dua acuan dalam diskusi tersebut. Astraatmadja mengacu pada Press Freedom Index dari Reporters Sans Frontieres, organisasi kebebasan pers berpusat di Paris. Setiap tahun, sejak 2002, mereka mengeluarkan indeks kebebasan pers internasional.

Pada 2002, Indonesia masuk peringkat 57 dari 139 negara. Pada 2006, peringkat Indonesia turun menjadi 103 dari 168 negara. Tahun ini, peringkat kebebasan pers di Indonesia turun lagi menjadi 117 dari 178. Artinya, sejenak sesudah kejatuhan Soeharto, kebebasan pers naik kencang, tapi ia turun, terus-menerus turun, dalam 8 tahun terakhir. Di Indonesia, makin banyak wartawan diancam, dipukul, diadili dan beberapa dibunuh. Makin banyak jerat hukum kepada media.

Saya mengacu pada laporan Human Rights Watch berjudul, Turning Critics into Criminals: The Human Rights Consequences of Criminal Defamation Law in Indonesia, terbitan Mei 2010. Lembaga itu cemas melihat trend penggunaan pasal-pasal pencemaran nama baik oleh pejabat pemerintah maupun perusahaan besar, guna menjerat orang kritis, termasuk wartawan, aktivis maupun warga negara biasa.

Ibu rumah tangga Prita Mulyasari ditahan 3 minggu, terpisah dengan anaknya, dan menghadapi tuntutan penjara 6 tahun, hanya karena mengirim email dan mengeluh layanan medis rumah sakit Omni International. Bersihar Lubis, kolumnis Koran Tempo, divonis pencemaran nama baik dan dijatuhi hukuman percobaan karena mengkritik keputusan Kejaksaan Agung melarang buku pelajaran sejarah diedarkan ke sekolah-sekolah. Lubis memakai istilah "jaksa dungu" dan kena vonis 6 bulan percobaan di pengadilan Depok.

Astraatmadja mengatakan dari segi desain, kerapian ejaan, jumlah wartawan maupun teknologi media, banyak kemajuan dijangkau dalam 50 tahun terakhir. Dulu tak bisa dibayangkan desain surat kabar serapi majalah Tempo atau Gatra, harian Kompas, Media Indonesia, Bisnis Indonesia dan sebagainya.

Dia bercerita bagaimana pada 1950-an, ketika masih muda, dia acapkali mengetik surat untuk bapaknya, seorang pejabat di daerah Bekasi, lantas rajin menulis di suratkabar.

"Dulu ejaan itu minta ampun!"

Parameter lain adalah perangkat hukum. Pada 1918, parlemen Kerajaan Belanda di Den Haag meloloskan, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indies. Dalam kitab itu ada 35 pasal, yang bisa dipakai untuk mengekang kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan pers. Hukumannya, maksimal penjara 7 tahun. Korbannya, cukup banyak, termasuk aktivis macam Soekarno, Mohammad Hatta maupun wartawan seperti Kwee Thiam Tjing alias si Tjamboek Berdoeri.

Benedict Anderson dari Universitas Cornell, dalam pengantar buku Indonesia Dalem Bara dan Api karangan Tjamboek Berdoeri, menulis bahwa pada awal abad XX, mutu jurnalisme lebih bagus. Kerajaan Belanda memang menjatuhkan hukuman, terutama penjara dan pengasingan, tapi tak ada kabar aktivis anti-Belanda disetrum, dipukul apalagi diberi makan arsenik.

Pada 1949, ketika negara Indonesia menggantikan Hindia Belanda, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indies menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia. Pada zaman Soeharto, KUHP direvisi, pasal-pasal soal kebebasan berpendapat dinaikkan jumlahnya dari 35 pasal menjadi 42 pasal. Hukuman maksimal naik dari 7 tahun menjadi seumur hidup. Ada pasal-pasal anti-Pancasila, Marxisme dan Leninisme.

Soeharto turun Mei 1998. Perubahan muncul lagi ketika Yusril Ihza Mahendra, mantan penulis pidato Soeharto, menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal kebebasan berpendapat direvisi. Hukumannya, turun dari seumur hidup jadi 20 tahun. Pasalnya tambah dari 42 jadi 49 pasal.

Ketika Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden, dia mengangkat Hamid Awaluddin, seorang sarjana hukum asal Makassar, menggantikan Mahendra. Awaluddin pernah jadi koresponden majalah Gatra. Kali ini KUHP direvisi lagi. Pasal-pasal kebebasan berpendapat, yang bisa dipakai menjerat wartawan macam Bersihar Lubis, ternyata naik lagi.

"Saya belum menghitung sendiri. Dalam diskusi-diskusi sering disebut 60-an," kata Astraatmadja.

"Bagaimana para pemimpin kita, makin ke sini kok makin mengerikan? Makin tidak berorientasi pada rakyat?"

Dalam indeks Reporters Sans Frontieres, peringkat kebebasan pers Indonesia jauh di bawah Kerajaan Belanda, negara yang sering disebut sebagai bekas penjajah Indonesia. Ironisnya, peringkat Indonesia juga kalah dari Timor Leste, negara bekas jajahan.

Selama satu dekade ini, kerajaan-kerajaan media di Pulau Jawa, beserta anak-anak perusahaan mereka di luar Jawa, tetap menjalankan bisnis dengan gaya lama. Janet Steele dari Universitas George Washington, yang menulis buku Wars Within soal majalah Tempo, mengatakan bahwa kerajaan-kerajaan ini tumbuh besar dan kaya pada zaman Soeharto. Buat apa mereka sekarang harus berubah?

Self-censorship, salah satu gaya lama zaman Soekarno dan Soeharto, juga dijalankan terus. Saya pernah menegur Maluku Media Center di Ambon, karena anggota-anggota mereka tak mau memberitakan berbagai kegiatan aktivis Republik Maluku Selatan di Ambon, Saparua dan sekitarnya, yang jauh dari kekerasan, seperti menari cakalele, angkat bendera RMS, dan menaikkan balon. Namun mereka disiksa polisi dan dipenjara antara tujuh hingga 20 tahun. Beberapa orang diduga mati karena siksaan polisi.

Media mainstream di Jawa, dan keturunan mereka di Maluku, tak memberitakan karena ketidaksenangan mereka terhadap RMS. Mereka baru kaget ketika Presiden Yudhoyono tiba-tiba digugat RMS di Den Haag, lantas batal ke Belanda. Bukankah ini bias atau self-censorship?

Filep Karma, seorang tapol di penjara Abepura, Papua, sering mengeluh bias media Indonesia dalam meliput Papua. Sering terjadi ketidakakuratan, tidak cover both sides. Warga Papua diberitakan seolah-olah bangsa primitif, bodoh dan miskin. Praktis tak ada satu pun media Indonesia, yang menulis serius soal genocide terhadap bangsa Papua. Karma dihukum 15 tahun penjara karena pidato pada 1 Desember 2004 soal kemungkinan rakyat Papua kehilangan kebudayaan dan identitas mereka.

"Saya prihatin kalau baca berita soal Papua. Gimana ya?" tanya Astraatmadja.

Saya tak tahu harus menjawab apa. Hukum Hindia Belanda temyata lebih murah hati daripada hukum Indonesia menghadapi pers. Saya bergurau dengan mengatakan jangan-jangan Indonesia bergerak mundur ke zaman Majapahit, pada abad XII, ketika belum ada jurnalisme. Zaman Majapahit ... hanya ada propaganda.

Andreas Harsono ketua Yayasan Pantau, menulis antologi
Agama Saya Adalah Jurnalisme. Esai ini diterbitkan harian Bisnis Indonesia guna merayakan ulang tahun ke-25 pada Desember 2010.

Buku "Agama" Saya Adalah Jurnalisme


***

“Jurnalisme masa kini sudah berubah dari jurnalisme masa lampau. Buku ini mengindikasikan perubahan lebih jauh pada masa depan.”

Atmakusumah Astraatmadja Lembaga Pers Dr. Soetomo, Jakarta, penerima Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature, and Creative Communication Arts

Antologi ini terbagi empat bagian: (1) Laku wartawan; (2) Penulisan; (3) Dinamika Ruang Redaksi; (4) Peliputan. Ia merupakan buku-bukuan dari 34 naskah saya terbitan antara 1999 dan 2010. Banyak berasal dari blog saya khusus bagian media dan jurnalisme. ©2010 Andreas Harsono

HARI ini saya menerima buku "Agama" Saya Adalah Jurnalisme dari Kanisius. Senang lihat ini. Cover warna merah darah namun terang di bagian tengah. Disain juga rapi. Saya harap buku ini sudah mulai menyebar ke toko-toko buku di Pulau Jawa.

Kanisius punya gudang di Jogjakarta, Jakarta, Surabaya, Bandung dan Palembang. Saya duga toko-toko yang berdekatan dengan lima kota tersebut akan menerima supply paling awal, termasuk Gramedia dan Gunung Agung. Kanisius (Jogjakarta) dan Yayasan Pantau (Jakarta) menerbitkan buku ini bersama. Pantau sebuah NGO kecil bergerak dalam bidang pelatihan menulis.

Buku dijual seharga Rp 50,000 per eksemplar. Kanisius dan Pantau bekerja sama dengan berbagai pihak guna promosi dan bedah buku ini. Peluncuran akan dilakukan bersama Bahana Mahasiswa, Universitas Riau, di Pekanbaru pada 3 Februari 2011. Laba dari penjualan buku diberikan kepada Yayasan Pantau.

Bila Anda hendak pesan khusus, silahkan berhubungan dengan Khoiruddien dari Yayasan Pantau 021-7221031. Pantau menjual buku dengan harga sama Rp 50,000 namun mereka akan minta saya menandatangani setiap buku yang dijual lewat Pantau. Anda tentu bisa minta saya mencantumkan nama Anda. Pembayaran lewat rekening Yayasan Pantau sesuai jumlah buku dan ongkos kirim:

Yayasan Pantau
Jl. Raya Kebayoran Lama 18 CD
Jakarta 12220
Bank Mandiri AC. 128 00046 35790

Khoiruddien mengatakan bila hendak membeli banyak, sebaiknya dalam kelipatan tiga eksemplar agar efisien dalam biaya kirim. Tiga eksemplar buku beratnya satu kilogram. "Kalau beli 10 dihitung empat kilogram. Kalau perlu 10 lebih baik 12 langsung," katanya.

Imam Shofwan dari Yayasan Pantau mengatakan sengaja peluncuran buku dilakukan di Pekanbaru, Pulau Sumatera, sebagai protes terhadap mutu jurnalisme kebanyakan media di Jakarta dan Surabaya. Isi buku ini memang banyak kritik terhadap establishment media di Pulau Jawa, tentu saja, dan keturunan mereka, di seluruh Indonesia.

E-book antologi ini juga dijual oleh Booku.com seharga US$2.4.