Friday, February 29, 2008

Valentine


Janet Steele
Washington DC

Dua minggu yang lalu ada teman di kantor yang berkata bahwa dia harus pulang lebih sore karena holiday esok harinya. “Holiday apa?” saya tanya.

“Valentine's Day!” dia membalas. Saya tertawa. Teman saya, Kimberly (atau Kim), punya dua anak yang masih bersekolah SD. Dua-duanya anak perempuan dan Kim harus pulang lebih awal supaya bisa membantu membuat kartu, kue, dan persiapan lain untuk pesta Valentine di sekolah.

Kim adalah salah satu bintang di Department Media and Public Affairs kami. Dia sangat pintar dan sangat baik hati juga. Dulu dia mendapatkan PhD-nya di department Ilmu Politik di Universitas Michigan, dan menulis tentang media dan opini publik. Bagi Kim ada tantangan menyeimbangkan urusan pekerjaan dengan urusan rumah, tetapi dua-duanya dilakukan dengan baik. Dua anaknya, Elly dan Willa, sangat pintar seperti ibunya.

Untuk anak SD di Amerika, Valentine's Day adalah salah satu holiday yang cukup besar dan penting. Biasanya anak-anak membuat kartu untuk para siswa lain. Kartu Valentine untuk anak-anak sekolah bisa dibeli dalam paket (24 atu 30), atau bisa dibuat sendiri. Di sekolah ada pesta dan semua murid saling menukar kartu Valentine. Tidak ada pesan pribadi, cuma nama si pengirim. Biasanya para ibu membuat kue Valentine -- tentu saja dengan icing merah muda -- untuk pesta sekolah itu.

Saya masih ingat Valentine's Day waktu saya kecil. Ibu membelikan paket yang terdiri dari kertas merah, doilies (semacam renda kertas putih), glitter, dan hearts dibuat dari kertas emas dan perak. Dengan gunting dan lem, saya membuat kartu untuk teman-teman sekolah, ayah, ibu, dan adik saya. Juga saya kirim lewat pos kepada paman dan bibi.

Saya juga mendapat kartu dari ayah dan ibu. Ada permen istimewa berbentuk hati, dengan tulisan Be Mine, Be My Valentine, dan sebagainya. Permen itu manis sekali (kebanyakan isinya gula!) tetapi sangat disukai anak-anak. Biasanya ayah memberi bunga-bunga atau cokelat kepada ibu. Ada kotak cokelat namanya Whitman's sampler, dengan banyak macamnya di dalam. Ibu selalu membagi cokelat itu dengan kami sesudah makan malam sebagai dessert.

Biasanya sesudah anak-anak masuk SMP, perayaan resmi Valentine's Day berhenti. Kadang-kadang seorang laki-laki atau perempuan secara individu memberi Valentine kepada teman sekolah, atau seorang akan mendapatkan Valentine dari pengagum gelap. Saya tidak pernah mendapatkan Valentine seperti itu, tetapi setiap tahun ada kartu Valentine dari ayah dan ibu.

Kemarin, waktu saya membaca bahwa Majelis Ulama Indonesia melarang perayaan Valentine's Day, saya merasa sedih. Mungkin mereka tidak sungguh-sungguh mengerti artinya Valentine's Day.

Valentines Day tidak terkait dengan agama sama sekali. Ada kesempatan untuk memberi ucapan cinta atau kasih sayang kepada orang lain. Teman saya Kim, misalnya, membawa kue untuk teman-teman di departemen kami! Lucu juga melihat puluhan dosen makan heart-shaped cookies dengan icing merah yang dibuat untuk anak-anaknya.

Seumur hidup, ibu saya mengirim kartu Valentine kepada saya. Saya masih menyimpan salah satu yang dikirim dua tahun yang lalu. Tertulis “Selamat hari Valentine, semoga hatimu akan berbahagia hari ini dan selalu. Lots of love, Mother.”

Kali ini ini saya merasa sedih. Saya tahu tidak ada Valentine yang akan datang dari ibu, karena dia meninggal tiga bulan yang lalu. Tetapi tahun ini ada kejutan --ada email dari seorang teman lama. Ternyata dia menduga bahwa saya akan merasa sedih. Dia menulis “Happy Valentine's Day! Saya kira kamu tidak terlalu sentimental, tetapi hey, hari ini adalah Valentine's Day, dan kamu seorang yang sangat istimewa dalam kehidupan saya. Itulah dia!”

Saya sangat terharu.

Mungkin sebuah Valentine seperti itu yang tidak diduga-duga ada yang paling enak diterima. Salam hangat dan sampai minggu depan.

***

Janet Steele adalah dosen George Washington University, Washington DC. Dia menulis kolom rutin Email dari Amerika pada 2007-2011 di harian Surya, Surabaya. Steele juga menulis buku sejarah majalah Tempo Wars Within: The Story of Tempo an Independent Magazine in Soeharto's Indonesia. Buku tsb sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Steele lancar menulis dalam Bahasa Indonesia, biasa mengajar kursus menulis di Yayasan Pantau, setiap tahun, sejak tahun 2001.

Thursday, February 28, 2008

Yani Keluar, Norman Panik


Sri Maryani, seorang gadis tani asal Tawangmangu, mulai menemani Norman sejak Desember 2002. Hubungan mereka dekat sekali. Yani ibarat kakaknya Norman. Dia sangat melindungi "Dek Norman" terutama menjelang dan sesudah perceraian orang tua Norman. (Aku ambil gambar ini menjelang perceraian Desember 2003)


Siang ini, sesudah mengantar Norman ke dokter gigi, aku mendadak dapat SMS dari Sri Maryani, pengasuh Norman, “Saya minta maaf pak, selama saya krja ma bpk klo pnya slh. Salam ma dek N. thks (14:00).

Disambar petir di siang bolong. Yani keluar kerja? Aku segera telepon Yani. Dia terdengar tenang. Dia bilang tak tahan lagi kerja dengan Retno Wardani, ibunya Norman. Tadi pagi, dia dimarahi Retno karena tidak memberitahu Retno kalau Norman tak jadi sekolah. Retno baru tahu kalau Norman tak sekolah dari Saraswathy Suresh, guru kelas Norman.

Yani bilang dia sama sekali tak tahu. Dia hanya tahu kalau siang ini, Norman bersama aku, pergi ke dokter gigi Andri Suwardi di Gajah Mada Tower. Norman harus menambal lubang di giginya.

Tadi pagi memang terjadi salah paham. Aku mengantar Norman hingga tiba sekolah di Gandhi Memorial International School di Kemayoran. Namun sekolah dari luar terlihat sepi. Tak ada mobil parkir. Tak ada satpam. Biasanya, sekolah ini macet, apalagi sejak banjir awal Februari lalu. Ada perbaikan saluran air. Macetnya luar biasa. Pukul 6:45 tadi, kami mengira sekolah diliburkan seperti saat banjir kemarin. Kami langsung pulang sambil mengirim pesan SMS kepada Suresh.

Ketika kami sudah tiba di Senayan, via SMS, Sharaswati bilang sekolah berjalan seperti biasa. Jawaban Suresh agak terlambat. Norman sudah sibuk masak donat campur blueberry dibantu Sapariah, ibu tirinya. Aku juga sudah mengubah jadwal dokter gigi lebih awal. Yani sama sekali tak tahu dan membantah tuduhan Retno.

Menurut Yani, Retno juga menuduh Yani selama ini “sekongkol” dengan aku. Retno menuduh Yani, bila sedang ikut mengantar ke sekolah Norman, juga datang ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia maupun ke pengadilan negeri Jakarta Selatan. Yani dituduh ikut mengadukan Retno.

Yani tak pernah ikut ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia maupun pengadilan. Dia mengatakan pada aku mau “netral” pada sengketa pengasuhan Norman. Yani hanya ingin membantu Norman. Mereka memang punya hubungan dekat. Ibaratnya, Norman itu adiknya sendiri.

Yani seorang anak petani, kelahiran desa Plumbon, Tawangmangu. Dia mulai bekerja di rumah Pondok Indah, sejak Desember 2002, ketika aku belum bercerai dengan Retno. Yani datang sebagai seorang gadis muda umur 17 tahun (kelahiran 12 Juli 1985). Mulanya aku keberatan dia bekerja karena masih di bawah 18 tahun.

Namun kakaknya, Jullianti, yang bekerja dekat rumah, menyakinkan aku adiknya boleh bekerja. Kini Yani sudah berumur 23 tahun. Jullianti, tiga tahun lebih tua dari Yani, sudah menikah tiga tahun lalu, dan bersama suaminya, tinggal dekat Pondok Indah Mall.

Retno juga menelepon aku ketika masih di tempat dokter. Isinya, maki-maki karena aku tak mengirim Norman ke Bintaro, tempat tinggal Retno, sesudah batal sekolah. Retno berpendapat Kamis pagi adalah jatah Norman tinggal dengannya. Omongannya sangat mengerikan. Sekitar lima menit dia bicara lalu telepon dimatikan.

Yani bilang dia sementara tinggal di rumah mbakyu-nya. Aku cukup bingung menyampaikan berita ini kepada Norman. Dia sedang makan rambutan sambil nonton televisi. Sesudah menenangkan diri, aku sampaikan informasi ini kepada Norman.

Norman terlihat panik. Belakangan dia bilang, “Without Mbak Yani, Bintaro is only blackness. She is the only light, the only candle in the darkness,” kata Norman.

Di Bintaro, kini hanya ada Retno. Ibunya, M.Th. Koesmiharti, pergi ke Baturaja, rumah putri sulungnya. Sabtu ini, Norman akan giliran pindah ke Bintaro. Yani memainkan peran penting sebagai pengasuh Norman. Dia bukan hanya membantu keperluan praktis --memasak, menyiapkan pakaian-- namun menemani Norman secara psikologis. Biasanya, Yani mengajak Norman jalan-jalan ke luar rumah bila Norman sedang bete. Yani sangat mengenal Norman. Sebaliknya, Norman juga membela Yani bila diperlakukan tidak benar. Norman protes ketika tahu Yani dilarang minum dari galon Aqua? Yani harus masak air sendiri. Norman pernah menulis perlakuan buruk Retno, maupun Koesmiharti, terhadap Yani. Aku belum tahu bagaimana Norman akan menghadapi suasana tanpa Yani?

