Monday, December 28, 2009

Monumen Munir untuk Hak Asasi Manusia


Masa liburan ini saya sekeluarga berkunjung ke satu pemakaman sederhana di kota Batu, sekitar satu jam dari Malang. Satu makam dengan batu nisan kecil. Satu makam dengan tanah longsor. Ia adalah makam Munir bin Said Thalib, salah satu orang besar dari negara bernama Indonesia.

Anisa binti Said Thalib, kakak kandung almarhum, menemani kami berkunjung ke makam. Di samping makam Munir adalah makam ibunda mereka, Jamilah, yang meninggal tahun lalu, lima tahun sesudah anaknya meninggal diracun arsenik, dalam pesawat Garuda Indonesia, jurusan Jakarta-Amsterdam, 7 September 2004.

Anisa binti Said Thalib duduk di antara nisan adik dan ibunya. Anisa lahir setahun lebih tua daripada Munir. Ibunda mereka, Jamila, meninggal dunia tahun lalu, lima tahun sesudah kepergian Munir.
© 2009 Sapariah Saturi

Kami membersihkan rumput. Kami mengenang keberanian Cak Munir. Mbak Anisa juga cerita soal longsor beberapa waktu lalu sehingga makam Cak Munir terkena. Pinggiran makam rontok. Kami juga jalan-jalan ke rumah keluarga Said Thalib, menikmati kripik dan mengobrol dengan Mbak Anisa.

Cak Munir kelahiran Batu, 8 Desember 1965, setahun lebih muda daripada Mbak Anisa. Ketika kecil, menurut Anisa, Munir badan kecil dan rambut merah. Mungkin karena rambut merah, Munir sering dijadikan olok-olok kawan-kawan dia. Dia lulus pendidikan hukum di Universitas Brawijaya, Malang, dan merintis karir di LBH Surabaya. Munir lantas menjadi seorang pejuang hak asasi manusia.

Saat menjabat koordinator Kontras, namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang, yang diculik pada 1997-1998. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Kopassus. Setelah diktator Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan mantan komandan Kopassus Letnan Jenderal Prabowo Subianto dan diadilinya 11 anggota Kopassus.

Munir dibunuh sesudah jatuhnya diktator Soeharto, pada era demokrasi dan keterbukaan serta harapan akan hadirnya sebuah Indonesia yang dia cita-citakan mulai berkembang. Sejak 2005, tanggal meninggalnya Munir, 7 September, dicanangkan sebagai hari pembela hak asasi manusia, atau dalam bahasa Inggris, disebut human rights defender.

Anisa mengatakan keluarga Said Thalib tak mau bila makam dijadikan tidak sederhana. Ini soal kepercayaan dan adat keluarga. Namun soal tempat lain untuk memperingati Munir, Anisa minta saya berhubungan dengan abang sulung mereka.
© 2009 Sapariah Saturi

Saya usul kepada keluarga Said Thalib agar orang diizinkan bikin sebuah monumen guna mengenang keberanian, pengetahuan serta pengorbanan Cak Munir di bidang hak asasi manusia. Saya kira menarik bila ia dibangun di taman kecil, Jl. Imam Bonjol, kota Batu, terletak antara makam maupun rumah keluarga. Tujuannya, tempat merenung untuk tahu betapa beratnya menegakkan hukum dan menghormati hak asasi manusia.

Munir, saya kira, salah satu putra terbaik kota Batu. Monumen ini harus bisa menjadi salah satu daya tarik kota Batu. Orang akan datang ke Batu bukan saja untuk wisata agro --apel dan jambu-- namun juga datang ke monumen hak asasi manusia. Merenung. Monumen ini seyogyanya bisa jadi tempat orang belajar soal prinsip negara-hukum, soal pentingnya kebebasan sipil dan demokrasi. Kebebasan sipil meliputi kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, kebebasan beragama, kebebasan pers dan sebagainya.

Titarubi, seorang seniman Jogjakarta, kenalan lama saya, mengatakan lewat Facebook, ide ini sebaiknya dilombakan sehingga banyak seniman yang ikut terlibat, "... berupa sketsa dan konsep, juga puisi pendek, tentang perjuangan hak asasi manusia. Lalu yang menang kita carikan dananya untuk membuat monumen dan taman kecil dengan plakat puisi tersebut." Menurut Tita, sepuluh atau 20 konsep terbaik bisa dibuatkan pameran dan bukunya.

Friday, December 25, 2009


No, no: the real name. It is always awkward doing business with an alias."

