Saturday, May 30, 2009

“The Snake is sophisticated, charming and graceful. They have an uncanny innate wisdom that makes them inscrutable."

-- Andreas Harsono was born under the Chinese Zodiac sign of the Snake


Para penandatangan Deklarasi Sirnagalih di Puncak 7 Agustus 1994 -- deklarasi yang mendirikan Aliansi Jurnalis Independen, dua minggu sesudah rezim Orde Baru membredel tiga mingguan di Jakarta.

Dari Cemorolawang Memandang Bromo
Berkunjung ke Cemorolawang, sebuah desa di kawasan Kaldera Tengger, guna memandang matahari terbenam dengan indah di Gunung Bromo.

Reuni SMPK Maria Fatima Jember
Bagaimana rasanya bertemu kawan-kawan masa remaja sesudah 27 tahun tidak bertemu? Kisah reuni kecil di kota kecil Jember.

Bagaimana Meliput Agama?
Dari Istanbul dilakukan satu seminar soal media dan agama. Dulunya Constantinople, ibukota kerajaan Romawi Timur, hingga direbut kesultanan Ottoman pada 1453.

Sebuah Kuburan, Sebuah Nama
Di Protestant Cemetery, Penang, terdapat sebuah makam untuk James Richardson Logan, seorang juris-cum-wartawan, yang menciptakan kata Indonesia pada 1850.

Pelatihan Narasi Pontianak
Tribune Institute bikin pelatihan narasi selama seminggu di Pontianak. Acara ditambah dengan jalan-jalan di pelabuhan Senghi dan daerah Beting.

Makalah Criminal Collaborations
S. Eben Kirksey dan saya menerbitkan makalah "Criminal Collaborations?" di jurnal South East Asia Research (London). Ia mempertanyakan pengadilan terhadap Antonius Wamang soal pembunuhan di Timika.

Panasnya Pontianak, Panasnya Politik
Borneo Barat adalah salah satu wilayah perang di Indonesia. Jamie Davidson menyebutnya sebagai "the unknown war" atau perang yang tak disadari. Bagaimana memahami perang yang sudah makan ratusan ribu korban ini?

Moedjallat Indopahit
Satu majalah didisain sebagai undangan pernikahan. Isinya, rupa-rupa cerita. Dari alasan pernikahan hingga kepahitan sistem kenegaraan Indonesia keturunan Majapahit.

Media dan Jurnalisme LINK
Saya suka menulis masalah media dan jurnalisme. Pernah juga belajar pada Bill Kovach dari Universitas Harvard. Ini makin sering sesudah kembali ke Jakarta, menyunting majalah Pantau.

The Presidents and the Journalists
In 1997, President Suharto lectured editors to have "self-censorship." Now President Susilo Bambang Yudhoyono also lectured about "self-censorship." What's wrong?

Burrying Indonesia's Millions: The Legacy of Suharto
Suharto introduced a "business model" for soldiers and businessmen. He built ties to merchants Liem Sioe Liong and Bob Hasan, accummulating immense wealth while using violence to repress dissension.

Kronologi Pengasuhan Norman
Norman kekurangan waktu belajar, istirahat dan bermain sejak dipindahkan ibunya dari Pondok Indah ke Bintaro. Jarak tempuh ke sekolah 120 km pergi-pulang. Ini ibu celaka. Child abuse adalah isu publik.

Polemik Sejarah, Pers dan Indonesia
Kapan "pers Indonesia" lahir? Apa 1744 dengan Bataviasche Nouvelles? Apa 1864 dengan Bintang Timoer di Padang? Soerat Chabar Betawie pada 1858? Medan Prijaji pada 1907? Atau sesuai proklamasi Agustus 1945? Atau kedaulatan Desember 1949?

Murder at Mile 63
A Jakarta court sentenced several Papuans for the killing of three Freeport teachers in August 2002. Why many irregularities took place in the military investigation and the trial? What did Antonius Wamang say? How many weapons did he have? How many bullets were found in the crime site?

Protes Melawan Pembakaran Buku
Indonesia membakar ratusan ribu buku-buku pelajaran sekolah. Ini pertama kali dalam sejarah Indonesia, maupun Hindia Belanda, dimana buku sekolah disita dan dibakar.