Wednesday, February 27, 2008

Sidang Ketiga, Retno Kirim Lawyer


Sesudah empat kali tak hadir dalam acara mediasi, serta dua kali tak datang ke sidang pengadilan, kemarin pagi Retno Wardani mengirim seorang pengacara guna mewakilinya dalam sidang permohonan pengasuhan anak kami, Norman Harsono, di pengadilan negeri Jakarta Selatan. Desmayani Setianingsih dari kantor advokat Kailimang & Ponto, datang membawa surat kuasa dari Retno.

Sapariah dan aku beserta pengacara Heppy Sebayang dan Fredy K. Simanungkalit, kedua kuasa hukum kami, menunggu sejak pukul 10:00. Kami sempat mengikuti sidang perdata soal korupsi mantan presiden Soeharto di ruang sidang utama.

Sama dengan Retno, tak ada satu pun dari enam anak Soeharto --Tutut, Sigit, Bambang, Titik, Tommy dan Mamiek-- datang ke pengadilan. Pengacara mereka, Juan Felix Tampubolon, datang mewakili enam bersaudara Soeharto. Kami melihat Tampubolon sibuk melayani wartawan. Ada awak siaran gossip televisi Cek & Ricek juga interview Tampubolon.

Sidang dimulai tengah hari. Hakim Artha Margaretha Silalahi memeriksa lisensi beracara para "gerobak" --"Gerombolan Batak," katanya, tersenyum-- serta surat kuasa. Panitera Dimyati menemani Silalahi.

Silalahi mengatakan walau status sidang ini adalah "permohonan" namun dia memberlakukannya dengan standar "gugatan." Dia hendak melakukan verifikasi terhadap permintaan "pemohon" maupun pembelaan "termohon." Silalahi usul kedua pihak melakukan mediasi. Kami setuju dan ditunjuk hakim Suharto. Namun Suharto sedang ikut sidang lain sehingga kami terpaksa menunggu jadwal sidang berikutnya.

Sebayang mengatakan upaya mediasi pernah dilakukan lewat Komisi Perlindungan Anak Indonesia namun upaya itu gagal karena "termohon" tak pernah datang. Prosesnya berjalan antara Agustus hingga Desember lalu. Sebayang setuju mediasi dicoba lagi namun dia mohon dijalankan dengan "cepat" mengingat ada nasib seorang anak kecil terombang-ambing sejak Agustus lalu. Silalahi setuju. Dia meralat kata "cepat" dengan "efisien."

Dalam suratnya, Retno memberikan kuasa kepada 13 orang pengacara dari kantor Kailimang & Ponto. Desma mengatakan ini pelayanan dari Denny Kailimang.

Kailimang dan Retno adalah anggota paroki Santo Stefanus, Cilandak. Gereja Katholik ini terletak di Jl. KH. Muhasyim IV No. 2, Jakarta Selatan (tel 021-751 2669). Aku tak tahu bagaimana Retno bisa berhubungan dengan kantor advokat ini. Mungkin Retno minta bantuan gereja buat persidangan ini.

Kailimang kini menjabat sebagai ketua Perhimpunan Advokat Indonesia. Dia juga pernah membela Soeharto ketika Soeharto masih hidup dan menghadapi tuduhan korupsi. Kini Kailimang jadi salah seorang kuasa hukum anak-anak Soeharto, bersama Juan Felix Tampubolon.


Retno juga minta bantuan kepada tim Agape, sebuah kelompok sosial paroki Santo Stefanus, guna melakukan "konseling" kepada Norman. Sopir kami, Ardian Huzaeni, mengatakan dia kemarin diminta berhenti di daerah Pondok Indah oleh Retno. Norman dibawa Retno ke gereja Santo Stefanus.

Ini ketiga kalinya Norman diminta menemui konselor gereja bernama "Kristiono." Sebelumnya, Norman sudah bilang pada Kristiono bahwa dia ingin pindah ke tempat papanya. Norman terus-terang bilang dia tak suka pada mamanya. Kristiono minta Norman menerima mamanya dan memaafkannya.

Kemarin Kristiono tanya masalah yang lebih mendalam. Dia tanya apakah Norman percaya Tuhan? Norman diajak berdoa dan bertobat. Dia ditakut-takuti dengan "setan." Norman bilang dia merasa sedih dengan pendekatan Kristiono. Dia bilang dia merasa banyak dosa.

Aku terganggu dengan "konseling" berbias agama ini. Mereka melakukan konseling dengan asumsi-asumsi bias. Ibu tak mungkin mencelakakan anak. Perceraian itu dosa. Gugat cerai itu jelek. Norman hanya seorang anak kecil. Dia belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan besar itu. Norman hanya melihat inkonsistensi antara apa yang didengarnya di gereja dengan apa yang dilihat dari ibunya.

Gereja mengajar soal kejujuran. Norman melihat kebohongan. Gereja mengajar soal cinta kasih sesama manusia. Norman mendengar Retno berkali-kali bilang akan membalas dendam, dua kali lebih sakit, kepada siapa pun yang menyakitnya. Aku minta Norman memberi nomor telepon aku kepada Kristiono. Retno, Norman dan Sri Maryani, pengasuh Norman, baru kembali ke Bintaro sekitar 20:00.

Sri Maryani memberitahu aku bahwa Norman jadi "pendiam" sesudah pulang dari gereja. Norman diam saja dan larut malam belum tidur. Maryani ikut ke sekolah karena harus membayar uang sekolah bulan Februari.

Paginya, Norman tak sekolah karena merasa capek. Norman merasa kurang istirahat. Aku sangat mengerti kelelahan Norman. Tanpa diberi acara tambahan pun, Norman sudah kelelahan setiap hari pulang sekolah dari Kemayoran. Berangkat dari Bintaro saat gelap dan pulang pukul 16:00 hingga 17:00. Setiap hari dia menghabiskan waktu empat hingga lima jam di jalan.

Kristiono belum pernah menghubungi aku. Aku hubungi paroki Santo Stefanus namun tak ada yang punya nomor telepon Kristiono. Ada tiga pastor --Hadrianus Wardjito SCJ, Setyo Antoro SCJ dan FX. Harimurtono SCJ-- juga sedang sibuk. Koordinator tim Agape, Herman Suranto, juga tak mengangkat telepon.

Psikolog Kristi Poerwandari dari Yayasan Pulih, yang pernah bikin tes psikologi terhadap Norman, menganjurkan aku menghubungi Kristiono buat memberi informasi penyeimbang "demi kesejahteraan psikologi anak."

Janti Wigdjopranoto, seorang executive, ibu dua anak lelaki dan kenalan kami, yang juga pernah belajar psikologi, mengatakan praktek dengan guilty trip dan blaming games bukan cara yang baik. Ini bisa menggores hati anak.

Update
Malam ini aku berhasil menelepon Herman Suranto dari tim Agape. Dia berjanji mempertemukan aku dengan tim Agape. Dia mengatakan konseling terhadap Norman bukan tanggungjawab Kristiono individual namun kelompok. Dia berjanji menghubungi aku.

Related Stories
Surat untuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia - 20 August 2007
Kronologi Hak Pengasuhan Norman Harsono - 20 August 2007
Norman Akan Dipindah ke Bintaro - 21 August 2007
Norman Bertemu Komisi Perlindungan Anak 26 August 2007
Norman Akhirnya Dipindah ke Bintaro - 28 August 2007
Retno Menolak Mediasi KPAI - 26 September 2007

Pertemuan Ketiga dengan Komisi Anak - 8 October 2007
Retno Bawa Polisi Untuk Ambil Norman - 29 October 2007
Retno Menolak Panggilan Keempat - 6 December 2007
Norman's Letter to Children Commission - 31 December 2007

Sidang Pengadilan Hak Asuh Norman - 23 January 2008
Sidang Kedua, Retno Tak Datang Lagi - 5 February 2008

Monday, February 25, 2008

Obama dan Anomali Faktor SARA

Christianto Wibisono
Suara Pembaruan


Di tengah gelombang idolisasi Obama, di AS tetap saja muncul faktor SARA yang mulai mencuat. Pada siaran CNN Kamis (21/2) pagi atau Rabu malam waktu AS, Joe Cafferty menyatakan kepada Wolf Blitzer sebagai berikut: "Wolf , every candidates are counting and embracing block voting, black, women, Asian, Hispanics, but there are majority groups which had been left out. And that is the white male group, yes Wolf men like you and me, have been left out in this election while we are the largest block vote in the US."

Fenomena Obama berdampak pada percaturan politik domestik di berbagai negara termasuk Indonesia. Ketua Golkar Muladi menyatakan bahwa meskipun Golkar menang 70 persen lebih baik tetap mempertahankan duet SBY - JK karena faktor Jawa - luar Jawa. Pernyataan itu dikritik oleh Akbar Tandjung yang ingin come back jadi calon presiden (capres) bila Golkar menang dalam Pemilu 2009. Jika selama ini Wapres Jusuf Kalla agak malu-malu kucing dan pasrah menerima nasib bahwa Indonesia belum bisa menerima suku luar Jawa sebagai Presiden, maka terobosan Obama bisa mencuci dogma tersebut. Ketika Habibie menjadi presiden, dogma itu sudah pecah di luar kekuasaan elite Indonesia. Krisis moneter menggusur Soeharto, yang merasa ditinggalkan oleh Habibie. Sampai akhir hayatnya Soeharto dan keluarga tidak bisa memaafkan Habibie.

Pada suatu curhat dengan Soegeng Saryadi setelah lengser, Soeharto malah bilang Habibie itu kualat. Soeharto punya 6 wapres: 3 Jawa, 1 Sunda, 1 Sulawesi, 1 Batak,

Setelah Reformasi, naiknya Gus Dur dan Mega melalui manuver Poros Tengah tidak langgeng dan Gus Dur turun diganti duet Mega Hamzah yang kalah pada Pemilu 2004, SBY - JK kembali ke formula 1945, Jawa - luar Jawa. Bila di kalangan masyarakat yang sebelum reformasi disebut pribumi saja masih ada pencadangan untuk mayoritas, maka tentu masih jauh bagi Indonesia untuk mencapai terobosan keturunan Tionghoa menjadi cawapres atau capres. Apalagi kelompok masyarakat ini praktis baru mulai bergairah dan diberikan keleluasaan berpolitik setelah Reformasi. Pada periode Orde Baru, tokoh keturunan Tionghoa harus rela hanya menjadi adviser atau pelaku di belakang layar. Meskipun pengaruh dan dampak politik Harry Tjan dan Wanandi bersaudara barangkali malah lebih besar dari Menteri Oei Tjoe Tat.

