Wednesday, May 26, 2010

Gadjah Mada dan Muhammad Yamin


SAYA suka membaca analisis sejarah yang membongkar macam-macam mitos dalam propaganda negara Indonesia. Misalnya, G.J. Resink, guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, meruntuhkan mitos Belanda "menjajah Indonesia" selama 350 tahun.

Dia menulis antologi Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 1850-1920. Dia menulis bahwa secara legal berbagai kerajaan dan raja di kepulauan ini, dari Sumatera hingga Sunda Kecil, banyak yang masih berdaulat hingga 1920. Istilah "350 tahun" tersebut hanya "mitos politik belaka" yang tak bisa bertahan melawan ujian kebenaran sejarah.

G.J. Resink menulis, "Implikasi dari mitos Belanda bercokol 350 tahun itu adalah bahwa begitu pelaut dan pedagang avonturir Cornelis de Houtman mendarat di Banten, dengan serta merta kepulauan Indonesia jatuh di bawah kekuasaannya." De Houtman mendarat di Banten pada 1596. Dia diperkirakan orang Eropa pertama yang mendaratkan kaki di Pulau Jawa. Kalau angka 1945 --proklamasi kemerdekaan Indonesia-- dikurangi 1596, hasilnya adalah 349 tahun (setahun kurang 350 tahun).

Tan Malaka termasuk orang yang sering memakai angka "350 tahun" tersebut. Saya pernah baca paper Tan Malaka terbitan 1920an sudah sebut angka 350.

Asvi Warman Adam dalam buku Seabad Kontroversi Sejarah menulis bahwa salah satu orang yang banyak menciptakan "sejarah yang bercorak nasional" alias propaganda adalah Muhammad Yamin.

Yamin seorang sarjana hukum kelahiran Sawah Lunto tahun 1903. Dia sekolah di Jogjakarta dan menikah dengan Sri Sundari, putri bangsawan Solo, pada 1937. Dia mengarang buku macam-macam, campuran antara fakta dan fiksi, termasuk 6000 Tahun Sang Merah-Putih maupun sandiwara Gadjah Mada serta Ken Arok dan Ken Dedes. Celakanya, Yamin juga jadi Menteri Pendidikan pada awal 1950an. Dia bikin macam-macam pembenaran soal "sejarah nasional." Cerita-cerita fiksi ini lantas masuk pelajaran sekolah.

Bayangkan 6,000 tahun! Artinya, Indonesia lebih tua dari kebudayaan Mesir.

Daoed Joesoef, menteri pendidikan pada 1970an, mengingatkan saya bahwa saking semangat Yamin bahkan membuat gambar Gadjah Mada berdasarkan "sebuah celengan" yang ditemukan dalam situs Majapahit di dekat Gunung Lawu. Celengan tersebut diklaim Yamin sebagai wajah Gadjah Mada. Belakangan ketika orang diminta menggambarkan wajah Gadjah Mada, tentu saja, celengan tersebut tak bisa dipakai. Maka dipakailah wajah pengarang sandiwara Gadjah Mada. "Celengan kan gendut. Pipi Yamin kan tembem," kata Daoed.

Benedict Anderson dalam buku klasik Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946 menulis bahwa tak ada satu orang pun yang bisa mengontrol Yamin. Orang ini keras kepala, sembarangan, menjengkelkan dan dibiarkan saja semau sendiri. Zaman itu tak ada yang peduli soal campur aduk fakta dan fiksi. Ia dianggap tak sepenting soal revolusi melawan Belanda. Yamin menerbitkan sandiwara Gadjah Mada pada 1946.

Sejarahwan Jean Gelman Taylor menulis satu bab "Majapahit Visions: Sukarno and Suharto in the Indonesian Histories" dalam buku Indonesia: Peoples and Histories. Bab ini khusus membandingkan Majapahit versi arkeologi dan Majapahit versi propaganda. Dari sudut arkeologi, Taylor menerangkan bahwa Majapahit sebuah kerajaan kecil di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Rezim Sukarno dan Suharto berkepentingan membuat mitos Majapahit sebagai kerajaan besar guna mendukung agenda mereka masing-masing: nation building dan economic development. Mereka memakai apa yang diletakkan Yamin soal Gadjah Mada untuk kepentingan propaganda masing-masing rezim.

Hasilnya, macam-macam pikiran Yamin masuk dalam pelajaran sejarah di sekolah maupun berbagai propaganda lain. Indonesia dijajah Belanda 350 tahun. Ada patih Gadjah Mada dari kerajaan Majapahit bikin Sumpah Palapa. Nenek moyang selama 6,000 tahun. Saya sering geli baca macam-macam propaganda ini. Karya fiksi masuk dalam pelajaran sejarah.

Sayangnya, banyak warga negara Indonesia percaya. Artinya, kepercayaan terhadap makna negara Indonesia tak diletakkan pada fondasi kebenaran faktual. Dasar negara ini diletakkan pada tumpukan fiksi. Geli tapi juga sedih.