Indonesia: A Lobbying Bonanza
Taufik Kiemas, when his wife Megawati Sukarnoputri was still president, collected political money to hire a Washington firm to lobby for Indonesian weapons. This story is a part of a project called Collateral Damage: Human Rights and US Military Aid

Dari Sabang Sampai Merauke
Sejak Juli 2003, saya berkelana dari Sabang ke Merauke, guna wawancara dan riset buku. Intinya, saya pergi ke tujuh pulau besar, dari Sumatra hingga Papua, plus puluhan pulau kecil macam Miangas, Salibabu, Ternate dan Ndana. Inilah catatan kecil perjalanan tersebut.

Hoakiao dari Jember
Ong Tjie Liang, satu travel writer kelahiran Jember, malang melintang di Asia Tenggara. Dia ada di kamp gerilya Aceh namun juga muncul di Rangoon, bertemu Nobel laureate Aung San Suu Kyi maupun Jose Ramos-Horta.

State Intelligence Agency hired Washington firm
Indonesia's intelligence body used Abdurrahman Wahid’s charitable foundation to hire a Washington lobbying firm to press the U.S. Congress for a full resumption of military assistance to Indonesia. Press Release and Malay version

From the Thames to the Ciliwung
Giant water conglomerates, RWE Thames Water and Suez, took over Jakarta's water company in February 1998. It turns out to be the dirty business of selling clean water.

Bagaimana Cara Belajar Menulis Bahasa Inggris
Bahasa punya punya empat komponen: kosakata, tata bahasa, bunyi dan makna. Belajar bahasa bukan sekedar teknik menterjemahkan kata dan makna. Ini juga terkait soal alih pikiran.

Dewa dari Leuwinanggung
Saya meliput Iwan Fals sejak 1990 ketika dia meluncurkan album Swami. Waktu itu Iwan gelisah dengan rezim Soeharto. Dia membaca selebaran gelap dan buku terlarang. Dia belajar dari W.S. Rendra dan Arief Budiman. Karir Iwan naik terus. Iwan Fals jadi salah satu penyanyi terbesar yang pernah lahir di Pulau Jawa. Lalu anak sulungnya meninggal dunia. Dia terpukul. Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi?

Gambar Seram dari Wamena


Peringatan
Ada gambar yang bisa bikin perut mual!



AWAL MEI ini saya mendapat beberapa pertanyaan dari beberapa orang soal empat buah gambar yang beredar lewat email, antara lain, dari Port Moresby. Isinya, sebuah serial tentang sekelompok orang Papua, tepatnya orang Pegunungan Tengah, yang ditangkap polisi Indonesia.

Mereka ditangkap. Mereka diminta melepaskan pakaian mereka. Telanjang dada. Dua orang ditembak mati. Gambarnya seram sekali. Perut saya mual melihat gambar keempat. Saya ingatkan Anda untuk tak meneruskan melihat gambar-gambar ini bila tak benar-benar perlu.


Ada dugaan gambar-gambar ini diambil sesudah terjadinya serangkaian kekerasan di Papua saat pemilihan umum 9 April 2009. Ada yang berasumsi ia terjadi pada 29 April saat ratusan tentara Indonesia dari Batalion Infantri 751/Berdiri Sendiri mengamuk di Sentani. Saya agak ragu karena hari itu tak ada satu pun korban jatuh. Ada empat wartawan mengalami kekerasan namun tak ada korban nyawa.

Saya cek gambar-gambar ini diambil pada 28 Januari 2004. Dari beberapa wartawan dan aktivis hak asasi manusia di Jayapura dan Wamena, saya diberitahu bahwa gambar gedung bundar dalam foto kemungkinan besar ada di Wamena. "Itu macam bentuk honai," kata seorang wartawan. Seragam polisi dalam gambar adalah Gegana, sebuah unit penjinak bom dari Brimob. Ada juga wartawan bilang gambar-gambar ini pernah dilihatnya dalam demonstrasi mahasiswa. Lagi-lagi, dia tak tahu siapa nama korban-korban ini?

Saya sudah mencoba hubungi lebih dari 20 sumber di Wamena dan Jayapura. Ada seorang mantan wartawan mau bantu saya meneliti gambar-gambar ini namun juga belum ada hasilnya. Sudah hampir sebulan saya tak tahu apa-apa soal gambar ini. Semua buntu. Tak ada yang tahu siapakah korban? Mengapa mereka ditembak? Siapa yang menembak mereka? Mengapa ditembak dari jarak dekat?


Saya terpaksa memuat gambar-gambar ini dalam blog saya untuk minta bantuan Anda, terutama yang tinggal di Jayapura dan Wamena, apabila ada yang kenal korban? Atau ingat kejadian apa? Tak kalah pentignya, saya ingin tahu siapa yang mengambil gambar-gambar ini? Saya tak bermaksud tidak hormat kepada almarhum maupun keluarganya. Sebaliknya, saya justru ingin mencari kebenaran apa yang terjadi pada korban. Bila ada yang tahu, silahkan hubungi saya. Saya hendak membuat naskah soal keempat gambar ini.