Oposisi

Di era rezim manunggal Soeharto tidak ada oposisi atau alternatif, karena itu baik elite keturunan Tionghoa maupun elite mayoritas akan digusur bila berani menjadi oposisi. Dua generasi elite politik terhadang kariernya. Di antara yang tergusur adalah rekan-rekan seperjuangan yang berada di garis depan pada penggulingan Bung Karno 1966. Mertua SBY, Letjen Sarwo Edie Wibowo, adalah korban marginalisasi elite yang dianggap potensial bisa menyaingi dirinya. Karena itu Soeharto tidak pernah mau memberikan posisi strategis atau tingkat menteri kepada Sarwo Edie.

Letjen Dharsono dipecat dari jabatan Sekjen ASEAN pada 1978 karena menuntut Soeharto turun setelah dua masa jabatan. Pangkostrad Kemal Idris dan Pangdam VI Siliwangi, Ibrahim Adjie, juga didubeskan karena kritis terhadap Soeharto. Generasi politisi baik jenderal maupun sipil yang umurnya sekarang 60-an, kehilangan peluang untuk menduduki jabatan teras. Generasi Cak Nur, Amien Rais, Nono Makarim, Goenawan Mohamad, dan Marsilam Simanjuntak kehilangan peluang emas untuk memimpin bangsa pada usia '50-an, karena singgasana dimonopoli sampai ke eselon satu oleh "cloning" Soeharto.

Pada masyarakat keturunan Tionghoa juga terjadi kemandekan generasi karena yang berperanan hanya kelompok CSIS dan kemudian konglomerat Yayasan Prasetiya Mulya.

Kwik Kian Gie terjun ke politik praktis akhir 1980-an. Terjadi vakum kaderisasi generasi muda keturunan Tionghoa yang sadar politik. Kini publik lebih mengenal para putra mahkota konglomerat usia 40-an yang melanjutkan imperium bisnis ayah mereka. Sebagian memang mulai terjun ke politik seperti menantu Ciputra dan putra pemilik Bank Mashill.

Ketika menghadiri pernikahan putri Prayogo Pangestu di Ritz Carlton Singapura pada 16 Februari saya menyaksikan generasi kedua konglomerat telah mendampingi para pendiri imperium bisnis Indonesia Inc yang teoretis mestinya akseptabel secara nasional. Tapi, warisan permasalahan masa lalu tetap mengganjal. Konglomerat itu aset nasional atau liabilities karena isu BLBI dan derivatnya yang diwarnai SARA.

Faisal Basri menulis secara jernih bahwa obligasi rekap bank BUMN justru menjadi beban terbesar bagi Pemerintah RI. Indonesia Inc baik konglomerat maupun BUMN telah mengalami set back dan sekarang sebagian sudah pulih bahkan tumbuh. Merebaknya Sovereign Wealth Fund (SWF) RRT, Timur Tengah, dan Singapura dalam percaturan ekonomi global menggugah Miranda Goeltom untuk membentuk SWF Indonesia. Tapi, kemelut status tersangka Gubernur BI tentu menjadi kendala dalam mewujudkan ide SWF.

Kepedulian Sosial

Saya baru saja membaca buku Cokin yang diedit oleh Ivan Wibowo, yang memuat bunga rampai karangan dari 20 orang yang membentuk Jaringan Tionghoa Muda (JTM). Mereka berasal dari masyarakat kelas menengah ke bawah, tapi mampu menerobos dengan aktivitas dan kreativitas intelektual, serta kepedulian sosial yang energik dan termasuk dalam mainstream penggerak reformasi.

Saya tidak mengenal mereka secara pribadi. Tapi, Ester Indahyani Yusuf saya kenal sebagai aktivis perempuan yang luar biasa, dan berkaliber Hua Mulan dalam legenda Tiongkok. Ivan Wibowo, editor buku, saya lihat sebagai moderator acara peluncuran buku Ester pada 13 Mei 2007. Ivan menulis tentang "Protokol Keselamatan Masyarakat Tionghoa" akibat rezim diskriminatif Orde Baru dan buku ini akan dibedah di CSIS oleh Harry Tjan sekitar Maret mendatang.

Di balik gemerlapan perayaan Imlek Matakin di Balai Sidang dan Capgomeh Forum Bersama Indonesia Tionghoa di Pekan Raya Jakarta, di Pontianak barongsai dilarang atas desakan kelompok masyarakat yang mengklaim mewakili suku dan agama tertentu. Andreas Harsono menulis di blog-nya agar insiden itu jangan disembunyikan, tapi harus dikaji untuk terus memantapkan ketegasan kebijakan non-diskriminatif agar tindak rasisme tidak kambuh.

Tajuk Rencana Kompas Sabtu (23/2) berjudul Merayakan Cap Go Meh, tersirat mengulas larangan barongsai di Pontianak tersebut. Di tengah gelombang pasang reformasi kita harus selalu sadar dan berjiwa negarawan untuk berani mengatasi dan bukan sekadar menyembunyikan pahitnya realitas konflik.

Menghadiri diskusi INTI Jakarta dan Harian Suara Pembaruan, Sabtu (23/2) yang membahas "Sikap dan Partisipasi Kaum Muda Dalam Menentukan Hari Depan Bangsa dan Negara," saya optimistis bahwa generasi elite keturunan Tionghoa dan mayoritas masih bertekad untuk menutup lembaran usang politik SARA secara tuntas. Ketua INTI Jakarta, Benny Setiono, mengorbitkan tokoh muda Yudi Latief (Paramadina), Budiman Sudjatmiko (PDI-P) , Indria Piliang (CSIS), Mahfuds Sidiq (PKS), Ulung Rusman, Nurul Arifin, Hanif Dhakiri, dan Arie Sudjito sebagai panelis. Sedang Hartono Sosrodjojo serta Faizal Reza sebagai moderator.

Masa depan Indonesia akan sangat bergantung pada daya tahan mempertahankan kebijaksanaan yang arif berlandaskan meritokrasi ketimbang terus-menerus mengidap sindrom diskriminasi.


Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional

Thursday, February 21, 2008

Bagaimana Meliput Pontianak?


Ratusan pendukung Barisan Melayu Bersatu datang ke Rumah Adat Melayu di Pontianak pada 20 Februari 2008. Mereka minta pemerintah melarang warga Tionghoa menggunakan bahasa Hakka atau Tio Ciu. Mereka juga menuntut pemerintah melarang perayaan Imlek dengan barongsai dan naga. Mereka minta semua aksara Mandarin dilarang di tempat-tempat umum.

-- Photo by Lukas B. Wijanarko. All rights reserved.


Sejak Januari lalu, ketika Barisan Umat Islam datang ke DPRD Kalimantan Barat dan minta Majelis Adat & Budaya Tionghoa dibubarkan, hingga demo kemarin dengan Barisan Melayu Bersatu minta kebudayaan Tionghoa dilarang dan orang Tionghoa dilarang berbahasa etnik, saya sering ditanya bagaimana harus meliput ini?

Beberapa rekan wartawan di Pontianak --dari etnik Dayak, Madura, Melayu maupun Tionghoa-- bilang kalau hanya diliput apa adanya, kesannya malah makin bringas. Banyak yang memutuskan tidak dimuat. Media Jakarta hampir semuanya tak memuat ketegangan ini. Ada televisi sudah punya gambar namun editornya bilang, kalau dimuat, nanti rasialisme anti-Cina makin luas di Indonesia.

Alamak! Bagaimana pula awak ini?

Tapi begini deh. Kalau mau meliput Pontianak dengan baik, minimal si wartawan harus mengerti sejarah daerah itu. Ada beberapa karya bagus. Misalnya, karya Jamie Davidson dan Douglas Kammen, “Indonesia’s Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan.” Davidson juga menulis thesis Ph.D yang bakal jadi karya klasik berjudul, Violence and Politics in West Kalimantan, Indonesia.

Mereka intinya mengatakan daerah ini merupakan kancah pertikaian etnik. Mulanya, sejak Orde Baru berkuasa, orang-orang pedalaman merasa disisihkan dengan program transmigrasi dan bisnis penebangan hutan. Mereka melihat para transmigran dibantu. Mereka melihat para pengusaha tebang hutan. Mereka sendiri dimiskinkan.

Sejak 1980an, orang-orang ini membentuk identitas. Namanya, diambil dari nama lama, Daya atau Dayak. Ada macam-macam organisasi dan program dibuat. Mereka bikin credit union, lembaga adat, media dan lainnya. Makin lama makin santer hingga mereka mau jabatan-jabatan publik dengan identitas etnik. Gubernur, bupati, walikota, rektor, dekan, camat dan sebagainya.

Revitalisasi Dayak ini memancing orang pesisiran membentuk identitas Melayu dengan payung Majelis Adat & Budaya Melayu (MABM). Isi masing-masing kelompok sebenarnya beragam. Bahasanya, untuk payung Dayak: Kenayan, Iban dan lain-lain. Untuk Melayu, bahasanya Melayu, Jawa, Bugis, Sambas dan sebagainya. Ini juga tumpang tindih dengan agama. Orang Melayu dianggap beragama Islam. Hanya Muslim Madura tak dianggap Melayu. MABM segera jadi saingan Dewan Adat Dayak. Belakangan muncul Majelis Adat & Budaya Tionghoa. Saya pribadi merasa aneh. Politik harusnya berbasis partai. Tapi di Pontianak, partai menjadi kendaraan organisasi etnik.

Akademisi lain, yang bekerja independen, misalnya Mary Somers Heidhues dan J.A.C. Mackie. Heidhues menulis soal pengaruh kebudayaan Tionghoa di Pontianak, Singkawang, Ketapang dan lain-lain. Mackie menulis soal pembunuhan 1967. Ada juga wartawan yang sudah menulis pembantaian 3,500 orang Tionghoa 1967 (David Jenkins) dan 4,100 orang Madura 1997 dan 1999 (Richard Lloyd Parry).

Background ini penting buat meliput isu politik. Ia akan membuat si wartawan mengerti sejarah dan mampu memberikan konteks. Tanpa memberikan konteks maka liputan wartawan sering mengambang tak tentu arah. Buntutnya, pengalaman menunjukkan rasialisme anti-Cina dan anti-Madura makin parah. Pembunuhan makin menyebar. Orang-orang terjebak pada identitas etnik atau agama.