-- Sir Arthur Conan Doyle (1859-1930), when rejecting a man using a pseudo name, through his detective character Sherlock Holmes in the short story The Blue Carbuncle

Pastor John Jonga pidato menerima Yap Thiam Hien award di Hotel Borobudur, Jakarta, 10 Desember 2009. Sepuluh tahun lalu, penghargaan ini juga diberikan kepada Papua: Yosepha Alomang.

Kekerasan Berakar di Kalimantan Barat
Lebih dari 70 warga Pontianak dan Singkawang mengeluarkan Seruan Pontianak, minta agar warga berhati-hati dengan tradisi kekerasan di Kalimantan Barat.

Dari Sabang Sampai Merauke
Berkelana dari Sabang ke Merauke, wawancara dan riset buku. Ia termasuk tujuh pulau besar, dari Sumatera hingga Papua, plus puluhan pulau kecil macam Miangas, Salibabu, Ternate dan Ndana.

Training Ganto di Padang
Lembaga media mahasiswa Ganto dari Universitas Negeri Padang bikin pengenalan investigative reporting. Ada 46 mahasiswa dari dari berbagai kota Sumatera plus Jawa dan Makassar.

Homer, The Economist and Indonesia
Homer Simpsons read the dry Economist magazine in a First Class flight. Homer talked about "Indonesia" ... and later The Economist used the Simpsons joke to describe ... Indonesia.

Bagaimana Meliput Agama?
Dari Istanbul dilakukan satu seminar soal media dan agama. Dulunya Constantinople, ibukota kerajaan Romawi Timur, hingga direbut kesultanan Ottoman pada 1453.

Sebuah Kuburan, Sebuah Nama
Di Protestant Cemetery, Penang, terdapat sebuah makam untuk James Richardson Logan, seorang juris-cum-wartawan, yang menciptakan kata Indonesia pada 1850.

Makalah Criminal Collaborations
S. Eben Kirksey dan saya menerbitkan makalah "Criminal Collaborations?" di jurnal South East Asia Research (London). Ia mempertanyakan pengadilan terhadap Antonius Wamang soal pembunuhan di Timika.

Moedjallat Indopahit
Satu majalah didisain sebagai undangan pernikahan. Isinya, rupa-rupa cerita. Dari alasan pernikahan hingga kepahitan sistem kenegaraan Indonesia keturunan Majapahit.

Struktur Negara Federasi
Rahman Tolleng bicara soal struktur federasi di Indonesia. Kuncinya, kekuasaan ditaruh di tangan daerah-daerah lalu diberikan sebagian ke pusat. Bukan sebaliknya, ditaruh di pusat lalu diberikan ke daerah: otonomi. Bagaimana Republik Indonesia Serikat?

Media dan Jurnalisme
Saya suka masalah media dan jurnalisme. Pernah juga belajar pada Bill Kovach dari Universitas Harvard. Ini makin sering sesudah kembali ke Jakarta, menyunting majalah Pantau.

The Presidents and the Journalists
In 1997, President Suharto lectured editors to have "self-censorship." Now President Susilo Bambang Yudhoyono also lectured about "self-censorship." What's wrong?

Burrying Indonesia's Millions: The Legacy of Suharto
Suharto introduced a "business model" for soldiers and businessmen. He built ties to merchants Liem Sioe Liong and Bob Hasan, accummulating immense wealth while using violence to repress dissension.

Kronologi Pengasuhan Norman
Norman kekurangan waktu belajar, istirahat dan bermain sejak dipindahkan ibunya dari Pondok Indah ke Bintaro. Jarak tempuh ke sekolah 120 km pergi-pulang. Ini ibu celaka. Child abuse adalah isu publik.

Polemik Sejarah, Pers dan Indonesia
Kapan "pers Indonesia" lahir? Apa 1744 dengan Bataviasche Nouvelles? Apa 1864 dengan Bintang Timoer di Padang? Soerat Chabar Betawie pada 1858? Medan Prijaji pada 1907? Atau sesuai proklamasi Agustus 1945? Atau kedaulatan Desember 1949?

Murder at Mile 63
A Jakarta court sentenced several Papuans for the killing of three Freeport teachers in August 2002. Why many irregularities took place in the military investigation and the trial? What did Antonius Wamang say? How many weapons did he have? How many bullets were found in the crime site?