Pegunungan Tengah adalah suatu daerah di jantung Pulau Papua dimana penduduknya berkulit gelap dan rambut sangat keriting. Daerah ini ditempati beberapa etnik. Namun semua berkulit gelap dan rambut sangat keriting. Orang-orang Gunung biasanya dibedakan dengan orang-orang pantai, macam Biak, Serui, Manokwari, Jayapura dan sebagainya, yang kulitnya lebih terang. Mungkin buat orang dari luar Papua, mereka kurang terlihat berbeda. Orang Papua sangat mudah membedakan siapa Gunung, siapa Pantai. Sama dengan orang di Jawa mudah membedakan orang Solo atau Surabaya, mana Sunda, mana Jawa, mana Madura, kebanyakan orang Papua juga mudah mengenal etnik mereka hanya dari melihat bentuk badan, penampilan fisik dan logat bahasa.

Friday, May 22, 2009

Ruang Kerja dan Rak Buku


Pada 20 Meil 2009, kami memasang rak buku untuk menampung hampir 1000 buku-buku milik Sapariah dan aku. Senang juga bisa sortir buku. Aku membaginya secara geografis. Misalnya, Jawa, Sumatra, Celebes, Kalimantan, Sunda Kecil (termasuk Timor Leste), Asia Tenggara dan lain-lain. Ternyata koleksi buku aku paling banyak ada pada isu media dan jurnalisme. Ada sekitar 200 buku soal media dan jurnalisme.

Secara geografis, koleksi aku paling banyak pada Pulau Jawa. Ini tak mengagetkan karena kebanyakan literatur soal Indonesia, sebenar-benarnya hanya dalam scope Pulau Jawa. Aku juga baru sadar bahwa koleksi aku soal Papua ternyata lebih banyak daripada Minahasa atau Sunda Kecil. Cendekiawan Papua ternyata cukup banyak yang menulis buku.

Kalau dalam rak Sunda Kecil, pulau-pulau yang membentang dari Pulau Bali hingga Pulau Timor, maka Bali dan Timor Leste paling banyak. Buku soal Kupang, Flores, Sumba dan Rote hampir tak terdengar walau cukup banyak orang Flores dan Rote yang menulis buku. Literatur soal overseas Chinese juga cukup banyak. Sejak dulu, aku sudah duga bahwa akan banyak buku yang ditulis soal orang Tionghoa.

Aku merasa memahami Papua adalah bagian paling sulit dari proses penulisan From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Memahami Acheh perlu waktu tiga tahun pengendapan. Dulu rasanya janggal membaca Hasan di Tiro menulis "bangsa Indonesia" sebagai "nama samaran bangsa Jawa." Namun memahami Papua ternyata perlu waktu, setidaknya, pengendapan enam tahun. Papua jauh berbeda, secara sejarah, secara kebudayaan, politik, pergerakan, botani, zoologi dan sebagainya, dari Aceh maupun Jawa.

Aku punya beberapa buku koleksi langka yang aku beli di luar Indonesia atau ... pasar loak di Jakarta. Ada juga buku-buku terbitan Cornell University Press atau KITLV yang juga relatif sulit ditemukan.

Kini aku merasa punya ruang kerja. Sudah hampir 10 tahun aku bekerja hanya memanfaatkan sebuah meja dan komputer. Dokumen bertumpukan di meja, kamar tamu, kamar makan dan lain-lain. Kebanyakan buku disimpan di kotak-kotak dalam kamar tidur. Aku sering kesulitan mencari buku bila sedang menulis. Pada 2001, saking banyaknya buku dan tak punya tempat, aku sumbangkan sekitar 800 judul buku ke Perpustakaan Utan Kayu.

Sapariah berjasa dengan mendorong aku untuk lebih berhemat serta menabung untuk memesan rak buku. Ia memberikan satu sudut apartemen kecil kami untuk dijadikan ruang kerja. Norman dan Sri Maryani membantu aku menyusun buku, membuatkan label serta membeli kotak-kotak dokumen.

Perlu waktu lima hari untuk melakukan sortir. Maryani, saat hari pertama, minta aku berhenti kerja, naik dan turun kursi menyusun buku, karena dia sendiri sudah kecapekan. Sudah pukul 21:00. "Mandi dulu Pak!" teriaknya.