Saya pernah bikin penelitian di Pemangkat, Sambas, Mempawah, Jawai, Bengkayang, Singkawang, Roban dan sebagainya. Saya ngeri kalau lihat tempat-tempat dimana mayat tanpa kepala dikubur. Ini nanti akan muncul dalam buku saya From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Saya pesimis masalah di Pontianak ini bisa berakhir dengan damai. Sejajar dengan Pontianak, saya pesimis masalah di Aceh, Papua, Maluku maupun Jawa bisa damai. Selama tak ada pengadilan terhadap kejahatan masa lampau, orang takkan belajar dari sejarah dan para preman takkan takut untuk melakukan premanisme. Kasarnya, kalau Soeharto tak dibuktikan melakukan kejahatan melawan kemanusiaan, maka suharto-suharto lain akan tetap muncul. Saya mencium bau amis selama dua tahun terakhir ini di Pontianak.

Tapi media minimal perlu membantu masyarakat mendapat informasi yang selengkap-lengkapnya agar bisa mengambil sikap, agar tahu keragaman. Keragaman ini membantu orang hidup lebih toleran.

Sudutnya?

Demonstrasi dimuat namun berikan konteks. Beritakan selengkap-lengkapnya. Walau foto atau gambarnya seram, saya tetap usul diberitakan. Kalau sudah berdarah, saya kira tak perlu menggambarkan mayat dengan tak senonoh. Tapi saya usul semua diberitakan.

Namun berikan proporsi. Demo kemarin relatif kecil --namun akan membesar. Interviewlah orang-orang Melayu lain. Banyak orang Melayu tak setuju dengan rasialisme dan fasisme dari Barisan Melayu Bersatu. Coba telusuri siapa yang memimpin rapat-rapat? Siapa yang bikin statemen? Beberapa wartawan Melayu kasih tahu saya bahwa Barisan Melayu Bersatu maupun Barisan Umat Islam, isinya mah preman-preman. Benarkah?

Berikan konteks pemilihan gubernur Cornelis, orang Dayak, dan wakilnya, Christiandy Sanjaya, yang Tionghoa. Cornelis memainkan kartu Dayak saat kampanye. Dia menang. Keduanya kebetulan beragama Kristen. Wah rame tuh di Pontianak! Bayangkan gubernur dan wakil sama-sama Kristen. Nah, berikan konteks dimana ada tiga calon gubernur Melayu --Akil Muchtar, Osman Sapta Odang, Usman Jaffar. Dalam dunia politik tradisional macam Pontianak, dimana etnik dan agama penting, karena "suara Melayu" pecah, maka Cornelis menang.

Berikan tempat untuk orang-orang kecil. Pasti ada yang setuju, ada yang tak setuju. Jangan, sekali-sekali, jangan melakukan interview terhadap apa yang disebut "pakar" atau "pengamat." Di Pontianak, praktis semua orang bermain dalam politik identitas. Kalau mau interview pakar, saya usul hubungi Jamie Davidson atau Gerry van Klinken. Dua orang ini sudah meliput Kalimantan Barat habis-habisan. Mereka bikin buku serius yang terbit secara internasional.

Last but not the least, saya biasa berpegang pada sembilan elemen jurnalisme dari Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Wartawan harus memberitakan kebenaran. Esensi jurnalisme adalah verifikasi. Wartawan harus independen dari sumber-sumbernya. Dengarkan hati nurani. Loyalitas wartawan kepada warga --bukan kepada pemasang iklan, patron politik, perusahaan dan sejenisnya. Saya juga ingin media memasukkan satu kalimat dalam berita Pontianak bahwa media bersangkutan tak setuju dengan rasialisme dan fasisme.

Ini praktek biasa dilakukan di Skandinavia. Bila ada telephone caller yang mengucapkan kebencian terhadap (biasanya) orang Islam, entah di Stockholm atau Oslo, maka hubungan telepon diputus sepihak oleh radio. Pihak radio, saat itu juga, menanggapi dengan bilang tidak setuju. Televisi pun selalu diimbangi dengan statemen host, "Kami tak setuju dengan rasialisme. Hak orang mana pun untuk memakai bahasa etnik mereka."

Saya kira hanya ini yang bisa saya lakukan. Saya pesimis Pontianak bisa berakhir damai. Namun saya juga jahat kalau tak berusaha memberi tahu bahwa ada jalan yang lebih baik guna mengurangi kekerasan, syukur-syukur, bisa mencegahnya. Namun pada akhirnya, orang-orang waras di Pontianak yang harus berjuang melawan fasisme, rasialisme dan premanisme ini.


Ralat - 1 Maret 2008
Caption foto Lukas B. Wijanarko mulanya keliru, ketika saya tulis, protes Barisan Melayu Bersatu dilakukan di gedung DPRD Kalimantan Barat. Wijanarko menjepret adegan ini di Rumah Adat Melayu, sebuah gedung milik Majelis Adat & Budaya Melayu, Jl. Sutan Syahrir, Kotabaru, Pontianak.

Sunday, February 17, 2008

"When we journalists fail to get across the reality of events to our readers, we have not only failed in our job; we have also become a party to the bloody events that we are supposed to be reporting."

-- Journalist Robert Fisk, in his book The Great War for Civilisation
on self-censorship at The Times of London


Cartoon by Khalil Bendid, a Berkeley, California-based artist, who publishes his works in numerous newspapers in the United States. He is also a sculptor, growing up in Morocco and Algeria.
Copyrights by Khalil Bendid. All rights reserved.

Burrying Indonesia's Millions: The Legacy of Suharto
Suharto introduced a "business model" for soldiers and businessmen. He built ties to merchants Liem Sioe Liong and Bob Hasan, accummulating immense wealth while using violence to repress dissension.

The Presidents and the Journalists
In 1997, President Suharto lectured editors to have "self-censorship." Now President Susilo Bambang Yudhoyono also lectured about "self-censorship." What's wrong?

The 'Kemusuk Thug' is Finally Dead
Benedict Anderson of Cornell University wrote that Suharto was basically a gali or a thug. He initially joined Dutch Indies military, later Japan-trained collaborators and Sukarno's republican army.

Mug Jurnalisme
Pantau bikin mug kopi warna hitam dan merah. Ada ucapan Bill Kovach, "Journalism is the closest thing I have to a religion." Anda tertarik memilikinya? Atau buat hadiah?

Clean Water, Dirty Business
Why people in Bandung have to pay so much money for their clean water? How should we react to PDAM Bandung effort not to pay its mounting debt to ADB?

Kronologi Pengasuhan Norman
Norman kekurangan waktu belajar, istirahat dan bermain sejak dipindahkan ibunya dari Pondok Indah ke Bintaro. Jarak tempuh ke sekolah 120 km pergi-pulang. Ini ibu celaka! Child abuse adalah isu publik.

Quo vadis jurnalisme Islami?
Percakapan dengan seorang mahasiswa soal "jurnalisme Islami." Bagaimana beda ranah agama dan jurnalisme? Apa beda propaganda, dakwah dan jurnalisme?

Polemik Sejarah, Pers dan Indonesia
Kapan "pers Indonesia" lahir? Apa 1744 dengan Bataviasche Nouvelles? Apa 1864 dengan Bintang Timoer di Padang? Soerat Chabar Betawie pada 1858? Medan Prijaji pada 1907? Atau sesuai proklamasi Agustus 1945? Atau kedaulatan Desember 1949?

Murder at Mile 63
A Jakarta court sentenced several Papuans for the killing of three Freeport teachers in August 2002. Why many irregularities took place in the military investigation and the trial? What did Antonius Wamang say? How many weapons did he have? How many bullets were found in the crime site?

Protes Melawan Pembakaran Buku
Indonesia membakar ratusan ribu buku-buku pelajaran sekolah. Ini pertama kali dalam sejarah Indonesia, maupun Hindia Belanda, dimana buku sekolah disita dan dibakar.

Indonesia: A Lobbying Bonanza
Taufik Kiemas, when his wife Megawati Sukarnoputri was still president, collected political money to hire a Washington firm to lobby for Indonesian weapons. This story is a part of a project called Collateral Damage: Human Rights and US Military Aid

Dari Sabang Sampai Merauke
Sejak Juli 2003, saya berkelana dari Sabang ke Merauke, guna wawancara dan riset buku. Intinya, saya pergi ke tujuh pulau besar, dari Sumatra hingga Papua, plus puluhan pulau kecil macam Miangas, Salibabu, Ternate dan Ndana. Inilah catatan kecil perjalanan tersebut.

Hoakiao dari Jember
Ong Tjie Liang, satu travel writer kelahiran Jember, malang melintang di Asia Tenggara. Dia ada di kamp gerilya Aceh namun juga muncul di Rangoon, bertemu Nobel laureate Aung San Suu Kyi maupun Jose Ramos-Horta.

State Intelligence Agency hired Washington firm
Indonesia's intelligence body used Abdurrahman Wahid’s charitable foundation to hire a Washington lobbying firm to press the U.S. Congress for a full resumption of military assistance to Indonesia. Press Release and Malay version

From the Thames to the Ciliwung
Giant water conglomerates, RWE Thames Water and Suez, took over Jakarta's water company in February 1998. It turns out to be the dirty business of selling clean water.

Media dan Jurnalisme
Saya suka menulis soal media dan jurnalisme. Pernah juga belajar dengan asuhan Bill Kovach dari Universitas Harvard. Ini makin sering sesudah diminta menyunting majalah Pantau.

Bagaimana Cara Belajar Menulis Bahasa Inggris
Bahasa punya punya empat komponen: kosakata, tata bahasa, bunyi dan makna. Belajar bahasa bukan sekedar teknik menterjemahkan kata dan makna. Ini juga terkait soal alih pikiran.

Dewa dari Leuwinanggung
Saya meliput Iwan Fals sejak 1990 ketika dia meluncurkan album Swami. Waktu itu Iwan gelisah dengan rezim Soeharto. Dia membaca selebaran gelap dan buku terlarang. Dia belajar dari W.S. Rendra dan Arief Budiman. Karir Iwan naik terus. Iwan Fals jadi salah satu penyanyi terbesar yang pernah lahir di Pulau Jawa. Lalu anak sulungnya meninggal dunia. Dia terpukul. Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi?

Friday, February 15, 2008

Burying Indonesia’s Millions: The Legacy of Suharto

By Andreas Harsono, Special to CorpWatch


Copyrights of Khalil Bendid. All rights reserved.