Protes Melawan Pembakaran Buku
Indonesia membakar ratusan ribu buku-buku pelajaran sekolah. Ini pertama kali dalam sejarah Indonesia, maupun Hindia Belanda, dimana buku sekolah disita dan dibakar.

Indonesia: A Lobbying Bonanza
Taufik Kiemas, when his wife Megawati Sukarnoputri was still president, collected political money to hire a Washington firm to lobby for Indonesian weapons. This story is a part of a project called Collateral Damage: Human Rights and US Military Aid

Hoakiao dari Jember
Ong Tjie Liang, satu travel writer kelahiran Jember, malang melintang di Asia Tenggara. Dia ada di kamp gerilya Aceh namun juga muncul di Rangoon, bertemu Nobel laureate Aung San Suu Kyi maupun Jose Ramos-Horta. Politikus Marrissa Haque pernah tanya, “Mas ini bekerja untuk bahan tulisan atau buat intel Amerika berkedok ilmuwan?”

State Intelligence Agency hired Washington firm
Indonesia's intelligence body used Abdurrahman Wahid’s charitable foundation to hire a Washington lobbying firm to press the U.S. Congress for a full resumption of military assistance to Indonesia. Press Release and Malay version

From the Thames to the Ciliwung
Giant water conglomerates, RWE Thames Water and Suez, took over Jakarta's water company in February 1998. It turns out to be the dirty business of selling clean water.

Bagaimana Cara Belajar Menulis Bahasa Inggris
Bahasa punya punya empat komponen: kosakata, tata bahasa, bunyi dan makna. Belajar bahasa bukan sekedar teknik menterjemahkan kata dan makna. Ini juga terkait soal alih pikiran.

Dewa dari Leuwinanggung
Saya meliput Iwan Fals sejak 1990 ketika dia meluncurkan album Swami. Waktu itu Iwan gelisah dengan rezim Soeharto. Dia membaca selebaran gelap dan buku terlarang. Dia belajar dari W.S. Rendra dan Arief Budiman. Karir Iwan naik terus. Iwan Fals jadi salah satu penyanyi terbesar yang pernah lahir di Pulau Jawa. Lalu anak sulungnya meninggal dunia. Dia terpukul. Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi?

Saturday, December 12, 2009

John Djonga dan Mama Yosepha



Dua orang pendekar hak asasi manusia bertemu sesudah pemberian penghargaan Yap Thiam Hien award di Jakarta. Pastor John Djonga mendapatkan penghargaan pada 10 Desember 2009. Ia diberikan dalam suatu upacara megah di Hotel Borobudur, Jakarta.

Yosepha Alomang mendapat penghargaan ini pada Desember 1999. Dia minta penghargaan tersebut diserahkan di Jayapura, bukan di Jakarta. Hadiah untuk Mama Yosepha diserahkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid di Jayapura. Mama Yosepha mengatur 85 warga Timika datang ke Jayapura.

Pastor John dan Mama Yosepha bukan kenalan baru. Pastor John pernah bekerja di Timika, bahu-membahu dengan Mama Yosepha, melawan berbagai macam pelanggaran yang dilakukan oleh aparat negara Indonesia. Baik lewat militer, pemerintahan maupun PT Freeport Indonesia.

Djonga kelahiran Manggarai, Pulau Flores, pada 1958. Dia ditawari bekerja di Papua pada 1986. Mula-mula bertugas di Lembah Baliem, lantas Timika dan belakangan Keerom. Mama Yosepha kelahiran kampung Tsinga, sekarang lokasi penambangan Freeport, pada 1940an.

Riwayat Mama Yosepha sudah dibukukan Yosepha Alomang: Pergulatan Seorang Perempuan Papua Melawan Penindasan karya Benny Giay & Yafet Kambai terbitan Elsham (2003).

"Saya mulai mengenal Pater John sekitar tahun 1994 di Timika. Sejak tahun ini Pater John tugas di Timika, di daerah suku Kamoro juga Amungme. Barangkali Pater John juga mendengar pengalaman kami melawan ketidakadilan dan kejahatan sehingga dia mulai mengerti apa yang kami, mama-mama, lakukan."

Mama Yosepha pernah ditahan lebih dari 10 kali. Pada 1994, dia dituduh membantu Kelly Kwalik, seorang pemimpin Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka. Kelly Kwalik, kakak ipar Yosepha, titip uang Rp 1.5 juta dan minta dibelikan barang-barang.

Mama Yosepha membelikan pakaian, jarum, benang jahit dan jaring ikan. Bersama satu mama dan empat gadis Amungme, mereka membelikan keperluan Kelly Kwalik dan mengantar ke hutan.

Namun mereka diketahui oleh intel. Mama Yuliana dan Mama Yosepha ditahan di Polsek Timika. Di belakang Polsek Timika ada WC yang dipenuhi kotoran manusia. Mereka ditahan dalam WC berisi kotoran manusia selama satu bulan. Makanan dilemparkan ke dalam serta jatuh ke air penuh kotoran manusia dan air kencing. Mereka terpaksa makan makanan tersebut.

"Orang Indonesia anggap kami orang Papua itu bukan manusia. Orang Papua itu orang Indonesia punya makanan. Dalam pikiran orang Indonesia, orang Papua mahluk yang tidak punya perasaan, pengalaman, adat dan budaya dan tidak punya akal."

"... kami orang Papua terus-menerus mati dibunuh lalu dibuang seperti tikus atau binatang di parit, atau di kolam, rawa-rawa dan di jurang; atau di kakus atau WC yang Indonesia buat di Tanah Papua. Tindakan pemerintah Indonesia selama ini menyebabkan kami orang Papua mati di penjara-penjara atau sel kecil di Papua, kami makan tidur di atas kami punya kotoran dan air kencing."

Ketika Mama Yosepha menerima Yap Thiam Hien award, Pastor John menciptakan pusisi Doa Anak Telanjang. Puisi tersebut lantas sering dibacakan di Papua. Sepuluh tahun sesudahnya, puisi Doa Anak Telanjang dibacakan lagi di hadapan Pastor John sendiri, yang juga menerima Yap Thiam Hien award.

Yap Thiam Hien Award adalah penghargaan bidang hak asasi manusia, yang pertama di Indonesia. Ia diselenggarakan sejak 1992. Yap Thiam Hien (1913-1989) sendiri seorang Tionghoa kelahiran Kutaraja, Acheh. Dia dikenal sebagai pengacara yang berani, teguh membela keadilan. Yap ikut mendirikan Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta.

Friday, December 11, 2009

Doa Anak Telanjang


Doa Anak Telanjang karya Pastor John Djonga, diciptakan saat sahabatnya, Yosepha Alomang, mendapat Yap Thiam Hien award pada Desember 1999. Ia juga dibacakan pada lokakarya Yayasan HAMAK Timika, Januari 2002. Doa Anak Telanjang dibacakan lagi oleh Yuliana Langwuyo di Hotel Borobudur, Jakarta, pada 10 Desember 2009 ketika Pastor John juga menerima Yap Thiam Hien Award.


John Djonga pidato menerima Yap Thiam Hien award.

Tuhan Allah Bapa dan Ibu Kami

Kau sudah tahu toooh
Saya duduk, berdiri, berjalan, di atas lumuran darah dan serakan tulang belulang tete–nenek leluhur bangsa ini.
Bapa telah meninggal, mama juga telah pergi untuk selama-lamanya setelah diperkosa oleh pasukan penyisir.
Kakakku ditembak ketika anak–anak negeri mencari kebenaran dan keadilan.

Tuhan, Sumber dan Tujuan Hidup Kami

Kami anak telanjang duduk seorang diri.
Kayu perahu sudah ditebang.
Dusun sagu telah dibabat jadi lokasi transmigrasi dan kelapa sawit.
Burung kuning sudah mulai punah.
Laut sungai kini telah tercemar.
Rahim bumi kami dikuras demi segelintir orang rakus.
Tanah adat kami dicaplok oleh pemerintah, militer, pedagang, pengusaha, gereja dan barisan panjang amber-amber dorang.

Tuhan, apakah mereka juga anak-anakMu?
Mengapa mereka begitu biadab?
Ataukah urat hati mereka sudah putus?
Tuhan dimanakah anak negeri ini?
Hanya satu pintaku sebagai anak bangsa bumi Cenderawasih:

Tuhan Embunkan Kami


Semangat juang leluhur tanah Papua.
Biarlah darah mengalir menyinari ibu kami Papua, biarlah tulang belulang yang berserakan di belantara tanah ini menjadi anak cucu masa depan.
Biarlah para pejuang satu persatu kembali pada-Mu agar tumbuh seribu.

Tuhan, Allah bapa dan Ibu kami

Biarlah Yosepha semakin senja agar sejuta Yosepha lahir dari rahim Papua Baru.
Anak telanjang mati terbacok badik.
Tertembak peluru api.
Ditabrak pembunuh professional.
Karena anak telanjang dianggap mabuk.
Ia mati, mati, mati ...