Kini aku bekerja memakai laptop Lenovo X61. Ia sangat ringan. Sistem pengamanannya pakai finger print. Hardisk laptop ini dilengkapi program PGP Shredder. Aku berharap ruang kerja ini akan menemani aku berkarya lebih produktif. Aku juga berharap tak perlu pindah tempat lagi.

Sunday, May 10, 2009

Reuni Insinyur Elektro Bersandal


Reuni kecil dan informal. Pada Sabtu, 2 Mei 2009, aku ikut reuni dengan kawan-kawan yang dulu pernah kuliah di Fakultas Teknik Jurusan Elektro Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga. Reuni diadakan di restoran Anglo, Jakarta. Semua terjadi berkat Facebook.

Kami masuk pada tahun 1984 dan satu angkatan hanya 60 orang, termasuk empat perempuan. Pada reuni ini ada 23 orang datang plus dua lagi secara online. Artinya, hampir separuh datang ikutan reuni. Ada yang bergurau ini reuni para insinyur elektro walau banyak yang sudah tak bekerja di bidang teknik elektro.

Dharmawan Sukatja, Arief Nl, Bayu Hariatmoko, Harry Santoso, Siswanto Ming, Anggriyani Yunita, Shen Shan, Tantik Rahayu, Tjung Ling, Benni Saptiyanto, Richard Tan, Sonny Dias, Fransiscus Setyadi Hadiwiloejo, Sudhia Sukatja, Agus Purwanto, Bagus Suntoro Utomo, Djimmy Porawouw, Suwanto Gunawan, Henry Lukito Setiawan, Andreas Harsono, Lucia Lukito, Haryanto Wijaya

Kami sudah tak bertemu sekitar 20 tahun. Sebagian besar alumni dari angkatan 1984 ini sekarang ternyata tinggal di Jakarta. Aku perhatikan sebagian besar peserta reuni datang dengan sandal kulit --tak memakai sepatu. Aku bahkan datang dengan sandal jepit.

Ketika kuliah, fakultas kami memang terkenal karena mahasiswanya kuliah dengan sandal jepit. Ini menunjukkan "kekurangajaran" kami tapi sekaligus independensi. Kami tak mau diatur dengan formalitas yang artifisial. Kami lebih mementingkan substansi. Kami tak mau bergantung pada negara. Kami dulu menolak ikut apa yang disebut "ujian negara." Artinya, ijasah kami kebanyakan juga tak diakui negara Indonesia. Persetan amat! Duapuluh tahun berlalu, kami masih pakai sandal. Aku bangga sekali dengan kawan-kawan ini.

Sempat juga rapat kecil, canggung sekali, sudah 20 tahun tak bertemu. Ikatan kami hanya ada pada tempat dan waktu di masa lalu. Hari ini, kami tak punya ikatan pada tempat dan kepentingan yang sama, selain nostalgia. Namun siapa tahu? Angkatan ini relatif kecil. Anggota-anggotanya kenal baik satu sama lain. Kami punya banyak kesamaan kebiasaan --terutama, independensi, keogahan berdekatan dengan negara. Kami kebanyakan orang-orang swasta.

Kami banyak bergurau: Siapa paling gendut sekarang? Siapa paling botak? Siapa paling awet muda? Lucia Lukito!

Siapa paling jauh? Iksan Bunadi (Sydney).

Beberapa yang masih membujang juga dijadikan bahan gurauan.

Salah seorang isteri bilang kami harus bersyukur, semua masih sehat (belum ada satu pun meninggal) dan relatif mapan semua. Kami memang bersyukur.

Friday, May 08, 2009

Najwa Shihab dalam Facebook


Pada awal Mei 2009, Jusuf Kalla mencalonkan diri sebagai presiden Indonesia. Partai Kalla, Golkar, mendapatkan suara kedua terbanyak sesudah Partai Demokrat pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Ia pencalonan menarik. Bukan saja karena Presiden Yudhoyono pecah kongsi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla namun juga karena kepribadian mereka berbeda. Yudhoyono lebih pelan, terkesan hati-hati, mengatur bicara dengan teliti. Jusuf Kalla lebih blak-blakan, praktis dan sering bikin pernyataan yang kontroversial. Kalla juga orang Bugis. Ini pertama kali ada orang non-Jawa mencalonkan diri sebagai presiden di Indonesia. Kalla maju bersama Jenderal Wiranto dari Partai Hati Nurani Rakyat sebagai calon wakil presiden.