Former Indonesian ruler Suharto died last month a very wealthy man. In 1999, a year after he stepped down as Indonesia's second president, Time magazine reported his wealth at US$15 billion.

"Not bad for a man whose presidential salary was $1,764 a month when he left office," the magazine reported.

And not bad for a peasant boy born in 1921 in Kemusuk, a small Javanese village, during Dutch colonial control. Suharto's route to power and wealth was through the military. In 1954, he took a new job in Semarang, on the north coast of Java, only a three-hour drive from his military base in Jogjakarta. It thrust the 33-year-old Javanese officer into a totally different world.

Before the 1954 promotion, Suharto had been a field commander. Now, as head of the Diponegoro military command in Semarang, his immediate job was not to lead military operations, but to feed the thousands of troops under him. His new division consisted of an assortment of thugs and soldiers, bandits and militias. And like most post-independence armies, it was poorly funded.

If Suharto was to succeed in the new Indonesia that was emerging after World War II, he would have to find ways to keep the army in food and equipment. He looked to the example of his wife, Siti Hartinah. Although she came from Javanese aristocracy, she was supporting the family, which already had three young children, with the small garment trade she had started.

Suharto, too, turned to business -- mainly smuggling such consumer goods as sugar and rice between Singapore and Java. He defended running a business out of the army as essential to feeding his men.

Key to his operations from the start were two men who would remain his business associates for almost half a century. Suharto's tie to Liem Sioe Liong, a Fujian-born Chinese merchant who had migrated to Java in 1938, was to become one of the most important alliances in his New Order regime. Suharto also befriended sportsman-cum-businessman Bob Hasan, whose godfather was an army general.

The relationships were mutually beneficial. Suharto used his troops and position to protect the lucrative smuggling; Liem and Hasan helped supply the troops and provide Suharto with business opportunities.

According to George J. Aditjondro, a corruption researcher who spent two decades tracing the Suhartos' fortune, Suharto basically built his "business model" in the city of Semarang and gradually expanded it, enlisting other officers and businessmen along the way.

In 1956-1957, his Diponegoro operations came crashing down. Suharto was found guilty of smuggling, and army head Colonel Abdul Harris Nasution tried to remove him. But Bob Hasan's godfather, Colonel Gatot Subroto, defended his protégé. Army headquarters defused the scandal by sending Suharto to an officer-training program in Bandung, in West Java.

Within two years, he bounced back, won another promotion, and took command of the Kostrad army reserve in Jakarta. The problem of supplying troops remained the same, as did Suharto's solution of choice. He bought his business partners along with him to Jakarta.

Suharto's political career took another turn on September 30, 1965, when hundreds of army officers kidnapped and killed several generals. Suharto knew of the plan in advance since most of the kidnappers were his Diponegoro colleagues. They reportedly planned to bring the generals, including Nasution, who had allegedly planned a coup, to face President Sukarno.

The next day, Suharto decided to move against his former colleagues. Blaming the communists, his troops began a slow purge against Sukarno, Indonesia's first president. The ensuing maelstrom of violence killed three million people between October 1965 and March 1966, according to one of his officers, Major General Sarwo Edhie Wibowo.

By 1968, at 47 years old, Suharto had emerged as Indonesia's number one man. He sidelined Sukarno and ruled the country with an iron fist for the next 30 years.

Human Rights

Suharto has been accused of a wide variety of human rights abuses. In 1975, he ordered his troops to invade East Timor. The estimated death toll included up to 200,000 East Timorese, 100,000 in West Papua, and tens of thousands more in Aceh, Lampung, Tanjung Priok, West Kalimantan and elsewhere. Even while partnered with Liem and other Chinese tycoons, he systematically discriminated against the Chinese minority in Indonesia. The East Timor Action Network, a New York-based human rights group, called Suharto, "one of the worst mass murderers of the 20th century."

In his official biography, Suharto admitted that in 1983-1984 he had ordered "mysterious shooters" to kill between 2,000 and 3,000 thugs, thieves and robbers. This "shock therapy," as Suharto called the killings, earned him the nickname "Gali Pelarian Kemusuk" or "The Thug from Kemusuk."

Joining Thuggery and Profits

But Suharto was no ordinary thug. He was a business-minded one. Between 1971 and 1972, he and Liem set up giant wheat flour manufacturing plants. PT Bogasari Flour Mills, the foundation of Indofood, is now the world's largest instant noodle manufacturer. Liem also set up Bank Central Asia, one of Indonesia's largest private banks, in which Suharto's children owned shares.

Throughout his rule, Suharto has been implicated in systemic corruption and cronyism that distorted Indonesia's economy. When the economy boomed in the 1970s, along with increased oil prices, Suharto ordered his U.S.-trained economic ministers to issue regulations that included deducting small amounts of money from the salaries of civil servants for charity. The "donation" was automatically channeled to his Supersemar Foundation and Dakab Foundation and some of the funds did help the poor, provide student scholarships and build mosques. Suharto's Dharmais Foundation established one of the biggest cancer hospitals in Jakarta.

But from the 1980s, the recipients of the charity also included Suharto and his cronies who invested the money in dozens of companies. Later, his economic ministers issued regulations that granted monopolies to favored companies. Liem won government contracts to supply wheat flour and cloves. Hasan won millions of forest concessions and won the nickname "Raja Hutan" or "King of the Jungle."

George Aditjondro, who has tracked the family’s fortune, wrote that Suharto established at least 40 foundations since the 1950s. The family owned shares in large companies, including in the cement and fertilizer industries, toll roads and oil palm plantations.

In the late 1980s, when Suharto's six children came of age, they joined the business, helped by "Uncle Liem" and "Uncle Bob." Hasan joined with Suharto's eldest son, Sigit Harjojudanto, to set up PT Nusantara Ampera Bhakti, a holding company in mining and telecommunications. Supersemar, Dharmais and Dakab also own shares.

The middle son, Bambang Trihatmodjo, established ties with the army-owned Kartika Eka Paksi Foundation, and shared ownership with Hasan in his international timber corporations. Hasan’s paper mill, PT Kiani Lestari, received funds from Suharto's foundations. The youngest son, Hutomo Mandala Putra, also linked up with a Hasan operation, Sempati Airlines. When Suharto's wife died in 1995, "Uncle Bob" became Suharto's main advisor on the children's businesses.

Demands For Prosecution

By the time Suharto finally stepped down from power in May 1998, he was facing street protests and the Asian economic crisis. The value of the Indonesian rupiah against the American dollar fell from 2,300 to 10,000. Many civil society organizations demanded that his successors prosecute Suharto and his cronies for criminal corruption.

M. Fadjroel Rachman, a former political prisoner who campaigned for prosecuting the Suhartos, said that the government should take over the Suhartos’ fortune. Rachman especially targetted the former president’s six children and one grandchild: Siti Hardiyanti Rukmana, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harijadi, Hutomo Mandala Putra, Siti Hutami Endang Hadiningsih and Ari Harjo Wibowo. Ari is Sigit Harjojudanto's son, and Suharto's eldest grandchild.

The family was protected not only by its vast wealth, but also by the network of cronies that also benefited from the Suharto fortune. Michael Backman, a researcher and business analyst in Asia, once calculated the Suhartos owned 1,247 companies. A May 1998 Asian Wall Street Journal article reported that these companies were owned by at least 20 different conglomerates, including Liem's Salim Group and Hasan's Kiani Lestari Group. Time magazine researched land ownerships and reported the Suharto family, on its own or through corporate entities, controlled some 3.6 million hectares of real estate in Indonesia -- an area larger than Belgium. That includes 100,000 square meters of prime office space in Jakarta and nearly 40 per cent of the entire East Timor.

No one knows how exactly much wealth the Suhartos accumulated. Family lawyers and children repeatedly denied allegations of vast wealth and Sofyan Wanandi, a businessman once closed to Suharto, said that the family had lost much of its fortune because of mismanagement and the weakened rupiah.

When Time magazine estimated the Suhartos' wealth at US$15 billion -- of which $9 billion had been transferred from Switzerland to a nominee bank account in Austria -- Suharto denied the report. He insisted that he had no bank deposits abroad and owned only 19 hectares of land plus $2.4 million in savings.

In 1999, Suharto filed a lawsuit against Time magazine for defamation. After a nearly a decade of legal battles, Indonesia's Supreme Court ordered Time to pay $106 million in damages. Time and its reporters refused to pay.

A family lawyer, Juan Felix Tampubolon, told the London-based Financial Times that he had no idea how rich the Suharto children were. "Yes the children have companies but, as far as I know, these are legal," he said. "All the accusations are merely that. There are newspaper clippings but no proof."

Nonetheless, in 2004, Transparency International, an anti-corruption watchdog, named Suharto the world's greatest ever kleptocrat and put his fortune at up to $35 billion. The United Nations and the World Bank quoted this research when they launched an international campaign last year to help governments recoup state assets stolen by previous regimes.

Efforts To Regain The Wealth

Over the years there have been repeated efforts to recoup the money that critics claim Suharto stole from his country. In 2007, President Susilo Bambang Yudhoyono's administration filed a civil suit for US$1.54 billion against Suharto and one of the seven major foundations he established. State prosecutors alleged he had stolen $440 million from the government.

But even from beyond the grave, Suharto wields influence and loyalty. When he died in January at 86, President Yudhoyono immediately cancelled a scheduled appearance at a UN conference on retaking states' stolen assets. Instead, he went to the Suhartos' mausoleum to preside over the patriarch's burial ceremony. Like most Indonesian leaders, Yudhoyono was a Suharto crony. And like his predecessors in office since 1989 -- B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, and Megawati Sukarnoputri -- he was unlikely to be able to retake the stolen assets.

Vice President Jusuf Kalla, who repeatedly asked for a pardon for Suharto, owned businesses that thrived during the Suharto rule, according to Rachman. Kalla is currently chairman of the Golkar Party whose chief patron was Suharto.

Last year Kalla tried to protect Suharto's youngest son, Hutomo Mandala Putra, after his money was frozen in a BNP Paribas account in the popular offshore haven of Guernsey, UK. Yudhoyono and Kalla are only two of Suharto's many cronies still in power. And hundreds, perhaps thousands, of military officers, politicians and business leaders remain loyal to the family.

