Tuesday, August 28, 2007

Kemerdekaan adalah nasi
Dimakan jadi tai

-- Puisi "Kemerdekaan" pada Agustus 1982
Wiji Thukul (1963 - hilang 1998),


Norman Harsono dengan hati-hati menunjukkan seekor kepiting, yang dipegangnya di pantai Pulau Tomea. Kepiting ini dibebaskan sesudah dipamerkan Norman ke papanya.


Norman Akhirnya Dipindah ke Bintaro
Retno Wardani, tanpa menghiraukan protes soal caranya mengasuh anak, memindahkan Norman, dari Pondok Indah ke Bintaro. Jarak tempuh ke sekolah makin panjang.

Iqbal Athas Intimidated in Colombo
One top journalist in Colombo had his police guards withdrawn from his house amid concern that he had probably upset some powerful figures in Sri Lanka.

Apresiasi Jurnalis Jakarta 2007
Siapa wartawan yang mendapat penghargaan dari Aliansi Jurnalis Independen? Dari media cetak? radio? televisi? Bagaimana rata-rata mutu peserta lomba ini?

Kursus Narasi Angkatan III
Yayasan Pantau membuka kursus penulisan panjang, untuk kelas November hingga Maret, buat mereka yang ingin belajar bertutur. Ada materi baru soal Pham Xuan An dari Saigon.

Protes Melawan Pembakaran Buku
Indonesia membakar ratusan ribu buku-buku pelajaran sekolah. Ini pertama kali dalam sejarah Indonesia, maupun Hindia Belanda, dimana buku sekolah disita dan dibakar.

Lampung, Lampung, Lampung
Bagaimana mengembangkan suratkabar daerah dari serbuan televisi? Apakah suratkabar Lampung punya kemungkinan mendobrak jurnalisme Majapahit ala Jakarta?

Aboeprijadi Santoso Pensiun
Wartawan terhormat dari radio Hilversum, membongkar kepalsuan Deklarasi Balibo, ketika beberapa tokoh Timor Timur pada November 1975, diminta teken dokumen minta integrasi dengan Indonesia.

Indonesia: A Lobbying Bonanza
Taufik Kiemas, when his wife Megawati Sukarnoputri was still president, collected political money to hire a Washington firm to lobby for Indonesian weapons. This story is a part of a project called Collateral Damage: Human Rights and US Military Aid

Dari Sabang Sampai Merauke
Sejak Juli 2003, saya berkelana dari Sabang ke Merauke, guna wawancara dan riset buku. Intinya, saya pergi ke tujuh pulau besar, dari Sumatra hingga Papua, plus puluhan pulau kecil macam Miangas, Salibabu, Ternate dan Ndana. Inilah catatan kecil perjalanan tersebut.

Hoakiao dari Jember
Ong Tjie Liang, satu travel writer kelahiran Jember, malang melintang di Asia Tenggara. Dia ada di kamp gerilya Aceh namun juga muncul di Rangoon, bertemu Nobel laureate Aung San Suu Kyi maupun Jose Ramos-Horta.

State Intelligence Agency hired Washington firm
Indonesia's intelligence body used Abdurrahman Wahid’s charitable foundation to hire a Washington lobbying firm to press the U.S. Congress for a full resumption of military assistance to Indonesia. Press Release and Malay version

From the Thames to the Ciliwung
Giant water conglomerates, RWE Thames Water and Suez, took over Jakarta's water company in February 1998. It turns out to be the dirty business of selling clean water.

Media dan Jurnalisme
Saya suka menulis soal media dan jurnalisme. Pernah juga belajar dengan asuhan Bill Kovach dari Universitas Harvard. Ini makin sering sesudah diminta menyunting majalah Pantau.

Bagaimana Cara Belajar Menulis Bahasa Inggris
Bahasa punya punya empat komponen: kosakata, tata bahasa, bunyi dan makna. Belajar bahasa bukan sekedar teknik menterjemahkan kata dan makna. Ini juga terkait soal alih pikiran.

Dewa dari Leuwinanggung
Saya meliput Iwan Fals sejak 1990 ketika dia meluncurkan album Swami. Waktu itu Iwan gelisah dengan rezim Soeharto. Dia membaca selebaran gelap dan buku terlarang. Dia belajar dari W.S. Rendra dan Arief Budiman. Karir Iwan naik terus. Iwan Fals jadi salah satu penyanyi terbesar yang pernah lahir di Pulau Jawa. Lalu anak sulungnya meninggal dunia. Dia terpukul. Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi?

Norman Akhirnya Dipindah ke Bintaro


Pagi ini, ketika mengantar Norman ke sekolah, dia cerita bahwa dia sudah tidur di rumah neneknya di Bintaro tadi malam.

Aku mengikuti terus proses perpindahan ini. Kesannya, perpindahan ini dilakukan bertahap. Mulanya, hari Minggu, Retno Wardani, ibunya Norman, mengangkut semua barang-barang Norman, dari meja belajar hingga pakaian, dengan mobil barang sewaan ke Bintaro. Minggu malam, mereka kembali ke rumah Pondok Indah.

Senin pagi, aku menjemput Norman di rumah Pondok Indah. Senin siang, ketika mengantar Norman pulang ke rumahnya di Pondok Indah, Retno sudah menunggu. Norman langsung dibawa ke Bintaro.

Senin malam, mereka sudah tidur di Bintaro. Namun Retno Selasa subuh membawa Norman ke Pondok Indah. Aku menjemput Norman untuk pergi ke sekolah di Kemayoran masih di Pondok Indah.

Selasa siang ini, Norman bilang dia diminta pergi ke Bintaro. Aku lewat jalan tol dari Ancol hingga Ulujami. Aku antar Norman ke rumah neneknya, M.Th. Koesmiharti, di Jalan Camar III, Bintaro Sektor III. Kami sama-sama tertekan dengan perpindahan ini. Norman harus bangun lebih pagi. Aku juga harus menghabiskan waktu hingga lima jam sehari di jalanan untuk jemput antar anakku sekolah.

Aku minta Norman tabah. Anggap ini sebagai latihan untuk menghadapi kesulitan serta kebodohan (ignorance). Kelak ketika dia dewasa, kesulitan dan tekanan macam ini akan makin banyak dan makin besar.

Hari ini, Sri Maryani, pengasuh Norman, ikut pergi ke sekolah. Maryani bertugas membayar uang sekolah Norman di Gandhi Memorial International School. Maryani juga cerita banyak soal perpindahan ini. Dia mengatakan "Bu Retno keras kepala" dan tak mau memperhatikan kepentingan anaknya sendiri.

Waktu istirahat dan waktu belajar Norman berkurang. Jarak Bintaro-Kemayoran bukan tak jauh. Aku harus keluar biaya lebih besar untuk bensin dan karcis tol. Retno mengambil keputusan secara sepihak tanpa mau berunding dengan aku.

Pagi ini, Norman mengulangi harapannya kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Dia bilang seseorang dari Komisi tampaknya menelepon ibunya. Norman juga menyatakan keinginan agar dia bisa tinggal di Senayan bersama aku dari Senin hingga Sabtu.

Aku tanya mengapa berubah? Maryani menjawab, "Dek Norman tadi juga bilang gitu ke aku, Pak. Katanya, dia sekarang mau pindah ke Senayan dari Senin sampai Sabtu."

Maryani juga mengulangi ucapannya beberapa bulan lalu bahwa dia ingin berhenti bekerja. Dia merasa tak nyaman bekerja dengan Retno. Maryani bekerja sejak Desember 2002. Dia mengasuh Norman sejak Norman masih kelas satu. Maryani juga bilang Retno sudah tak bekerja lagi sejak banjir awal tahun ini. "Kerjanya setiap hari di rumah," katanya.

Retno dulu bekerja untuk Indonesian Forum of Parliamentarians on Population and Development. Dua tahun lalu, dia pernah tanya bagaimana cara mendirikan sebuah lembaga swadaya masyarakat. Dia minta diberi contoh anggaran dasar. Dia bilang akan keluar dari IFPPD dan bikin kantor sendiri. Retno tak pernah memberitahu perkembangan pekerjaannya.

Norman sebelumnya mengatakan kepada Komisi hari Sabtu bahwa dia ingin tinggal lima hari di Senayan, Selasa hingga Sabtu. Artinya, 5x24 jam bersama aku dan 2x24 jam dengan ibunya. Perpindahan ke Bintaro tampaknya membuat Norman makin gerah dengan kesulitan-kesulitan ini. Dia mengatakan dia rasa kasihan dengan aku, kecapekan tiap hari antar-jemput. Aku bilang orang tua harus bertanggungjawab terhadap anaknya.

Ketika tiba di Bintaro, neneknya membukakan pintu pagar. Koesmiharti menawari aku mampir. Aku mengucapkan terima kasih, "Saya lagi banyak kerja, Bu." Aku naik mobil lagi dan kembali ke Senayan, melanjutkan penulisan buku dan pekerjaan Yayasan Pantau, yang setiap siang berhenti dua jam lebih, untuk mengatasi "orang keras kepala" ini.

Previous Stories
Norman Menjelang Perceraian
Retno dan Asma
Kredit Kepemilikan Rumah BII
Asthma Cases on the Rise Among Children

"Jangan Seenak Jidatmu Sendiri!"
Norman Dipindah ke Bintaro
Surat untuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Kronologi Hak Pengasuhan Norman Harsono

Dokter Andreas Liando di Siloam Gleneagles
20 Menit Senayan-Kemayoran
Norman Bertemu Komisi Perlindungan Anak
Transportasi Norman Rp 4.5 Juta Sebulan
Dunia Fantasi dan Pelajaran Sejarah

"Deadly" Climate for Reporters and Aid Workers


By Thalif Deen

UNITED NATIONS, Aug 28 (IPS) - Sri Lanka, which is fighting a longstanding insurgency against Tamil separatists, is fast gaining notoriety as "one of the world's worst places" both for journalists and humanitarian aid workers -- due primarily to a rising death toll and veiled threats from government and paramilitary forces in the country.

At least four international non-governmental organisations monitoring the media -- the Committee to Protect Journalists, the International Press Institute, Reporters Sans Frontieres (RSF) and the International Federation of Journalists -- have singled out Sri Lanka as "deadly" for journalists.

"Journalists have been victims of murders, threats, kidnappings and censorship," said RSF in a report released last week.

An RSF fact-finding team specifically zeroed in on "the isolated, Tamil-populated Jaffna peninsula" where there have been "grave press freedom violations".

In 2006, described as "the most savage year for journalists and news media workers", the most dangerous place was Iraq where 46 newsmen were killed, followed by the Philippines (10), Mexico (seven), Sri Lanka (five) and Pakistan (four).

Last week, the consulting editor at the Sri Lanka Sunday Times, Iqbal Athas, was threatened and harassed for a series of articles he wrote detailing a corruption-ridden multi-million-dollar government deal involving the purchase of fighter planes from Ukraine.

Recounting the latest incident, Athas told IPS that a person purporting to be a retired Air Force officer walked into the Wijeya Newspapers Ltd., the publishers of the Sunday Times and several other publications in the native language Sinhala, and threatened the staff.

The visitor met the English-to-Sinhala translator, W.D. Gunaratne, and warned him not to translate any of Athas's articles into the local language newspaper (which has a larger readership than English language newspapers in Sri Lanka).

"He warned Gunaratne he would have to face the consequences if that happened," said Athas, who is also a military correspondent for the London-based Jane's Defence Weekly.

The visitor also warned that if Athas "does not give up his job and leave Sri Lanka within three months", he would meet the same fate that befell Tamil journalists, most of whom were killed by "unknown gunmen".

The Committee to Protect Journalists' Abi Wright told IPS that her organisation "is alarmed by the grave threats facing veteran journalist Iqbal Athas, who has come under extraordinary pressures following his investigations into irregularities surrounding a 2006 deal to purchase MiG-27 fighter jets from Ukraine".

She said Athas has already told CPJ that over the past two weeks-- when his security detail was abruptly withdrawn by the government after the publication of his articles about the deal-- he has been harassed and followed by unknown persons. She said Athas fears for his life and for the safety of his family.

"CPJ calls on the Sri Lankan government to act immediately to provide adequate security and ensure the safety of Iqbal Athas," Wright added.

She said that Athas is well-known as the defence columnist for the Sunday Times of Sri Lanka and a frequent contributor to international media outlets, including Cable News Network, Jane's Defence Weekly and the Times of London. He also received CPJs International Press Freedom Award in 1994.

Wright said CPJ will be sending a letter of protest to Sri Lankan President Mahinda Rajapakse later this week.

The Colombo-based Free Media Movement (FMM) has already expressed its "grave concern regarding the safety and security of senior English language journalist Mr. Iqbal Athas."

"As senior Defence columnist for the Sunday Times, in the past months, Mr. Athas has been responsible for a series of articles on the irregularities in procurement of MIG aircraft for the security forces, from a company based in Ukraine," FMM said in a statement released Monday.

Referring to the continued threats to Athas and his family, FMM said: "In a context in which there have been repeated attacks and harassment of journalists and media persons in Sri Lanka in the past months, the Free Media Movement is convinced that there is a very real basis for Mr. Athas fears regarding his security."

"We call on the president, as minister of defence, to take all steps necessary to provide Mr. Athas with adequate security immediately. Failure to do so will only provide yet another indication of the lack of concern on the part of the government for the safety and security of media personnel in Sri Lanka."

Meanwhile, after a recent visit to Sri Lanka, the U.N. under-secretary-general for humanitarian affairs described the Indian Ocean island nation as "one of the most dangerous places" for aid workers, second only to Afghanistan.

Addressing a meeting of the Security Council in June, John Holmes said that in 2006, 24 aid workers were killed in Sri Lanka, including 17 from Action Contre Le Faim, "in a single horrifying act."

The perpetrators of these and similar attacks -- including the killing of two Red Cross workers in a Palestinian refugee camp in Lebanon and the murder of a Caritas International aid worker in Darfur, Sudan -- "are yet to be brought to account," Holmes said.

He said that civilians are too often deliberately targeted to create a climate of fear and to destabilise populations.

Holmes also pointed out that countries as far apart as Sri Lanka and Colombia were experiencing assassinations, disappearances and other violations of international humanitarian law and human rights law.

"In Sri Lanka, over 600,000 inhabitants of the Jaffna peninsula have faced shortages of basic necessities since August of last year when the government and the LTTE restricted access to the peninsula by road and by sea respectively," Holmes continued.

Implying Sri Lanka was virtually culpable of war crimes, he added: "Killing humanitarian staff and arbitrarily denying access violates international humanitarian law."

Ambassador John McNee of Canada placed Sri Lanka in the company of Sudan, Afghanistan, Iraq, northern Uganda, Lebanon and Somalia as countries that have failed to provide protection to civilians in war zones.

"Girls and boys are recruited as combatants; civilians become unwitting targets of suicide bombers; families are displaced from their homes; sexual violence is a deliberate weapon of war; and civilian infrastructure and economies are often shattered," McNee said.

The consequences of these actions play themselves out daily, he pointed out, in countries ranging from Sudan and Afghanistan to Somalia and Sri Lanka.

A Letter to Nanda Mallawaratchchi




Jakarta, 25 January 2007

Major General Nanda Mallawaratchchi
Sri Lankan Ambassador to Jakarta
Jl. Diponegoro No. 70 Menteng
Jakarta 10310
Tel (62-21) 314-1018, 316-1886, 3190-2389
Fax (62-21) 310-7962


Dear General Mallawaratchchi,

I am writing this letter to raise my concern about the safety of my dear friend, Iqbal Athas, the defense correspondent of the Sunday Times in Colombo. Last week, Athas sent an email to scores of journalists worldwide, saying that he feels intimidated and threatened after the publication of his report into an obscure arms deal between the Sri Lanka government, the government of Ukraine and a shady company in the UK. His security guards, who had been assigned earlier nearly ten years ago by the Sri Lankan government, were withdrawn without notice on Saturday 18 Aug. 2007. I am writing this letter to ask you asking Colombo to return the guards to Athas’ house. I think it wills a loss for both his newspapers, and more importantly, for the societies in Sri Lanka if something serious is to happen to Athas.

Athas and I have known each other since 1995 when meeting in a Hong Kong seminar. We frequently meet each other, as we are members of the International Consortium of Investigative Journalists since 1999. In March 2004, both of us joined a delegation organized by the New York-based Committee to Protect Journalists to visit Dhaka and to call upon the Bangladesh government to vigorously investigate and prosecute all those who murder, assault, or threaten the country’s journalists.

In December 2005, my son Norman and I had a one-week vacation in Colombo, staying at the Athas’ house. Norman befriended Jasmine, Iqbal’s only daughter. They told me the saga on 12 Feb. 1998, when five armed men raided their three-story house. At approximately 21:00, as Athas was watching television with his wife and then seven-year-old Jasmine, the five armed men forced their way into the house and assaulted a household watchman and the family cook at gunpoint. A man put an automatic pistol to Athas’ head and demanded that he go downstairs. Jasmine screamed and she very probably saved her father’s life. Norman and I witnessed how policemen guarded their residence. The threat against Athas was very real.