Pada 8 Mei 2009, mereka memilih untuk tampil berdua di Metro TV. Ini penampilan mereka pertama setelah menyatakan siap untuk bertanding melawan Presiden Yudhoyono. Wajar jika banyak orang, setidaknya di Jakarta, ingin tahu apa yang hendak ditawarkan Jusuf Kalla.

Alamak! Interview tersebut jadi terganggu karena kekurangsiapan Metro TV. Mereka memasang Najwa Shihab, seorang wartawan Metro TV, untuk memimpin interview. Saya terganggu karena Shihab lebih panjang bicara daripada memberi kesempatan kepada Kalla dan Wiranto. Mungkin kesimpulan saya salah.

Maka saya menuangkan pikiran tersebut ke dalam Facebook. Ini sebuah media sosial dimana ketika interview berlangsung, ternyata tanggapan orang beruntun masuk ke dalam wall saya. Tanggapan datang dari cukup banyak wartawan. Mereka kebanyakan setuju dengan saya. Najwa Shihab bicara lebih banyak daripada nara sumbernya.
Bambang Wisudo dari Aliansi Jurnalis Independen menulis, “Perlu ada pelatihan dasar-dasar wawancara untuk para presenter dan pewawancara televisi. Hanya sedikit yang bagus, sebagian besar ngawur wur wur.”

Facebook sudah berubah. Bukan saja sebagai media sosial –buat mencari kawan lama-- tapi juga media alternatif guna melancarkan kritik terhadap media mainstream. Ini salah satu kelebihan media sosial walau saya juga perlu mengingatkan setiap orang yang menulis di media sosial, tetap harus memperhatikan kaidah jurnalisme.


May 5 at 10:31pm

Andreas Harsono Najwa Shihab interview Jusuf Kalla dan Wiranto di Metro TV. Kesan saya, Shihab bicara lebih panjang daripada kedua nara sumbernya. Ini kebiasaan wartawan Majapahit: lebih banyak bicara daripada sumbernya.

Wu Su Wei, Ready Susanto, Caisar Hadi P and 15 others like this.

Heriyanto Sagiya at 10:36pm May 5

Sering saya merasa tidak nyaman ketika menonton acara dialog di televisi, dimana si pewawancara terkesan sok pintar. Mereka juga suka memotong seenaknya ketika narsum sedang menjelaskan, mendebat si narsum, dan suka "over" barangkali supaya dianggap "lebih".

Gembong Nusantara at 10:37pm May 5

I like your "majapahit" term. remind me to panji koming. piye nda? hahahahaaaa

Wahyuddin Halim at 10:39pm May 5

Saya setuju dengan kesan mas Andreas dan Heriyanto tentang pewawancara spt Najwa Shihab: dia tidak paham etika berdiskusi dan cenderung pamer kemampuan menjebak narsum. Gimana caranya memberitahu dia dengan bijak ya. Kalao di Metro TV, pavorite saya untuk acara bincang2 adalah Kania Sutisnawinata. Dia cerdas dan lebih santun

Andreas Harsono at 10:42pm May 5

Interview yang baik selalu "terbuka" --what, where, who, why, when, how-- dan tidak "tertutup" --jawabannya bisa ya atau tidak. Makin pendek suatu pertanyaan, makin tinggi daya tangkap sumber (maupun pemirsa). Makin panjang suatu pertanyaan, makin menurun daya tangkap. Wartawan2 televisi Majapahit tampaknya suka bertanya "tertutup" dan panjang2. Shihab bertanya sering lebih dari 40 kata. Juga tertutup. Pertanyaan yang baik hanya satu kata "why" dan kalau harus lebih panjang, max 16 kata.

Mary Osmond at 10:44pm May 5

Hahahhahahha. Bener bgt Mas Andreas. Last week aku ke acara peluncuran buku, dia jadi moderator diskusi. Suka motong pembicaraan narasumber. Terlalu provokasi gitu kesannya.

Zahrul Kj J-Rule Fuadi at 10:44pm May 5 via Facebook Mobile

Wah thanx mas andreas.. Ilmu nya keren tu,^^

Eko Satiya Hushada at 10:45pm May 5

wartawan bukan jaksa (penyidik). biasanya ini terjadi pada wartawan yunior. tetapi ketika itu terjadi pada wartawan senior, gak berlebihan rasanya jika kita menyebutnya over acting. narsum ke studio bukan untuk dihakimi, ditelanjangi, dipermalukan. tetapi digali untuk mendapat informasi sedalam-dalamnya.

Adityas Annas Azhari at 10:46pm May 5

emang betul tuh si najwa harusnya dikasih peringatan dan saya sudah tak tertarik untuk menontonya lagi.