But critics like George Aditjondro and Fadjroel Rachman doubt that the country's leaders have the political will to follow the money trail. Retaking the stolen assets, said Rachman, will take place only "when the young leaders of Indonesia replace the Suhartoists or the old leaders like SBY, JK and their generation."Suharto and most of his circle escaped unscathed and rich. Suharto was never prosecuted. The public reason was that in 1999 doctors declared him too unhealthy to stand trial. But critics say the real reason is that successive administrations are still highly influenced by Suharto's henchmen and cronies.

Only one family member, Hutomo Mandala Putra, nicknamed Tommy, was prosecuted for corruption. He was convicted but acquitted on appeal. He is now facing a civil suit as part of a government bid to recover millions of dollars from Garnet Investment Limited that has been frozen by BNP Paribas. Tommy also spent four years behind bars for hiring hitmen to kill Supreme Court Judge Syafiuddin Kartasasmita. The judge had convicted Tommy for corruption and illegal possession of weapons. Hasan spent three years in prison for causing a US$244 million loss to the Indonesian government through a fraudulent forest-mapping project in the early 1990s.

The military's involvement in business also continues, prompting critics to ask if they are businessmen with weapons or soldiers with check books. In June 2006, New York-based Human Rights Watch published a 126-page report, Too High a Price: The Human Rights Cost of the Indonesian Military’s Economic Activities, describing how the Indonesian military raises money outside the government budget through a sprawling network of legal and illegal businesses. Working with many business partners, the military has provided paid services, marked up military purchases, and invested in hundreds of companies.

Today Suharto is dead, Liem is living in Singapore, and Hasan is semi-retired in Jakarta where he plays golf. But the business model the three partners built in Semarang in the 1950s endures and still forms the pillars of the Indonesian economy. Whether or not anyone has the will or ability to undermine this corrupt and intertwined edifice is a question that is crucial to Indonesia's future.


Corp Watch is a San Francisco Bay Area-based non profit organization that has been educating and mobilizing people on human rights abuses by multinational corporations. Founded in 1996, it was initially known as TRAC (Transnational Resource & Action Center) with a website called Corporate Watch. In March 2001, it simplified the situation by using one name, one logo and a matching website address: CorpWatch.

Thursday, February 14, 2008

Freedom at the cross-road

Indonesian Media since Soeharto

By Damian McIver


Jakarta (ANTARA News) - At any given time in Jakarta, wherever you find a traffic jam, you can find the "tukang koran" - the men who have effectively become walking newsstands. They weave between the cars and the diesel fumes displaying their goods - respectable newspapers jostling with racy tabloids, religious iconography competing with the lurid promise of Playboy.

In this, the tenth year since Soeharto`s downfall and the restoration of democracy, the car-window distribution of the "tukang koran" offers a small but revealing glimpse into the character of the Indonesian media and the changes that have occurred within the last decade.

"Compared to ten years ago, it`s 100 per cent different. In terms of the law, in terms of treatment from the government and in terms of readers and viewers," said Erich Thohir, owner of media corporation Mahaka Media and president director of its flagship Muslim newspaper, Republika.

Under the Soeharto regime, the media in Indonesia was tightly controlled. Stories abound of journalists being intimidated, jailed or even killed for contradicting the official line. Meanwhile, a climate of censorship and corruption flourished.

According to Endy Bayuni, editor of The Jakarta Post, Indonesia`s major English language newspaper, the ten years since "reformasi" have witnessed significant change.

"We have come a long way from the Soeharto regime. We were getting phone calls almost every other night from some general or some minister telling us that certain stories could not be published for security reasons. [Now] there are no more briefings by top military about things that we can or cannot publish," he said.

Thohir agrees with those who proudly claim that Indonesia has the freest media in Southeast Asia. Indeed, in a region that remains partial to strict media controls, the diversity and relative open-ness of the Indonesian media is striking.

A 2007 report on the Indonesian media by Indonesian journalist Toeti Kakiailatu says there are now over 800 newspapers in circulation throughout Indonesia - nearly four times the number that existed under Soeharto. While estimates vary, growth in other forms of media has been equally impressive.

Speaking at a National Press Day function in Semarang, Central Java, recently, President Susilo Bambang Yudhoyono confirmed his government`s commitment to a free media.

"There should be no doubt that our choice will always be freedom of the press that is useful, responsible and adheres to good moral values," he said.

This government rhetoric and the diversity of media that can be sampled at any train station, newsagent or traffic jam invite optimism about Indonesia`s political future. After all, a free press is widely held to be a cornerstone of democracy. However, like so much else in this nation of beguiling complexity, things are not always what they seem.

International press freedom watchdogs such as Freedom House and Reporters Without Borders continue to voice concerns about the state of press freedom in Indonesia. Freedom House`s annual report ranked Indonesia 114 out of 195 countries for press freedom.

Two journalists are currently serving prison time in Indonesia for defamation. This offence, dealt with by press councils or civil courts in most countries, can be legally treated as a criminal offence here.

Meanwhile the media power vacuum that emerged post-Soeharto has become an intense forum of competition between rival business interests. Some of these interests have proved somewhat hostile to the principles of a free and open media. According to Bayuni, threats and intimidation continue to be a fact of life for many journalists.

"What has changed now is that the enemies of press freedom are no longer coming from the government but they are coming from individual politicians, individual businessmen or powerful political groups who are not happy about the way they are being portrayed in the media," he said.

The Alliance of Independent Journalists (AJI) in Indonesia recorded 75 cases of violence against the press in 2007. This was an increase from 53 the previous year. As a witness and target of threats and intimidation, Bayuni described how entire media offices are sometimes targeted.

"Usually the attacks are conducted by a group of thugs - they come in busloads and they are organized by businessmen or political organizations that are not happy about the way they are portrayed in the media," he said.

This situation is exacerbated by the lack of legal protection, said Bayuni.

"When we`re subjected to harassment or intimidation and we turn to the police, the police do nothing about it," he said.


Struggle for genuine pree freedom

The conflict between the media and big business is not a problem unique to Indonesia. However, in a democracy that is still young and a culture that still retains many links with its authoritarian past, the struggle for genuine press freedom in Indonesia looms large over the country`s future direction.

Thohir, whose company is one of the major stake-holders within the Indonesian media, is aware of the threats that business interests can pose.

"It is a crucial time in Indonesia right now. Most of the media business in Indonesia, TV especially, is now owned by big businessmen, not by true journalists anymore. I cannot close my eyes. Many of my colleagues [in other organizations] right now try to use the media as a business," he said.

In a further worrying development, there are those who claim that the government may still be imposing subtle controls on the media.

According to Andreas Harsono, an Indonesian journalist and academic, the government continues to have undue influence on public service broadcasters such as the television station TVRI.

"I`m afraid our politicians cannot hold their eagerness to control these public broadcast organizations. TVRI is a place for politicians to have airtime and positive coverage. I`m afraid the songs remain the same," he said.

The Indonesian Press Council is currently drumming up support for its opposition to a proposed public information bill which, according to the council, would discourage journalists from disclosing information about public figures.

A recent report in The Jakarta Post said that articles within the bill would allow fines and jail time of up to five years to be imposed on anyone found guilty of spreading information classified as being outside the public domain.

The uncertainty surrounding what information is classified as outside the public domain has understandably made journalists in Indonesia quite nervous. The Indonesian Government is expecting to pass the bill in March this year.

Perhaps the most recent example of the convergent tensions between business interests, government interests and the principles of a free media can be found in the coverage of the death of former president Soeharto.

Soeharto`s deteriorating health was the subject of intense media interest in Indonesia with many outlets undertaking round-the-clock vigils at his hospital in Jakarta. Major television networks devoted entire schedules to covering his death and funeral. Soeharto was frequently referred to by the more familiar and reverential `Pak Harto` and much of the television footage contained nostalgic clips and gushing tributes for the former leader.

According to Eko Maryadi, spokesperson for AJI, this television coverage was a betrayal of the media`s responsibility to promote and foster public debate.

"SCTV and TransTV were allowing different voices - they featured former student activists who were victimized during the Soeharto time to see in a critical way the way Soeharto became president and things like that. But the rest of the coverage was crap," he said.

Members of the Soeharto family remain major stake-holders within the Indonesian media and Maryadi believes that their power behind the scenes contributed to the way Soeharto`s death was covered.

"As an Indonesian I felt so ashamed? [that] the press could get so easily co-opted. But it shows once again that the family of Soeharto is still holding media power in Indonesia," said Maryadi.

Maryadi is well qualified to speak about issues of press freedom given the fact that he spent three years in prison during the Soeharto era. Along with two other journalists he was imprisoned in 1995 for publishing an unauthorized newspaper.

Since that time he has campaigned for journalists` rights in Indonesia. He acknowledges that the task of developing a free and independent press in Indonesia is still in its infancy.

"I think we have to be honest to ourselves that our press freedom is very young," he said.

Maryadi, Harsono, Bayuni and Thohir all agree that improving the standard of journalism education will enable journalists to defend their freedom more rigorously.

Harsono, who aside from his journalism, runs Pantau, a media training organization based in Jakarta, Banda Aceh and Ende, argues that progress in the ten years since Soeharto`s fall has been limited by the lack of a strong journalism culture.

"How much progress have we made. Not much, because the infrastructure for healthy, professional journalism is not there yet," he said.

Ironically, it may well be that in the struggle for press freedom, journalists themselves may end up being their own worst enemies. The problem of ethics looms large over media debates in Indonesia with many now believing that the media has exploited the freedom it does have by sensationalising stories, slandering public figures and accepting bribes.

"Only 30 per cent of Indonesian media is healthy. The rest is unhealthy which means they don`t pay their journalists well, they allow journalists to take extra money, ask for bribes or sometimes become bandits or gangsters. They blackmail people," said Maryadi.

It is something of a paradox that in an environment where many bemoan a lack of genuine freedom for the press, there are others who believe that the media now has too much freedom and too much power.

"Is the media too powerful? Yes, but in the future it will balance because of the law," said Thohir who argues that tightening the laws on the press may be what is required to pull unethical elements into line.

Only ten years on from Soeharto`s fall and it is clear that there have been many positive developments within the Indonesian media. The diversity and choice available to the Indonesian public is testament to that.

However, if one thing is clear, it is that much more work is required for genuine freedom to be realised in the Indonesian media: freedom from violence and coercion, freedom to circulate ideas and opinions, and also perhaps, the responsibility of the media to use whatever freedoms they have in a responsible manner. While deep disagreements exist, few would argue with the sentiments expressed by Maryadi.