That story reemerged again last week when I read Athas’ email. He told me that he had been evacuating his family. For more details about the story, you could click the Sunday Times. I sometimes also write stories for his newspaper. He is also the CPJ's 1994 International Press Freedom award winner.


Sincerely,


Andreas Harsono
Jalan Raya Kebayoran Lama 18 CD
Jakarta 12220
Tel. +62 21 7221031 Fax. +62 21 7221055
Weblog www.andreasharsono.blogspot.com

Sunday, August 26, 2007

Norman Bertemu Komisi Perlindungan Anak


Hari Sabtu ini, bersama isteri dan anak, saya pergi ke kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia di Jl. Teuku Umar 10, untuk bertemu dengan Susilahati, ketua Kelompok Kerja Pengaduan, guna membicarakan rencana ibunya Norman, Retno Wardani, memindahkan Norman dari Pondok Indah ke Bintaro.

Kami diterima di ruang kerja Susilahati. Dia ditemani dua staf KPAI: Maya Nur Elisa, lulusan magister hukum pidana dari Universitas Trisakti, serta Hendra Kusumah Jaya, seorang lawyer lulusan Fakultas Hukum Universitas Pancasila. "Ibu Susi" sendiri berasal dari organisasi perempuan Aisyiyah. Dia pernah jadi salah seorang ketua Aisyiyah.

Saya tahu "Ibu Susi" menangani mediasi ini sejak Rabu, ketika ketua KPAI Giwo Rubianto Wiyogo mengirim SMS, "Saya sdh baca surat pengaduan KPAI dan Pokja Pengaduan n Fasilitas segera menindaklanjuti, dan pak Harsono dpt koord dng ka pengaduan Ibu Susi. Tk. Smg ada solusi yg tbaik bg Norman."

Mereka minta saya menjelaskan mengapa saya mengadukan ibunya Norman, atau mantan isteri saya. Saya bilang ada dua prinsip yang saya pakai dalam melihat pengasuhan Norman. Pertama, semua keputusan soal pengasuhan Norman harus memperhatikan kepentingan Norman. Kepentingan Retno, kepentingan saya atau Sapariah, seharusnya tak melangkahi kepentingan Norman.

Kedua, Norman harus dilibatkan dalam mengambil keputusan. Dia memang baru 10 tahun. Dia belum bisa diminta bertanggungjawab. Namun banyak soal dimana ide-ide seorang anak justru sangat masuk akal. Mereka mengenal lingkungan mereka lebih baik dari kita. Norman juga terbiasa berpikir kritis dan bikin analisis sendiri. Dia memulai sekolahnya di sebuah tempat penitipan anak yang dikelola Universitas Harvard di Cambridge. Dia lalu ikut taman kanak-kanak di Montessori Kemang. Kini sekolah di Gandhi Memorial International School di Kemayoran. Sekolah-sekolah ini melatihnya berpikir terbuka. Norman bisa memberi masukan yang baik.

Pada 2004, saya bersedia menuruti kehendak Retno dengan melepaskan hak gono-gini kepemilikan rumah Pondok Indah. Pertimbangannya, Norman memerlukan rumah. It was the best interest of Norman. Ketika Norman ingin tak datang ke Senayan --"I want to play with my (visting) cousins," katanya-- saya dengan senang hati menerima argumentasi itu. Sebaliknya, Retno justru sering minta Norman menuruti kehendak Retno. Sering kehendak itu dipaksakan.

Belakangan saya kuatir dengan cara Retno mengasuh Norman. Retno menolak merawat asma Norman sesuai nasehat klinik asma Indrajana. Retno menolak memasang terpal untuk alas tidur Norman. Terpal ini gunanya melindungi saluran pernafasan Norman dari tungau debu. Retno juga memutuskan pindah ke rumah ibunya, M.Th. Koesmiharti, di Bintaro. Rumah Pondok Indah, dengan alasan kesulitan keuangan, hendak dikontrakkan. Jarak Bintaro-Kemayoran sangat jauh. Norman akan kekurangan waktu istirahat dan belajar (bangun pagi sekali dan pulang sore).

Maya Nur Elisa mengatakan dia sudah bicara via telepon dengan Retno. Ini komunikasi awal antara KPAI dan Retno. Maya menyampaikan pada Retno bahwa aku menghubungi KPAI soal urusan asma Norman. Mereka bicara selama hampir satu jam. Maya tak menyinggung soal kepindahan ke Bintaro. Retno bilang terpal bikin tempat tidur jadi panas dan Norman berkeringat. Retno bersedia diperiksa silang dengan dokternya sendiri.

Dalam bahasa Inggris, Norman menjawab pertanyaan Maya. Norman bilang hampir setiap malam ibunya melarang dia pakai terpal. Norman juga keberatan dengan rencana pindah ke Bintaro. Jarak ke sekolah Kemayoran lebih jauh dan lalu lintas macet. Dia bilang ingin tinggal di Senayan, setiap minggu, dari Selasa hingga Sabtu. Dia ingin bersama Retno Minggu dan Senin. Ini proposal Norman.

Pertemuan berjalan baik. Mula-mula Norman gelisah. Dia terlihat emosional ketika ditanya Maya apa opini terhadap ibunya sendiri. "Closed minded," jawab Norman. Kalau punya kemauan, ibunya takkan mau mendengar alasan lain.

Susilahati mengusulkan ditunjuk satu lembaga psikologi guna memberikan penilaian terhadap masalah Norman. Mereka juga akan menghubungi Retno. Sapariah menilai Norman anak yang kritis. Norman dididik secara demokratis dan terbuka. Susilawati bilang ada beda budaya antara papa dan mamanya Norman. Papanya mendidik Norman dengan demokratis sedang mamanya "timur." Susilahati bilang anaknya sendiri juga penderita asma. Mereka juga memakai klinik Indrajana.

Ketika keluar dari kantor KPAI, Norman dan Sapariah sempat mengagumi sejenis tawon cukup besar di halaman depan KPAI. Gedung ini sebenarnya lagi mengalami renovasi sehingga banyak debu. Namun daerah Menteng, salah satu daerah elite Jakarta, memiliki banyak pohon. Tawon tersebut mendengung-dengung. Norman dan Sapariah juga beli es krim Campina, yang kebetulan lewat depan KPAI. Dari sana, karena sudah siang, kami memutuskan makan Soto Madura, depan Bina Graha. Ini tempat langganan kami.

Belakangan Norman bilang dia merasa lega bisa bicara dengan orang-orang KPAI. Saya rasa ini memang melegakan Norman. Dia setidaknya merasa ada yang mau mendengarkannya. Sudah cukup lama Norman merasa tertekan. Mudah-mudahan kami bisa menemukan jalan untuk memakai proposal Norman.

Norman Menjelang Perceraian
Retno dan Asma
Asthma Cases on the Rise Among Children
"Jangan Seenak Jidatmu Sendiri!"

Norman Dipindah ke Bintaro
Surat untuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Kronologi Hak Pengasuhan Norman Harsono

Dokter Andreas Liando di Siloam Gleneagles
20 Menit Senayan-Kemayoran
Norman Bertemu Komisi Perlindungan Anak

Friday, August 24, 2007

Top Lankan defence analyst silenced amid fears for life


COLOMBO (AFP) - A top Sri Lankan defence columnist stopped writing fearing for his life after he exposed alleged corruption in the purchase of second-hand supersonic jets, the Sunday Times weekly said.

The "Situation Report" by Iqbal Athas was not being published Sunday after the government withdrew police bodyguards who had been assigned to protect him for over nine years, the paper said.

"The Sunday Times regrets the Situation Report does not appear today in the light of serious constraints placed on the author, Consultant Editor and Defence Correspondent," the paper said.

"He fears for his life and that of his family," it said, adding that Athas was being followed.

In the space reserved for Athas' weekly column was a parliamentary investigation into state enterprises under the headline: "The stink of the state sector."

The indirect censorship of Athas comes as international media activists on Friday warned of worsening conditions in one of the world's most dangerous places for journalists.

The local Free Media Movement (FMM) said it was convinced there was a "very real basis" for Athas to fear for his life because of repeated attacks and harassment of journalists and media workers in Sri Lanka in recent months.

"We call on the President, as Minister of Defence, to take all steps necessary to provide Mr. Athas with adequate security immediately," the FMM said in a statement.

"Failure to do so will only provide yet another indication of the lack of concern on the part of the government for the safety and security of media personnel in Sri Lanka."

Rights groups have said the situation for journalists has worsened as Sri Lanka presses for a military victory over the rebels in a 35-year-old conflict that has claimed more than 60,000 lives.

Over 5,200 people have been killed since December 2005, according to official figures, while human rights groups have alleged that over 1,000 people have "disappeared" in the past year.

Letter to Nanda Mallawaratchchi
Deadly Climate for Reporters and Aid

Apresiasi Jurnalis Jakarta 2007

Pengumuman Dewan Juri


Beberapa waktu lalu,
Aliansi Jurnalis Independen cabang Jakarta, minta saya jadi juri penghargaan wartawan AJI. Tujuannya, merangsang peningkatan mutu jurnalisme di Jakarta. Ini penting karena Jakarta adalah ibukota media di Indonesia. Kalau mutu disini naik, ia juga akan mempengaruhi daerah lain. Ada dua orang orang lagi: Santoso dari kantor berita radio 68H serta Riza Primadi dari Astro TV. Kami bertiga menerima tawaran tersebut. Kami merasa ini suatu kehormatan.

Lomba ini terbuka untuk semua wartawan yang bekerja dari Jakarta. Peserta lomba mengajukan karya masing-masing untuk dinilai. Setiap peserta maksimal hanya bisa mengirimkan dua karya, yang terbit antara Januari 2006 hingga Juli 2007. Jadi, penghargaan ini membatasi diri hanya kepada wartawan yang ikut. Hasilnya, kami menerima 10 peserta dari media cetak (total 14 karya), dari radio 25 orang total (34 karya) serta tujuh orang dari tiga televisi (10 karya).

Kami memutuskan ada tiga macam penilaian: (1) mutu penggalian data (termasuk tembus sumber, wawancara, penelusuran dokumen, independensi, kelengkapan dan akurasi); (2) kualitas penyajian informasi dalam bentuk cetak, video atau audio; (3) dampak yang ditimbulkan cerita itu di masyarakat (perubahan opini publik, tindakan nyata dan lainnya). Masing-masing penilaian diberi bobot 40 persen, 40 persen dan 20 persen.

Ketiga juri juga memutuskan bahwa kami harus menghindar dari benturan kepentingan (conflict of interest). Kami sejak awal tak ikut memberi penilaian terhadap peserta yang kebetulan bekerja satu perusahaan dengan kami. Artinya, rekan saya, Santoso, tak terlibat penilaian terhadap peserta dari radio 68H. Riza Primadi juga tak ikut menilai peserta dari Astro TV. Kebetulan tak ada rekan saya dari sindikasi Pantau, yang ikut perlombaan ini, sehingga saya menilai semua karya, sekaligus ditunjuk sebagai jurubicara juri.

Cukup sulit menentukan siapa pemenangnya. Kami sangat senang melihat karya para peserta. Saya pribadi termasuk tukang kritik media Jakarta. Saya suka bergurau dengan mengatakan standar jurnalisme disini masih ketinggalan zaman. Masih pakai standar Majapahit! Para peserta membuat saya harus lebih hati-hati dengan gurauan itu.

Kami suka misalnya, laporan seorang peserta radio tentang upaya aktivis Negara Islam Indonesia menarik iuran dari kaum muda. Ada juga liputan menarik soal sebab-musabab banjir di Jakarta, yang dilengkapi footage video zaman Hindia Belanda. Batavia dulunya juga langganan banjir. Seorang insinyur Belanda lantas bikin kanal-kanal. Namun kanal-kanal itu tak cukup untuk kebutuhan Jakarta hari ini. Ada juga liputan bagus soal agama etnik Batak, Pamalin. Idenya unik, namun presentasinya harus ditingkatkan. Ada juga liputan deskriptif soal sengketa tanah di Meruya. Atau seorang perempuan pengidap virus HIV.

Lucunya, banyak juga peserta menulis soal pekerjan seks dan perdagangan perempuan. Ini isu klasik. Namun selalu saja ada sudut baru dari liputan ini. Kami juga berharap wartawan lebih banyak memberikan konteks dan background dalam liputannya. Secara umum, kami merasa ini salah satu kekurangan yang jamak dari peserta.

Namun secara umum, mereka sangat membesarkan hati. Saya tahu 42 peserta ini hanya minoritas dari lebih 10,000 wartawan di Jakarta. Kami juga tahu bahwa banyak media besar, belum mendorong wartawannya ikutan lomba ini. Kami berharap di tahun-tahun mendatang akan lebih banyak wartawan ikut.

Singkat kata, banyak laporan bagus, tapi setiap lomba hanya punya satu pemenang. Kami harus diskusi, membandingkan nilai, menonton ulang televisi, mendengarkan lagi rekaman radio. Akhirnya kami memutuskan tiga orang pemenang sebagai berikut:

• Pemenang untuk kategori televisi adalah Edwin Nazir dari Astro TV dengan karya “Jika Kekerasan Menjadi Pilihan” (23 Juni 2007). Kami menilai sudut cerita teror bom, baik di Bali maupun Jakarta, dengan mengangkat para korban adalah pilihan yang patut dipuji. Ini mengingatkan kita bahwa kampanye politik apapun, kalau pakai kekerasan, selalu menghasilkan korban-korban sipil, tak berdosa. Kami juga suka dengan mutu gambar, pengerjaan informasi dengan komputer dari tayangan ini. Kami suka hasilnya halus.

• Pemenang untuk kategori radio adalah Rebecca Henschke dari kantor berita radio 68H dengan dua serial, “Indonesia smokes out the lungs of the world” serta “Bio-diesel fuels conflict in Central Kalimantan.” Henschke mengerjakan laporan ini dari pedalaman Borneo dimana perkebunan kelapa sawit membabat habis hutan dan menggusur komunitas Dayak. Liputan Henschke penuh dengan deskripsi. Ada suara burung, ada orang Dayak. Pendengar dibawa seakan-akan ke pedalaman Borneo. Isunya juga penting sekali. Isu biofuel akan makin mendesak dengan meningkatnya penghancuran hutan serta digusurnya orang-orang Dayak dari lahan-lahan mereka. Henschke juga koresponden BBC dan NPR dari Jakarta.

• Pemenang untuk kategori cetak adalah Arif Adi Kuswardono dari majalah Tempo dengan lima serial (21 Januari hingga 25 Maret 2007). Kuswardono bercerita tentang upaya Kejaksaan Agung menarik uang Tommy Soeharto dari BNP Paribas Guernsey. Tommy ternyata bisa menarik uang tersebut dengan bantuan dua menteri, Yusril Ihsa Mahendra serta Hamid Awaluddin. Laporan-laporan Kuswardono, kami nilai, ikut mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat keputusan politik memberhentikan dua menteri itu dari kabinet.

Akhir kata, kami mengucapkan selamat kepada para pemenang: Edwin Nazir, Rebecca Henschke serta Arif Adi Kuswardono. Penghargaan ini adalah pengakuan terhadap kinerja Anda. Kami berharap penghargaan ini juga jadi pemicu untuk Anda, bekerja lebih baik lagi dalam bidang jurnalisme.

Dunia jurnalisme adalah dunia yang menuntut kerja keras. Dunia ini menuntut kejujuran dan peningkatan mutu. Selamat menempuh perjuangan lebih panjang lagi. Terima kasih.


Jakarta, 24 Agustus 2007

Dewan Juri Apresiasi Jurnalis Jakarta 2007
Andreas Harsono (jurubicara) - Riza Primadi - Santoso

20 Menit Senayan-Kemayoran

Pagi ini aku bangun pukul 6:00, menyalakan komputer, kencing di kamar mandi, membaca email masuk --Marina Walker dari Washington DC cerita wartawan Iqbal Athas di Colombo punya ancaman keamanan serta Alexander Asriyadi Mering dari Pontianak soal fact checking buku-- serta menyiapkan pikiran untuk mengantar Norman ke sekolah.

Norman bangun bersamaan. Dia tiduran di sofa, lalu mengecek satu bungkus martabak manis, yang dipesannya dari Sapariah tadi malam. Maka kami pun siap-siap bekerja. Norman ganti pakaian. Celana kanvas warna coklat muda. Kaos Harvard dengan pesan "Nieman Kid." Hari ini pakaian bebas. Norman minta aku mengisi botol airnya dengan Aqua. Kami pamit pada Sapariah. Tadi malam, Sapariah tampaknya tidur larut, nonton televisi.

Pukul 6:30, naik lift langsung turun ke Basement 2. Mobil kami memang jatah parkir, sesuai nomor urut unit apartemen, di Basement 2. Aku hidupkan mobil, menaruh tas, tunggu empat menit. Pukul 6:38, mobil bergerak. Pukul 6:40 keluar dari apartemen Senayan, langsung melaju ke Bunderan Slipi untuk naik tol.

"Norm, please help me fix the mirror," aku minta tolong.