Jennie S. Bev at 10:46pm May 5 via Facebook Mobile

Why Kak Andreas? He didnt get basic journalistic training? It is so basic...

Maria Sinta at 10:48pm May 5

Saya lihat itu jadi trend di kalangan TV interviewer utk program2 politik sejak jaman Ira Kusno SCTV di mana saat itu memang hal demikian menjadi terobosan kejenuhan & kebuntuan suasana yg ada, walaupun sedikit banyak 'menyalahi' etika & peraturan jurnalisme (? mohon dikoreksi bila salah ya). Sejak saat itu trend ini muncul hingga saat ini, dan dianut oleh banyak host di tv swasta tsb..dan memang, terasa mengganggu dan kurang (tidak) pantas

Fitri Listiyana at 10:49pm May 5

senang mendengarkan suaranya sendiri..

Heriyanto Sagiya at 10:51pm May 5

Selain Najwa Shihab,, dulu Meutia Hafids juga sering begitu.. weleh.. weleh..

Arief Farihan at 10:51pm May 5

mungkin bang karena sebagian wartawan kadang ingin menunjukkan dirinya pintar dan tahu permasalahan (apa sok tahu ya hihi ) di depan narasumbernya...

Bayu Widagdo at 10:52pm May 5

Sorry mas... seingatku wartawan majapahit malah diem2..kan aliran kebatinan...jadi diem saja sudah tahu...

Kurniawan Junaedhie at 10:53pm May 5

Dalam catatan saya, Najwa juga pernah mengajukan pertanyaan berdasarkan kesimpulan yang salah untuk memprovokasi nara sumber. Dia menyimpulkan Ketua Bapilu Demokrat "bertepuk tangan" atas hasil quick qount, padahal kita semua tahu dan mendengar, ketua bapilu 'hanya' mengatakan "bersyukur". Saya melihat nara sumber sempat terpana.

Ahmad Iman Syukri at 11:00pm May 5

Ya itulah, seringkali syarat "utama" jadi host harus cantik dan menarik. Kemampuan belakangan.. hehe. Jauh banget dengan CNN. Host CNN yang sering saya tonton rata-rata berumur dan memiliki jam terbang liputan.

Nurlaily Afriani at 11:04pm May 5

Najwa kalau meng'cut' penjelasan narsumnya langsung tanpa tedeng aling-aling...padahal dia tahu body language dari si narsum bahwa pertanyaan selanjutnya yang diajukan sdh siap untuk dijawab...mungkin itu teknik agar acara terlihat menarik, tapi menurut sya itu gak sopan!!

Ratna Ariyanti at 11:20pm May 5

Hahaha. Anda benar mas.

Andry Kurniawan at 11:25pm May 5

saya juga masih belajar Jurnalisme ih mas Andreas. terimakasih ilmunya.

Andreas Harsono at 11:31pm May 5

Saya duga kesalahan juga terjadi karena ada dua komentator juga diundang kasih pendapat di studio. Shihab harus jungkir balik mengatur waktu. Ini mungkin membuat dia bicara cepat2 yang kesannya agresif.

Seharusnya, JK dan Wiranto diberi waktu lebih panjang untuk bicara apa yang hendak mereka janjikan. Ini akan membantu pemilih dapat informasi. Saya duga, kalau Saur Hutabarat yang interview, suasana akan lebih baik. Hutabarat lebih berpengalaman daripada Shihab. Dia mungkin berani minta interview one-on-two tanpa komentator.

Anyway, Shihab dan presenter2 Majapahit lain perlu belajar interview terbuka dan pendek. Ini bukan monopoli Najwa Shihab.

Anjani Dyah Paramita at 11:48pm May 5

kalo talkshow ringan, mending alvin adam :-) and andy f noya of course

Ruhut Ambarita at 11:51pm May 5

Berarti perlu diubah cara merekrut wartawan di Indonesia. Tidak ditentukan oleh indeks prestasi akademis, jebolan kampus lokal atau luar negeri, atau penampilan fisik semata.

Tony Suhartono at 11:54pm May 5

keren mas andreas..belajar bertanya nih..salam buat mbak ari...

Sulfikar Amir at 12:02am May 6

sangat menjengkelkan emang melihat para pewawancara itu mendominasi. tapi saya kira yang lebih buruk itu rizal mallarangeng di save our nation. pertanyaan dari dia, jawaban dari dia juga. jawaban yang tidak dia suka langsung di cut. saya belum menemukan jurnalis indonesia yang sekaliber tom brokav atau anderson cooper yang kalo bertanya kalem namun menohok. solanya industri berita tv kita masih sekelas infotainment. more entertaining than learning.