"It really needs hard work. So much work, so much thought, so much energy - but here we are, we have to fight for it. Once we struggled for press freedom, once we gained it - we have to defend it. We have to take responsibility for how this press freedom can benefit the people, not only journalists. Because press freedom, in the end, must give real benefit for the people," he said. (*)

COPYRIGHT © 2008

Benarkah Bila Wartawan Dekat Pejabat?


Dear Ludi Hasibuan,

Terima kasih untuk email Anda. Saya kebetulan sering berpikir soal pertanyaan Anda, selama tiga atau empat tahun terakhir ini: "Benar atau salah seorang wartawan dekat dengan kekuasaan?" Saya juga seorang wartawan, seperti Anda, yang sering harus wawancara orang-orang berkuasa. Saya juga beberapa kali ditawari ini dan itu. Entah sekedar dimintai pendapat atau ditraktir makan. Atau ditawari jabatan. Entah masuk partai, jadi penasehat, menulis pidato dan sebagainya. Biasanya saya sopan menolak.

Saya lalu membaca buku-buku penting dalam jurnalisme. Bahkan dalam rangka mencari jawaban yang akurat, saya mengambil inisiatif menterjemahkan buku The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel ke Bahasa Indonesia. Buku ini cukup populer. Judulnya, Sembilan Elemen Jurnalisme. Kini sudah cetakan ketiga.

Prinsipnya, menurut buku itu, wartawan harus independen dari nara sumber mereka. Independensi ini mutlak diperlukan agar si wartawan bisa meliput dengan tenang serta membuat penilaian dengan tanpa beban.

Independensi ini terutama penting dari aktor-aktor berkuasa, termasuk politisi, jenderal, birokrat dan pengusaha. Namun wartawan juga harus independen dari orang-orang biasa, yang kekuasaannya relatif kecil, a.l. pedagang kaki lima, tukang becak, penduduk desa, warga kota dan sebagainya. Namun biasanya ini bukan masalah.

Bill Moyers, host acara televisi "Bill Moyers on PBS" mengatakan, "I had to learn all over again that what's important for the journalist is not how close you are to power but how close you are to reality."

Lebih penting untuk wartawan buat dekat dengan realitas daripada dekat dengan kekuasaan.

Ketika menemani Bill Kovach berjalan ke Medan, Surabaya, Jogjakarta, Bali dan Jakarta pada Desember 2003, saya sempat tanya kepadanya, "Apa elemen terpenting dari sembilan elemen jurnalisme untuk wartawan Indonesia?"

Kovach tak ragu menjawab, "Independensi." Kovach melihat bahaya paling besar untuk kebebasan pers, yang baru muncul di Indonesia sesudah Presiden Soeharto mundur Mei 1998, adalah kedekatan wartawan dengan penguasa.

Kesimpulan saya tidaklah perlu buat wartawan untuk "dekat" dengan kekuasaan. Saya percaya makin bermutu jurnalisme dalam suatu masyarakat, makin bermutu pula masyarakat itu. Kalau kita mau mutu masyarakat kita meningkat, kita harus belajar "dekat" dengan realita masyarakat. Terima kasih.

Monday, February 11, 2008

The Presidents and the Journalists


By Andreas Harsono
Asia Blogging Network


JAKARTA
– In February 1997, President Suharto made a speech in front of Indonesia’s top editors and media executives in a State Palace ceremony to commemorate the “National Press Day” in Jakarta.

According to media reports, the state-sanctioned Persatuan Wartawan Indonesia, or the Indonesian Journalists Association, organized the event and invited Suharto to deliver the keynote address.

“If there are values, that are against ours, succeeded in penetrating (our society), the press should increase national awareness about their danger and show ways how to end them,” said Suharto. He talked at length about what he called “Pancasila journalism.”

What the media didn’t relate was that three years earlier, Suharto had ordered the closure of three news weeklies: Detik, Editor and Tempo. Suharto also jailed some journalists protesting the closure. He won many street protests and international condemnation. But the PWI issued a statement, saying that it “understood” the banning rationale. A PWI executive also blacklisted 13 journalists, who signed a declaration to establish an independent journalist union.

As if trying to lick the ass of the dictator, PWI executives asked Suharto to lecture the media executives on the “National Press Day.” Suharto happily asked the media to impose self-censorship, saying that the media should filter “foreign values” and enhance “national awareness.”

But Suharto was at the end of his rule. The Asian economic crisis hit Indonesia five months later. In May 1998, Suharto was forced to step down from his 32-year dictatorship amidst massive street protests and spiraling rupiahs.

Now let’s move forward to February 2008. A new president was also invited to deliver a keynote speech at the same “National Press Day,” by the same journalists association: the PWI. This time, the commemoration was held in Semarang.

Suharto is already dead in his mausoleum in Solo. Susilo Bambang Yudhoyono, also an (retired) army general and a former aide to Suharto, is now the president.

In his speech, President Yudhoyono asked the media to exercise “self-censorship,” saying that it should be improved by only reporting "appropriate" news.

"Bans and (state) censorship of the press no longer exist in our country. The press has achieved the freedom it fought for, but the freedom is not absolute," he told some 500 top editors.

"It is the press that should control itself for the good of the nation. The people want the press to provide accurate and objective information," Yudhoyono said.

He criticized some media. "They only think of practical interests. Please don't be like that. Don't be too partisan because the word 'too' is clearly not good." He added the media should maintain its independence by not getting involved in business or political interests.

Interestingly, Tarman Azzam, the PWI president who hosted Yudhoyono, is also a politician. Azzam is a Golkar legislator. In 1994, Azzam was also the PWI executive who blacklisted the 13 journalists and asked the police to jail three reporters.

Probably both Yudhoyono and the editors should learn from Bill Moyers, a television host in New York, that what's important for journalists is not how close they are to power but how close they are to reality. As long as the journalists do not understand that, I’m afraid, history will repeat itself. And please don’t lecture journalists about “self-censorship.” We have too much self-censorship already, thanks to Soeharto.


Andreas Harsono is a journalist with the Pantau media training organization in Jakarta, currently writing his book From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism.

Tuesday, February 05, 2008

Sidang Kedua, Retno Tak Datang Lagi


Pagi ini Sapariah dan aku datang lagi ke pengadilan negeri Jakarta Selatan guna mengikuti sidang permohonan hak asuh Norman. Heppy Sebayang, pengacara kami, datang lebih pagi. Dia menunggu di bangku tunggu dekat tiga ruang sidang di bagian belakang gedung.

Kami menunggu hingga pukul 10:00 ketika seorang panitera, Dimyati, memberitahu kami bahwa Retno Wardani, ibu kandung Norman, sekali lagi tidak datang. Ini kedua kalinya Retno tak memenuhi panggilan pengadilan. Retno tak hadir pada sidang pertama 23 Januari lalu.

Sebayang dan aku diajak menemui hakim Artha Theresia Silalahi. Dia hakim tunggal yang ditunjuk menangani permohonan hak asuh ini. Silalahi minta bantuan kami agar memberitahu Retno untuk datang pada panggilan ketiga.

Hakim juga membaca beberapa dokumen, termasuk copy surat Retno, tanpa tanda tangan, yang ditujukan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Aku menerima surat ini dari Rudy Parasdio, yang menerimanya dari Retno, November lalu. Antara September dan Desember 2007, Retno empat kali tak memenuhi undangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, guna membicarakan keluhan Norman.

Dimyati menunjukkan surat panggilan yang telah ditandatangani Retno. Hakim bicara sekitar 45 menit. Hakim Silalahi suaranya serak. Aku duga dia kecapekan. Media memberitakan dia hakim kepala pengadilan terhadap kasus korupsi Widjanarko Puspoyo, mantan kepala Badan Logistik. Senin kemarin Puspoyo dijatuhi hukum 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Hakim Silalahi mengatakan dia sidang hingga malam.

Widaningsih Pahlevi, teman Sapariah dari Pontianak, yang juga wartawan Pontianak Post, ikut menemani kami menunggu. Pahlevi dipinjamkan Pontianak Post ke induk perusahaannya, Jawa Pos News Network, di Jakarta. Dia kebetulan menginap di apartemen kami.

Sebayang dan Fredy K. Simanungkalit adalah kuasa hukum aku. Mereka advokat dari Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum FREDI & HEPPY, Jalam Tambak 11 A, Jakarta. Sebayang dan Simanungkalit pada Desember 2003 juga mewakili aku ketika menggugat Retno cerai di pengadilan Jakarta Selatan.

Sebayang dan Simanungkalit pada akhir November menerima kuasa dari aku ketika Retno tak menunjukkan itikad mau menerima mediasi masalah ini lewat Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Retno selalu beralasan pengasuhan Norman sudah ditetapkan pengadilan Jakarta Selatan pada Desember 2003.

Keputusannya, lima hari tiap minggu untuk Retno dan dua hari bersama aku. Saat liburan, Norman tinggal separuh-separuh. Aku juga bertanggungjawab untuk biaya pemeliharaan, pendidikan dan kesehatan Norman. Retno menolak kemungkinan perubahan walau Norman, dengan dukungan aku, berulang kali mengatakan ingin tinggal di apartemen Senayan. Agustus lalu Retno memindahkan Norman dari Pondok Indah ke Bintaro sehingga jarak tempuh ke sekolah di Kemayoran jadi 120 KM. Norman kecapekan dan kurang waktu istirahat, belajar dan bermain.

Ketika pulang, aku kirim pesan kepada Retno soal pesan Hakim Silalahi mau bicara dengannya. "Kapan dan dimana?" tanya Retno. Aku bilang ya di ruang pengadilan!