Cermin spion kiri tadi malam tersenggol anak tetangga. Agak miring. Norman pun melewati bangku belakang, membuka jendela, membenarkan posisi spion. Kami menunggu di lampu merah Slipi. Aku merogoh tempat uang di dash board. Di pintu tol, Rp 5,000 aku sodorkan. Kembali Rp 500. Mobil pun melaju di jalan tol.

Norman, yang memang suka martabak manis, diam saja di belakang. Dari spion, aku lihat dia sibuk mengunyah martabak.

Minggu ini, Senin dan Selasa, Norman tak masuk sekolah. Senin pagi, ketika aku sudah menuju Pondok Indah (rumah ibunya), saat Norman tinggal disana, Sri Maryani, pengasuh Norman, miss call. Aku telepon balik. Yani bilang hari ini Norman tak enak badan. Selasa juga tak masuk sekolah. Batuk dan pilek serta pusing. Selasa malam, saat bicara via telepon, Norman bilang Rabu pagi dia akan kembali sekolah.

Kami bertemu pukul 5:55 Rabu pagi di Pondok Indah. "I miss you, Pa," katanya. We hugged each other. Dia cerita kepalanya pusing karena berpikir harus pindah ke Bintaro. "My head almost exploded," katanya. Rabu siang, aku jemput dia di sekolah, lalu diantar ke Pondok Indah.

Kamis pagi, aku jemput dia lagi di Pondok Indah, pukul 6:00. Kamis siang, Norman kembali ke Senayan. Kami sempat mampir ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat, melihat-lihat pameran organisasi swadaya masyarakat. Eva Danayanti, Linda Christanty serta Norman dan aku, lalu bersama-sama pergi ke Hotel Sulthan dimana Janet Steele meluncurkan bukunya Wars Within: Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru. Kami tak lama. Norman dan aku pergi duluan.

Sepanjang jalan, antara gerbang tol Slipi dan gerbang Kemayoran, aku cerita pada Norman soal beda truk. Ada truk yang mesin dan badannya jadi satu. Ini disebut truk saja. Ada juga yang tractor head dan trailer terpisah. "Itu disebut truk single," kataku, menunjuk sebuah truk kecil dengan poros belakang satu.

Truk paling besar adalah truk trailer dengan tiga poros roda di bagian belakang. "It can carry a weight up to 30 tonnes. Sometimes more," kataku, menunjuk sebuah truck Scania. Ada juga trailer dengan dua poros. Ada juga tronton, yang bisa muat peti container 20 feet. Kami ramai melihat truk-truk yang lalui. Trailer 40 feet, trailer tiga poros, trailer dua poros.

Tak terasa, pukul 6:58, kami sudah tiba di depan Gandhi Memorial International School. Agak antri sedikit. Ramai depan sekolah. Mungkin dua menit. Norman tak bawa bekal. Aku beri dia Rp 20,000 untuk sarapan saat istirahat pertama dan makan siang saat istirahat kedua. Norman pun bilang, "Thank you. Bye bye Pa." Kami saling berangkulan dan dia pun cepat bergabung dengan teman-temannya. Kami hanya butuh 18 menit, gate to gate, dari apartemen di Senayan menuju sekolah.

Aku lalu putar haluan, kembali naik tol Kemayoran menuju Slipi. Di jalan, aku berhitung bila dari Pondok Indah, waktu tempuh harus ditambah sekitar 30 menit (pagi hari) dan 45-50 menit saat pulang sekolah (siang hari). Retno Wardani, ibunya Norman, rencana memindahkan Norman ke Bintaro. Sedih sekali. Bintaro ke Kemayoran tidak mungkin ditempuh satu jam. Aku terkadang tak habis pikir, bagaimana mungkin Retno rela mengorbankan kepentingan Norman? Mengapa dia tak mau menempatkan kepentingan Norman lebih tinggi dari interest dia sendiri?

Pukul 7:10, Norman di sekolah pasti sudah mulai berkumpul untuk upacara pagi. Aku selalu ingat kejengkelannya bila mendegar pidato A.P. Singh, kepala sekolah GMIS, yang sering dianggapnya berkepanjangan. Namanya juga kepala sekolah! Bagaimana rasanya mendidik ribuan murid macam A.P. Singh?

Pukul 7:10, mobil sudah melewati rumah sakit kanker Dharmais. Aku jadi ingat Tien Soeharto, isteri Presiden Soeharto, yang bikin rumah sakit ini. Bagaimana ya rasanya jadi Soeharto? Apa pendapat Tien soal tuduhan suaminya terlibat berbagai macam pembunuhan, korupsi serta represi? Apa kata-kata Tien terhadap anak-anaknya?

Pukul 7:20, aku sudah tiba di rumah. Total dari waktu berangkat hingga pulang, aku menghabiskan waktu 50 menit.

***

Thursday, August 23, 2007

Kursus Narasi Angkatan III

Andreas Harsono dan Budi Setiyono
Pantau - Jl. Raya Kebayoran Lama 18 CD
Jakarta 12220
(Tel. 021-7221031)
6 November 2007 – 11 Maret 2008


Kursus “Narasi” angkatan ketiga ini dirancang untuk orang yang ingin belajar menulis panjang. Ia dirancang untuk mereka yang berminat menulis esai atau buku nonfiksi. Kursus diadakan selama 18 sesi dengan frekuensi mingguan, Selasa petang hari (pukul 19.00-21.00), kecuali pada sesi dengan pembicara tamu Daoed Joesoef.

Cara mingguan sengaja dibuat agar peserta punya waktu membaca dan mengerjakan pekerjaan rumah. Jumlah peserta 16-20 orang agar ada waktu diskusi. Kursus ini ditekankan pada banyak latihan. Tugasnya berupa penulisan deskripsi, feature dan interview. Bila ada yang berminat, bisa membuat sebuah narasi sekitar 5.000 kata. Peserta akan membaca dan membicarakan karya-karya Truman Capote, John Hersey, Gay Talese, Ryszard Kapuscinski serta membaca cerita Pham Xuan An dari Saigon.

INSTRUKTUR

Andreas Harsono wartawan Jakarta, pernah bekerja di harian The Nation (Bangkok), The Star (Kuala Lumpur) dan majalah Pantau (Jakarta). Ia menang beberapa penghargaan internasional antara lain The Correspondent of the Year dari The American Reporter (1997) serta Nieman Fellowship dari Universitas Harvard (1999-2000). Dia co-editor buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat (2005). Kini ia sedang menyelesaikan buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism.

Budi Setiyono wartawan Jakarta, pernah bekerja untuk Suara Merdeka (Semarang) dan majalah Pantau (Jakarta). Ia jadi co-editor buku Revolusi Belum Selesai yang berisi kumpulan pidato politik Presiden Soekarno serta Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Kini ia sedang menyelesaikan buku soal penyair A.S. Dharta dari Lembaga Kebudayaan Rakyat.

Siti Nurrofiqoh, administratur, juga aktivis Serikat Buruh Bangkit, Tangerang, membantu pelaksaan proses belajar.

SYARAT DAN BIAYA

Peserta terbiasa dengan dunia tulis-menulis. Entah menulis di blog, makalah, buku harian atau media. Mereka juga terbiasa melakukan riset dan akrab dengan internet. Latar belakang bisa dari berbagai disiplin ilmu, minat atau profesi. Angkatan pertama dan kedua terdiri dari aktivis, wartawan, dokter, pengacara, mahasiswa, dosen, manajer NGO dan sebagainya. Peserta juga lancar membaca naskah dalam bahasa Inggris karena banyak materi kursus dari bahasa Inggris. Biaya Rp 4 juta.

SILABUS

SESI PERTAMA (6 November 2007)
Perkenalan, pembicaraan silabus dan diskusi soal jurnalisme dasar, isu tentang “objektivitas” wartawan dengan membahas “Sembilan Elemen Jurnalisme” dari Bill Kovach dan Tom Rosenstiel serta membandingkannya dengan praktik jurnalisme di Jakarta a.l. byline, firewall, advertorial. [Andreas Harsono dan Budi Setiyono]

Bacaan: Sebelum kuliah dimulai, sebaiknya Anda membaca resensi buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” oleh Andreas Harsono (kalau tertarik baca bukunya The Elements of Journalism atau versi Indonesia Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel). Silahkan menelusuri www.journalism.org.

SESI KEDUA (13 November 2007)
Diskusi soal jurnalisme sastrawi, bagaimana Tom Wolfe memulai gerakan ini di Amerika Serikat pada 1960-an dan bagaimana suratkabar-suratkabar Amerika mengambil elemen-elemen genre ini. Diskusi tentang prinsip-prinsip dasar dalam melakukan reportase, membedakan mana yang fakta dan mana yang fiksi, kriteria dari gerakan “literary journalism.” [Andreas Harsono]

Bacaan: “Kegusaran Tom Wolfe” oleh Septiawan Santana Kurnia; “Ibarat Kawan Lama Datang Bercerita” oleh Andreas Harsono; edisi jurnal Nieman Reports edisi Spring 2002 Volume 56 No. 1 tentang narrative journalism. Bacaan Nieman ini cukup tebal. Ini penting guna tahu sejarah dan perdebatan soal genre ini di Barat serta bagaimana genre ini masuk dalam cerita-cerita sehari-hari dalam suratkabar.

SESI KETIGA (20 November 2007)
Diskusi soal struktur karangan dengan contoh “Hiroshima” karya John Hersey. Ini sebuah karya klasik, dimuat majalah The New Yorker pada Agustus 1946, yang pernah dipilih sebuah panel wartawan dan akademisi Universitas Columbia sebagai naskah terbaik jurnalisme Amerika pada abad XX. [Andreas Harsono]

Bacaan: “Hiroshima” dalam majalah The New Yorker edisi 31 Agustus 1946 oleh John Hersey dan “Menyusuri Jejak John ‘Hiroshima’ Hersey”oleh Bimo Nugroho. Usahakan baca John Hersey hingga selesai. Bacaan dari Bimo Nugroho membantu memahami “Hiroshima.” Bacaan "Cermin Jakarta, Cermin New York" dari Andreas Harsono membantu memahami majalah The New Yorker.

SESI KEEMPAT (27 November 2007)
Diskusi soal deskripsi dan dialog dengan menggunakan ”Ngak Ngik Ngok” karya Budi Setiyono serta contoh-contoh lain dalam buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. [Budi Setiyono]

Pekerjaan rumah: Rekamlah pembicaraan dengan seseorang lalu buatlah satu deskripsi pendek, sekitar 200-500 kata. Siti Maemunah dari angkatan kedua membuat deskripsi menarik tentang ”Mbah Ndut,” seorang dukun pijat, yang kawin beberapa kali. Kita akan membaca empat atau lima tugas ini pada pertemuan berikutnya. Kursus ini sifatnya sukarela. Kalau Anda lagi sibuk atau ada tugas kantor, tentu saja, Anda tak merasa harus mengerjakannya. Kalau mau tambahan, bacalah ”The Riverman” karya Joseph Mitchell. Karya ini terkenal dengan deskripsinya soal Sungai Hudson.

SESI KELIMA (4 Desember 2007)
Diskusi membahas deskripsi serta teori soal feature. Bagaimana mencari fokus, angle dan outline dalam menulis sebuah feature. Bacalah ”Seandainya Saya Wartawan Tempo” karya Goenawan Mohamad [Budi Setiyono]

Pekerjaan rumah: Buatlah sebuah feature pendek, yang terkait dengan kehidupan atau pekerjaan Anda sehari-hari. Ini penting agar pekerjaan rumah ini tak terlalu membebani Anda. Carilah isu yang menarik!

SESI KEENAM (11 Desember 2007)
Para peserta akan membacakan featurenya. Peserta lain menanggapi. Pekerjaan rumah akan difotokopi sesuai kebutuhan kelas agar setiap peserta mendapatkan selembar. [Budi Setiyono]

Pekerjaan rumah: Buatlah satu kumpulan profile para peserta kelas ini. Kelas akan bikin undian. Masing-masing peserta akan mewawancarai satu peserta lain. Kami memperkirakan dalam enam minggu, semua karya ini bisa selesai. Kalau bagus bisa dibukukan (penjilidan sederhana).

SESI KETUJUH (18 Desember 2007)
Diskusi dengan melihat karya-karya Ryszard Kapuscinski dari Warsawa. Kapuscinski seorang koresponden perang, meliput di Afrika, Asia dan Eropa. Perhatikan bagaimana dia memakai foto-foto lama untuk menerangkan karakter-karakternya [Andreas Harsono]

Bacaan: ”Shah of Shahs” dan ”The Soccer War” karya Ryszard Kapuscinski.

SESI KEDELAPAN (8 Januari 2008)
Diskusi struktur karangan dengan melihat lima tulisan tentang Aceh dikerjakan empat orang berbeda. Bagaimana sebuah isu sama dikerjakan dengan sudut pandang dan metode beda-beda? Apa masing-masing kelebihan dan kekurangan? [Andreas Harsono]

Bacaan: “Republik Indonesia Kilometer Nol” karya Andreas Harsono, ”Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah, ”Panglima, Cuak, dan RBT” dan ”Sebuah Kegilangan di Simpang Kraft” karya Chik Rini, dan ”Orang-orang Di Tiro” karya Linda Christanty.

SESI KESEMBILAN (15 Januari 2008)
Teknik wawancara dengan melihat teknik-teknik yang dikembangkan oleh International Center for Journalists. Peserta melakukan praktik wawancara di depan kelas. Sesudahnya menonton ”Black Hawk Down” karya Mark Bowden untuk lihat deskripsi yang berubah jadi film. [Andreas Harsono]

Bacaan: bacalah oleh ”Ten Tips For Better Interview” (www.ijnet.org) dan ”The Art of the Interview” oleh Eric Nalder. Kalau sempat bacalah dulu buku Black Hawk Down. Perhatikan beda buku dan film.

Pekerjaan rumah: Gunakan tape recorder atau handycam untuk interview seseorang, mungkin teman, keluarga atau lainnya. Dengarkan ulang dan catat kelebihan dan kekurangan interview tersebut. Buatlah deskripsi dari interview itu untuk kelas minggu depan. Bawa pula kaset rekaman untuk didengar atau ditonton bersama.

SESI TAMBAHAN (Sabtu, 19 Januari 2008 pukul 10:00-12:00)
Diskusi dengan Daoed Joesoef tentang penulisan buku di rumahnya, Jl. Bangka Dalam VII No. 15. Isterinya, Sri Soelastri Joesoef, akan menemani. Diskusi akan diakhiri dengan makan siang bersama di rumah asri keluarga Joesoef. They are a Dutch-educated couple, very strict, please don’t be late!

Bacaan: Karya Daoed Joesoef dalam buku Emak dan Aku dan Dia (hanya bab ”Monsieur Courazier dan Aku”). ”Orang-orang dari Salemba” karya Goenawan Mohamad dkk dalam buku ”Menyambut Indonesia” (h. 34-67). Joesoef seorang cendekiawan didikan Sorbonne, Paris. Dia pernah jadi dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Menteri Pendidikan rezim Presiden Soeharto.

SESI KESEPULUH (22 Januari 2008)
Membahas deskripsi dari hasil interview [Budi Setiyono]

Pekerjaan rumah: Kalau Anda hendak membuat sebuah naskah panjang, isu apa yang menarik perhatian Anda? Buatlah outline serta argumentasi mengapa cerita itu menarik, tidak klise, bahal menyedot perhatian pembaca.

SESI KESEBELAS (29 Januari 2008)
Diskusi menggali, mengembangkan dan menajamkan ide laporan serta menemukan fokus dan angle. Bisa sharing soal bagaimana bikin biografi penyair A.S. Dharta, yang mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat, serta hubungannya dengan Presiden Soekarno. [Budi Setiyono]

Bacaan: “Rangsang Detik” karya A.S. Dharta, “Selamat Jalan Sastrawan Sunda” karya Budi Setiyono.

SESI KEDUABELAS (5 Februari 2008)
Diskusi politik identitas dengan campuran agama, nasionalisme dan etnik dengan studi kasus etnik Tionghoa di Indonesia [Andreas Harsono]

Bacaan: ”Hoakiao dari Jember” oleh Andreas Harsono, ”The Culture of Chinese Minority in Indonesia” oleh Leo Suryadinata, ”The Encyclopedia of the Chinese Overseas” bagian Indonesia oleh Mary Somers Heidhues (h. 151-168).

SESI KETIGABELAS (12 Februari 2008)
Sekali lagi soal deskripsi. Kita akan diskusi hasil membuat profile sesama peserta kelas serta bicara soal editing. Nonton film “Capote” tentang Truman Capote, yang dibintangi Philip Seymour Hoffman. Situs web http://www.sonypictures.com/classics/capote/ [Budi Setiyono]

Bacaan: Kalau masih ada waktu, bacalah “In Cold Blood” karya Truman Capote. Ini karya klasik dari The New Yorker. Kalau ingin tahu bagaimana elemen-elemen narasi dipakai dalam straightnews pendek, bacalah “Ini sebuah Kehormatan” karya Jimmy Breslin.