Roh anak telanjang membakar semangat juang anak Papua untuk selama-lamanya.

Amien.

Thursday, December 10, 2009

Bermain di Dunia Fantasi


Norman Harsono mulai memasuki masa libur tahunan pada 7 Desember 2009. Dia mengisi liburan dengan membeli satu set buku karya Arthur Conan Doyle (1859-1930). Isinya, cerita soal detektif swasta Sherlock Holmes. Norman memang mengagumi cara kerja Holmes: deduksi. Mungkin ini terkait dengan kesukaan Norman terhadap pelajaran ilmu pengetahuan. Aku tak pernah kuatir dengan mata pelajaran ini. Norman selalu dapat salah satu nilai tertinggi di sekolah untuk pelajaran science. Sherlock Holmes juga menggunakan pemikiran deduksi, ilmiah, guna menarik kesimpulan.

Namun melihat Norman membaca Sherlock Holmes juga "bikin cemas." Anak ini membaca dengan kecepatan tinggi. Dia bisa habiskan dua atau tiga buku dalam sehari. Satu buku berisi sekitar satu lusin cerita pendek. Norman cerita dengan mudah plot demi plot yang muncul dari 221B Upper Baker Street: tempat tinggal Sherlock Holmes di London dimana dia sering diskusi dengan sahabatnya Dr. John Watson. Dalam waktu seminggu, semua karya Doyle sudah dilahap Norman. Padahal Doyle menciptakan semua karyanya dari 1886 hingga 1927, selama 31 tahun. Beberapa karya bahkan dibaca ulang oleh Norman karena ada bagian dimana dia kurang mengerti.

Aku senang saja melihat Norman membaca. Walau aku pernah marah karena dia membaca sambil jalan di tempat umum. Aku kuatir dia kena tabrak orang. Tapi aku ingat pengalaman masa kecil dimana sering diomeli Papa bila membaca buku terlalu lama. Aku tak mau mengomeli Norman. Dia sangat intense bila membaca. Pikirannya bisa masuk ke khayalan dalam buku. Sulit mengganggu Norman bila dia sudah membaca. Kebetulan pula, serial televisi yang disukainya adalah Monk, tentang seorang detektif San Fransisco, yang jagoan membongkar kejahatan. Serial Monk diciptakan oleh Andy Breckman dan diperankan aktor Tony Shalhoub

Suatu pagi, Norman bangun, sesudah sarapan, dia tanya apakah dia bisa diajak pergi ke Dunia Fantasi. Aku dengan senang hati menerima ajakan Norman. Ini selingan penting untuk dunia membaca dia. Sapariah dan Sri Mulyani, pengasuh Norman sejak dia kelas dasar satu, juga dimintanya ikut. Kami datang pada hari Rabu dengan asumsi hari kerja dan Dunia Fantasi tak begitu ramai. Kami sering capek antri di Dunia Fantasi. Suatu permainan bisa antri hingga satu jam.

Ternyata harapan kami sia-sia. Dunia Fantasi tetap penuh. Kami hanya ikut permainan-permainan yang kurang populer. Antrian ringan. Kini Norman yang datang ke Dunia Fantasi bukan Norman kecil. Dia seorang remaja umur 12 tahun. Dia tak sabar menunggu antrian. Dia juga menolak diminta berpose. Jerawatnya juga mulai muncul.

Namun lumayan juga seharian ini bisa bermain di Dunia Fantasi. Aku juga jengkel lihat tumpah ruah pengunjung Dunia Fantasi. Ini belum lagi dengan para perokok yang sibuk merokok sambil antri. Aku kira Jakarta memerlukan tempat bermain alternatif. Kami terpaksa meninggalkan Dunia Fantasi lebih awal karena tak banyak yang bisa kami ikuti dengan antrian-antrian super panjang. Norman mengomel sesorean. Dia lagi berpikir bagaimana cara bisa bermain roller coaster atau ontang-anting tanpa terkena asap rokok dan antrian panjang?

Monday, December 07, 2009

Tropenmuseum Collection on Wikimedia Commons


Men performed Seudati dance in Samalanga, Bireun, Aceh, in 1907. Tropenmuseum donated more than 35,000 old pictures to Wikimedia Commons in December 2009, including this file.

Pranala luar

  • Koleksi gambar sumbangan Tropenmuseum di Commons
  • Contoh sumbangan