Thursday, May 13, 2010

Obama Quotes


Santai membaca buku The Bridge: The Life and Rise of Barack Obama karya David Remnick di kamar Hotel Oasis, Banda Aceh. Buku setebal 800 halaman. Ia mencoba merekam sejarah awal Obama. Dari perkenalan Barack Obama Sr. dengan Ann Durham hingga kemenangan Obama dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 2009.
©2010 Andreas Harsono


Selama seminggu tinggal di Hotel Oasis, Banda Aceh, aku mulai membaca buku The Bridge: The Life and Rise of Barack Obama karya David Remnick. Aku kira buku ini memperkaya pemahaman aku soal bukan saja Obama namun politik ras di Amerika Serikat. Ia juga melengkapi pemahaman aku setelah sebelumnya membaca buku-buku karya Obama.

Remnick seorang wartawan bermutu. Kini dia redaktur executive mingguan The New Yorker. Dia juga menulis soal proses pemilihan Senator maupun Presiden di Amerika Serikat. Mulai dari fund raising hingga poll, dari grass root hingga elite. Ini buku bermutu yang kelak akan memperkaya diskusi soal Obama.

Aku mencatat beberapa quote Obama:
  • I have an unusual name and an exotic background, but my values are essentially American values.
  • I'm rooted in the African-American community, but not limited by it.
  • America and Islam are not exclusive and need not be in competition. Instead, they overlap, and share common principles of justice and progress, tolerance and the dignity of all human beings.
  • Change will not come if we wait for some other person or some other time. We are the ones we've been waiting for. We are the change that we seek.
  • Al Qaeda is still a threat. We cannot pretend somehow that because Barack Hussein Obama got elected as president, suddenly everything is going to be OK.
  • I know my country has not perfected itself. At times, we've struggled to keep the promise of liberty and equality for all of our people. We've made our share of mistakes, and there are times when our actions around the world have not lived up to our best intentions.
  • It took a lot of blood, sweat and tears to get to where we are today, but we have just begun. Today we begin in earnest the work of making sure that the world we leave our children is just a little bit better than the one we inhabit today.

Wednesday, May 12, 2010

Ali Raban dan Adi Warsidi


Kamerawan Ali Raban (kiri), reporter Zulkarnaini Muchtar dan Adi Warsidi (baju hitam) serta beberapa wartawan Aceh sedang makan siang di satu Banda Aceh.
© 2009 Oki Tiba

Lama kenal nama tapi tak pernah jumpa orang. Minggu ini aku bertemu dengan Ali Raban, seorang kamerawan dari Banda Aceh, yang sering meliput kekerasan di Aceh. Kini Ali Raban bekerja untuk Metro TV. Dulu Ali Raban dikenal berpasangan dengan Umar HN, bekerja untuk RCTI. Dia sering mendapatkan gambar-gambar penting peperangan di Aceh. Mungkin Ali Raban adalah kamerawan dengan database video paling banyak soal konflik Aceh.

Adi Warsidi
adalah koresponden mingguan Tempo serta instruktur Muharram Journalism College di Banda Aceh. Kami sudah pernah bertemu beberapa kali. Aku salah seorang pengagum liputan Adi Warsidi, terutama yang dia kerjakan untuk mingguan Acehkita. Adi Warsidi seorang stylish yang hebat. Dia pernah menggambarkan perjalanan dan interview dengan seorang gerilawan Gerakan Acheh Merdeka.

Selama seminggu ini aku duduk-duduk di Banda Aceh, menjumpai kawan lama serta berkenalan dengan kawan baru. Tujuan perjalanan kali ini agak santai. Aku menemani Christen Broecker, seorang peneliti muda dari New York. Dia bikin riset soal perempuan di Aceh. Namun rekan-rekan New York minta aku mengantar Broecker ke Banda Aceh, guna berkenalan dengan beberapa sumber, mencarikan penterjemah dan berikutnya dia jalan sendiri. Aku juga menyelesaikan sebuah laporan panjang dan mempersiapkan sebuah esai untuk satu harian Jakarta.

Ali Raban, secara tak langsung, aku kenal pertama ketika menyunting naskah "Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft" karya Chik Rini. Naskah tersebut diterbitkan majalah Pantau edisi Mei 2002. Rini cerita soal kesaksian lima wartawan, termasuk Ali Raban, saat meliput pembantaian ratusan orang Aceh di Simpang Kraft, dekat Lhokseumawe, pada 3 Mei 1999.

Aku juga memberi kuliah di beberapa tempat di Banda Aceh, termasuk untuk Muharram Journalism College. Senang bisa jumpa dengan kenalan-kenalan lama. Ada banyak cerita di Aceh, termasuk kekerasan masa lalu maupun perundingan antara Indonesia dan Gerakan Acheh Merdeka di Helsinki pada 2005, yang baru aku ketahui minggu ini.

Aku kira orang Aceh perlu menulis apa yang mereka ketahui soal proses Helsinki. Selama ini, aku hanya membaca buku soal Helsinki dari sisi negotiator Indonesia, termasuk Jusuf Kalla, Farid Hussain dan Hamid Awaluddin. Mereka masing-masing sudah menerbitkan buku. Damien Kingsbury, sarjana Australia yang membantu pihak Acheh, juga menulis soal proses perjanjian itu. Martti Ahtisaari dari Crisis Management Initiative mendapat hadiah Nobel. Namun belum satu pun dari pihak Acheh menulis buku.