SESI TAMBAHAN (19 Februari 2008)
Diskusi dengan Samuel Mulia, seorang kolumnis harian Kompas, serta konsultan majalah. Samuel kelahiran Denpasar, kuliah untuk jadi seorang dokter. Dia kolumnis yang dapat banyak komentar. Tahu banyak soal gaya hidup metropolitan, mulai dari model pakaian hingga kesehatan. [Budi Setiyono]

Bacaan: Beberapa kolom Samuel Mulia dari Kompas; “Aku Tak Biasa” (Mei 207, 99 komentar), “ATM” (April 2007, 98 komentar) dan “Juri” (Juni 2007, 85 komentar)

SESI KEEMPATBELAS (26 Februari 2008)
Diskusi soal sikap terhadap kebenaran dengan independensi seorang penulis. Diskusi soal sosok Pham Xuan An, seorang wartawan majalah Time merangkap intel di Saigon, yang berperan dalam kemenangan Hanoi terhadap Saigon pada 1975 [Andreas Harsono]

Bacaan: “Perfect Spy” karya Larry Berman, karya-karya Robert Shaplen dari The New Yorker soal Perang Vietnam, surat protes Zalin Grant terhadap majalah The New Yorker. “The Quiet Vietnamese: Journalist and Spy Pham Xuan An Led a Life of Ambiguity” oleh Devid deVoss, “My Friend the Spy” oleh H.D.S. Greenway, “The Journalist Who Spied” oleh Stanley Cloud, “Pham Xuan An: Vietnam War Journalist and Spy” oleh Bruce Palling.

SESI KELIMABELAS (4 Maret 2008)
”The Silent Season of A Hero” mengubah cara wartawan menulis sosok di Amerika. Bacalah juga ”Frank Sinatra Has a Cold” karya Gay Talese. Situs web resmi Gay Talese adalah www.randomhouse.com/kvpa/talese/index.html [Andreas Harsono]

SESI KEENAMBELAS (11 Maret 2008)
Warna sari, tanya jawab. Penutupan. [Andreas Harsono dan Budi Setiyono]

Tuesday, August 21, 2007

Norman Dipindah ke Bintaro


Hari Minggu ini, aku rasanya kena sambar petir ketika Retno Wardani, mantan isteri aku dan ibu kandungnya Norman, mengirim kabar bahwa dia akan mengontrakkan rumahnya di Pondok Indah dan tinggal bersama ibunya di Bintaro. Dia rencana pakai uang kontrak buat melunasi kredit rumah tersebut di Bank International Indonesia.

Retno mengatakan via SMS, “Mg dpn kami pindah Bintaro, PI akn aku benerin dikit n akn aku kontrakan buat nurunin utang bii yg berat. Bagus beli apartm n tinggal di kemayoran.

Aku mengingatkan Retno soal jarak Bintaro, yang jauh dari Kemayoran, tempat Norman sekolah. Norman bisa butuh dua jam pulang dari sekolah. Norman juga harus berangkat sekolah pagi sekali.

Retno mengatakan ada jalan tol. Retno juga minta aku membayari bensin dan uang tol agar dia bisa mengantar Norman sekolah. "Pagi Bintaro one way. Ada toll jg. Sgt lancar. Toh sekolah cuma 3.5 hr. Kamis siang udh di t4 mu. U pagi aku antar jg bisa, km byr bensin. Mau gugat? Silahkan."

Aku menawarkan Norman tinggal di tempatku, Senayan, pada hari-hari sekolah. Ini hanya butuh 30 menit ke sekolah lewat tol. Retno menolak. Dia tetap berpegang pada keputusan pengadilan bahwa lima hari seminggu Norman diasuh Retno.

"Bagus" yang dimaksud Retno adalah Bagus Kristianto, adik kandungnya, yang dulu tinggal di Bintaro dan kini membeli sebuah unit apartemen di daerah Kemayoran.

Aku sedih membayangkan kemacetan lalu lintas sekitar Bintaro. Daerah ini termasuk kawasan paling macet di Jakarta. Waktu belajar dan istirahat Norman akan berkurang. Sekarang saja, dari Kemayoran-Pondok Indah, Norman butuh waktu minimal 70 menit saat pulang. Pagi hari, dia butuh 50 menit untuk ke sekolah. Aku tahu pasti karena aku yang antar-jemput Norman. Rumah Bintaro milik M.Th. Koesmiharti, ibunya Retno.

Hak pengasuhan Norman, sesuai keputusan pengadilan, sebenarnya tak berada di tangan Retno melulu. Pada Desember 2003, ketika bercerai, pengadilan Jakarta Selatan memberikan hak mengasuh Norman pada kami berdua. Pengadilan juga mengharuskan aku membayar semua biaya pendidikan, kesehatan dan pertumbuhan Norman. Hak tinggal Norman 2x24 jam dengan aku, 5x24 jam dengan Retno. Kini Norman sekolah di Gandhi Memorial International School. Bagus Kristianto bekerja sebagai guru seni di sekolah Norman.

Secara sepihak, Retno memutuskan pindah rumah. Dampak keputusan tersebut, bukan saja mempengaruhi Norman, namun juga aku, yang bertanggungjawab atas masalah transportasi sekolah.

Minggu malam, aku tak bisa tidur. Senin pagi, Sapariah dan aku memutuskan melaporkan tindakan sepihak ini kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia, sebuah lembaga pemerintah, yang menerima pengaduan bila ada pelanggaran terhadap hak-hak anak-anak. Sapariah menemani aku ke kantor mereka di Jl. Teuku Umar 10.

Bulan lalu aku sempat bicara via telepon dengan Giwo Rubianto Wiyogo dari KPAI soal Retno kurang tepat menangani sakit asma Norman. Retno tak mau mentaati prosedur menjaga Norman dari kemungkinan terkena kotoran tungau debu.

Norman alergi terhadap tungau debu (dustmite), yang banyak terdapat di kasur dan sofa. Norman harus tidur dengan alas terpal. Di Senayan, kamar tidur Norman dibuat tanpa karpet, ranjangnya pakai terpal dari ujung ke ujung. Di Pondok Indah, Retno sering melarang Norman memakai terpal. Norman sering pilek dan batuk.

Hari Jumat lalu, Norman juga menelepon Magdalena Sitorus dari KPAI. Norman mengeluh soal perlakuan ibunya, suka marah-marah, dan disebut Norman closed minded. Norman menangis sedih ketika bicara dengan Sitorus.

Di KPAI, Sapariah dan aku diterima oleh Hendra Kusumah Jaya, seorang asisten Giwo Rubianto Wiyogo. Kami juga menyerahkan sepucuk surat dan kronologi hak pengasuhan Norman.

Hendra bilang KPAI tak punya wewenang mengubah hak pengasuhan. Ini harus lewat pengadilan. KPAI hanya menerima pengaduan dan mengusahakan mediasi. KPAI juga akan melakukan home visitation serta minta penilaian seorang psikolog independen.

Aku berharap KPAI bisa cepat turun tangan dan membantu mencari jalan keluar. Aku tak bisa membayangkan Norman tinggal di Bintaro dan sekolah di Kemayoran. Sekaligus aku berharap masalah kesehatan Norman jadi perhatian mereka.


Norman Menjelang Perceraian
Retno dan Asma
Asthma Cases on the Rise Among Children
"Jangan Seenak Jidatmu Sendiri!"

Surat untuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Kronologi Hak Pengasuhan Norman Harsono
Dokter Andreas Liando di Siloam Gleneagles
20 Menit Senayan-Kemayoran
Norman Bertemu Komisi Perlindungan Anak

Monday, August 20, 2007

Surat Pengaduan Komisi Perlindungan Anak


Jakarta, 20 Agustus 2007

Kepada yang terhormat:
Ketua Pengaduan dan Fasilitas Pelayanan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Jl. Teuku Umar 10-12
Jakarta


Dengan hormat,

Kami mengajukan surat ini untuk mohon bantuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia membantu anak kami, Norman Harsono, mendapatkan masa pertumbuhan yang sehat dan bahagia. Intinya, kami ingin mendapatkan hak mengasuh Norman dari tangan ibu kandungnya, Retno Wardani.

Norman (10 tahun) lahir pada 25 Januari 1997 dari perkawinan Andreas Harsono dan Retno Wardani. Perkawinan ini berakhir dengan perceraian pada 15 Desember 2003 lewat pengadilan Jakarta. Hak pengasuhan anak disepakati 2x24 jam dengan kami dan 5x24 jam dalam seminggu dengan Retno. Pengadilan memutuskan kami bertanggungjawab atas biaya pendidikan, kesehatan dan pemeliharaan Norman. Norman kini sekolah kelas enam di Gandhi Memorial International School, Kemayoran. Semua tanggungjawab ini kami lakukan.

Namun Norman secara psikologis merasa tertekan. Ini sering tampak bila dia akan pindah dari rumah kami di Senayan, ke rumah Retno di Pondok Indah. Norman kerap marah sendiri. Ketika sampai di depan rumah Retno, diantar papanya, Norman seperti terburu-buru dan takut bicara dengan papanya. Retno sering mencabut kabel telepon agar Andreas tak bisa menelepon Norman. Retno juga mengunci teleponnya sesudah Norman ketahuan sering pakai telepon untuk bicara dengan papanya.

Retno seorang pemarah –Norman bilang, “closed minded”-- yang sering membuat Norman takut dan menangis. “It is like going to hell,” kata Norman, saat hendak ke Pondok Indah. Ketika usianya lebih muda, Norman sering sembunyi di bawah kolong tempat tidur di kamarnya di Senayan, bila waktu pindah tiba. Jadi, secara psikologis Norman merasa tertekan dan ketakutan. Jika tekanan psikologis berlangsung terus, kami khawatir ia akan menggangu pertumbuhan anak.

Jumat 17 Agustus lalu, misalnya, Retno memaksa Norman ke ke Pondok Indah, karena sesuai jadual. Norman, menangis dan ingin tinggal semalam lagi di Senayan. Retno menelepon Norman dan menyuruhnya “pulang.” Saat itu, Norman sempat menelepon ibu Magdalena Sitorus dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Norman juga sering mengeluh, “Why Mama likes to make things worse?

Masalah kedua adalah penanganan kesehatan. Sejak September 2005, Norman terbukti penderita asma. Dia alergi terutama terhadap tungau debu rumah (house dustmite). Bila tidur, dokter menyuruh pakai terpal, agar debu tak terhirup hidungnya. Kami di rumah punya alat-alat inhaling. Kamarnya di Senayan juga ganti karpet dengan keramik, tanpa buku tua, bersih total dan ranjang memakai terpal seratus persen.

Entah bagaimana, Retno tak percaya Norman kena asma. Dia sering menyembunyikan terpal di Pondok Indah. Norman jadi sering kumat asmanya. Dia bolak-balik ke klinik asma. Kami secara finansial yang menanggung keperluan Norman, dari uang makan sehari-hari, sekolah dan kesehatan. Ketidakpatuhan Retno membuat kami harus banyak keluar uang.

Minggu, 19 Agustus 2007, Retno memberi tahu via SMS bahwa rumah Pondok Indah akan dikontrakkan dan dia akan tinggal bersama ibunya di Bintaro. Retno mengatakan ini hanya pemberitahuan. Dia merasa tak perlu minta persetujuan Andreas. Bayangkan berapa waktu yang akan dipakai seorang anak untuk pergi ke sekolah, dari Bintaro, yang terkenal macet, ke Kemayoran?

Urusan mengantar dan menjemput Norman, tentu saja, jadi tanggungjawab Andreas. Kini setiap pagi, Andreas bangun pukul 5:00 dan menjemput Norman untuk sekolah di Kemayoran (bus sekolah berhenti operasi sejak Juli 2007). Siangnya, Andreas menjemput pukul 14:10 dan mengantar ke Pondok Indah. Bagaimana bila Norman pindah ke Bintaro? Bagaimana dengan waktu belajar dan istirahatnya?

Andreas punya hubungan hangat dengan Norman. Mereka sering bepergian bersama: melihat penyu di Sukamade, jalan-jalan di Colombo, Srilanka, tracking hutan Papua, berlayar dengan phinisi di kepulauan Wakatobi, berenang bersama. Andreas sering menulis cerita-cerita ini di blog. Ada juga beberapa rekannya, antara lain novelis Linda Christanty, menulis esai soal hubungan ayah-anak ini.

Parents Fear for Their Children Milk (1998)
Penyu, Sukamade dan Meru Betiri (2005)
Norman's First Text Message (2005)
Singapura dan Norman (2005)
Norman's Birthday Party (2006)
Kepulauan Wakatobi (2006)
Sebentuk Cinta yang Tak Tergantikan (2006)
Surat dari Ende (2007)
Norman's Birthday at School (2007)
Norman Operasi Mata (2007)

Kini sudah saatnya mengupayakan perbaikan. Kami mohon bantuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia untuk melindungi Norman. Dia sendiri usul dia tinggal lima hari bersama kami dan dua malam dengan Retno (Sabtu siang hingga Senin pagi).

Kami mengucapkan terima kasih sebelumnya.


Hormat kami,


Andreas Harsono dan Sapariah Saturi-Harsono

Lampiran
Kronologi Pengasuhan Norman Harsono serta dokumen perceraian
Tembusan
Magdalena Sitorus, Ketua Pokja Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan

Kronologi Pengasuhan Norman Harsono



Norman Harsono berlayar dalam sebuah phinisi dekat Pulau Hoga, di Kepulauan Wakatobi, antara Sulawesi dan Maluku


30 Januari 1995 – Andreas Harsono dan Retno Wardani di Salatiga. Mereka kenal ketika kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana. Andreas kini bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Retno bekerja sebagai account executive sebuah bank.

Oktober 1995 – Retno menyusul Andreas ke Jakarta, tinggal di rumah kontrakan daerah Palmerah. Andreas bekerja untuk harian The Nation (Bangkok). Retno pindah kerja ke Jakarta. Mereka membeli sebuah rumah tipe 104 di Bumi Serpong Damai pada Juli 1997.

25 Januari 1997 - Retno melahirkan bayi laki-laki di rumah sakit MMC Kuningan, Jakarta, dengan berat 3.5 kg. Bayi ini diberi nama Norman Harsono. Retno berhenti kerja.

Sejak kecil, Norman sering sakit pilek dan batuk. Orang tuanya merasa mungkin dia masih kecil dan udara Jakarta jelek. Norman sehat, tak pernah sakit serius, saat berada di Cambridge, Boston, antara Agustus 1999 dan Juli 2000. Keluarga ini mengikuti Andreas ketika menjadi Nieman Fellow on Journalism di Universitas Harvard.

Januari 2001 – Retno membeli rumah di Pondok Indah. Andreas tak setuju. Alasannya, dia baru kembali ke Jakarta, gajinya belum cukup buat membayar cicilan rumah. Retno pinjam uang dari ibunya dan membeli rumah di Jl. Pinang Perang X/16, Pondok Indah.

Juli 2002 – Norman mulai sekolah di Gandhi Memorial International School di daerah Ancol. Belakangan sekolah ini pindah ke gedung baru di daerah Kemayoran, dekat lokasi Jakarta Fair.

Desember 2002 – Sri Maryani, seorang gadis petani asal Tawangmangu, mulai bekerja di rumah Pondok Indah. Tugas utamanya mengasuh Norman dan menjaga kebersihan rumah. Maryani ikut menemani Norman di sekolah. Hubungan Norman jadi sangat dekat dengan Maryani.

14 November 2003 - Andreas menggugat cerai Retno. Dia merasa perbedaan pendapat di antara mereka tak dapat direkonsiliasikan. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan usul diupayakan perdamaian. Pengacara keduanya, masing-masing Heppy Sebayang (mewakili Andreas) dan Chaidir Arief (mewakili Retno) mengupayakan solusi perceraian dengan bantuan notaris Nelly Hutauruk (Jl. Veteran 110B, Bekasi 17141).

Dalam perjanjian yang disaksikan Nelly Hutauruk, Andreas dan Retno sepakat bercerai. Pengasuhan anak tetap jadi tanggungjawab berdua. Andreas akan menanggung “biaya kesehatan dan biaya pendidikan Norman yaitu uang sekolah, baju seragam, buku dan perlengkapan sekolah, transportasi dan lain-lain yang berkaitan dengan pendidikan formal” Norman hingga Norman mandiri. Andreas sepakat menyerahkan Rp 1 juta setiap bulan kepada Retno untuk pemeliharaan Norman, yang “dapat ditambah sewaktu-waktu bila diperlukan sesuai kebutuhan … dengan bukti yang cukup.”

Hak pengasuhan Norman diatur 5x24 jam selama hari sekolah bersama Retno dan 2x24 jam selama libur akhir pekan bersama Andreas. Hari liburan nasional dan liburan sekolah diatur separuh-separuh.

15 Desember 2003 – Andreas dan Retno resmi bercerai lewat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Keputusan pengadilan, Andreas “membayar biaya pendidikan, kesehatan dan pemeliharaan” Norman sampai dewasa dan mandiri. Andreas kontrak di Apartemen Permata Senayan, Palmerah. Pengasuhan Norman jadi tanggungjawab kedua orang tua.

Setelah enam bulan, sesuai keputusan pengadilan, Retno menolak mentaati keputusan membagi harta gono-gini separuh-separuh. Dia berniat menempati rumah Pondok Indah. “Kalau perlu ditembok di tengahnya, kamu tinggal di sebelah, aku di sebelah,” kata Retno. Dia minta Andreas melepaskan hak kepemilikan rumah itu. Alasannya, Norman perlu rumah. Retno janji rumah itu takkan dijual dan kelak diwariskan ke Norman.

5 Mei 2004 – Andreas akhirnya setuju dan menandatangani perjanjian melepaskan hak kepemilikan rumah di hadapan notaris Ny. Toety Juniarto (Jl. Mampang Prapatan Raya 17, Jakarta). Andreas mendapatkan Rp 100 juta dari Retno dengan asumsi harga rumah Rp 450 juta (jauh di bawah harga pasar). Retno berjanji rumah ini dipakai Norman.

Sepanjang tahun 2005, kesepakatan dua hari di Senayan dan lima hari di Pondok Indah berjalan. Norman mulanya diantar Retno sekolah. Andreas membayar bensin dan uang tol. Belakangan, tanpa bilang Andreas, Retno menyewa bus sekolah guna jemput-antar Norman. Maryani menemani Norman di sekolah dan dalam bus. Norman tetap sering sakit.

19 September 2005 – Klinik Asma & Alergi Dr. Indrajana, Jakarta, mengadakan tes alergi terhadap Norman dengan 21 alergen makanan serta 12 alergen hirup. Hasilnya, Norman dinyatakan alergi terhadap tungau debu rumah, daging kepiting dan kotoran kecoak. Dokter L. Muliana menerangkan Norman tak boleh makan kepiting. Tempat sampah harus tertutup agar kecoak tak datang. Kepiting dan kecoak relatif mudah diatasi. Paling penting, sekaligus paling sulit, Norman harus terhindar dari tungau debu (dustmite).

Dia juga harus setiap pagi dan sore memakai obat hirup Seretide Inhaler. Asma tak bisa disembuhkan tapi bisa dikontrol. Tungau debu biasa tinggal di kasur, sofa, bantal dan guling. Norman harus tidur dengan alas terpal agar saat tidur dia tak menghirup kotoran dari tungau debu. Dokter Muliana merekam semua nasehat ini dalam sebuah video. Andreas merekamnya agar semua petunjuk bisa didengar dan dilihat Retno serta Maryani. Polusi udara juga tantangan untuk para penderita asma. Retno menolak melihat VCD tersebut.

Retno tak percaya pada keharusan tidur dengan terpal. Dia sering mengeluh terpal membuat kasur jadi panas. Dia sulit tidur. Norman sering tidur tanpa terpal. Norman bolak-balik kembali ke dokter. Asmanya sering kumat.

24 April 2006 – Andreas mengajak Retno menemani Norman berobat lagi di Klinik Asma & Alergi Dr. Indrajana. Retno bicara sendiri dengan dokter Muliana. Retno tak percaya dan merasa asma Norman bisa disembuhkan.

6 Januari 2007 – Andreas Harsono menikah dengan Sapariah Saturi, wartawati bidang ekonomi, di Pontianak. Mereka bertemu pada Desember 2004, saat tsunami Aceh, di Pontianak. Andreas sedang liputan di pedalaman Sambas, soal pembunuhan orang-orang Madura, ketika bertemu Sapariah di Pontianak. Norman mengatakan dia suka dengan Sapariah. Andreas mengambil keputusan menikah dengan Sapariah dengan mempertimbangkan hubungan Norman dan Sapariah.

15 Juli 2007 – Fadillah, sopir bus sekolah, mengabari Andreas bahwa bus tak melayani route Pondok Indah lagi. Route ini dianggap terlalu jauh. Kini tinggal Norman satu-satunya murid dari Gandhi School yang tinggal di daerah sekitar Pondok Indah. Retno menolak mengantar Norman ke sekolah bila Andreas tak membayar. Andreas terpaksa memakai taxi dan minta tolong Maryani antar-jemput. Sekali jalan, bisa Rp 80,000. Pulang pergi, bisa Rp 200,000 termasuk karcis jalan tol. Andreas dan Sapariah terpaksa mencari kredit mobil Hyundai Avega guna antar-jemput Norman. Mobil diterima pada 10 Agustus 2007. Yayasan Pantau, tempat dimana Andreas bekerja, memberinya utang agar bisa bayar down payment mobil.

Minggu, 19 Agustus 2007 - Retno memberi tahu via SMS bahwa rumah Pondok Indah akan dikontrakkan dan dia akan tinggal bersama ibunya di Bintaro. Retno mengatakan dia tak perlu minta persetujuan Andreas.

18:17: “Mg dpn kami pindah Bintaro, PI akn aku benerin dikit n akn aku kontrakan buat nurunin utang bii yg berat. Bagus beli apartm n tinggal di kemayoran.

Ketika Andreas mengingatkan Retno soal jarak Bintaro yang jauh dari Kemayoran, Retno mengatakan ada jalan tol.

18:24: "Ada toll dan dia butuh teman main seusianya. Mg dpn km pindah."

Retno juga minta Andreas membayari bensin dan uang tol agar Retno bisa mengantar Norman sekolah.

18:40: "Pagi Bintaro one way. Ada toll jg. Sgt lancar. Toh sekolah cuma 3.5 hr. Kamis siang udh di t4 mu. U pagi aku antar jg bisa, km byr bensin. Mau gugat? Silahkan."

Roysepta Abimanyu soal Film Lekra


Bung Arya,

Saya bukan ahli sejarah, tapi saya ingat salah satu fakta yang membuat misteri 1 Oktober 1965 adalah adanya edisi Harian Rakjat yang bukan diterbitkan oleh surat kabar tersebut. Saya lupa, mungkin yang tanggal 3 Oktober itu. Jika ada yang di milis ini lebih tahu, silahkan menjelaskan pada kita semua.

Soal foto yang direproduksi dari film dokumenter yang dibuat oleh Des Alwi, terima kasih atas kirimannya. Saya sudah menguploadnya, untuk yang ingin melihatnya silahkan download dari Geopolitik.org. Namun saya tidak bisa berkomentar banyak. Tidak ada "damning evidence" dari foto tersebut yang menyatakan bahwa pembakaran itu benar-benar dilakukan oleh massa PKI. Tidak ada yang menunjukkan siapa pimpinan aksi pembakaran tersebut, siapa yang menyalakan api. Saya ingin menonton dokumenternya.

Tapi saya juga ingat, agen-agen Sekutu pernah memalsukan film dokumenter. Pada 25 Juni 1940, delegasi Prancis dipimpin Jenderal Huntziger menandatangani gencatan senjata (Armistice) di atas gerbong kereta yang sama sewaktu Jerman menandatangani gencatan senjata 22 tahun sebelumnya. Hitler hadir dalam peristiwa itu. Dalam dokumenter yang disebarluaskan di negara-negara sekutu, terlihat Hitler menari-nari. Tentunya tarian tersebut tidak pernah terjadi, kejadian tersebut benar-benar rekaan Sekutu. Saya tidak tahu apakah dokumenter tersebut adalah rekaman peristiwa sesungguhnya atau ilustrasi.

Salam,

Roysepta ABIMANYU
Geopolitik.org

Dokter Andreas Liando di Siloam Gleneages


Kepada yang terhormat:
Dokter Andreas Liando
Spesialis Anak RS Siloam Gleneagles
Karawaci Tangerang
Fax. 54210140, 54210153

Dengan hormat,

Saya menulis surat ini untuk memberitahu soal penyakit salah satu pasien Anda, Norman Harsono, yang rutin berobat, bahkan pernah opname, ke rumah sakit Siloam Gleneagle, sejak Norman berumur dua tahun. Norman adalah anak saya. Retno Wardani, ibunya, adalah mantan isteri saya. Saya mengikuti terus pengobatan Norman, termasuk lewat resep dan bukti pembayaran.

Saya kuatir ada aspek lain dari sakit Norman yang perlu Dokter ketahui. Pada 19 September 2005, Klinik Asma & Alergi Dr. Indrajana, Jakarta, mengadakan tes alergi terhadap Norman dengan 21 alergen makanan serta 12 alergen hirup. Hasilnya, Norman dinyatakan alergi terhadap tungau debu rumah, daging kepiting dan kotoran kecoak. Dokter L. Muliana menerangkan Norman tak boleh makan kepiting. Tempat sampah harus tertutup agar kecoak tak datang. Paling penting, sekaligus paling sulit, Norman harus terhindar dari tungau debu (dustmite).

Dia setiap pagi dan sore memakai obat hirup Seretide Inhaler 125. Menurut mereka, asma tak bisa disembuhkan tapi bisa dikontrol. Tungau debu biasa tinggal di kasur, sofa, bantal dan guling. Norman harus tidur dengan alas terpal agar saat tidur dia tak menghirup kotoran dari tungau debu. Dokter Muliana merekam semua nasehat ini dalam sebuah video agar semua petunjuk bisa didengar dan dilihat Retno serta Sri Maryani, pengasuh Norman.

Retno menolak melihat VCD tersebut. Retno juga tak percaya pada keharusan tidur dengan terpal. Dia sering mengeluh terpal membuat kasur jadi panas. Dia sulit tidur. Norman sering tidur tanpa terpal. Norman bolak-balik kembali ke dokter. Asmanya sering kumat. Tadi malam, sekali lagi, Retno menyembunyikan terpal Norman tidur. Sebaliknya, bila giliran tidur di rumah saya, dimana kamar bersih dan ranjang pakai terpal, Norman tak pilek dan batuk pagi harinya. Kalau diperlukan, Dokter bisa melihat health record Norman di Klinik Indrajana. Norman juga bolak-balik ke klinik tersebut.

Saya kira ini dulu informasi dari saya. Mungkin ada baiknya Dokter menanyakan isu ini kepada Norman langsung. Kiranya ini berguna untuk informasi pengobatan anak kami. Terima kasih.


Andreas Harsono
Jl. Palmerah Selatan Kav. 20
Senayan
Jakarta 10270


Norman Menjelang Perceraian
Retno dan Asma
Asthma Cases on the Rise Among Children
"Jangan Seenak Jidatmu Sendiri!"
Surat untuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Kronologi Hak Pengasuhan Norman Harsono

Budi Setiyono Memberi Referensi Lekra


Dh,

Saya menegaskan bahwa saya bukan pendukung siapa-siapa. Sama seperti Bung Arya, saya menghormati Pram sebagai sastrawan. Tindakannya di masa lalu mesti dikaji secara serius. Tidak semata bersandar pada buku "Prahara Budaya" yang bias.

Kalau Bung Arya ingin minta buku lain selain "Prahara Budaya", saya bisa sebut sederet lainnya. Ada karya Keith Foulcher yang sampai saat ini dinilai paling objektif. Ada sejumlah sejarawan yang sedang menggarap soal Lekra juga, tapi kita masih menunggu hasilnya. Alex Supartono juga pernah mengulas soal sejumlah bahan "polemik" ini dalam (saya rasa masih bisa dibaca atau didownload di situs Edi Cahyono atau lewat Google) --di dalamnya juga diulas "Prahara Budaya" tapi dalam konteks "polemik" kebudayaan.

Kalau ingin dari sisi lainnya, dari kelompok Lekra, ada JJ Kusni "Turba di Klaten", Joebar Ajoeb (sekjen Lekra II) "Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia" atau Besuki Resobowo "Bercermin Di Muka Kaca [Seniman, Seni, dan Masyarakat]". Sebagian buku itu masih bisa ditemukan di toko buku atau penerbitnya. Maaf, saya tak hendak menjejalkan data-data saja. Saya sendiri belum mencari data tentang pembakaran buku, karena fokus saya bukan ke sana (tapi nanti saya coba sempatkan menelisiknya kembali).

Saya ingin lebih kritis melihat masalah ini. Pram memang sosok unik, juga dalam Lekra. Dia jadi juru bicara Lekra, padalah ada Joebar Ajoeb, sekjennya. Tapi Pram sudah besar ketika masuk Lekra, juga sastrawan lainnya. Orang semacam Pram dibutuhkan Lekra. Ini sama seperti orang macam Rosihan Anwar dibutuhkan oleh PSI. Masa itu bukan hal aneh intelektual atau sastrawan "bergabung" dengan suatu partai atau lembaga tanpa terikat olehnya, tak bisa diatur-atur. Kekurangan Pram adalah dia "single fighter," kata AS Dharta, senior sekaligus tutor Pram. Akibatnya, seringkali pernyataannya tidak sesuai
dengan garis Lekra. Artinya, mungkin saja Pram melakukan pemberangusan itu. Dan kalau memang terjadi, berdasarkan penelitian yang serius, kenapa kita tidak mengakuinya. Paling kita kaget, sama seperti kekagetan orang ketika tahu sastrawan Gunter Grass pernah menjadi anggota SS NAZI, tapi tak mengurangi kekaguman kita pada karya-karyanya. Masalahnya, belum ada penelitian macam ini.

Saya tidak yakin forum pertemuan dengan pelaku sejarah akan menyelesaikannya --hal yang dari dulu diinginkan tapi tak terwujud. Kalau kita bisa mendatangkan Keith Foulcher atau Stephen Miller, hm saya senang sekali. Bolehlah yang tua-tua juga datang.

Senantiasa,

Budi Setiyono

Coen Husain Pontoh dari New York


Bung Arya yb,

Saya sungguh kagum dengan militansi anda, untuk meyakinkan saya bahwa Pram memang pernah membakar buku atau paling tidak "diam" ketika ada pembakaran buku. Saya sendiri telah kehilangan militansi semacam itu.

Sayang sekali, surat anda yang panjang lebar itu tidak membantu sama sekali dalam mendukung militansi itu. Lebih sedihnya lagi, untuk orang sekaliber anda yang luas pergaulan dan telah banyak makan asam garam dunia jurnalistik, data-data yang anda usung sebagai "fakta," sangatlah sumir.

Pertama, anda sama sekali tidak cover both sides (sesuatu yang paling minimal dalam standar jurnalistik yang benar), dalam pengutipan sumber. Anda terus saja menjejalkan opini (bukan fakta keras) dari para penentang Pram dan Lekra. Anda sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa Pram sendiri pernah membantah keterlibatannya dalam aksi bakar buku.

Bung, pembakaran adalah kejahatan yang serius, dan anda menyulutnya menjadi kontroversi ketika melibatkan diri seorang Pram. Bagaimana mungkin anda bisa tiba pada kesimpulan bahwa Pram terlibat pembakaran buku, hanya dari satu sumber, dari mereka yang menentangnya, khususnya lagi dari "Prahara Budaya."? Tentu saja kalau anda melakukan metode cover both side, anda mesti meragukan klaim Prahara Budaya." Ditambah catatan, kontroversi itu tentu tidak otomatis selesai. Maka, anda tetap tidak boleh mengambil kesimpulan serampangan begitu. Majulah ke tahap selanjutnya, disiplin verifikasi. Kalau anda mengelak bahwa anda tidak punya cukup waktu, kenapa lantas menjatuhkan wibawa anda dengan kesimpulan mentah?

Ah, bung Arya, militansi anda mengingatkan saya ketika baru mulai menjadi aktivis mahasiswa tahun 90an. Padahal, zaman sudah berubah, militansi saja tidak cukup bung. Ketelitian, kesabaran, kebajikan untuk membuka diri terhadap kebenaran yang lain, sungguh-sungguh lebih penting.

Kedua, anda mengutip kata-kata "pembersihan" yang ditulis oleh Pram dalam lembar budaya Lentera di koran Harian Rakyat (HR) (katakanlah saya terima bahwa HR tgl 3 itu valid adanya). Dengan kata "pembersihan" itu, bung anggap Pram telah menyulut, atau memprovokasi pembakaran buku. Bung, lagi-lagi saya terpaksa mengatakan bahwa anda terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Anda sama sekali tidak meneliti secara seksama "politik bahasa" pada masa itu, dan dengan beraninya melakukan interpretasi dalam konteks politik bahasa kekinian, suatu tindakan yang a-historis. Anda sungguh-sungguh mengabaikan semiotika di sini. Lupakah anda, bahwa di masa itu, slogan-slogan semacam revolusi, ganyang, hancurkan, bangun lagi, kontra-revolusi, Amerika kita setrika, Inggris kita linggis, retool, oldefo-conefo, adalah bahasa yang umum dipakai semua pihak? Bahkan tentara yang paling konservatif dan reaksioner pun, memakai istilah revolusi dalam slogan-slogannya.

Coba anda bandingkan, antara pidato atau tulisan Pram yang seperti itu, dengan pidato atau tulisan seorang Isa Anshary, tokoh Masyumi yang paling anti PKI? Sama-sama keras bung. Toh, kita tidak bisa bilang bahwa Isa Anshary terlibat pembantaian terhadap anggota atau simpatisan PKI. Iya khan?

Dan anda juga tahu, bahasa yang lemah gemulai, tidak berarti membawa pesan damai. Mau contoh? Coba pulang sedikit ke masa Orba, dimana para pemimpin suka sekali bilang "amankan (tangkap)," "sesuaikan (naikkan harga)," "gebuk (sikat)," "pembangunan (tunduk patuh)," "anti-pembangunan (pengkhianat)," "Pancasila (dogmatisme)," dsb.

Ketiga, katakanlah Pram memang benar menulis dengan keras, sekeras-kerasnya terhadap lawan-lawan politiknya. Bung, apa yang salah dengan itu? Apa yang salah dengan polemik? Saya kasih contoh sederhana polemik yang keras:

COEN: Arya itu provokator, ingin mengalihkan persoalan dari bakar buku.

ARYA: Saya bukan mengalihkan persoalan, saya mengingatkan Coen agar dia jangan lupa pada sejarah. Yang provokator itu Coen.

COEN: Kok bisa Arya terus mengelak. Dasar provokator. Sekali provokator tetap provokator.

ARYA: Lha yang provokator itu Coen. Buktinya, ia tak juga mengerti apa maksud saya, dan terus saja menuduh saya provokator.

Apa yang salah dengan polemik paling keras macam begini? Tentu tidak ada, paling-paling, yang membaca pada muntah. Polemik kok dangkal begitu. Menjadi soal, ketika para polemikus ini melakukan tindakan kekerasan fisik kepada lawan polemiknya.

Nah, menurut Anda, pada saat itu siapa yang melakukan serangan fisik kepada lawan polemiknya? Mas Goen bilang bahwa beberapa aktivis Manifes Kebudayaan, dihalang-halangi kegiatannya, diberhentikan dari jabatannya, atas pengaruh atau desakan Lekra. Dari mana kita bisa memastikan bahwa memang semua tindakan pemberangusan itu adalah hasil dari pengaruh atau desakan Lekra? Yang pasti, yang menghalang-halangi itu adalah polisi. Lha, jangan juga menutup mata bahwa banyak kok aktivitas PKI yang dihalang-halangi oleh Tentara. Dan beberapa anggota Manifes punya kesaman aspirasi politik dengan tentara.

Kalau polemik terbuka anda nilai sebagai provokasi, betapa berbahayanya. Provokasi dilakukan oleh setan jalanan, mereka yang pengecut, yang suka memancing di air keruh. Pram jauh dari itu. Dia secara terbuka mengemukakan pendapat-pendapatnya, dan tidak pernah melarang orang membantahnya. Dia tidak pernah melarang Mochtar Lubis atau Rosihan Anwar, atau Wiratmo Soekita, untuk menuliskan pendapatnya. Bahwa Pram dominan saat itu, ya karena secara politik PKI memang partai terbesar saat itu.

Keempat, bung Arya, anda terlalu berlebih-lebihan memandang pengaruh Pram terhadap organisasi PKI. Benar Pram secara individu sudah diperhitungkan kala itu tapi, suaranya sungguh tidak dominan apalagi menentukan dalam struktur pengambilan keputusan PKI. Dia juga bukan anggota PKI dan tidak duduk dalam struktur tertinggi PKI. Bahkan, di HR sendiri, Pram kalah wibawa dengan Nyoto, sang pemred yang begitu berpengaruh.

Dalam perbandingan saat ini, Pram bukanlah kiai Hilmi yang duduk di dewan syuro PKS, yang suaranya begitu powerfull.

Sehingga ketika anda menarik kesimpulan bahwa artikel Pram di Lentera itu memberikan pengaruh besar pada tindakan aktivis PKI, anda lagi-lagi menarik kesimpulan yang prematur.

-- Coen Husain Pontoh

Arya dan Prahara Budaya


Arya, Jadi kapan sebenarnya Pram membakar buku seperti halnya Nur Mahmudi Ismail?

Sayang sekali Anda tak bisa menjawabnya.

Saya sudah menduga Anda tak bisa menjawabnya. Saya juga bahkan sudah bisa menduga Anda akan berkelit dengan mengganti frase “Pram membakar buku” dengan frase “Pram membiarkan/menganjurkan bakar buku”. Dugaan saya sepenuhnya presisi.

(Jujur, saya tidak yakin Anda akan mengganti frase “Pram bakar buku” dengan “Pram menganjurkan/mendiamkan pembakaran” jika saya tidak menantang Anda secara terbuka untuk berbicara mengenai perkara ini secara detail – kendati Anda bilang tulisan panjang Anda bukan karena untuk menanggapi tantangan saya).

Tapi sekadar mengingatkan, tulisan Anda (baik untuk mengkritik materi pernyataan sikap, menjawab Linda atau pun menjawab Aboeprijadi) jelas-jelas menyebutkan Pram “membakari buku-buku lawan ideologisnya”.

Dan itu dilakukan berkali-kali. Terus menerus dalam tiga tulisan Anda itu (dan baru diganti dengan “membiarkan atau menganjurkan pembakaran” dalam tulisan Anda yang terbaru setelah saya menantang Anda untuk menjawabnya dengan detail).

Kita tahu semua, seperti apa kelakuan Nur Mahmudi yang pernah Anda coblos dalam perkara ini. Dengan mudah saya bisa sebutkan kapan dan di mana kelakuan Nur Mahmudi itu terjadi. Itulah sebabnya saya menantang Anda secara terbuka. Saya jengah karena Anda terus menerus menyamakan apple to apple antara Pram dan Nur Mahmudi dalam soal bakar-membakar ini

Kita bisa berdebat soal selisih antara “membakar buku” dengan mendiamkan/menganjurkan pembakaran”. Tapi yang jelas, keduanya tidak persis.

Dengan terus-menerus mereproduksi frase “Pram membakari buku” (seperti terbaca jelas dalam 3 tulisan Anda: kritik untuk materi pernyataan sikap, jawaban pada Linda, dan jawaban pada Aboeprijadi), saya kahawatir Anda terpeleset pada “ommision of fact”. Karena Pram memang tidak membakar buku (sampai ada yang bisa membuktikannya).

Sayang bukan jika apa yang Anda sebut sebagai “memukul air di dulang terpercik wajah sendiri” ternyata berlaku pula pada Anda?

Jika memang tidak bisa membuktikan Pram membakar buku, janganlah katakan itu berkali-kali. Jika Anda hanya bisa membuktikan bahwa “Pram memberangus kebebasan berpikir” atau “mendiamkan pembakaran buku”, cukuplah Anda katakan itu saja dan tak usahlah menggunakan frase-frase berlebihan yang tak bisa dibuktikan koherensinya dengan kenyataan. Itu jauh lebih bertanggungjawab. Barangkali lebih “ilmiah”. Dan yang jelas itu jauh lebih “adil”.

Dengan terus-menerus mereproduksi frase “Pram membakari buku” pada saat sebenarnya Anda memaksudkan (dan hanya bisa membuktikan) “Pram memberangus kebebasan berpikir atau mendiamkan pembakaran buku”, Anda sama saja sedang mereproduksi jargon-jargon.

Tidak usah pula menyebut tantangan saya sebagai Agitprop seraya menulis dalam tanda kurung itu sebagai istilah PKI.

Apa pula itu maksudnya? Apakah Anda sedang mencoba membangun sebuah atribusi (diam-diam) buat saya sebagai orang yang berbahasa dengan nuansa PKI? “Tantangan berpolemik secara terbuka” tidak identik dengan Agitprop, apalagi dengan PKI. Organ-organ jaman behuela, tidak hanya PKI, biasa menggunakan istilah Agitprop, termasuk salah satu musuh besar PKI yaitu Partai Murba. Coba Anda baca Katalog Kepartaian Indonesia yang diterbitkan Kementerian Penerangan pada 1951. Janganlah mulai bikin-bikin atribusi dengan gaya stigmatisasi macam itu lah…. Biasa aja, dong!

Cara-cara Anda menyebut tantangan saya yang dinyatakan secara terbuka dengan menghubung-hubungkannya dengan “agitprop” dan “PKI” rentan membawa Anda pada laku stigmatisasi. Saya berprasangka baik Anda tidak sedang ingin membangun atribusi (diam-diam) bahwa saya “seperti PKI”, tapi cukup jelas, cara-cara macam Anda itu sering kita dengar sebelum 1998.

Jadi, Bung Arya, jika memang Anda tidak mampu membuktikan kapan dan di mana Pram membakar buku, tak usah pula Anda terus menerus mereproduksinya. Carilah parafrase/kalimat yang Anda anggap jauh lebih koheren dengan kenyataan dan yang dengan mudah pula Anda membuktikannya.

Kita tidak makin cerdas dan jernih menyikapi sejarah dengan mereproduksi terus-menerus jargon-jargon, seperti juga kita tidak bisa melawan lupa dengan cara begitu.

Orang harus membayar apa yang ia perbuat dan orang tak bisa diminta membayar apa yang tidak ia lakukan.

****


Arya,

Sekarang, mari kita omong-omong sebentar tentang buku “Prahara Budaya” yang disusun oleh DS Moeljanto dan Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail.

Saya tidak apriori dengan “Prahara Budaya”, tapi saya tidak percaya begitu saja dengan buku “Prahara Budaya” dalam upaya memahami PKI-LEKRA-Pram.

Buku itu melulu diisi sisi keburukan PKI-LEKRA-Pram. Siapa pun yang pernah membaca buku “Prahara Budaya”, akan terjerat oleh kesan betapa ganas, bahaya, dan biadabnya PKI-Lekra-Pram. Propaganda Orde Baru tentang komunisme sebagai mahluk jahat seperti satu partitur dengan buku “Prahara Budaya”. Tidak berlebihan jika saya bilang buku itu disusun dengan cara propaganda, bukan dengan semangat ilmiah untuk menemukan “kebenaran”.

Jika ada orang yang bertanya pada saya buku apa yang berhasil membangun kesan betapa ganas dan berbahayanya Lekra-PKI-Pram, salah satu yang akan dengan tangkas saya sebutkan adalah buku “Prahara Budaya”.

Itu pula yang saya alami ketika membaca “Prahara Budaya” di awal-awal masa kuliah dulu. Kesan saya ketika itu, betapa jahat dan sama sekali tak ada nilai positifnya PKI-Lekra-Pram. Saya yang dibesarkan dalam kultur bahasa Indonesia yang baik dan benar ala Orde Baru, terperangah membaca artikel-artikel dari para pendukung PKI atau Lekra yang menggunakan gaya bahasa provokatif dan “gila-gilan”.

(Jadinya, saya pun tidak heran jika Arya Gunawan – yang juga dibesarkan dalam kultur pendidikan yang memuja bahasa Indonesia yang baik dan benar -- menanggapi subjek postingan saya yang berjudul TANTANGAN TERBUKA BUAT ARYA GUNAWAN dengan memberi komentar sebagai tulisan “bernuansa agitprov” dan pada saat yang sama masih merasa perlu menulis dalam tanda kurung “ini tentu saja istilah PKI”. Karena saya menggunakan gaya bahasa bernuansa Agitprop yang merupakan istilah PKI dan dengan demikian saya -– secara tidak langsung — dianggap “bernuansa PKI”. Bah, macam mana pula kejernihan membaca sejarah dan melawan alpa dilakukan dengan gaya pukul rata macam begini, Bung?)

Belakangan, setelah saya membacai langsung koran Harian Rakyat (milik PKI), Bintang Timur (yang lembar budayanya, Lentera, dipegang oleh Pram), Abadi (milik Masjumi) atau Duta Masjarakat (milik NU) apalagi Indonesia Raja pimpinan Mochtar Loebis, saya baru sadar bahwa gaya bahasa macam itu memang menjadi “cara wicara” (type of speech) ketika itu. Gaya bahasa macam itu memang mencerminkan dengan baik semangat zaman ketika itu yang dipenuhi semangat berpolemik, tantang menantang, hantam menghantam.

Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail dengan baik sekali membangun kesan bahwa bahasa itu sebagai cermin kepribadian ganas PKI-Lekra, yang ia sebut sebagai gaya bahasa “caci-maki” dan “propaganda”, tetapi pada saat yang sama Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail juga menggunakan gaya bahasa yang tidak kalah agitatifnya, seperti “mesin penyerangan untuk Manikebu”, dll.

Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail tidak pernah menyebut-nyebut bahwa jika pun harus dicari orang yang dimintai pertanggungjawaban atas gaya bahasa yang agresif dan agitatif itu, Soekarno tidak bisa tidak tersangkut-paut dalam perkara ini. Soekarno adalah orang yang punya kemampuan membentuk “cara-wicara” dan gaya bahasa. “Prahara Budaya” tak pernah menjelaskan konteks ini secara jernih.

Arya benar bahwa “Prahara Budaya” memuat tulisan-tulisan langsung para pelaku sejarah ketika itu. Tapi, keberadaan tulisan para pelaku sejarah, tidak serta merta membuat “Prahara Budaya” menjadi cukup berwibawa untuk dijadikan rujukan memahami sepakterjang PKI-Lekra-Pram secara utuh dan proporsional.

Sebabnya, “Prahara Budaya” hanya memajang tulisan-tulisan para pelaku sejarah ketika itu dengan penyuntingan yang tidak begitu jelas teknik dan metodenya. Sementara pada saat yang sama, Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail dan DS Moeljanto bisa dengan leluasa menuliskan kesimpulan, tafsir, dan pernyataan-pernyataan apa pun yang ingin ia suarakan.

Ini kentara, saya contohkan salah satunya, pada pengantar dia pada bagian kelima “Prahara Budaya” yang ia upayakan untuk bisa mencitrakan betapa para penyair Lekra memang menghamba pada Lenin dan Komunisme dan bahkan dianggap sudah tahu peristiwa 1 Oktober 1965.

Dia menyebut puisi penyair Mawie yang berjudul “Kutunggu Bumi Memerah Darah” yang dimuat pada Maret 1965 sebagai bukti (saya kutipkan tulisan Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail) “karena rupanya dia sudah tahu sebelumnya”. Maksudnya, penyair Mawie dianggap sudah tahu bahwa akan terjadi pertumpahan darah pada 1 Oktober 1965.

Ini propaganda, saya kira, karena terlalu berlebihan menyebut Mawie tahu akan terjadi pertumpahan darah pada 1 Oktober 1965, apalagi Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail tidak pernah menjelaskan argumen atas tuduhannya itu dalam sebiji kalimat pun. Dengan memvonis penyair Mawie sudah tahu peristiwa 1 Oktober 1965 jauh-jauh hari sebelumnya, kita dikesankan untuk percaya bahwa mereka semua memang terlibat, atau setidaknya, tahu.

Jika saja Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail mau adil, dia harus katakan bahwa puisi dengan nuansa “merah-darah” tidak ada hubungannya dengan peristiwa 1 Oktober karena para penyair yang bersimpati dengan Lekra sudah terbiasa menggunakan metafora macam itu bertahun-tahun jauh sebelum 1965.

Itu bisa dibaca dari puisi Njoto berjudul “Merah Kesumba” yang diterbitkan pada Maret 1961 atau puisi Roemandung berjudul “Darah Merah di Wadjah Duka” yang ditulis di Pematangsiantar pada April 1958 dan diterbitkan Harian Rakjat pada 7 Juli 1962.

Sayangnya ini tak dimuat oleh Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail di “Prahara Budaya”. Bukankah menggelikan jika mereka disebut tahu bahwa beberapa tahun ke depan akan terjadi peristiwa 1 Oktober 1965.

Saya dulu percaya bahwa setiap orang-orang Lekra memang terlibat dalam peristiwa 1 Oktober 1965, ya karena buku “Prahara Budaya” ini. Untung saja saya punya kesempatan untuk menelusuri sumber-sumber asli koran-koran pada zaman itu dan lebih teliti serta berhati-hati memamah “Prahara Budaya”.

Bagaimana dengan orang-orang yang tak punya akses pada sumber-sumber itu? Kasihan sekali jika mereka percaya bahwa para Mawie dan para penyair Lekra sudah tahu jauh-jauh hari peristiwa berdarah 1 Oktober 1965.

“Prahara Budaya” tidak cukup adil memberi tempat dan menggambarkan PKI-Lekra-Pram. Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail dan DS Moeljanto hanya memajang tulisan-tulisan yang menggambarkan wajah seram PKI-Lekra-Pram dan menggiring pembaca untuk sampai pada kesimpulan itu dengan menerakan komentar-komentarnya sendiri.

Hanya dengan membaca “Prahara Budaya”, kita hanya akan mendapat cerita keganasan PKI yang menggerebek mesjid di Kanigoro tanpa akan pernah tahu bahwa PKI yang sama pernah membangun dan merehab belasan mesjid di Sumatera pada 1964. Hanya dengan membaca “Prahara Budaya”, kita hanya akan mendapat gambaran PKI-Lekra-Pram sebagai subyek-subyek yang membakari buku dan memberangus kebebasan berpikir orang-orang Manikebu (dalam istilah Pram) atau Manifestan (dalam istilah Wiratmo Soekito).

Hanya dengan membaca “Prahara Budaya”, kita tidak akan pernah menyadari satu hal penting: bahwa PKI-Lekra-Pram juga sepaham dengan Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail dalam soal moralitas.

Belakangan saya membacai koran-koran lama, termasuk Harian Rakyat dan Bintang Timur. Salah satu hal yang baru saya sadari, dan tak akan pernah Anda sadari jika hanya membaca Prahara Budaya, adalah bahwa PKI-Lekra adalah organ yang getol sekali mengampanyekan soal moralitas, seperti juga Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail di hari-hari belakangan.