Monday, February 04, 2008

苏哈托

□安德烈斯·哈索诺/文《财经》网络版


印尼前总统,2008年1月27日在雅加达去世,终年86岁

  听闻前总统苏哈托死讯后几分钟,马可,雅加达城的一个民兵头目,身着迷彩服,冲到苏哈托家中,保卫后者位于岑大拿街的住所。“这是一个巨大的损失。他死了,我就像失去了亲人。他是我们组织的保护人。”他说。

  300多名民兵,加上印尼特种部队(Kopassus)的一些士兵,在岑大拿街上列队,向这位“家长”表示最后的敬意。苏哈托是1月27日下午1时10分去世的。民兵出现在他的家中并非巧合。美国康奈尔大学研究印尼的教授本笃安德森(Benedict Anderson)曾在一篇关于苏哈托的文章“暴徒行为”中,称苏哈托是“来自克木苏的暴徒”。

  1921年6月8日,苏哈托生于爪哇岛中部一个叫克木苏(Kemusuk)的村庄。尽管出身于农民家庭,他受到的教育倒是不差。十几岁的时候,苏哈托被征入荷兰殖民军队,但就在入伍训练后一个星期,荷兰向入侵的日军投降了,苏哈托因而投奔日本人训练的民兵组织。但日本不久战败,1945年8月,印尼的独立战士苏加诺(Sukarno)和穆罕默德哈达(Mohammad Hatta)宣布印尼独立。于是,苏哈托再次转向,他正式加入了印尼军队。

  20世纪50年代,苏哈托还只是一个低调而敢为的军官。他曾被发现参与走私。那是一个革命年代,因此很难在民兵、暴徒、军官和匪盗之间做出明显的区分。苏哈托曾辩解道,他当时只是做一些“生意”来喂饱他的手下。苏哈托的上司非但没有开除他,反而决定让他离开迪泊涅格洛(Diponegoro)军区,去参加一个军官训练项目。苏哈托的政治生涯由此展开。

  开幕事件是1965年10月,数百名军官绑架杀害了几名将军。作为大将军的苏哈托对这个计划心知肚明,那些实施绑架的军官大都是他在迪泊涅格洛的战友。他们最初的计划,是打算在总统苏加诺面前控告这些将军发动政变。苏哈托决定采取行动,并展开了一次与苏加诺针锋相对的大清洗,对共产党大加指责。1965年至1966年间,至少有50万人被杀害。

  成千上万没有明确定罪的人在牢狱中度过了数年,酷刑是家常便饭。这些被囚的人,连同他们的妻子、子女、亲属,被盗、被抢,遭受无可估量的财产损失,以及来自社会的歧视。有很多这样的故事:妻子不得不和看守她们丈夫的民兵睡觉。结果是,在苏哈托的权力膨胀的同时,民兵组织也开始壮大。

  大批知识分子和社会人士被流放到布鲁岛,记者也难逃一劫。前《远东经济评论》驻印尼记者亚当施瓦茨(Adam Schwarz)在他的《等待之国》(A Nation in Waiting)一书中写道:“1965年至1966年,印尼160家报纸中约有四分之一因被指与共产党有联系而被关闭,数百名记者遭捕。”

  苏哈托募集了一些受过美式教育的经济学家来共建印尼经济。他们同世界银行、国际货币基金组织和一些西方国家政府紧密合作。他们向外资开放印尼丰富的自然资源,所得收入用来进行亟需的基础设施建设。

  1975年,在美国、英国、日本和澳大利亚的支持下,苏哈托入侵东帝汶。他的部队在东帝汶杀害了一二十万人,在西巴布亚(West Papua)杀害了10万人,亚齐(Aceh)、楠榜(Lampung)、丹戎不碌(Tanjung Priok)等地也有数万人被杀。

  一个位于纽约的人权组织“东帝汶行动网络”称,苏哈托是“20世纪最坏的大规模杀戮者之一”。

  苏哈托的腐败也非常惊人——他和他的亲信、家人鲸吞了据称150亿到350亿美元的国家财产。他歧视华人,却利用一些华人大亨来帮助他建设商业帝国。

  20世纪80年代,他的统治稳定,并得到西方国家的支持,他开始用“奥威尔式的花言巧语”来粉饰自己的教条。这种粉饰是必需的,因为他对于稳定、秩序、自由和民主的概念,与它们实际的原则大相径庭。比如,当苏哈托总统说“我们的潘查西拉(建国五原则)民主”必将昌盛,实际上他指的是他的统治将昌盛。当他谈“我们的责任”,他指的是“你们的责任”——不是他的。

  亚洲经济危机暴露了苏哈托发展计划的弱点。农村地区的普遍贫困至极,外围群岛的发展远远落后于爪哇岛。在他的统治下,军事压制不断,但无法平息宗派冲突。1998年5月,印尼盾疯狂贬值,苏哈托不得不从其32年的统治中退位。即使在他退休之时,他也还在责备他的部长们在他任内的杀戮和腐败。

  苏哈托一直以健康为由试图免于被起诉。1999年到2007年间,他14次住院,由此逃过了为种族灭绝、破坏和腐败这些他借以统治的手段所应承担的责任。苏哈托最后一次入院是在两周前,那时他仍在抱怨自己的健康状况。他已经病入膏肓,但很多人都相信,拥有那么多护身符的他不会轻易死去。■


作者为印尼民间记者协会Pantau特写服务项目主管,记者、作家

Perlukah Bandara Soekarno-Hatta dipindah?

Hendra Wibawa
Bisnis Indonesia


Perjalanan masuk dan keluar Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, pada akhir pekan lalu terasa begitu berat dan melelahkan. Perasaan itu dialami hampir semua pengguna jasa transportasi udara melalui bandara itu.

Andreas Harsono, wartawan yang menetap di bilangan Senayan, Jakarta Pusat, termasuk salah seorang yang mengalami 'penderitaan' itu. Dia memang biasa bepergian menggunakan pesawat terbang ke berbagai daerah mulai dari Aceh hingga Papua.

Sabtu lalu, Andreas baru tiba dari London, Inggris, mengeluh kepada saya betapa susahnya keluar dari Bandara Soekarno-Hatta. Dua jalan alternatif keluar masuk bandara yang ditunjukkan kepolisian bandara, macet. "Adakah jalan alternatif keluar Soekarno-Hatta, jalan-jalan semuanya lumpuh," katanya kepada saya.

Kepolisian bandara memang mengarahkan semua kendaraan keluar Soekarno-Hatta ke jalan tol Jakarta-Merak. Demikian pula taksi yang ditumpangi Andreas menuju pintu tol Cikokol, kawasan yang menghubungkan Bintaro dengan Tangerang. Namun, ribuan kendaraan ternyata juga mengarah ke kawasan itu.

Dengan bantuan informasi Radio Sonora yang menerjunkan wartawannya di lapangan, akhirnya sampai juga dia di Senayan. "Itu setelah empat jam lebih naik taksi hanya untuk jarak 25 km. Lebih cepat naik pesawat Kuala Lumpur ke Jakarta," sindir Andreas.

Sindiran Andreas beralasan. Penyebab kacau balaunya sistem transportasi itu tak lain karena jalan tol utama keluar masuk Bandara Soekarno-Hatta ditutup akibat tergenang air. Kawasan yang tergenang setinggi 50 cm sampai 80 cm tepatnya berada di Jalan Tol Sedyatmo Km27 sampai Km29.

Kawasan itu tak jauh dari Pantai Indah Kapuk (PIK), yang dulunya merupakan kawasan hutan bakau pelindung dari banjir dan luapan air laut (rob) di sekitar bandara.

Otoritas penerbangan pun menutup bandara tersibuk di Indonesia itu selama lebih dari empat jam. Akibatnya tak dinyana, semua aktivitas penerbangan domestik dan internasional terganggu lebih dari tiga hari. Ribuan penumpang pun telantar di Soekarno-Hatta.

Tak sekadar teknis

Penutupan bandara dengan alasan keselamatan, memang merupakan kewajiban otoritas penerbangan di Soekarno-Hatta. Namun, penutupan bandara itu tak sekadar soal teknis, seperti jarak pandang pilot yang anjlok saat cuaca buruk pada Jumat lalu, melainkan juga soal infrastruktur bandara yang jelek hingga lingkungan hidup.

Menurut laporan Administrator Bandara Herry Bhakti kepada Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal, Bandara Soekarno-Hatta ditutup sejak pukul 10.20 hingga 12.20. Penutupan itu akhirnya diperpanjang hingga pukul 15.00.

Akibat cuaca buruk pada Jumat lalu, total 58 penerbangan dialihkan ke bandara alternatif. Sejumlah bandara alternatif yang digunakan untuk pendaratan a.l. Lanud Halim Perdanakusumah sebanyak 15 penerbangan, Palembang 12 penerbangan, Semarang 6 penerbangan, Surabaya 17 penerbangan, dan Singapura 4 penerbangan.

Sementara itu, ratusan penerbangan dari Soekarno-Hatta terganggu. Ribuan penumpang telantar. Publik tentu dirugikan.

Otoritas penerbangan, pengelola bandara, kepolisian bandara hingga maskapai penerbangan pasti tak menyangka betapa hebat dampak penutupan bandara. Karena teramat besar, Kepala Komunikasi Eksternal PT Garuda Indonesia Singgih Handoyo menggambarkan bandara tersibuk di Indonesia itu makin sibuk saja selama 24 jam.

Singgih memang orangnya terbuka. Dia menceritakan akibat daya dukung bandara yang tak keruan lagi dan akses bandara yang tertutup genangan air, calon penumpang dan pegawai maskapai banyak yang tak mampu mencapai Soekarno-Hatta tepat waktu. "Semuanya ngaret," tandas dia.

Singgih menilai penutupan Bandara Soekarno-Hatta selama lebih dari empat jam dan berdampak lebih dari tiga hari, harus dilihat tak semata-mata karena cuaca.

Namun, Direktur Utama PT Angkasa Pura II Edie Haryoto menganggap masalah utama ada pada cuaca buruk. Meskipun menyadari ada genangan air akibat luapan air dari Sungai Dadap, dia menolak penutupan bandara karena masalah genangan air di runway (landasan pacu).

PT Angkasa Pura II menyiapkan rencana memindahkan sebagian penerbangan ke Lanud Halim Perdanakusumah.

Masalahnya, tak semua fasilitas dan maskapai siap jika Lanud Halim Perdanakusumah melayani limpahan penerbangan Soekarno-Hatta. "Kalau AP [Angkasa Pura] II nggak ada masalah," janji Edie.

Sampai hari ketiga pascapenutupan Bandara Soekarno-Hatta, masih banyak terjadi penumpukan penumpang di terminal. Jadi, seperti kata Singgih, sudah waktunya bandara dipindah jika pemerintah tak berani mengembalikan tata guna lahan di sekitar bandara seperti sediakala. (hendra.wibawa@bisnis.co.id)


Ralat
Andreas Harsono sebenarnya menumpang mobil Ramdan Panigoro, koordinator kerja sama internasional Universitas Padjadjaran Bandung, dari Cengkareng ke Senayan. Bukan naik taxi.