Henny Saptatia DN Sujai at 12:06am May 6

Kesan saya Bung Andreas, itu selalu terjadi ketika si presenter, host, anchor, interviewer merasa lebih penting dan lebih bintang dari pada pengisi acara atau tamunya... Mereka ingin menunjukan diri pada publik sebagai si brilian...

Kadang-kadang saya pengen sodori perempuan2 interviewer macam itu dengan diktat-diktat "bagaimana melakukan wawancara di TV dan radio"...

Pir Owners at 12:11am May 6

ternyata dunia KESAN itu penuh makna ya..?! ---Tanya Kenapa----hehehhehe

Kresna Astraatmadja at 12:22am May 6

Maaf ya, kalau tidak melihat topiknya, rasanya kok hanya setingkat di atas Tukul. Jawabannya disuplai produser, lantas belum dijawab narasumber sudah dikomentari sendiri, lalu diketawai penonton, lantas sudah buang waktu baru ditanya lagi ke tamunya...

Sumpah, jangankan untuk acara serius, jika bertanya dan berkomentar terlalu bertele2 memang membuat mual, sekalipun di acara "Bukan Empat Mata"nya Tukul...

Irmawati Dewanto at 1:00am May 6

Makasih Mas Andreas, masukan yang baik buat kita para jurnalis tv, terutama buat para produser talkshow ... kapan dunk bisa ngobrol2 biar ga jd wartawan majapahit..

Firqie Firmansyah at 3:33am May 6 via Facebook Mobile

Ini penyakit lama pewawancara (di tivi maupun radio): demen melakukan masturbasi siaran.. Gak peduli narsum, apalagi audiens ;)

Wahyuddin Halim at 6:59am May 6

Semoga Najwa Shihab bisa membaca postingan2 di sini...! Sayang juga jika gak nonton MetroTV, tapi kalo ada Najwa segalanya jadi gak menarik...

Bambang Wisudo at 7:20am May 6

Perlu ada pelatihan dasar-dasar wawancara untuk para presenter dan pewawancara televisi. Hanya sedikit yang bagus, sebagian besar ngawur wur wur. Semoga mereka tidak terlalu sombong untuk belajar lagi ...

Andreas Harsono at 9:39am May 6

Rizal Mallarangeng memang bukan wartawan dan tak punya pengalaman jurnalisme yang cukup significant. Dulu dia pernah kerja di harian Bernas, Jogjakarta, sebagai redaktur opini, serta berangkat ke Iraq sebagai aktivis perdamaian. Pengalaman reportase Mallarangeng kurang kuat. Saya maklum deh kalau Mallarangeng belum bisa melakukan wawancara dgn bermutu. Tapi Najwa Shihab ini kan dianggap wartawan?

Wai Mohammad S at 9:41am May 6

hahahahahahahaaaaaaaaaaaaaaa

Bambang Bider at 10:12am May 6

ya...mas kayaknya diajar untuk lebih banyak mendengar biar komentarnya lebih passs tu...si shihab

Pir Owners at 1:26pm May 6

@Sulfikar: Benar..Kalo talk show ditangani Rizal Mallarangeng pasti jadinya menyebalkan. Setahu saya ada satu host talk show yang pernah dimiliki station tv swasta yang cukup mumpuni. Namanya Rizal juga, tapi yang ini Rizal Mustary. Terakhir yang saya tahu beliau jadi Kadept di Astro tv

Bea Jimny at 4:50pm May 7

Najwa Shihab? hehehe saya paling ingat dia menangis di tv ketika membuat laporan soal tsunami di Aceh... seolah lebih sedih dari korban tsunami...

Thursday, May 07, 2009

Album Baru God Bless

God Bless berdiri pada 1973. Ia salah satu kelompok musik paling menarik di Indonesia. Hari ini meluncurkan album baru dengan line up Ian Antono (gitar), Abadi Soesman (keyboard), Donny Fattah (bass), Yaya Moektio (drum) dan Ahmad Albar (vokal). Majalah Rolling Stone membantu peluncuran album mereka terbaru berjudul 36th.

Tuesday, May 05, 2009

BPN2TKI Mencuri Gambar


Pada
29 April 2009, isteri aku, Sapariah Saturi, menerima beberapa SMS dari Pontianak. Intinya, mereka menggoda Sapariah soal dia tampil di brosur TKI terbitan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Sapariah menulis di Facebook, "Ada gambar aku lagi antri, liburan di Ancol, bareng temen2 kost, eh sama BPN2TKI malah dijadikan gambar brosur TKI. Gambar itu ada di BLog misua, AH. Kok bisa. Aneh ya?"

Yeni Simanjuntak dari Bisnis Indonesia menanggapi, "... komplain aja ke Jumhur (kepala BNP2TKI). Gak bener banget sih. Brosur aja udah asal gitu, gimana ngurusin TKI-nya ya???" Dian Rakhmawati dari harian Equator menulis pesan Facebook, "Heboh tuh mba ari, liat wajah sumringah mba ari di brosur."

Sapariah penasaran. Kami minta dikirimi brosur tersebut. Wartawan-wartawan Pontianak mendapatkan brosur tersebut dari Moh Jumhur Hidayat, yang lagi berkunjung ke Pontianak dan Entikong-Tebedu, kota perbatasan Kalimantan dan Sarawak. Djumhur juga berkunjung ke kantor harian Pontianak Post dan Tribun Pontianak serta menemui Gubernur Kalimantan Barat Cornelis. Seorang wartawan lantas kirim gambar brosur itu ke Jakarta.


Kami mempelajari brosur BNP2TKI. Disana ada gambar Sapariah dan kawan-kawan kostnya, termasuk Dwi Ekawati (Wewek), Citra Kurniawati, Felicitas Novita Daniyanti (Vita), Eva Danayanti dan Fadhlila Fithriana (Lila). Mereka lagi piknik di Dunia Fantasi, Ancol. Mereka antri depan suatu permainan di Dunia Fantasi. Saya mengambil dan menaruh gambar ini dalam blog saya dengan judul "Dunia Fantasi" tertanggal 17 Desember 2005.

Menariknya, dalam gambar asli ada anak saya, Norman Harsono, yang waktu itu merengek bisa ikut piknik di Ancol. Tampaknya, orang yang membuat brosur itu menghilangkan Norman. Logikanya sederhana. Norman, seorang anak umur delapan tahun, citranya tak mendukung upaya BNP2TKI menciptakan kesan orang-orang, yang antri itu adalah para warga Indonesia, yang bekerja di luar batas negara Indonesia.

Namun dalam gambar BNP2TKI itu, sebenarnya tak ada satu seorang pun tenaga kerja di luar Indonesia. Mereka kebanyakan anak-anak kecil, ditemani orang tua mereka, sedang liburan di Dunia Fantasi.


Sapariah mengirim pesan ke Djumhur dan minta penjelasan. Djumhur membalas, "Waduh saya nggak tahu leaflet yang mana itu ya? Mungkin pembuatnya ngambil dari internet kali ya. Jadi bagaimana dong? Saya selaku kepala BNP2TKI minta maaf atas ketidaknyaman ini. Btw di Jurnas di desk apa?"

Sapariah menerangkan dia wartawan Jurnal Nasional. Lalu Djumhur membalas pesan lagi, "Nanti saya cek ke direktorat yang tangani itu ya."

Seseorang juga mengirim SMS, dari nomor 0888-9126 856, "Salam kenal Saudari Sapariah Harsono. Dengan penuh hormat saya menyampaikan permohonan maaf telah mencantumkan foto Saudari Sapariah ke leaflet dan saya tidak akan mengulangi lagi. Terima kasih banyak atas kritikannya. Salam Ayahya. $YahyaWeb." Saya duga "Yahya" adalah orang yang mencuri gambar dan membuat brosur.

Kesalahan BNP2TKI bukan saja mencuri gambar namun memakai representasi yang keliru dalam pekerjaan mereka. Mereka hendak menciptakan kesan seakan-akan orang yang sudah bekerja sebagai tenaga kerja selalu ceria, bisa tersenyum. Sapariah tak suka dengan manipulasi citra.

Sebagai fotografernya, saya juga mengirim pesan Facebook kepada Djumhur, "Saya ingin tahu, bagaimana ini bisa terjadi? Siapa yang mengambilnya? Siapa yang bertanggungjawab terhadap brosur itu? Mengapa diambil gambar orang antri di Ancol (ada caption) untuk dipakai dalam brosur TKI?"

Pada 3 Mei, Djumhur juga membalas pesan Facebook saya, "Itu pasti kelalaian petugas design nya. Kami minta maaf dan sisa brosur yang ada akan kami tarik segera."

Kami menerima permintaan maaf dari Djumhur dan Yahya Web. Mereka janji brosur itu tak diedarkan. Case closed.