Hanya membaca “Prahara Budaya”, kita akan kehilangan kesempatan untuk menyadari bahwa PKI-Lekra amat getol mengampanyekan anti buku-buku cabul, majalah-majalah cabul, film-film cabul, sastra cabul hingga pakaian-pakaian cabul.

Wakil CC PKI Njoto ketika pada 29 Desember 1954 naik mimbar di gedung bioskop Radjekwesi Bodjonegoro, Jawa Timur. Sebagaimana digambarkan Harian Rakjat edisi 5 Februari 1955, malam itu Njoto tak mengepit berlembar-lembar kertas pidato, sebagaimana Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail lakukan di Taman Ismail Marzuki ketika berpidato ihwal Gerakan Syahwat Merdeka (GSM) atau pun di ruang auditorium UNY sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang Pendidikan Sastra.

Njoto, malam itu, berbicara mengenai sikap PKI atas demoralisasi masyarakat, khususnya bagi anak-anak pelajar. Njoto bilang: “PKI menjokong setiap usaha jang akan memberantas demoralisasi, tidak sadja dikalangan peladjar, tetapi dikalangan manapun. Sekarang ini, tidak sedikit orang jang suka meremehkan pengaruh jg ditimbulkan oleh film2 tjabul, buku2 tjabul dan musik tjabul. Ibu2 dan bapak2, djuga guru2, lebih daripada saja tentu tahu betapa merusaknja barang2 tjabul itu bagi watak dan sifat anak2 kita. Pengaruh jang djelek itu sudah demikian meluasnja, sehingga tidak sedikit anak2 kita jang menanggalkan pakaiannja jg nasional, pakaiannya jang normal, dan lebih suka memakai tjelana jang saja sebut sadja ,,tjelana potlot”.”

Dalam usaha membendung keganasan “barang2 tjabul” itu PKI jauh lebih keras tindakannya. Njoto dalam pidato yang sama tak lupa berjanji merencanakan suatu mosi menuntut pelarangan segala sesuatu yang cabul kepada Parlemen. Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) lantas memfasilitasi sarasehan besar “Demoralisasi Peladjar” yang digelar selama sepekan pada 27 Februari s/d 5 Maret 1955 di Jogjakarta.

Lekra cabang Jogja pernah membuat program melakukan sweeping atas pemakai baju-baju norak nekolim atau you-can-see. Bagi PKI dan eksponen Lekra, pakaian-pakaian cabul semacam you-can-see dan bikini, film cabul, sastra cabul, maupun majalah cabul bukan soal sepele. Ia adalah bagian dari arus revolusi kebudayaan yang mesti dibersihkan dari perikehidupan masyarakat.

Dan mereka konsisten dengan sikap penentangan itu. Ada sekira sepuluh tahun rentang antara pidato Njoto dan tindakan Panglima Daerah Angkatan Kepolisian X Jawa Timur di Surabaya, Drs Soemarsono, yang menyerukan bahwa “disamping terhadap lagu2 ngak-ngik-ngok sebangsa the beatle, rok n roll, AKRI akan mengambil tindakan tegas terhadap mode2 pakaian jang berbau nekolim”.

Pada 8 Juli 1961, Harian Rakjat bersikap keras terhadap film-film Amerika yang dianggap dipenuhi adegan mesum, seks dan mengajarkan kekerasan. Tulisan yang secara jelas menerangkan sikap PKI dalam hal tulisan dan tayangan seks dan kekerasan itu terpajang manis dalam judul “Hanja Menghendaki Sex dan Kekerasan”.

Majalah-majalah yang dianggap cabul seperti Playboy dirazia yang dalam bahasa kartun Harian Rakjat edisi 8 Agustus 1965 merupakan sampah-sampah berbau Amerika yang sepantasnya dibuang. Sejalan dengan itu, Badan Kontak Organisasi Wanita Indonesia Djawa Timur (BKOWI) di Surabaya juga mengeluarkan pernyataan menertibkan peredaran buku-buku dan majalah yang tak sesuai dengan kepribadian nasional. Keluarnya pernyataan itu merupakan respons langsung dari beredarnya kisah-kisah bergambar saru nan mesum yang tak pantas dilihat, “Keluarga Miring” No 8, 9, 10 terbitan Semarang tahun 1965.

Standar moral PKI, dalam hal beginian, relatif keras. Soedjojono, pelukis yang oleh Claire H0lt dalam studinya tentang sejarah seni di Indonesia maupun dalam disertasi Farida Soemargono di Ecolo des Hautes Estudes en Scien Sociales (Paris) disebut sebagai penubuh gagasan realisme (sosialis) Indonesia dalam seni rupa Indonesia ketika ia bergelut di Jogjakarta pada akhir 1930-an hingga awal 1950-an (kurang lebih seperti posisi Pram sebagai penganjur realisme sosialisme dalam kesusastraan), sampai harus dipecat karena menolak meminta maaf dan ampun setelah ia berpoligami dengan menikahi istri mudanya yang bernama Rose Pandanwangi (sama bukan dengan Partai Bulan Bintang yang berazas Islam ketika memecat Zaenal Maarif gara-gara berpoligami?). Sikap Aidit tergolong keras dalam perkara moral macam beginian.

Apakah pernah Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail mengakui “sumbangan” PKI-Lekra dalam perkara beginian? Apakah ada pengungkapan wajah lain PKI-Lekra dalam perkara beginian dalam buku “Prahara Budaya”?

Apakah Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail kesulitan menemukan klping-kliping seperti itu? Saya pastikan tidak mungkin.

Jika Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail dengan mudah menampilkan kliping-kliping tulisan yang dengan telanjang menganjurkan pengganjangan terhadap Menikebu, jika mau dia juga bisa dengan mudah menemukan dan menampilkan sikap moral PKI-Lekra dalam soal seks, gambar mesum, film porno dan kekerasan. Kampanye pengganjangan Manikebu sama banyaknya dengan pengganjangan bikini, playboy, film porno, buku cabul, majalah cabul (Anda akan menyadarinya jika menyambangi langsung koran-koran pada masa itu, terutama Harian Rakyat dan Bintang Timur).

Lantas kenapa yang beginian tidak diberi tempat dalam “Prahara Budaya”? Bagi saya, cukup jelas, “Prahara Budaya” memang diabdikan untuk menggelar kampanye untuk membangun citra yang buruk terhadap PKI-Lekra-Pram.

Apakah pernah orang-orang berpikir bahwa PKI-Lekra punya standar moral yang jelas dalam perkara kecabulan? Tidak bukan? Orang hanya tahu keburukan dan keganasan PKI-Lekra. Dan buku “Prahara Budaya”, bagi saya, adalah salah satu eksponen terpenting dari proyek besar stigmatisasi itu.

Buku “Prahara Budaya” memang tidak meyakinkan untuk menjelaskan keutuhan sepakterjang PKI-Lekra-Pram. “Prahara Budaya” baru meyakinkan dalam hal menggambarkan keburukan dan keganasan PKI-Lekra-Pram.

*****


Arya,

Saya menemukan kesejajaran sikap dan standar moral PKI-Lekra dengan polah Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail hari-hari belakangan ini yang juga doyan betul mempropagandakan sikap anti-karya sastra cabul, novel cabul, film cabul dan majalah cabul melalui peristilahan (dengan gaya menggunakan akronim yang tidak beda dengan PKI-Lekra-Pram), macam SMS (Sastra Mazhab Syahwat), GSM (Gerakan Syahwat Merdeka) atau FAK (Fiksi Alat Kelamin).

Ketika ditanya soal penggunaan akronim-akronim macam itu, GM (dalam komentarnya atas Pernyataan Ode Kampung) berkomentar dingin: “Sepertinya akronim-akronim lagi naik daun sekarang.”

Bedanya, Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail mengalasdasari dengan dalil-dalil kitab suci sementara PKI-Lekra mengalasdasari dirinya dengan dalil-dalil revolusi anti-Nekolim yang dimuntahkan dengan begitu bersemangat di banyak sekali kesempatan oleh Bung Karno.

Jika dulu Njoto atau Aidit atau PKI atau Lekra saling bajak-membajak dengan pemerintah c.q Soekarno untuk melakukan apa yang disebut GM sebagai “memberangus kebebasan berpikir”, itu pula yang sepertinya sedang diusahakan oleh Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail yang datang ke Parlemen untuk meminta kurikulum 2004 yang menghilangkan kata PKI dalam peristiwa 1965 untuk dibatalkan, dalam kosa kata PKI: “diganjang”. (Untuk mengetahui keterlibatan Taufiq Ismail dalam upaya membatalkan kurikulum 2004 bisa dibaca di sini dan di sini )

Anda bisa membaca wawancara teman sekantor saya dengan sejawaran senior Anhar Gonggong yang menguak peristiwa di mana Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail datang ke Parlemen memohon-mohon agar buku sejarah berbasis kurikulum 2004 dilarang dari peredaran. Kata Anhar Gonggong ketika itu: “Faktanya pemerintah lebih mendengar Taufiq Ismail daripada kami para sejarawan.” (komentar Anhar Gonggong selengkapnya bisa dibaca di sini )

Dari situlah asal muasal pembakaran buku pelajaran sejarah berbasis kurikulum 2004 oleh Nur Mahmudi Ismail, orang yang pernah Anda coblos dalam Pemilihan Umum di Depok tapi belakangan Anda mengaku mencabut mandat Anda padanya.

Pembakaran buku dimulai oleh sejumlah orang, termasuk Taufiq Ismail, yang menginginkan agar buku pelajaran sejarah berbasis kurikulum 2004 dihapuskan. Mereka, termasuk juga Taufiq Ismail, mengusahakan hal itu dengan banyak cara, termasuk mendatangi parlemen. Kebetulan parlemen banyak diisi oleh orang-orang yang memang alergi dengan segala macam yang berbau PKI. Kompak sudah. Klop betul.

Maka keluarlah pelarangan buku pelajaran sejarah kurikulum 2004 oleh Kejaksaan Agung. Berdasarkan itulah Nur Mahmudi membakar buku. Setelah itu, keluarlah pernyataan sikap menolak pembakaran buku. Setelah itu, Anda mengritik pernyataan sikap itu sebagai mengandung ommision of fact karena tidak mencantumkan pembakaran buku (yang katanya) dilakukan oleh Pram, seraya pada saat yang sama menyebut terus menerus buku “Prahara Budaya” yang disusun oleh Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail, orang yang justru rajin menuntut pelarangan buku sejarah berbasis kurikulum 2004 yang jadi prolog alias asal muasal pembakaran buku oleh Nur Mahmudi.

Bagaimana bisa kita menganjurkan untuk melawan alpa dan ommision of fact dengan merekomen buku “Prahara Budaya” yang hanya menghadirkan sisi buruk PKI-Lekra-Pram seraya pada saat yang sama menghilangkan banyak hal penting dari sisi lain PKI-Lekra-Pram?

Lagipula, buku itu disusun oleh orang yang justru rajin menuntut pelarangan buku sejarah berbasis kurikulum 2004 yang kelak menjadi pangkal pembakaran buku.

Anda jangan lupa asal muasal sengkarut kelakuan Nur Mahmudi Ismail membakari buku. Karena pelarangan buku sejarah dan pembakaran buku pelajaran sejarah itu satu paket; sebab yang kedua tak mungkin terjadi tanpa kejadian yang pertama.

Apakah Anda menyebutkan peran Sang Penyusun buku “Prahara Budaya” dalam sengkarut pelarangan buku sejarah yang akhirnya berujung pada pembakaran buku sejarah? Tidak bukan?

Jika benar tuduhan Anda bahwa Pram membiarkan atau menganjurkan pembakaran buku, hal yang sama mesti Anda jelaskan di mana posisi Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail dalam pelarangan buku sejarah yang akhirnya berujung pada pembakaran buku.
Itu baru adil namanya.

****


Arya,

Anda, seperti juga “Prahara Budaya”, tidak salah ketika menyebut adanya pembakaran buku yang tidak bisa tidak melibatkan PKI-Lekra-Pram, langsung atau tidak, berikut selisih derajat keterlibatan dan peran mereka masing-masing.

Perpustakaan USIS di Surabaya diserbu dan dibakar jam 18.30 pada 8 Desember 1964 dan diberitakan di Harian Rakjat pada terbitan 9 Desember 1965. Sebelumnya, pada 5 Desember 1964, mereka yang menamakan dirinya Front Pemuda, menyerbu gedung USIS dan lantas membakar buku-buku milik USIS di Jakarta.

Penyerbuan dan pembakaran itu dilakukan setelah mereka menghadiri Rapat Umum Setiawakan dengan Rakyat Kongo yang menolak invasi Amerika dan Belgia ke Kongo. Peristiwa ini kemudian diberitakan sebagai headline di halaman muka Harian Rakjat pada edisi Sabtu, 5 Desember 1964.

Pada hari yang sama dengan terbitnya Harian Rakjat dengan headline itu, nyaris semua surat kabar dI Jakarta juga memberitakannya. Harian Suluh Indonesia, Warta Bhakti, Duta Masjarakat, Sinar Harapan dan Bintang Timur memberitakan peristiwa USIS dan Rapat Umum Setiakawan dengan Rakjat Kongo dengan nada simpatik, sementara Merdeka (yang dipimpin oleh BM Diah, orang yang mendirikan Badan Pendukung Soekarnoisme) dan Berita Indonesia (yang didirikan salah seorang sahabat HB Jassin, Anas Ma’ruf, yang produktif menerjemahkan karya-karya Tagore, Steinbeck hingga Kabawata) bersikap antipati dengan penyerbuan dan pembakaran USIS itu.

Bagaimana sikap Lekra?

Saya belum menemukan pernyataan resmi Lekra ihwal penyerbuan dan pembakaran buku milik USIS. Yang saya temukan adalah sikap resmi Pmpinan Pusat Lekra yang menuntut penutupan USIS. Sikap resmi Lekra itu terbaca jelas di halaman muka (persisnya di pojok atas bagian kanan) Harian Rakjat dalam judul berita: “PP Lekra Dukung Tuntutan Warta Berita: Tutup USIS dan Pusat Kebudajaan AS”.

Foto pembakaran buku macam itu tidak hanya bisa didapatkan dari buku “Prahara Budaya”. Foto yang sama bisa didapatkan pula, misalnya, pada koran-koran masa itu. Juga bisa ditemukan dalam memoar yang ditulis oleh Duta Besar Amerika pada periode itu, Marshal Green, yang berjudul “Indonesia: Crisis and Transformation 1965-1968” (yang edisi terjemahannya pernah diterbitkan oleh Grafiti).

Fakta itu terlalu telanjang untuk dilewatkan begitu saja, dan saya tidak pernah berniat menggelapkan fakta itu.

Saya tidak tahu kenapa para penandatangan pernyataan sikap menolak pembakaran buku tidak menyebutkan ini (satu misteri yang membuat kawan saya, Ikram Putra, penasaran bukan main!). Biarlah para penandatangan itu yang menjawabnya, karena saya memang tidak ikut menandatangani, kendati sikap saya jelas-jelas menolak dan melawan pembakaran buku berdasar dalih apa pun.

Tetapi, jika pun mau adil dan dengan semangat untuk membicarakan sejarah secara jernih dan proporsional, mesti dijelaskan secara fair juga posisi dan dalam skala apa keterlibatan mereka, dan tidak dengan serta merta memukul rata semuanya sebagai “para pembakar buku” seperti yang dipakai Arya dalam tiga tulisan sebelumnya, yang lantas diperbaiki frasenya ditulisan Arya yang terakhir.

Gaya pukul rata ini diadopsi dari “Prahara Budaya”. Kalau pinjam istilah anak sekarang, “Prahara Budaya” banget!

Dan juga jika mau adil, “Prahara Budaya” dan juga Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail sebaiknya menjelaskan pula sikap moral PKI-Lekra-Pram dalam hal moralitas terhadap seks, pornografi dan kekerasan; hal ihwal yang belakangan juga digembor-gemborkan oleh Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail. Karena itu satu paket.

Jika saja Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail menyusun “Prahara Budaya” dengan cara seperti, misalnya, Vedi R. Hadiz dan David Bourchier ketika menyusun buku “Indonesia Politics and Society: A Reader”, saya barangkali bisa lebih menghormati “Prahara Budaya”.

Buku yang disusun oleh Vedi dan Bourchier itu berisi kliping-kliping tulisan atau artikel atau manuskrip yang dianggap bisa menggambarkan dan mewakili gagasan politik yang penting selama masa Orde Baru.

Berbeda dengan “Prahara Budaya”, buku tersebut hanya menyajikan kata pengantar panjang plus anotasi dan tidak mencampurbaurkan antara opini penyusunnya dengan bahan-bahan kliping yang ditampilkan. Pembaca bisa memilah dengan baik mana yang merupakan sikap penyusun dan mana kliping aslinya. Penyuntingan memang dilakukan, tetapi penyuntingan itu dilakukan dengan tidak banyak mengubah aslinya.

****


Arya,

Sekarang mari kita omong-omong sebentar mengenai hubungan Lekra dan PKI.

Saya mencoba mengerti jika Anda, dalam tulisan terakhir, menyebut Lekra sebagai organ PKI di bidang kebudayaan dan kesenian.

Tetapi, penyebutan Lekra sebagai organ atau alat PKI tidak sepenuhnya bisa menjelaskan bagaimana sebenarnya hubungan antara PKI-Lekra. Berhenti hanya dengan menyebut Lekra sebagai organ apalagi alat PKI, bagi saya, berpeluang menghilangkan banyak detail sejarah termasuk kompleksitas hubungan antara Lekra-PKI.

Bagi saya, detail sejarah seperti itu, mau tidak mau, mesti diikutsertakan jika kita memang ingin berbuat adil dan menyajikan sejarah secara proporsional. Detail seperti itu mesti dijelaskan jika kita ingin lolos dari jeratan ommision of fact. Berhenti dengan predikat “organ atau alat PKI” saja, bagi saya, rentan untuk terjebak pada gaya berpikir “pukul rata” yang kurang kondusif bagi upaya menebarkan pemahaman sejarah yang lebih proporsional dan koheren dengan kenyataan.

Dengan semangat mengeliminasi gaya berpikir pukul rata yang mudah membawa kita pada kubangan ommision of fact, saya mencoba membagi pengetahuan dan informasi yang saya ketahui mengenai hubungan antara Lekra dan PKI.

Semua orang tahu bahwa antara Lekra dan PKI punya hubungan yang khusus. Menjadi ommision of fact jika ada yang bilang bahwa Lekra dan PKI sama sekali tak memiliki hubungan apa pun. Kedekatan keduanya terlalu telanjang untuk dilenyapkan begitu saja.

Kedekatan antara PKI-Lekra dan kedekatan keduanya dengan Soekarno begitu jelas pada periode Demokrasi Parlementer. Unsur Soekarno ini penting karena sekuat-kuatnya PKI atau Lekra, mereka tak ada artinya tanpa Soekarno. Ketiga-tiganya sama-sama doyan mereproduksi jargon-jargon revolusioner, Manifesto Politik, Neo-kolonialisme dan imperialisme dan pada semangat pada revolusi yang dibayangkan akan mamupu membebaskan Indonesia dari feodalisme dan imperialisme.

Seperti yang ditunjukkan oleh Rex Mortiner dalam studinya tentang komunisme Indonesia pada masa Soekarno, kadang ucapan PKI, ucapan pengurus Lekra atau pun ucapan Soekarno hampir-hampir tak bisa dibedakan lagi. Faktor penting Soekarno ini tak dijelaskan dengan memadai oleh “Prahara Budaya”, seakan-akan Lekra-PKI sajalah pihak yang bertanggungjawab.

Tetapi seberapa dekat sih hubungan Lekra-PKI? Apakah sedekat antara Barisan Tani Indonesia (BTI) atau Pemuda Rakyat (PR) dengan PKI? Seberapa kuat jaring komando antara PKI dengan Lekra?

Yang saya tahu, sampai munculnya Pageblug 1965, Lekra “gagal dikomuniskan” oleh Aidit dan PKI. “Gagal dikomuniskan” di situ artinya Lekra tidak pernah menjadi organ milik PKI seperti yang Anda bilang di tulisan terakhir Anda. Hal yang sama berlaku juga pada Gerwani.

Upaya mengkomuniskan Lekra atau Gerwani biasanya dilakukan dalam kongres-kongres resmi organ-organ tersebut. Jika PKI gagal mengkomuniskan mereka secara resmi, PKI biasanya lantas membentuk sendiri organ-organ yang dia inginkan.

Karena itulah PKI akhirnya membuat Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner (KSSR) yang akhirnya menjadi organ atau onderbouw resmi PKI. Karena Gerwani “gagal dikomunsikan”, maka PKI akhirnya membentuk organ resmi yaitu Wanita Komunis.

Lekra tidak pernah menjadi onderbouw resmi PKI sebagaimana BTI, PR, CGMI, atau SOBSI, atau kalau sekarang seperti Banser bagi PKB atau Gerakan Pemuda Ka’bah bagi PPP.

Bahwa ada orang-orang komunis di tubuh LEKRA, itu jelas dan terlalu telanjang untuk dilenyapkan. Salah satu simpul hubungan antara Lekra dan PKI paling telanjang terlihat dari keberadaan Njoto di Lekra. Njoto pula salah satu orang yang ikut menggodok pendirian Lekra.

Tetapi antara Lekra dan PKI bukannya identik. Perbedaan tajam antara keduanya bukan sekali dua muncul. Sejumlah tokoh Lekra menolak campur tangan berlebihan dari partai. Instruksi-instruksi Partai yang datang seperti sabda sangat sering menjengkelkan tokoh-tokoh kunci Lekra.

Puncak perbedaan itu ya ketika PKI berniat mengkomuniskan Lekra pada 1964. Njoto sendiri, yang pernah dijuluki Brother Number Two yang merupakan Wakil Ketua CC PKI, terlibat dalam penolakan itu. Njoto pernah bilang pada koleganya di CC PKI bahwa cukuplah dirinya saja yang ada di Lekra dan tak usah sampai mengkomuniskan Lekra.

Dalam salah satu perbincangan singkat antara Muhidin M Dahlan (rekan sekantor yang sedang meneliti koran-koran kiri di masa lalu) dan saya dengan Martin Aleida di gang menuju TIM, Martin sempat kurang lebih sempat bilang: “Seandainya PKI menang, orang-orang seperti Pram dan Njoto barangkali akan dihabisi oleh PKI.”

“Kami menolak. Saya juga menolak, karena tidak bisa, misalnya, seorang Pram diperintah menjadi merah. Begitu juga yang lain. Nggak bisa,” tegas Oey Hay Djoen, orang yang saya lihat datang pada malam terakhir kehidupan Pramoedya.

Orang-orang seperti Pram, Rivai Apin, atau Soedjojono terlalu kokoh untuk diperintah ini dan itu atau disuruh menulis dan melukis begini dan begitu. Dalam kata-kata Oey, “Mereka semua sudah harimau sebelum Lekra dibentuk.”

(Barangkali ini seperti Tan Malaka, yang kendati seorang komunis, tetapi cukup jelas ia tidak bisa diperintah semau-maunya oleh Komintern. Itulah sebabnya Hatta pernah mngeluarkan komentar yang terkenal mengenai Tan Malaka sebagai orang yang tulang punggungnya terlalu keras untuk membuatnya tunduk pada Stalin.)

Uraian yang sama bisa dibaca dalam tulisan Joebar Ajoeb berjudul “Mocopat Kebudayaan”. Joebar juga menegaskan rendah dan cairnya kendali PKI terhadap Lekra.

Jangan heran juga jika kita membaca memoar Kusni Sulang (yang sekarang menggunakan nama JJ Kusni), “Di Tengah Pergolakan: Turba Lekra di Klaten”, yang bingung bukan main kenapa penelitian kesenian yang dilakukannya kok bisa dipimpin oleh DN Aidit.

Kebingungan Kusni, pernyataan Oey dan Joebar, bisa menggambarkan bahwa hubungan PKI-Lekra tidak sesederhana dan semudah seperti antara induk-semang dengan anak-semang atau antara pimpinan dan bawahan atau antara partai dengan onderbouw resminya. Bacaan-bacaan saya itu membut saya mencoba tidak gegabah menggunakan kata-kata jargon seperti “Lekra adalah organ atau alat PKI”.

Stephen Miller, seorang sarjana dan peneliti dari Australia, penggambaran Lekra sebagai alat PKI tidak realistis karena seakan-akan ada jalur komando yang berasal langsung dari Moskow atau Peking melalui Politbiro PKI lalu diteruskan ke Pimpinan Pusat Lekra. Miller menyebutkan bahwa gaya “pukul rata” menyebut Lekra sebagai alat PKI dibangun secara sistematis dan dipertahankan dengan terus menerus oleh Orde Baru.

Keith Foulcher (”Social Commitment in Litterature and the Arts”) sendiri berkesimpulan bahwa Lekra bukanlah organ apalagi alat PKI. Foulcher menyebut Lekra memang sealiran politik dengan PKI. Sementara Saskia Wieringa (“Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia”) mencoba menggambarkan kerumitan hubungan itu dengan menggunakan istilah “Keluarga Komunis”. Istilah Keluarga Komunis itu oleh Antariksa (“Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-Lekra”) disebut sebagai penggambaran yang lebih pas bagi hubungan-hubungan lentur daripada hubungan formal-organisatoris yang bisa diperintah semaunya.

Detail-detail seperti ini tidak akan pernah dapat kita temukan secara memadai dalam “Prahara Budaya”.

Dengan caranya yang tersamar, “Prahara Budaya” menulis PKI dan Lekra dengan cara “PKI/LEKRA”. Pilihan menggunakan tanda hubung “/” punya implikasi linguistik yang tidak sederhana karena tanda “/” bisa diartikan bahwa dua entitas yang dipisah oleh tanda “/” itu sama persis atau bahkan identik, ketimbang tanda hubung “—“ yang bagi saya relatif lebih bisa menggambarkan bagaimana PKI dan Lekra beriringan dalam sejumlah hal tapi keduanya tidak kembar identik.

PKI pernah ditulis dengan cara itu oleh Soe Hok Gie dalam studinya tentang Peristiwa Madiun 1948. Gie menulis “PKI/FDR” (Front Demokratik Rakyat). Tapi cukup jelas, FDR yang terdiri dari sejumlah partai-partai kiri pada waktu itu secara resmi memang mengabungkan diri kepada PKI yang waktu itu baru saja diambil alih oleh Musso yang baru kembali dari Sovyet. Pilihan Gie untuk menggandengkan PKI dengan FDR menjadi “PKI/FDR” bisa saya terima karena konteks dan argumennya begitu jelas dan tak mungkin saya tolak.

Saya tidak sedang membangun kampanye positif bagi Lekra, PKI, Pram. Saya hanya mencoba membagi detail yang saya ketahui dari bacaan-bacaan yang saya miliki. Karena bagi saya, membaca detail-detail seperti ini merupakan kerja yang satu paket dengan upaya kita bersama untuk melawan ommision of fact.

PKI dan Lekra dan juga Pram memang tak bisa cuci tangan dari kampanye menyingkirkan karya-karya para penulis Manikebu. “Prahara Budaya” dengan begitu bersemangat sudah mencoba menjlentrehkan soal ini.

Tetapi, tiap kali menyebutkan itu, kita mesti menambahinya dengan keterangan dalam tanda kurung sejumlah detail yang mesti diketahui supaya kita semua tidak terangsang untuk terus-menerus menggunakan gaya dan frase-frase penuh jargon yang mencerminkan gaya berpikir pukul rata.

Bagi saya, membuka diri pada detail-detail begituan memungkinkan kita untuk tidak secara enteng-entengan menggunakan gaya berpikir “pukul rata”, seperti ketika Anda menyebut tantangan terbuka saya sebagai bergaya Agitprop dan menekankan dalam tanda kurung bahwa Agitprop adalah “istilah milik PKI”, pada saat partai Murba dan partai lain sebenarnya biasa menggunakan istilah Agitprop.

Itulah sebabnya saya menantang Anda untuk berbicara secara detail mengenai apa yang oleh Anda reproduksi terus-terusan dalam 3 tulisan sebelumnya sebagai pembakaran buku yang dilakukan oleh Pram. Karena saya percaya bahwa upaya untuk lolos dari jeratan ommision of fact dan propaganda sejarah bisa dimulai, salah satunya, dengan berbicara secara detail mengenai perkara-perkara yang kontroversial. Mungkin melelahkan dan tidak semua orang mau dan punya waktu untuk berpikir dan membaca detail-detail seperti ini.

Itulah yang termuat dalam buku sejarah kurikulum 2004, yang memaparkan detail lima versi mengenai siapa sebenarnya otak peristiwa 1 Oktober 1965. Ini bagus saya kira. Sayangnya, kurikulum 2004 ini lantas dilarang menyusul desakan banyak pihak, termasuk Taufiq Ismail. Dan dari pelarangan itulah pembakaran buku menjadi dimungkinkan.

Jika saja Anda mengritik pernyataan sikap dengan menggunakan kalimat (misalnya) “kenapa pembakaran perpustakaan USIS oleh organ-organ yang berafiliasi dengan PKI” tidak dimasukkan, saya tentu tidak akan pernah menantang Anda untuk berbicara secara detail. Tapi karena tiba-tiba Anda memilih untuk “mengaburkan” kenyataan sejarah yang kaya detail itu dengan frase-frase bergaya pukul rata seperti “Pram membakari buku-buku lawan ideologisnya”, maka muncullah saya untuk menantang Anda berbicara secara detail.

Pernyataan GM bahwa penting untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf pada kesalahan yang diperbuat, bagi saya, lebih tepat disodorkan pada mereka-mereka yang terlibat dan menjadi pelaku sejarah, entah itu GM, Taufiq Ismail, Ajip Rosidi, Kusni Sulang, Hersri Setiawan, Martin Aleida, dll. Urusan merekalah itu mau mengakui dosa, meminta maaf atau meminta ampun atau apa pun yang mereka maui. Kita juga tidak bisa memaksa.

Saya tidak ada urusan dengan itu karena tugas generasi sekarang bukan mengurusi orang-orang tua yang kadang menjengkelkan dan terus menerus mereproduksi dendam di antara mereka sendiri (seperti yang ditunjukkan oleh Ajip Rosidi ketika mengungkit-ngungkit kelakuan AS Dharta di harian Pikiran Rakyat pada saat Dharta baru saja meninggal beberapa bulan silam, yang langsung disambut dengan tulisan pelaku sejarah lainnya, Martin Aleida).

Jika Anda menyebut rekonsiliasi, saya tentu saja tidak akan ikut-ikutan karena saya tidak berkonflik dengan siapa pun. Rekonsiliasi itu ya urusan mereka yang memang berkonflik dan mungkin masih saja membawa dendam hingga masa tuanya.

Tugas generasi sekarang, barangkali saya atau Anda atau siapa pun yang memang berminat, adalah membicarakan sejarah penuh dendam dan sengkarut itu dengan cara yang jernih, membuka diri pada banyak detail, dan mau menerima tafsir lain dari yang kita percayai.

Kita tidak perlu menunggu rekonsiliasi dan saling peluk-pelukan nan mengharukan dari orang-orang tua kita itu untuk bisa mengambil sikap dan pendirian dengan cara yang jernih dan logis terhadap sengkarut ini.

****


Arya,

Saya sepakat dengan Anda dalam hal melawan alpa dan melawan ommision of fact.

Untuk perkara anti pembakaran buku dan penolakan ommision of fact, saya setuju dengan Anda tanpa perlu saya tahu apakah Anda pengagum atau pembenci Pram, apakah Anda pembaca karya-karya Pram atau bukan, apakah Anda menamai anak keduanya dengan mengadopsi nama fiksi buatan Pram atau Borges atau siapa pun. Itu semua gak penting bagi saya.

Jika Anda mengajak saya untuk terlibat dalam upaya melawan alpa dan ommision of fact, saya dengan senang hati ikut bergabung, tapi tentu saja saya tidak akan merekomendasikan “Prahara Budaya” jika saya ditanya buku apa yang bisa menjelaskan secara utuh dan proporsional peran PKI-Lekra-Pram.

Jika pun saya menyebutkan buku “Prahara Budaya”, pada saat yang sama saya akan menyebutkan buku Antariksa berjudul “Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-Lekra”, buku Keith Foulcher berjudul ”Social Commitment in Litterature and the Arts” atau bukunya Saskia Eleonora Wieringa yang berjudul “Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia” dan tulisan-tulisan para aktivis Lekra (seperti Kusni atau Hersri Setiawan) sebagai buku-buku pembanding.

Ini bukan sikap apriori seperti yang Anda tuduhkan pada Tossi atau Coen H Pontoh atau Budi Setiyono hanya karena mereka menyarankan Anda bersikap kritis terhadap “Prahara Budaya”. Saya sampai pada sikap seperti ini terhadap “Prahara Budaya” setelah saya membacanya dan membandingkannya dengan sumber-sumber lain.

Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail boleh-boleh saja menulis apa saja yang ia percayai dan yang ingin ia percayai. Kita tidak bisa dan tak boleh melarangnya seperti juga saya tak bisa dan tidak akan pernah melarang buku “Prahara Budaya”. Tapi saya pun boleh mengambil sikap untuk tidak memercayai begitu saja “Prahara Budaya”, satu anjuran yang sudah disampaikan oleh Budi Setiyono dan Coen H Pontoh, yang sepertinya tidak begitu Anda simak dengan baik-baik.

Tentu saja saya bisa salah. Tentu saja saya bisa meleset. Tentu saja saya bisa keliru. Salah/meleset/keliru bukan hal tabu dalam polemik, yang tabu itu justru berdusta dan menutup-nutupi apa yang kita ketahui sebagai kenyataan dan kebenaran.
Arya, semoga kita selalu diberkahi sikap adil sejak dari pikiran.

Salam hormat,

Zen Rachmat Sugito
Editor di Indonesia Boekoe (i:boekoe) dan IndexPress serta mahasiswa sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta.