Friday, July 23, 2010

Seichi Okawa


Minum kopi Wamena bersama Seichi Okawa dalam toko di Tokyo, yang penuh dengan batik, ikat dan ukiran. Okawa sedang riset soal kerangka serdadu Jepang di Papua.
©2010 Izumi Kurimoto

Berjumpa dengan Seichi Okawa di kantor Graha Budaya Indonesia, Tokyo, dimana dia cerita soal riset dia guna penulisan buku soal 40,000 tentara Jepang, yang meninggal di Papua, pada zaman Perang Dunia II. Dia mengatakan sekitar 15,000 kerangka serdadu ada di Pulau Biak. Kebanyakan mereka meninggal karena terkena penyakit atau kelaparan dalam perang menghadapi Sekutu.

Banyak warga Jepang berharap bisa mendapatkan kerangka papa atau kakek mereka, yang meninggal di Papua, untuk dibawa pulang ke Jepang, guna mendapatkan kremasi, menyimpan abu dan merasa tenang. Mereka percaya mereka tidak hormat terhadap orang tua bila tak melakukan kremasi terhadap orang tua yang hilang tersebut. Banyak dari serdadu berasal dari prefecture Yamanaka.

Okawa seorang wartawan kawakan. Dia sekarang kerja untuk Metro TV. Dulu dia pernah kerja untuk majalah Tempo dan belakangan Gatra. Kantornya terletak di sebuah daerah kampus Tokyo. Lantai satu dipakai sebagai toko berbagai barang kerajinan dari Alor, Flores, Jawa maupun Papua. Okawa bekerja di lantai tiga.

Saya senang bisa bertemu dengan Okawa. Saya kira upaya dia mencari kerangka 40,000 serdadu tersebut adalah usaha mulia. Ini bukan pekerjaan mudah karena Perang Dunia II sudah berakhir 65 tahun lalu. Data di Jepang harus dicocokkan dengan tengkorak di Papua, gigi demi gigi. Bila sudah cocok, maka harus didapatkan izin dari pemerintah Indonesia untuk membawa pergi tengkorak tersebut.

Menurut buku An Act of Free Choice: Decolonisation and the Right to Self-Determination in West Papua karya P. J. Drooglever, satu divisi Angkatan Darat Jepang dipusatkan di Manokwari pada 1942. Mereka terutama ditugaskan mencegah serangan udara Sekutu. Pasukan Jepang tak masuk ke pedalaman Papua karena ada pasukan-pasukan kecil Belanda yang gerilya di pedalaman. Namun mereka dikalahkan pasukan Sekutu, yang lompat katak, dari Australia, Papua New Guinea, Papua, kepulauan utara Maluku dan Filipina, sebelum masuk ke kepulauan Jepang pada 1945. Gerakan lompat katak tersebut membuat ribuan pasukan Jepang terlantar karena markas-markas mereka dihancurkan. Mereka melarikan diri sambil kelaparan dan kena malaria.

Saya bilang saya pernah tahu ada gua di Biak dimana orang bilang kerangka-kerangka serdadu Jepang berserakan. Warga Biak tidak mengutak-atik gua tersebut. Okawa juga pernah berkunjung ke gua tersebut. Kami mengobrol soal kerangka sambil minum kopi Wamena. Enak sekali.

Saya merasa kurang tahu banyak soal Jepang. Saya relatif lebih tahu soal Amerika Serikat atau Inggris, mungkin kebudayaan Eropa lain, daripada Jepang. Seorang kenalan saya, Nesia Andriana Arif, menulis buku Dengan Pujian, Bukan Kemarahan: Rahasia Pendidikan dari Negeri Sakura dan 12 tahun tinggal di Kanagawa, membuat saya ingin tahu lebih banyak soal Jepang. Kebetulan Kanae Doi, seorang pengacara Tokyo, mengundang saya tampil dalam acara dia di Asahi TV. Kunjungan singkat namun ia membuat saya tertarik pada Jepang, apalagi bertemu orang macam Okawa-san.

Situs Web Graha Budaya Indonesia
http://grahabudayaindonesia.at.webry.info/

Saturday, July 10, 2010

Nasi Bungkus in Jayapura


On Thursday, July 8, 2010, Papuan protesters began to rally from Sentani and Abepura, marching to the Papuan House of Representatives (DPR Papua) in downtown Jayapura. Women painted the Morning Star flag on their bodies despite an Indonesian government ban on displaying the Morning Star in public space.


On Thursday night, I chatted with some female friends involved mostly with logistics of the protest in Jayapura. They handled food, water and other logistical stuffs. They told me that they had received donations, mostly nasi bungkus (“rice box”). The meals came from various women groups and retired civil servants. Some donated money especially retired civil servants. One particular group, assigned to set up "Freedom Cafe," provided 1,750 boxes for a single meal.

They said the nasi bungkus were quite "chaotic" in a sense that meals were so diverse. The protests were organized by more than 20 organizations which included big groups like Dewan Adat Papua, but also smaller and more radical groups, like Komite National Papua Barat. These different groups assigned their logistic people to prepare the nasi bungkus.

Thursday afternoon, the coalition prepared 8,000 nasi bungkus and ... not enough. They added 4,000 more nasi bungkus in the next two hours. It means that at the peak of the protest, Thursday evening, at least 10,000 people joined the protest, assuming some male student activists ate more than one box.

Thursday night, they estimated about 1,200 protesters slept at the DPR Papua building in downtown Jayapura. They mostly came from Keerom, Genyem and Sentani. These three areas were outside Jayapura. These were too far for the protesters to go back home. The logistic people provided 1,200 nasi bungkus for dinner. It was more or less enough.

The business activities in Jayapura were closed. The street connecting Abepura-Jayapura was closed.

Friday morning, the crowd got bigger again. The logistic people provided 8,000 nasi bungkus for lunch. It was enough.

Protesters established their banner in the DPR Papua building in downtown Jayapura. The message is clear: autonomy has failed. The Papuans want to have a UN-sponsored referendum.

At about 3pm, two activist friends warned me about tension in the DPR Papua compound. They said many police officers had entered the areas around the compound. Reporter John Pakage estimated 1,000 officers were deployed, mostly from Dalmas and Brimob units. The police brought in water cannons and armored vehicles.

In an interview with BBC, Jayapura police chief Imam Setiawan threatened to use live ammunition against the Papuans if they don't leave the DPR Papua building by 3pm. Setiawan used to be the police chief on Serui Island when the brutal murder of Yawan Wayeni taking place in August 2009. Remember the gruesome video?

John Pakage kept on calling me. He said it was very tense. Protesters insisted to stay inside the DPR Papua building.

Angela Flassy of the Suara Perempuan Papua weekly newspaper called me, saying that the police had closed the area, banning journalists to enter the downtown area. She said that the police had felt that Anteve’s broadcasting was too much on the Papuan protests. Flassy cannot enter the area herself. She decided to return to Abepura and wrote her reports.

At a two-day meeting on June 9-19, 2010, to evaluate special autonomy, the Papuan People Assembly (Majelis Rakyat Papua), in consultation with indigenous community groups, concluded that the implementation of autonomy had failed and that the law should be 'returned' to the Indonesian government. The MRP called for dialogue with neutral international mediation.

By 4pm the protest leaders, headed by Salmon Yumame, a retired Telkom executive, decided people should leave the compound. They did the rally in peace. Bullets are not the answer. The most important thing was that the message was already delivered: SPECIAL AUTONOMY HAS TOTALLY FAILED. The fact that the police had decided to use force shows once again the failure of the Special Autonomy.

By 5pm-5:30pm, protest leaders used the megaphone and called on the Papuans to leave the DPR Papua compound in peace. They said the message is already delivered. Let's go home.

Protest leaders agreed to empty the building by 6pm, according to Yumame of Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu.

Benny Giay, one of the elders of the Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu, talked to a number of international media, including BBC, AFP, Radio Netherlands etc. He made impressive comments on the failures of the Special Autonomy. "Everything that the Papuan do is negative in the eyes of Indonesia," he told me.

By 7 pm everyone was back home.

I talked to Benny Giay at around 8pm. He was already back in his house in Sentani. He said the logistical people were one of the most hard working elements of the protest. He calculated the number of the protesters based on the nasi bungkus. The peak was at least 10,000 Papuans. No violence. Papuans showed they're peaceful.

Kembalikan Bakrie Award!

Surat terbuka untuk para penerima Bakrie Award*


Bapak dan Ibu penerima Bakrie Award,

Bapak dan Ibu tentu mengikuti berita-berita Lumpur Lapindo yang, hingga kini, aktif menyemburkan lumpur panas 100.000 meter kubik tiap harinya. Melumpuhkan 19 Desa dari tiga kecamatan; Porong, Jabon, dan Tanggul Angin. Menyebabkan 14.000 KK kehilangan kehidupan normal mereka, menenggelamkan 33 sekolah dan 6 pondok pesantren menelantarkan murid-santrinya. Menyebabkan 15 orang meninggal, karena ledakan pipa gas yang disebabkan penurunan tanah setelah semburan dan 5 orang meninggal akibat gas beracun. Lumpur ini juga telah menyebabkan penyakit saluran pernafasan meningkat pesat di desa-desa tersebut.

Untuk semua kehilangan itu PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) hanya memberikan ganti-rugi dengan membeli tanah, rumah, dan sawah para korban. Itupun yang menurut peraturan presiden selesai dalam dua tahun setelah bencana, hingga kini, baru 60 persen korban yang telah menerima ganti rugi ini.

Tak ada ganti rugi soal kesehatan, pendidikan, sosial, dan pencemaran lingkungan.

Saya yakin juga kalau Bapak dan Ibu tahu kalau Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono tak bisa berbuat banyak untuk menekan Abu Rizal Bakrie supaya segera menyelesaikan tanggungjawabnya. Bahkan dalam revisi Perpres terbarunya SBY justru membagi tanggungjawab Lapindo dengan membebankan pembayaran ganti rugi tiga desa di luar peta pada kas negara dan kas negara juga membayari semua tanggung jawab sosial selain tanah-sawah-rumah.

Di ranah hukum; gugatan perdata yang diajukan YLBHI maupun banding yang diajukan Walhi, kalah di pengadilan dan tuntutan pidananya pun dihentikan. Di ranah politik; Kami yakin Bapak dan Ibu juga tahu, karir politik Bakrie kian mencorong dengan memenangi bursa pencalonan ketua umum Partai Golkar dan bahkan menggusur Sri Mulyani dan Bakrie juga menjadi ketua harian partai koalisi dan semua orang tahu posisi itu sama dengan posisi wakil presiden bayangan. Bahkan lebih.

Perusahaan-perusahaan Bakrie diduga banyak melakukan penggelapan Pajak. Akhir 2009, Direktorat Jendral Pajak mengungkapkan penelusuran dugaan pidana pajak dari tiga perusahaan tambang Bakrie PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Bumi Resaurces Tbk., PT Arutmin Indonesia. Ketiga perusahaan ini, diduga tak melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan secara benar. Total tunggakan pajak tiga perusahaan ini hingga Rp 2,1 triliun, dengan rincian: KPC Rp 1,5 triliun, PT Bumi Rp 376 miliar, PT Arutmin Rp 300 miliar.

Bapak dan Ibu juga pasti tahu, orang-orang dekat Bakrie seperti Andi Alfian Mallarangeng, kini melenggang menuju kursi Partai Demokrat 1 (meskipun akhirnya kalah) dan Yuniwati Teryana, vice president External Relation Lapindo Brantas, Inc, Gesang Budiarso, Anggota Dewan Komisaris MLJ, dan Bambang Prasetyo Widodo, direktur operasional MLJ, mengincar posisi bupati Sidoarjo.

Kami juga yakin Bapak dan Ibu tahu, bagaimana pemerintah Jawa Timur juga patah arang dan menyerah menangani kasus Lapindo dan yang lebih parah, pansus DPRD Sidoarjo bahkan tak punya inventaris data aset pemerintah kabupaten yang tenggelam dalam lumpur. Dan setelah empat tahun bencana lumpur ini, baru kemarin (20/6/2010), pansus mendesak pemerintah kabupaten untuk menginventarisir aset-aset tersebut dan meminta ganti rugi pada Lapindo.

Bisa dibayangkan betapa mengerikan, akibatnya, kalau Jawa Timur dipimpin oleh orang-orang Bakrie.

Kami juga yakin, Bapak dan Ibu tahu, kalau Bakrie juga memodali banyak media (online, cetak, TV) dan media-media ini tidak membicarakan keburukan Bakrie dan serempak mendorongkan opini bahwa Lumpur Lapindo disebabkan oleh gempa Jogjakarta 26 Mei 2006. Opini ini dibantah dengan lantang oleh para geolog internasional dalam pertemuan ilmiah para geolog di Capetown, Afrika Selatan. Dari 42 geolog yang hadir, hanya 3 orang, yang menyatakan hubungan lumpur dengan gempa. Tentu Bapak dan Ibu juga tahu, dua dari tiga orang orang itu punya hubungan khusus dengan Lapindo. Semua ini adalah kejahatan dan ketidakadilan yang sistemik.

Tak hanya itu, media-media ini juga memberitakan pernyataan-pernyataan Bakrie bahwa persoalan-persoalan lumpur Lapindo telah kelar, para korban sudah mendapatkan ganti rugi dan sudah mendapatkan rumah, dan keluarga Bakrie sudah mengeluarkan Rp. 6,2 triliun untuk menangani kasus ini. Mereka mengutip pernyataan-pernyataan ini bulat-bulat tanpa melihat bahwa masih banyak korban yang mengungsi, rumah-rumah yang diberikan masih bermasalah sertifikatnya, rel-rel kereta api belum diganti, sungai dan laut Porong yang tercemar dan rusak, tambak-tambak, sekolah-sekolah, pondok-pondok pesantren yang semua rusak dan belum diganti.

Sebagai intelektual yang punya tanggungjawab sosial, pertanyaan kami, kenapa Bapak dan Ibu tak menyuarakan kejahatan dan ketidakadilan yang sistemik ini? Saya lantas mencari alasan kenapa Bapak dan Ibu melakukan hal itu dan ketemu dengan Bakrie Award, penghargaan tahunan yang diberikan keluarga Bakrie pada intelektual-intelektual Indonesia, dan Bapak dan Ibu telah menerima hadiah yang kian tahun kian bertambah jumlah penerima dan nominal handiahnya.

Kami curiga dengan hadiah dari Bakrie ini Bapak dan Ibu jadi sungkan untuk mengkritik keburukan Bakrie dan membiarkan Bakrie dan kroninya menguasai negeri ini dengan tidak adil. Kecurigaan ini didasarkan pada pidato-pidato para penerima saat penerimaan penghargaan ini yang isinya memuji-muji pemberi hadiah.

Kami masih berharap pada Bapak dan Ibu untuk bisa kritis terhadap Bakrie dan membela para korban Lapindo. Caranya dengan mengembalikan hadiah Bakrie Award dan menuntut keluarga Bakrie untuk menyelesaikan tanggungjawabnya pada korban.

Penolakan tegas Romo Franz Magnis-Suseno terhadap Bakrie award dan pengembalian Bakrie award oleh Goenawan Mohamad terhadap Bakrie Award dilakukan karena mereka berdua meyakini kalau ada ketidakadilan dalam kasus Lapindo. Goenawan, dalam siaran persnya di Kedai Tempo Utan Kayu kemarin, melihat pemberian award ini terkesan menutupi yang jelek. “Pengembalian ini untuk mengingatkan jangan coba-coba menutupi yang borok dengan kebaikan," tutur Goenawan.

Para ahli geologi meyakini semburan lumpur Lapindo akan tetap aktif menyembur hingga 30 tahun ke depan dan akankah Bapak dan Ibu diam selama 30 tahun dan menunggu jumlah korban semakin banyak hingga Anda sadar ketidakadilan ini?

Jawabanya saya mohon tanyakan pada hati nurani Anda.



Para penerima Bakrie Award

2003 Sapardi Djoko Damono (kesusastraan) dan Ignas Kleden (sosial-budaya). BA 2004 Goenawan Mohamad (kesusastraan) dan Nurcholish Madjid (sosial-budaya) BA 2005 Budi Darma (kesusastraan), Sri Oemijati (kedokteran). BA 2006 Arief Budiman (pemikiran sosial), dan Iskandar Wahidiyat (kedokteran). BA 2007 Putu Wijaya (sastra), Sangkot Marzuki (kedokteran), Jorga Ibrahim (sains), dan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) Sukamandi, Subang (teknologi). BA 2008 Taufik Abdullah, Sutardji Calzoum Bachri, Mulyanto (kedokteran), Laksamana Tri Handoko (ahli fisika), Pusat Penelitian Kelapa Sawit. BA 2009 Sajogyo (pemikiran sosial), Ag Soemantri (dokter), Pantur Silaban (sains), Warsito P. Taruno (Teknologi), Danarto (Kesusastraan).


Para Penyeru


1. Siti Maemunah, Jariangan Advokasi Tambang (Jatam)
2. Andree Wijaya (Jatam)
3. Usman Hamid, Komite untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS)
4. Chalid Muhammad, Institut Hijau Indonesia
5. Riza Damanik, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
6. Berry Nadian Furqon, Walhi Nasional
7. Taufik Basari, LBH Masyarakat
8. Doel Haris, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
9. Catur, Walhi Jawa Timur
10. Rini Nasution, Yayasan Satudunia
11. Musjtaba Hamdi, Posko Korban Lapindo-Porong, Sidoarjo
12. Firdaus Cahyadi, Yayasan Satudunia
13. Sinung , KontraS
14. Ndaru, Imparsial
15. Larasati, LBH Masyarakat
16. Luluk, Jatam
17. Beggy, Jatam
18. Pius Ginting, Walhi Nasional
19. Halim, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
20. Dewi, Solidaritas Perempuan
21. Dyah Paramita, ICEL
22. Selamet Daryoni, Institut Indonesia Hijau
23. Rinda, Yayasan Satudunia
24. Hendro Sangkoyo
25. Torry Kuswardono
26. Arief Wicaksono
27. Andreas Harsono, Yayasan Pantau
28. Imam Shofwan, Yayasan Pantau
29. Don K. Marut
30. Riza V. Tjahjadi, Biotani & Bahari Indonesia
31. Teguh Surya, Walhi Nasional
32. Erwin Basrin dari Akar Bengkulu
33. Ronald Reagen dari Komkot PRP Bengkulu
34. Sofyan, Bingkai-Indonesia, Jogjakarta
35. Abdul Waidl, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta
36. Siti Nurrofiqoh, Yayasan Pantau
37. Wahyu Susilo, Infid
38. Mohammad Djauhari, KPSHK
39. Endang Prihatin, Wartawan
40. M. Zulficar Mochtar, Destructive Fishing Watch (DFW)
41. SABASTIAN E SARAGIH
42. Ruby, Asian Muslem Action Network (AMAN) Indonesia
43. Djuni Pristiyanto, Moderator Milis Lingkungan dan Milis Bencana
44. Bosman Batubara
45. Akhmad Murtajib, Institut Studi untuk Penguatan Masyarakat
46. Valentina Sri Wijiyati, Koord. Div. Advokasi Penganggaran Untuk Pemenuhan Hak EKOSOB IDEA Yogyakarta.
47. Muslimin Beta, Turatea Profesional Network
48. Maria Josephine Wijiastuti, Jakarta
49. R. Yando Zakaria, fellow pada Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta.
50. Fahri Salam, Yayasan Pantau
51. Subagyo, LHKI Surabaya
52. AbduRahman, Tankinaya Institute
53. Chik Rini, Yayasan Leuser International
54. Rere Christanto, Posko Porong
55. Dian Prima, Posko Porong
56. Sapariah Saturi-Harsono, Wartawan
57. Indra Purnomo, Freelancer

Thursday, July 08, 2010

✒✒✒


“Apa yang dirintis orang tua memang hilang: harta, rumah, tanah. Tapi ini tidak menggoyahkan iman kami ....
Iman kami tidak goyah
."

Nur Hidayati gadis Sasak 20 tahun,
hidup delapan tahun di pengungsian karena
rumah orang tuanya, warga Ahmadiyah,
dibakar di Pulau Lombok

Korneles Kaitor, orang Asmat sejak 1995 bekerja sebagai buruh di pelabuhan Merauke, tanpa pernah pulang ke Asmat.
©2010 Leonard Moyu

Pelayanan Gerbang Tol Buruk
Seberapa sering Anda jengkel lihat loket gerbang tol sebagian ditutup dan kemacetan menjalar kemana-mana?

Warisan Kata
Muhammad Fauzi bicara soal warisan kata: Pulitzer Prize, Nieman Fellowship di Harvard atau Knight Fellowship di Stanford.

Obama Has the Power to Help Papua
Young Barack Obama noticed his stepfather’s great unease and silence about his one-year military service in New Guinea. Obama has the power to "the weak man."

Ahmadiyah, Rechtstaat dan Hak Asasi Manusia
Selama satu dekade warga Ahmadiyah di Pulau Lombok diusir dari satu desa ke desa lain. Bagaimana melihat pelanggaran hak asasi manusia ini dari kenegaraan Indonesia?

Monumen Munir di Batu
Munir bin Said Thalib, pejuang hak asasi manusia dari Batu, dimakamkan di kuburan sederhana. Bagaimana dengan ide bikin monumen hak asasi manusia di Batu?

Papuan activist Filep Karma is serving a 15-year sentence for raising the Papuan Morning Star flag in December 2004 in Jayapura. He is now awaiting his prostate surgery.
©2010 Audryne Karma

Kekerasan Berakar di Kalimantan Barat
Lebih dari 70 warga Pontianak dan Singkawang mengeluarkan Seruan Pontianak, minta agar warga berhati-hati dengan tradisi kekerasan di Kalimantan Barat.

Clinton's Chance to Push Beyond Cliche
Hillary Clinton should be careful not to say that Muslims in Indonesia are “moderate” as for members of persecuted religious groups in Indonesia, it is a useless and inaccurate cliche.

Dari Sabang Sampai Merauke
Berkelana dari Sabang ke Merauke, wawancara dan riset buku. Ia termasuk tujuh pulau besar, dari Sumatera hingga Papua, plus puluhan pulau kecil macam Miangas, Salibabu, Ternate dan Ndana.

Training Ganto di Padang
Lembaga media mahasiswa Ganto dari Universitas Negeri Padang bikin pengenalan investigative reporting. Ada 46 mahasiswa dari dari berbagai kota Sumatera plus Jawa dan Makassar.

Homer, The Economist and Indonesia
Homer Simpsons read the dry Economist magazine in a First Class flight. Homer talked about "Indonesia" ... and later The Economist used the Simpsons joke to describe ... Indonesia.

Bagaimana Meliput Agama?
Dari Istanbul dilakukan satu seminar soal media dan agama. Dulunya Constantinople, ibukota kerajaan Romawi Timur, hingga direbut kesultanan Ottoman pada 1453.

Sebuah Kuburan, Sebuah Nama
Di Protestant Cemetery, Penang, terdapat sebuah makam untuk James Richardson Logan, seorang juris-cum-wartawan, yang menciptakan kata Indonesia pada 1850.

Makalah Criminal Collaborations
S. Eben Kirksey dan saya menerbitkan makalah "Criminal Collaborations?" di jurnal South East Asia Research (London). Ia mempertanyakan pengadilan terhadap Antonius Wamang soal pembunuhan di Timika.

Moedjallat Indopahit
Satu majalah didisain sebagai undangan pernikahan. Isinya, rupa-rupa cerita. Dari alasan pernikahan hingga kepahitan sistem kenegaraan Indonesia keturunan Majapahit.

Struktur Negara Federasi
Rahman Tolleng bicara soal struktur federasi di Indonesia. Kuncinya, kekuasaan ditaruh di tangan daerah-daerah lalu diberikan sebagian ke pusat. Bukan sebaliknya, ditaruh di pusat lalu diberikan ke daerah: otonomi. Bagaimana Republik Indonesia Serikat?

Media dan Jurnalisme
Saya suka masalah media dan jurnalisme. Pernah juga belajar pada Bill Kovach dari Universitas Harvard. Ini makin sering sesudah kembali ke Jakarta, menyunting majalah Pantau.

The Presidents and the Journalists
In 1997, President Suharto lectured editors to have "self-censorship." Now President Susilo Bambang Yudhoyono also lectured about "self-censorship." What's wrong?

Burrying Indonesia's Millions: The Legacy of Suharto
Suharto introduced a "business model" for soldiers and businessmen. He built ties to merchants Liem Sioe Liong and Bob Hasan, accummulating immense wealth while using violence to repress dissension.

Kronologi Pengasuhan Norman
Norman kekurangan waktu belajar, istirahat dan bermain sejak dipindahkan ibunya dari Pondok Indah ke Bintaro. Jarak tempuh ke sekolah 120 km pergi-pulang. Ini ibu celaka. Child abuse adalah isu publik.

Polemik Sejarah, Pers dan Indonesia
Kapan "pers Indonesia" lahir? Apa 1744 dengan Bataviasche Nouvelles? Apa 1864 dengan Bintang Timoer di Padang? Soerat Chabar Betawie pada 1858? Medan Prijaji pada 1907? Atau sesuai proklamasi Agustus 1945? Atau kedaulatan Desember 1949?

Murder at Mile 63
A Jakarta court sentenced several Papuans for the killing of three Freeport teachers in August 2002. Why many irregularities took place in the military investigation and the trial? What did Antonius Wamang say? How many weapons did he have? How many bullets were found in the crime site?

Protes Melawan Pembakaran Buku
Indonesia membakar ratusan ribu buku-buku pelajaran sekolah. Ini pertama kali dalam sejarah Indonesia, maupun Hindia Belanda, dimana buku sekolah disita dan dibakar.

Indonesia: A Lobbying Bonanza
Taufik Kiemas, when his wife Megawati Sukarnoputri was still president, collected political money to hire a Washington firm to lobby for Indonesian weapons. This story is a part of a project called Collateral Damage: Human Rights and US Military Aid

Hoakiao dari Jember
Ong Tjie Liang, satu travel writer kelahiran Jember, malang melintang di Asia Tenggara. Dia ada di kamp gerilya Aceh namun juga muncul di Rangoon, bertemu Nobel laureate Aung San Suu Kyi maupun Jose Ramos-Horta. Politikus Marrissa Haque pernah tanya, “Mas ini bekerja untuk bahan tulisan atau buat intel Amerika berkedok ilmuwan?”

State Intelligence Agency hired Washington firm
Indonesia's intelligence body used Abdurrahman Wahid’s charitable foundation to hire a Washington lobbying firm to press the U.S. Congress for a full resumption of military assistance to Indonesia. Press Release and Malay version

From the Thames to the Ciliwung
Giant water conglomerates, RWE Thames Water and Suez, took over Jakarta's water company in February 1998. It turns out to be the dirty business of selling clean water.

Bagaimana Cara Belajar Menulis Bahasa Inggris
Bahasa punya punya empat komponen: kosakata, tata bahasa, bunyi dan makna. Belajar bahasa bukan sekedar teknik menterjemahkan kata dan makna. Ini juga terkait soal alih pikiran.

Dewa dari Leuwinanggung
Saya meliput Iwan Fals sejak 1990 ketika dia meluncurkan album Swami. Waktu itu Iwan gelisah dengan rezim Soeharto. Dia membaca selebaran gelap dan buku terlarang. Dia belajar dari W.S. Rendra dan Arief Budiman. Karir Iwan naik terus. Iwan Fals jadi salah satu penyanyi terbesar yang pernah lahir di Pulau Jawa. Lalu anak sulungnya meninggal dunia. Dia terpukul. Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi?