Wednesday, September 27, 2006

Mining Workshop in Manokwari

I just had one of the most spirited journalist workshops that the Pantau Foundation has ever  organized. It took place for four days since Sunday in Manokwari, a town in the Bird Head area in Papua.

Columbia University's Initiative for Policy Dialogue helped sponsor this program in Manokwari and Balikpapan. Pantau also works with the Institute of Research, Analysis and Development for Legal Aid (LP3BH) in Manokwari to organize this workshop.

It began on Sunday afternoon with around 20 journalists, coming from as far as Teluk Wondawan (about 20 hours by wooden boat) and Sorong (one night ship ride). Agustinus Nauw is a veteran reporter, covering mostly human rights abuses in the Teluk Wandawan area. He came late due to the slower wooden boat. Wilman Ramdani of Tambang (Mining) magazine in Jakarta also attended this workshop, saying that it is worthwhile to travel several hours from the metropolitan Jakarta for our workshop in remote Manokwari.

Wilman and I arrived on Saturday, working with Jo Kelwulan and Jimmy Prawar to distribute workshop material door-to-door, to check the venue at Hotel Forest Papua and to discuss about an unexpected conference of the government-sponsored Indonesian Journalists Association (Persatuan Wartawan Indonesia or PWI) in Manokwari to start Wednesday.

Jo, who is a Tanimbaran, writes columns for the Sorong-based Fajar Papua daily while Jimmy, who is a Biak man but born in Manokwari, works at Matoa FM radio in Manokwari. Tanimbar is a small island south of Papua.

PWI is a rather notorious organization. It helped clamp down media freedom during the Suharto era. In 1995, it reported an independent journalists' group to the police for publishing "unlicensed and thus illegal." Three journalists, namely Ahmad Taufik, Eko Maryadi and Danang K. Wardoyo, were arrested in 1995 and later jailed between two and three years. Now it tries to set up a branch in Manokwari.

Max Simatauw, the PWI leader in Manokwari, already called Jo, asking Jo why the workshop organizer didn't report to him about having a workshop. Jo replied that they had already secured a police permit. Jo and Jimmy were a little bit worried if the PWI was to act against him. 

In Manokwari, the PWI is an organization closely related to the government. Simatauw already aired his idea of having Manokwari journalists to wear PWI press card when covering the West Irian Jaya's Governor Office. Without that card, they cannot enter the office.

But the workshop opened with a warm introduction Sunday afternoon. I began the sessions with a refreshment on the basics of journalism, using Bill Kovach and Tom Rosenstiel's "Elements of Journalism." It was an interactive session. 

Keith Slack and Eva Danayanti also arrived from Jakarta on Sunday afternoon. Keith works for Oxfam America. Eva is our office manager in Pantau's Jakarta.

Keith began his sessions on mining Monday morning. He led two sessions. The first was an introduction to mining. The second on the "Resource Curse." He spoke softly and used Power Point projector to illustrate his points and to show many pictures from mining sites from Africa to Latin America, from the United States to Indonesia. 

I did the translation. Keith might be soft-spoken but his material is hard-hitting. Many participants had better understanding of mining processes, environmental result and mining-related social issues. I conducted the third session Monday after lunch. 

Monday evening, some participants, Eva, Keith and I took a boat ride to Mansinam Island near Manokwari. It is a historial site. Two German missionaries came to this island in 1855 to start their mission works. Papua is now a predominantly Christian area due to their pioneering works in Mansinam.

Keith also led two sessions Tuesday morning. Media Papua daily headlined my comment that says Manokwari need not to have a PWI presence.

Toharsat Saragih of LP3BH, a local legal aid group that helped organize the workshop, addressed the class at the third session. Eva and Keith left Manokwari Tuesday evening for Makassar. They stayed one night in a Makassar hotel prior to fly to Balikpapan.

They also asked to debate Max Simataux on the Matoa FM radio Tuesday evening. We took some motorcycles to visit the Manoa station on a Manokwari hill. The view is breathtaking. Max, however, didn't come for the debate.

Meanwhile, these journalists kept on talking and gossiping about the PWI's Max Simatauw ("a womanizer" or "using a rental car for free"). What I see is a resistance. The journalists feel that they're tired to be continuously cowed by the PWI.

Since the end of World War II, the PWI is known to have mixing journalism and politics. Tarman Azzam, the PWI national president, is also a Parliament member, representing former president Suharto's Golkar party. One PWI founder became an Indonesian vice president. Many PWI leaders also became ministers and government officials. Tarman arrived in Manokwari from Jakarta Tuesday evening and opned the PWI conference Wednesday morning.


The Manokwari workshop had three sessions Wednesday. I was encouraged to see that the workshop participants chose to stay with us than to attend the PWI conference. The conference is obviously a big event for most journalists in Manokwari. It is a relatively small town on the gorgeous Wosi Bay. Our workshop was still crowded Wednesday.

Wilman and I said goodbye Wednesday afternoon. Several journalists took their motorcycles to the airport with us. Their message is, "Please do another workshop in Manokwari." I don't want to leave them alone.

Wilman said it is the best workshop that he has ever attended. Mostly said it is the first workshop in which they are required to do homework (writing). I also told the journalists to start using bylines, firewall (lines to separate editorial content and advertisement), to acknowledge their news sources (not just saying in their stories' initials that the sources is "int" which means "internet."). They should acknowledge sources like Kompas, Associated Press, Reuters etc.

Tuesday, September 26, 2006

Gerakan Minahasa Merdeka

Berita Sulut, 26 September, 2006

Buntut Diskriminasi Disegala Bidang
Gerakan MINAHASA MERDEKA Dideklarasikan !

Laporan: Budi H Rarumangkay

MANADO, Sulutlink. Tou Minahasa akhirnya bergerak dan menyatakan sikapnya terhadap pemerintah Republik Indonesia. Buntut perlakuan diskriminasi terhadap kaum minoritas selama bangsa Indonesia merdeka telah menjadikan bahan pertimbangan berdirinya Negara Minahasa Merdeka. Karenanya, dengan sikap siap dijebloskan ke dalam penjara, Dolfie Maringka Cs berani mendeklarasikan "Gerakan Kemerdekaan Minahasa."

"Kami sudah tidak percaya lagi dengan NKRI. Tujuan akhir dari berdirinya gerakan ini adalah kemerdekaan total bagi rakyat Minahasa. Saya siap dipenjarakan dengan perjuangan ini," tandas Maringka bersama Revly Pesak usai membacakan deklarasinya di gedung Minahasa Law Centre (MLC), Senin (25/09).

Gerakan ini diakui keduanya memang sudah lama dirancang bersama. Pun alasan yang paling mencolok adalah diberlakukannya SKB 2 Menteri dan Eksekusi Tibo Cs. Meski demikian, terang keduanya, jika Negara Minahasa telah berdiri, semua agama diperbolehkan tumbuh dan berkembang di tanah Toar Lumimuut tanpa ada diskriminasi seperti yang dialami sekarang ini.

"Saya yakin, jika dilakukan referendum, rakyat Minahasa pasti setuju dengan gerakan ini," kata mereka optimis.

Kenapa? sebab gerakan kemerdekaan Minahasa ini (juga) didukung Tou Kawanua di seantero jagad raya ini. Yang pasti pungkas Maringka dan Pesak, berikutnya akan dilakukan sosialisasi gerakan kemerdekaan yang disusul dengan rencana referendum di saat Natal 2006 ini.

Ditambahkan, bahwa kemerdekaan bagi setiap umat itu juga dinyatakan dalam Al-kitab melalui Galatia 5;1. Dimana dalam ayat itu disebutkan, "... supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu, berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan."

"Last but not least, Tuhan berada di barisan paling depan, bagi orang-orang yang diperkenankanNYA memperjuangkan nasib sesamaNYA dengan prinsip Kasih, Sukacita penuh Persaudaraan, tetapi dengan keras menolak berbagai kuasa iblis yang menghancurkan ciptaanNYA," tandas Maringka.

Pun teriakan khas Minahasa; I YAYAT USANTI ikut membahana disaat deklarasi dibacakan yang disusul dengan pidato politik oleh Maringka. Turut hadir dalam kesempatan itu, Dr Bert Supit, Christy Manarisip serta sejumlah mahasiwa dan tokoh pemuda Sulut.

Berikut kutipan Deklarasi Gerakan Kemerdekaan Minahasa:

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan dan kebebasan adalah hak azasi yang merupakan anugerah Tuhan kepada setiap manusia dijagat raya ciptaan Allah yang perkasa, sehingga tidak dapat dicabut oleh siapapun.

Oleh karena itu, sebagai individu maupun kelompok, maka setiap insan berhak sekaligus berkewajiban menolak dan harus menghapuskan berbagai bentuk penindasan, penjajahan, ketidakadilan, diskriminasi serta kooptasi oleh manusia atas manusia dengan alasan apapun di muka bumi ini, termasuk di tanah tumpah darah Republik Indonesia.

Atas berkat dan kasih Tuhan Yesus Kristus, Sang Raja Damai, maka kami manusia asal tanah Minahasa Raya dan para insan pejuang lainnya yang setuju dengan prinsip dasar bersama menuju kebebasan serta kemerdekaan berperilaku di alam ciptaan sang khalik, dengan ini menyatakan, Berdirinya Sebuah Persekutuan bernama: Gerakan Kemerdekaan Minahasa.

Gerakan kemerdekaan Minahasa ini didirikan dengan penuh kesadaran dan diilhami oleh tujuan-tujuan luhur bersama dalam rangka:

Merdeka dari Diskriminasi Politik, maupun upaya sistematis peminggiran terhadap kaum minorotas melalui berbagai rakyasa demokrasi.

Merdeka dari Ketidakadilan Ekonomi, dan beragam bentuk penghisapan serta perlakuan ketidakseimbangan kebijkan pembangunan yang mengancam disintergrasi bangsa.

Merdeka dari Ketidakbebasan Menjalankan Ibadah, termasuk penistaan terhadap berbagai symbol ke- Tuhan-an Yang Maha Esa dan pemaksaan penerapan tatakrama menurut ajaran agama tertentu bagi semua masyarakat di berbagai daerah yang
bertentangan dengan Pancasila dan prinsip-prinsip Ke- Bhineka Tunggal Ika-an.

Oleh tuntutan dan hikmah sang pencipta, Gerakan Kemerdekaan Minahasa menyadari sepenuhnya, bahwa pada hakekatnya, manusia itu hidup untuk memanusiakan manusia (atau Si Tou Timou Tumou Tou).

Gerakan Kemerdekaan Minahasa, juga memahami sedalam-dalamnya bahkan meyakini seyakin-yakinnya, bahwa dalam pandangan hidup maupun ideologi Negara Pancasila 1 Juni 1945, merupakan roh kebangsaan Indonesia, yang kesemuanya akhirnya bermuara kepada keberadaban, keutuhan serta kebesaran Negara anugerah Tuhan ini dan demi kemanusiaan.

Akhirnya, Gerakan Kemerdekaan Minahasa mengakui, bahwa kehidupan bersama serta kebersamaan dalam hidup, memang mesti terus diperjuangkan hingga titik darah terakhir, tanpa harus mengabaikan ajaran kasih dan persaudaraan.

Demikianlah deklarasi ini, semoga Allah yang perkasa menolong kita sekalian.

I YAYAT U SANTI !!! MERDEKA..!!! SHALOMÅ !!!


Manado, 25 September 2006
Atas nama tim deklarator

Dolfie Maringka ­ Revly OA Pesak.
Deklarator pendukung sekaligus perwakilan
GERAKAN KEMERDEKAAN MINAHASA

Ronny Yohanes ­ Jakarta.
Selvijn Rawis ­ Jakarta.
Toar Manimporok ­ Australia.
FX Wongkar ­ Amerika Serikat.
Waraney Lolombulan ­ Belanda dan Eropa.

Tuesday, September 19, 2006

Divisi Kredit Pemilikan Rumah BII


Kepada yang terhormat:
Kepala Divisi Kredit Pemilikan Rumah BII
BII Mangga Dua
Up: Bpk. Riki
Fax. 6257780 Tel. 6257525


Dengan hormat,

Saya menulis surat ini untuk membantu mantan isteri saya, Retno Wardani, yang memiliki kredit kepemilikan rumah di bank Anda. Dia belakangan merasa kesulitan membayar “tunggakan” sebesar Rp 3.2 juta karena apa yang disebutnya akibat “kenaikan suku bunga pinjaman yang terakumulasi.”

Kredit tersebut memang masih atas nama saya --No A/C 1206083197 dan No CIF 4660090—namun pada 2004, rumah tersebut saya berikan kepada Retno menyusul perceraian kami pada Desember 2003. Retno tak mau menjual rumah maka dia memperpanjang jangka waktu pinjaman BII, dari enam menjadi 10 tahun.

Retno menulis, “Sebagai seorang pegawai dengan penghasilan yang tetap setiap bulannya, sementara biaya kebutuhan hidup semakin meningkat, kami tetap berusaha menutup tanggung jawab kami sebagai debitur BII.” Dia tak mengira bahwa angsuran naik jadi Rp 3.2 juta sebulan.

Dia mohon agar BII bersedia memberikan keringanan suku bunga pinjaman kepadanya. Dia sanggup membayar maksimal Rp 3 juta per bulan.

Saya mendukung permohonannya. Terima kasih.


Jakarta 19 September 2006

Andreas Harsono

Wednesday, September 13, 2006

Heboh Dokumen FARA - Cak Anam Duga Gus Dur Ditelikung

Duta Masyarakat

JAKARTA - Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) versi Ulama Drs H Choirul Anam atau yang akrab dipanggil Cak Anam menilai terlibatnya Yayasan Gus Dur dalam kasus lobi untuk kepentingan militer Indonesia terhadap Amerika Serikat, adalah bukti kesekian aksi penelikungan Gus Dur oleh orang-orang dekat mantan Presiden RI ke-4 itu.

Seperti diberitakan sejumlah media, Yayasan Gus Dur atau Gus Dur Foundation (GDF) dibayari Badan Intelijen Negara (BIN) untuk melakukan kontrak kerja dengan perusahaan pelobi Amerika Richard L. Collins & Co., guna mendorong Pemerintah AS agar melanjutkan kembali program bantuan dana serta pendidikan dan pelatihan militer (FMF dan IMET).

Dokumen kontrak tersebut dibeber oleh sejumlah wartawan investigator yang tergabung dalam Center for Public Integrity's International Consortium of Investigative Journalists (Konsorsium Internasional Jurnalis Investigatif dari Pusat Integritas Publik). Bahkan, ICIJ juga menunjukkan salinan dokumen kontrak kedua lembaga tersebut, berikut nilai uang pembayarannya. Dokumen itu diperoleh ICIJ dari Foreign Agents Registration Act (FARA), atau Akte Registrasi Agen Luar Negeri.

Dalam dokumen kontrak yang dilansir ICIJ, bertindak selaku penandatangan Yayasan Gus Dur adalah Muhyidin Arubusman. Namun dalam kontrak tersebut ditulis dengan jelas keterlibatan BIN, sebagai penyokong dana, sekaligus pihak yang berkepentingan dalam agenda penghapusan embargo senjata AS atas Indonesia. Sejumlah nama pejabat BIN juga ditulis. Di antaranya Wakil Kepala BIN, M. A'sad Said Ali dan Deputi BIN Burhan Muhammad.

Kepada Duta, Cak Anam mengaku tidak terkejut dengan temuan kasus semacam ini. Apalagi, setelah dirinya melihat dokumen kontrak dari FARA, dimana penandatangan kontrak tersebut adalah Muhyidin Arubusman, yang tak lain adalah Sekretaris Dewan Syuro DPP PKB versi Semarang pimpinan Muhaimin Iskandar. "Dia kan orang di ring satu (dekat, red) Gus Dur," tandasnya.

"Semua orang juga tahu kalau A'sad juga teman dekat Gus Dur, juga teman dekat Pak Hasyim (Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, red). Jadi kalau kemudian Gus Dur mengaku tidak tahu menahu, dan memang tidak tanda tangan di dokumen itu, berarti Gus Dur ditelikung," katanya.

Sehingga, lanjut Cak Anam, hal ini makin menguatkan pernyataannya sekian waktu lalu, bahwa Gus Dur pasti suatu saat akan ditelikung oleh orang-orang yang dianggapnya terdekat dan terbaik itu. "Saya sudah ngomong lama soal ini. Mulai Gus Dur di Istana, kan sudah banyak pembisik yang justru memberi informasi keliru. Begitu Gus Dur dijatuhkan, mereka semua tidak ada," ungkapnya.

Cak Anam juga memprediksi, dalam ranah partai, Gus Dur juga akan mengalami aksi penelikungan yang sama. "Sekarang sudah, tapi dalam konteks policy (kebijakan, red) yang terbukti sering berbeda antara Gus Dur dengan pelaksana partai. Nanti puncaknya, mungkin posisi Gus Dur yang dibidik," tandas politisi yang juga wartawan senior ini.

Pada saat itulah, lanjut Cak Anam, skenario besar untuk menghancurkan partai yang dilahirkan Ulama NU itu berhasil. "Itulah mengapa para Kiai tetap istiqomah meminta DPP PKB Ulama untuk berjuangan mengembalikan PKB ke pangkuan Ulama sampai batas yang memang tidak bisa lagi. Sebab, bila tidak, PKB akan kerdil, hancur dan hanya akan dikenang dalam bagian kelam sejarah perjalanan NU," papar penulis buku 'NU, Sejarah dan Pertumbuhannya' ini.

Dugaan Cak Anam bahwa Gus Dur ditelikung boleh jadi benar. Kepada BBC, Gus Dur mengaku dirinya tidak tahu menahu soal kerjasama Yayasan Gus Dur dengan BIN untuk melobi Amerika. "Saya nggak tahu itu. Mereka saja menggunakan nama kita," kata Gus Dur kepada BBC.

Gus Dur juga mengakui bahwa dia pernah dihubungi oleh Wakil Kepala BIN A'sad untuk memanfaatkan yayasannya. "Dulu wakil kepala BIN ngomong kepada saya gimana kalau Gus Dur Foundation itu digunakan untuk kepentingan bangsa dan negara. Saya bilang lho, segala sesuatu untuk kepentingan bangsa dan negara boleh-boleh saja," katanya. Namun, menurut Gus Dur, dia tidak tahu bagaimana namanya akan dimanfaatkan oleh BIN. "Saya tidak tahu kalau dipakai kerja sama pihak intel," katanya.

Hingga berita ini diturunkan, Muhyidin Arubusman tidak berhasil dikonfirmasi. Sebelumnya, kepada ICIJ, Muhyidin pernah mengatakan bahwa pada saat menandatangani kontrak dengan Collins & Co., ia mengaku sedang concern terhadap gerakan separtis di Papua dan Aceh. "Pada saat itu kami sedang mengkhawatirkan gerakan separatisme di Aceh dan Papua. BIN meminta bantuan dari Yayasan Gus Dur untuk mempengaruhi Konggres AS."

"Collins & Co. datang ke Jakarta. BIN yang mengatur semuanya. Saya hanya menandatangani kontraknya. Saya memiliki kekhawatiran yang sama terhadap gerakan yang ingin memisahkan Aceh dan Papua dari Indonesia," ujarnya.

Ketika ditanya apakah dia sudah mendapatkan kuasa dari Gus Dur ketika menandatangani kontrak tersebut atau apakah Gus Dur sendiri tahu tentang kontrak tersebut, Arubusman memberikan jawaban yang membingungkan. "Saya tidak bisa membahas lebih banyak. Saya harus menjaga nama baik Gus Dur. Beliau tidak tahu," kata Arubusman. (ss/bbc/ICIJ)

Gus Dur Bantah Terlibat Kontrak BIN

Yeni: Bapak Bukan Antek BIN


Jakarta - Surya

Gus Dur bikin berita lagi. Badan Intelijen Negara (BIN) diduga menggunakan nama Gus Dur Foundation (GDF) untuk menyewa jasa firma lobi di Amerika Serikat (AS), Richard L Collins & Co, sebesar 30.000 dolar AS per bulan, untuk menekan Kongres dan pemerintah AS. Tujuannya supaya Kongres dan pemerintah AS mengakhiri embargo militer pada akhir Desember 2005 lalu dan menyetujui pemulihan kembali program pelatihan militer untuk Indonesia.

Namun Gus Dur membantah dirinya terlibat dalam kontrak GDF dengan Richard L Collins & Co. Gus Dur menegaskan sama sekali tak pernah diberi penjelasan oleh pejabat intelejen yang pernah mendatanginya tahun 2004 lalu, bahwa namanya akan digunakan untuk kepentingan lobi itu.

"Saat itu memang ada pejabat intelijen yang datang menemui saya, yakni Pak As'ad yang saat itu menjabat Wakil Kepala BIN. Tapi dia datang secara pribadi dan bertanya ke saya apakah nama saya boleh digunakan untuk kepentingan bangsa dan negara. Ya saya jawab, boleh-boleh saja," tutur Gus Dur, di Jakarta, Senin (11/9).

Gus Dur mengaku kaget karena belakangan baru tahu namanya digunakan untuk kepentingan dihapuskannya embargo militer oleh AS. Padahal, embargo itu dulu diberikan karena banyak persenjataan asal AS digunakan untuk tindak
kekerasan dan pelanggaran HAM. "Saya ini anti kekerasan. Sedangkan diberikannya embargo militer itu karena kekerasan. Kita tahu semua masalah itu, jadi ada pebedaan antara kepentingan hukum dengan kepentingan bangsa dan negara seperti yang dia maksud," tuturnya.

Disinggung apakah akan menggugat, Gus Dur enggan memastikan. Menurut dia, aneh juga jika namanya digunakan untuk kepentingan itu. "Kalau saya menuntut, nanti malah ditertawakan. Tidak usah lah," kata Gus Dur.

Tentang keterlibatan Gus Dur Foundation (GDF), Wendell Rawls, Direktur Eksekutif The Center for Public Integrity (CPI), lembaga yang membawahkan konsorsium junalis investigatif internasional di AS, Rabu (6/9) mengatakan, "Ini sama dengan CIA menggunakan Katrina Fund Bush-Clinton sebagai perantara untuk mempengaruhi pemerintah luar negeri."

Rawls dalam rilisnya menyebutkan, fakta tentang badan intelijen asing menyewa jasa firma lobi untuk mempengaruhi perubahan kebijakan pemerintah AS sudah menjadi kebiasaan di Washington. Menurut dia, hubungan antara BIN dengan bekas Presiden Abdurrahman Wahid itu tercatat dalam laporan Collins & Co atas permintaan Foreign Agent Registration Act (FARA).

FARA merupakan lembaga negara yang didirikan sejak 1938 sebagai reaksi Kongres AS terhadap melimpahnya propaganda agen-agen Jerman sebelum Perang Dunia II. Dari dokumen FARA ini, diketahui GDF menyewa Collins & Co sebesar 30.000 dolar AS per bulan pada Mei 2005.

Dokumen FARA juga menunjukkan hubungan antara GDF dengan Collins & Co sebagai "diarahkan dan dibiayai oleh (badan intelijen Indonesia)." Bahkan, pada Juni-Oktober 2005, kontrak lobi dilakukan langsung antara Collins & Co dengan badan intelijen tersebut. Saat itulah, para pelobi AS kadang-kadang bersama para pejabat badan intelijen Indonesia bertemu dengan sejumlah tokoh kunci Kongres dan stafnya.

Ujung-ujungnya, Kongres AS menyetujui kerjasama dan bantuan militer untuk Indonesia pada akhir 2005, padahal militer Indonesia masih dianggap terlibat dalam serangkaian pelanggaran HAM. CPI mencontohkan keterkaitan badan intelijen itu dengan kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Thalib, tahun 2004.

Hubungan Legal

Direktur The Wahid Institute (WI), yang juga putri Gus Dur, Yeni Wahid mengatakan, antara WI-GDF tak memiliki hubungan legal dengan BIN. Kedatangan As'ad kepada ayahnya, saat itu bisa diterima karena As'ad adalah orang NU. Kalau As'ad datang sebagai orang BIN, katanya, pasti akan ditolak.

Dalam pertemuan itu, kata Yeni, As'ad tak pernah menjelaskan detail akan digunakan untuk kepentingan apa nama ayahnya, dan dengan cara bagaimana. Karena itu, keluarga Gus Dur mengaku sangat kaget dengan munculnya pemberitaan itu.

"Yang saya dapati dalam dokumen FARA itu ada tandatangan perjanjian lembaga intelejen Indonesia yang menggunakan GDF dengan lembaga lobi di AS. Gus Dur Foundation (GDF) sendiri tak pernah melakukannya. Gus Dur tak pernah tandatangan, mendengar namanya saja baru sekarang," tuturnya.

Atas masalah ini, Yeni mengaku ini karena kekurang hati-hatian. Karena itu, ini menjadi pelajaran agar ke depan, jika ada orang yang meminjam nama untuk kepentingan bangsa dan negara, dia akan minta penjelasan detail dan sinkronisasi dengan kepentingan yang dimaksud.

Soal tuntutan, hal itu masih dipelajari, sebab antara GDF-BIN tidak ada kontrak resmi. Jika tak ada kaitan institusional, maka tidak ada alasan untuk menuntut secara hukum.

Yeni mengatakan, akibat pemberitaan itu memang sangat menyudutkan. Seolah-olah Gus Dur ada di bawah BIN. Hal itu, kata Yeni, tidak mungkin. Sebab ayahnya sangat komitmen terhadap penegakan HAM, karena itu Gus Dur tidak mungkin menjadi antek BIN.

"Kami agak sebel juga dengan berita ini. GDF itu kan lembaga sosial, karitatif dan selama ini tidak pernah melakukan kegiatan apapun," katanya. Untuk mencegah terjadinya salah persepsi di masyarakat seolah-olah Gus Dur mendapat aliran dana dari BIN, Gus Dur akan mengirimkan surat ke FARA dan Collins & Co. Yeni mengharapkan pihak-pihak terkait juga memberikan klarifikasi agar duduk perkaranya bisa dijelaskan.

Tidak profesional

Pengamat militer MT Arifin menilai rekaman kontrak antara BIN-GDF yang ditujukkan FARA menunjukkan tidak profesionalnya BIN. Menurut Arifin, jika dilihat dari segi kepentingan bangsa, wajar ada upaya lobi. Namun dari segi hubungan antarnegara, mestinya penyelesaian menggunakan jalur politik resmi. Itu harus diselesaikan di tingkat pemeritah masing-masing, baru kemudian di tingkat teknis.

"Jadi, tidak menggunakan jalur-jalur seperti itu. Saya yakin pasti ada kepentingan lain di balik itu, selain soal embargo," ujarnya.

Dijelaskan, dengan menggunakan lobi asing dan melibatkan GDF, menunjukkan hubungan intelejen Indonesia dan AS tidak setara. Ini merupakan upaya menyimplifikasi masalah antarnegara dengan pendekatan teknis bisnis. "Kalau untuk hubungan antarnegara mestinya tidak seperti itu. Menggunakan jasa-jasa pihak akan memperlihatkan kapasitas kemampuan penyelesaian masalah oleh lembaga negara sangat lemah. Kalau itu yang dilakukan, lantas di mana peran Deplu (departemen luar negeri) dan lembaga lainnya," urainya.

Anggota Komisi I DPR Djoko Susilo juga kaget karena yang melakukan lobi justru BIN, bukan Kedutaan Besar RI di AS atas nama pemerintah RI. "Badan intelijen melakukan operasi di luar negeri boleh-boleh saja, tapi tidak sewajarnya kalau melakukan lobi secara terbuka begitu," katanya.

Djoko menganggap kasus ini perlu dicek juga sumber dana untuk menyewa jasa firma lobi tersebut. "Ini belum tentu melanggar aturan, dan pada dasarnya 30.000 dolar itu tidak besar karena saya tahu Saudi Arabia itu jutaan dolar yang dihabiskan tiap bulan untuk lobi seperti ini di Amerika," ujarnya.

Anggota Komisi I DPR Effendy Choirie menegaskan, jika benar BIN memanfaatkan Gus Dur untuk melobi Kongres, itu berarti positif. Karena, BIN sebagai bagian dari pemerintah telah menggunakan Gus Dur sebagai tokoh nasional untuk kepentingan negara.

"Diplomasi resmi pemerintah kita kan gagal, Deplu tak berhasil melobi AS untuk mencabut embargo. Nah, BIN yang tahu kekuatan Gus Dur di mata AS, melihat Gus Dur dapat dimanfaatkan untuk membantu bangsa dan negara. Itu kan positif," tegas Effendy, yang juga Ketua DPP PKB.

Dia mengingatkan, untuk keperluan melobi pihak luar negeri, Indonesia harus melakukan multi track diplomation. Artinya, lobi dari berbagai jalur dan berbagai arah serta dimensi. "Salah satu jalurnya adalah menggunakan keberadaan tokoh nasional seperti Gus Dur," paparnya. jbp/tof/jun/yul/bec

http://www.tribun-batam.com/index.php?module=detail&noberita=21422
http://www.indomedia.com/bpost/092006/8/depan/utama8.htm

Forum Wartawan Flores

Pos Kupang

Pertemuan jurnalis di Ende (1)

Ingin membentuk forum wartawan Flores

TANGGAL 1 September 2006 lalu, Swisscontact-LED NTT dan Yayasan Pantau Ende memfasilitasi pertemuan 38 wartawan media massa, reporter televisi dan penyiar radio pemerintah dan swasta yang bekerja di wilayah Kabupaten Flores Timur, Sikka, Ende dan Ngada (minus Manggarai, Manggarai Barat dan Lembata).

Undangan tanggal 25 Agustus 2006 menyebutkan workshop bertema pemberdayaan jurnalis Flores yang akan dilaksanakan di Pondok Bina PSE, Jalan Durian Ende-Flores akan menjajaki pembentukan forum wartawan di Flores. Tujuannya, untuk meningkatkan profesionalitas wartawan yang bekerja di media massa, televisi dan radio sekaligus melindungi hak dan kesejahteraan wartawan dalam pekerjaannya.

Dr. Daniel Dhakidae, cendekiawan asal Flores dari Jakarta, dijadwalkan hadir dalam pertemuan itu, namun tidak sempat datang karena berhalangan.

Sapaan ‘Selamat datang jurnalis Flores’ diucapkan Etih Suryatin alias Mbak E’et (Project Manager Swisscontact Ende) dan Andreas Harsono (Yayasan Pantau) selaku penyelenggara workshop kepada 38 peserta ketika membuka kegiatan workshop dengan tema, "Bangun Flores bersama Jurnalis". Kegiatan dilaksanakan di Pondok Bina Pemberdayaan Sosial Ekonomi (PSE)-Ende, Jumat (1/9).

Sapaan yang sama disampaikan moderator Esti Wahyuni yang saat itu ‘punya kuasa penuh’ memimpin jalannya workshop. Plus Mas Denny Herlambang Slamet (Senior Program Officer Acces to Media Swisscontact) kebagian utak-atik laptop. Hadir enam penyelenggara workshop dari Yayasan Pantau (Andreas dan Esti,), dari Yayasan Swisscontact-LED NTT (Eet, Denny, Rosalia dan John). Plus 38 wartawan surat kabar, televisi dan penyiar radio pemerintah dan swasta.

Dari Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang, hadir Marthinus Lau Nahak (Flores Timur), Gerardus Manyela (Sikka) Romualdus Pius (Ende), OMDSMY Novemy Leo (Ngada). Delapan wartawan SKH Flores Pos: Wal Abulat, Syarif Lamabelawa (Maumere), Peren Lamanepa (Larantuka), Hiero Bokilia, Steph Tupeng Witin, Yoseph Hadjon dan Yuliana Nana (Ende) serta Philipus Suri (Ngada).

Surat Kabar Minggu Buser Timur: Tyber Embukele (Ende) dan Kristo Walot K (Ngada). Juga Adrian Pantur, reporter SCTV. Dari radio hadir penyiar radio swasta Yos Krowin (Radio M-2000 Larantuka-Flotim), John Syukur (Radio Surya-Ngada), Arnold S Saka (Radio Delta-Ende) dan penyiar Radio Santana Bajawa-Ngada yakni Nurry Maghi, Hendrikus R Munik dan Fartur F Pello.
Sementara dari RRI Ende, hadir Willy Sumardin, Agus Widodo S, Rosa Dalima DD, Yustin, Yoan Bara, Noviany B Yunarti.

Sedangkan dari RSPD, hadir penyiar RSPD Sikka (Julius LDAL, Bernardus Absolum Abi, AYA Deddy, Even Edomeko), RSPD Ende (Aryes Mone) dan RSPD Ngada (Johanes B Demu, Alfons Al Fongo, Timotius E Kelisebo, Petrus Leo, Maria AI Lalu, Eduard P Petty).

Mbak E’et secara singkat memperkenalkan profil Swisscontact LED NTT dengan wilayah tugas di Flores yang baru meliputi Flotim, Sikka, Ende dan Ngada. Sementara Lembata, Manggarai dan Manggarai Barat belum disentuh Swisscontact.
Andreas Harsono menjelaskan, maksud dilaksanakan kegiatan workshop untuk mengajak peserta bersama-sama memikirkan pembentukan forum wartawan di Flores-NTT.

Saat itu Andreas menyampaikan permintaan maaf karena penyelenggara workshop (Swisscontact dan Yayasan Pantau) ‘gagal’ menghadirkan Daniel Dhakidae.

Menurut Andreas, saat ini organisasi wartawan sudah harus dibentuk. Tujuannya, pertama, untuk meningkatkan profesionalitas wartawan. Kedua, untuk melindungi hak-hak dan meningkatkankesejahteraan wartawan.

Kenyataannya, tak jarang wartawan berselisih dengan narasumber karena pemberitaan bahkan wartawan bisa diancam dipukul bahkan mungkin dibunuh.

"Membentuk organisasi wartawan mudah dilakukan. Bagian tersulitnya adalah bagaimana menjalankan dan mempertahankan organisasi itu," kata Andreas.

Jika forum dibentuk, standar jusnalisme dan idealisme yang kuat serta tujuan mulia organisasi harus dipegang wartawan sebagai anggota organisasi. Organisasi bersifat abadi dibandingkan hidup manusia. Karena itu, manusia membentuk organisasi seperti forum wartawan di Flores.

"Manusia tidak abadi karena manusia pasti mati. Sementara organisasi akan abadi meski manusia sebagai pembentuk atau anggotanya sudah mati. Namun keabadian organisasi membutuhkan idealisme kuat dari anggotanya untuk terus menjaga dan mempertahankan keberadaan organisasi itu," kata Andreas.

Ia menekankan prinsip kejujuran dan kesetiaan wartawan terhadap tugasnya. "Wartawan harus jujur dan setia. Seseorang dikatakan wartawan yang jujur dan setia setelah orang itu mati, sebagai orang yang tetap menjalankan profesi kewartawanannya dengan jujur dan setia," kata Andreas.

Penjelasan Adreas menjadi bahan diskusi panjang peserta workshop. Bahkan diskusi diwarnai perdebatan sengit antara peserta.

Perdebatan meliputi siapa saja yang bisa menjadi anggota organisasi wartawan dan representasi peserta workshop membentuk organisasi itu. (novemy leo/bersambung)


Dari pertemuan wartawan di Ende (2)

PNS jadi wartawan, wartawan jadi PNS?

SALAH satu hal yang diperdebatkan dalam workshop para jurnalis di Ende adalah, siapa saja yang berhak menjadi anggota forum wartawan di Flores itu. Apakah seluruh peserta yang hadir saat itu bisa menjadi anggota forum? Sementara peserta workshop itu terdiri dari "kaum independen", yakni wartawan surat kabar, reporter televisi, penyiar radio swasta dan juga penyiar Radio Republik Indonesia (RRI) dan Radio Siaran Pemerintah Daerah (RSPD), yang sebagian berstatus pegawai negeri sipil (PNS).

Gagasan PNS bisa menjadi anggota forum tidak bisa dihindari karena para PNS yang bekerja untuk RPSD juga diundang dan hadir sebagai anggota workshop. Karenanya gagasan itu mendapat pro-kontra dari peserta. Apalagi dikaitkan dengan independensi organisasi yang akan dibentuk nanti. Bisakah wartawan yang independen bergabung dengan wartawan pemerintah? Bagaimana independensi organisasi wartawan itu nantinya jika unsur pemerintah ada di dalam organisasi itu. Bisakah organisasi itu indenpenden?

Hal lain yang diperdebatkan adalah mengenai asal daerah anggota forum itu. Apakah hanya wartawan berdarah Flores dan penyiar di Flores yang bisa menjadi anggota forum itu? Bagaimana dengan wartawan atau penyiar berdarah Flores yang bekerja di luar Flores yang kini jumlahnya sekitar 300 orang, bisakah mereka juga menjadi anggota forum?

Bagaimana jika tidak berdarah Flores, tapi dia bekerja sebagai wartawan dan penyiar di Flores? Bagaimana juga dengan wartawan yang memangku jabatan pemerintahan atau wartawan yang menjadi anggota partai, apakah bisa menjadi anggota forum?

Hal-hal tersebut menjadi bahan perdebatan sengit para peserta workshop. Peserta pertama yang mengangkat masalah ini adalah wartawati Pos Kupang wilayah kerja Kabupaten Ngada, Novemy Leo.

"Rencana pembentukan forum wartawan di Flores yang difasilitasi Swiss Contact dan Yayasan Pantau patut diancungi jempol. Tapi, yang harus menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan kita bersama, apakah pemerintah dalam hal ini penyiar radio RRI dan RSPD yang berstatus PNS bisa masuk menjadi anggota forum wartawan itu. Padahal wartawan merupakan profesi yang independen," kata Novemy Leo. Pernyataan ini membuka perdebatan awal mengenai bisa tidaknya "wartawan PNS" menjadi anggota forum.

Sementara Adrian Pantur (reporter SCTV) dan Philipus Suri (wartawan Flores Pos wilayah kerja Kabupaten Ngada) mengatakan, mereka yang berstatus PNS yang bekerja untuk RSPD dan RRI bisa saja menjadi anggota forum kalau mereka mau.

Pemikiran tersebut tidak salah, tapi sejauh mana indenpendesi penyiar radiopemerintahan dimaksud ketika berhadapan dengan fakta berita yang "memojokkan pemerintah" sebagai atasannya? Bisakah si penyiar tetap profesional dan independen dalam bekerja?

Terhadap hal itu, Even Edomeko dari RSPD/Humas Kabupaten Sikka mengatakan, ketika melaksanakan tugasnya di RSPD Maumere, pemerintah memberikan keleluasan. Namun tentunya ada rambu-rambu yang harus dipatuhi penyiar agar pemberitaan yang "negatif" mengenai pemerintah dikemas dengan lebih santun.

Hal lain disampaikan Rosa Delima, penyiar RSPD Ende. Rosa mengaku sering diintervensi atasannya dalam menyajikan berita-berita miring mengenai pemerintah. Bahkan dirinya tak jarang mendapat peringatan dan larangan dari atasannya untuk tidak memuat berita tertentu. Karenanya Rosa merasa tidak profesional dan independen dalam bekerja.

Perdebatan PNS menjadi anggota forum dan independesi wartawan ditanggapi Yayasan Pantau, Andreas Harsono, dengan bijak. Andreas mengatakan, ide pembentukan forum wartawan yang mewadahi wartawan di Flores bukan datang dari orang Flores atau wartawan yang bertugas di Flores. Ide itu datang dari orang Skotlandia bernama Gavin Anderson setelah mempelajari survei media yang dikerjakan Yayasan Pantau dengan Lembaga Penelitian Univesitas Flores pada bulan Februari hingga Maret 2006.

Menurut Andreas, wartawan adalah mereka yang bekerja mencari berita dan menyiarkan berita kepada masyarakat melalui media, baik media surat kabar, siaran radio maupun televisi. Karenanya, mereka yang mencari berita untuk ditulis di surat kabar atau disiarkan di radio atau televisi, semuanya disebut wartawan. Jadi penyiar RSPD yang kebetulan berstatus PNS juga disebut wartawan. "Dengan demikian, menurut saya pribadi, mereka (PNS pada radio pemerintah, Red) adalah wartawan, jadi mereka bisa menjadi anggota forum wartawan. PNS bisa merangkap menjadi wartawan," kata Andreas.

Menurut Andreas, manajemen perusahaan swasta surat kabar/radio dengan manajemen pemerintah (negeri) yang membuka radio pemerintah sama-sama menerapkan prinsip independen. Begitu pun intervensi dari atasan kepada wartawan atau penyiarnya tidak saja terjadi pada surat kabar atau radio pemerintah. Intervensi atasan kepada wartawan atau penyiar juga bisa terjadi pada surat kabar atau radio swasta yang mengaku diri independen.

Andreas menyuruh peserta dialog menjawab, apakah SKH Flores Pos bisa independen ketika berhadapan dengan "berita miring" mengenai SVD sebagai "atasannya". Atau bisakah SKH Pos Kupang independen memuat "berita miring" tentang Kompas sebagai induk organisasinya? Karena itu, kata Andreas, independensi suatu media relatif diterapkan oleh wartawan/penyiar yang bekerja untuk perusahaan swasta atau pemerintah.

Meski demikian, ada pemikiran ketika PNS bisa merangkap sebagai wartawan(untuk radio pemerintah seperti RRI dan RSPD), apakah wartawan juga bisa bekerja rangkap sebagai PNS? Jawabannya, tidak bisa. Wartawan bisa menjadi PNS, tapi kalau sudah menajdi PNS, mau tidak mau wartawan itu meninggalkan tugasnya sebagai wartawan. Karena perusahaan tempatnya bekerja akan "mendepaknya" keluar dari perusahaan itu. Itu aturan mainnya.

Hal lain, ketika bepergian ke luar kota, wartawan pemerintah mendapat uang SPPD yang dianggarkan pemerintah dan disetujui DPRD, sementara wartawan tidak mendapat SPPD itu. Di situlah perbedaan antara wartawan swasta dan wartawan pemerintah.

Kriteria keanggotaan forum wartawan belum juga disepakati peserta. Belum tuntas persoalan keanggotaan forum, muncul lagi perdebatan mengenai bisa tidaknya forum wartawan di Flores dibentuk tanpa kehadiran sejumlah wartawan/penyiar radio dari kabupaten-kabupaten lainnya di Flores. Alhasil, perang mulut" peserta terus berlangsung. (novemy leo/bersambung)

Tuesday, September 12, 2006

Gus Dur denies lobbying U.S. over military ties

Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Jakarta

Former president Abdurrahman "Gus Dur" Wahid has denied helping the State Intelligence Agency (BIN) lobby the United States to lift a military embargo against Indonesia. However, Gus Dur said he did give a BIN official permission to use his name "for the sake of the nation".

He added that he was investigating whether close associates had associated his name with the venture without his permission.

The former president insisted that neither he nor his institution had made any agreements about asking the U.S. Congress to resume military cooperation with Indonesia.

"Neither the Gus Dur Foundation nor I have ever made any deal with BIN nor hired a U.S. company to seek resumption of the military training program," he told a press conference here Monday.

Gus Dur said BIN deputy chief As'ad Said Ali and several other intelligence agents had met with him one day in 2004, asking him if it was okay to make use of his name for the national interest.

"Upon hearing the words 'for the sake of the nation', I replied: 'please do.' And I had no idea this conditional permission would be misused to lobby for the lifting of the military embargo" he said. As'ad is a member of Nahdlatul Ulama, the largest Islamic organization previously chaired by Gus Dur, his daughter Zannuba "Yenny" Arrifah Chafsoh Rahman said.

A recent report from the U.S.-based Center for Public Integrity (www.publicintegrity.org/icij) disclosed that BIN had used the former president's foundation to hire Washington lobbying firm Richard L. Collins & Co. to persuade the U.S. Congress to lift the military embargo. The revelation sparked protests from Indonesian human rights groups.

The report also said that in compliance with the Foreign Agents Registration Act, the contract between the foundation and the U.S. lobbying company was signed by Muhyiddin Arubusman, a legislator of the National Awakening Party (PKB) founded by Gus Dur. The contract says he is the foundation's deputy chief.

According to the contract documents the foundation paid the company US$30,000 monthly from May to July, 2005. BIN picked up the contract directly in September 2005 and continued it until November 2005, when the U.S. lifted restrictions on defense exports to Indonesia."

It further explains that Collins "will aid the Gus Dur Foundation, which is working on behalf of the Indonesian Bureau of National Intelligence" to "educate key officials on the importance of Indonesia's cooperation in combating international terrorism, Indonesia's strides in strengthening democratic institutions, and Indonesia's efforts in asserting civilian control over the military."

Calls to Muhyiddin's cell phone on Monday were not returned.

The former president said he would not sue As'ad and BIN but said this incident should serve as a good lesson for all sides in the future. Yenny added her father and the foundation would not sue BIN because he shared the blame to some extent when he failed to check on the causes with which his name was being connected.

"Lobbying is a normal practice and my father had a positive perception about it, so long as it was done for the good of the nation. The problem is my father was betrayed and his Gus Dur Foundation was reportedly involved in hiring and paying the U.S. lobbying company," she said.

Monday, September 11, 2006

WI Tidak Pernah Terlibat Lobby Embargo Militer

Jakarta, gusdur.net

Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyayangkan penggunaan nama Yayasan Gus Dur (Gus Dur Foundation atau GDF) untuk bekerja sama dengan Badan Intelejen Negara (BIN) menyewa sebuah perusahaan lobi di Washington untuk mendesak Amerika Serikat agar memulihkan program pelatihan militer bagi TNI.

Dia mengakui Wakil Kepal BIN As’ad Said Ali pernah menemuinya medio 2004. As’ad menyampaikan kemungkinan GDF digunakan untuk kepentingan bangsa dan negara.

“Katanya GDF akan digunakan untuk kepentingan bangsa dan negara. Tentu saya jawab boleh-boleh saja. Siapa sih yang tidak boleh lembaganya dipakai untuk kepentingan bangsa dan negara?”

Demikian ditegaskan Ketua Dewan Syura DPP PKB itu terkait nama GDF yang dikait-kaitkan dengan lobi BIN soal pencabutan embargo militer itu, saat menggelar jumpa pers di Kantor the WAHID Institute Jl Taman Amir Hamzah No. 8 Matraman Jakarta, Kamis (11/08/2006) sore. Gus Dur sendiri berhalangan hadir karena ada kegiatan yang tak bisa ditinggalkan. Karenanya, jumpa pers itu dilakukan melalui telpon. Hadir juga Direktur the WAHID Institute Yenny Wahid dan Direktur Eksekutif the WAHID Institute Ahmad Suaedy.

Rupanya, kata Gus Dur, ada perbedaan pengertian soal kepentingan bangsa dan negara. “Menurut BIN, itu menghilangkan atau menghapuskan embargo militer AS terhadap Indonesia. Seperti pembelian senjata dan lain-lain.”

“Tapi menurut saya, kepentingan bangsa dan negara ya bukan itu. Saya ini anti kekerasan. Sedangkan membeli senjata itu tindak kekerasan. Ini agar tahu semua, persoalannya seperti ini,” kata Gus Dur.

Ditanya apakah pihaknya akan melakukan langkah hukum atau minimal meminta BIN untuk mengklarifikasi, Gus Dur menyatakan pihaknya tidak akan melakukan langkah apapun.

“Gitu aja kok klarifikasi. Paling BIN juga sembunyi lagi. Kita sudah tahu dari dulu. Dari sejak namanya Bakin, BIN, atau nanti BON, sama saja. Nggak usah minta klarifikasi,” tegasnya.

Sedang Direktur the WAHID Institute Yenny Wahid menyatakan, berita yang muncul di banyak media itu secara langsung telah menyudutkan Gus Dur.

“Gus Dur seakan di bawah kendali BIN. Itu nggak mungkin terjadi. Itu yang bikin kita agak sebel. Kita terkejut sekali,” tegasnya.

Selain itu, Yenny mengungkapkan jangankan menandatangani, bentuk dan isi perjanjiannya seperti apa, Gus Dur tidak tahu. “Padahal GDF hanya bergerak di bidang amal dan kemanusiaan,” kata Yenny.

Yenny menambahkan, GDF juga tidak ada hubungan dengan lembaga yang dinahkodainya, the WAHID Institute, yang mau tidak mau juga terkena imbasnya.

“Yang paling the WAHID Institute rasakan, itu ada persepsi bahwa kita ini dekat dengan BIN. Apalagi ada uang yang terlibat $ 30.000 perbulan,” kata Yenny.

“Kita ini lembaga yang diaudit oleh auditor. Uang yang masuk dan keluar selalu ada pertanggungjawaban publiknya. Karenanya kami akan mengirim surat kepada FARA (Foreign Agents Registration Act) di Amerika Serikat untuk menjelaskan posisi kami,” imbuhnya.

FARA adalah lembaga pencatat dokumen-dokumen negara yang berada di bawah Departemen Kehakiman Amerika Serikat.

Kejadian ini, kata Yenny, juga akan dijadikannya sebagai pelajaran penting supaya di masa yang akan datang pihaknya lebih berhati-hati. “Kalau ada orang datang ke kita minta tolong untuk kepentingan bangsa dan negara, kita harus lebih teliti dan detail,” kata putri kedua Gus Dur yang berbicara atas nama ayahnya ini.

Rights activists question BIN over U.S. lobbying case

Ary Hermawan, The Jakarta Post, Jakarta

Human rights campaigners are questioning a report that the State Intelligence Agency (BIN) hired Washington lobbying firm Richard L. Collins & Co. in a successful effort to persuade the U.S. Congress to resume military ties with Indonesia.

The report issued by a U.S. based advocacy group said BIN used former president Abdurrahman "Gus Dur" Wahid's charitable foundation to hire the lobbying firm for the purpose.

Human Rights Working Group (HRWG) coordinator Rafendi Djamin said BIN's move to hire a foreign lobbying firm to influence other country's policy clearly lacked "accountability and transparency".

"We have to ask from where BIN got the money," he told The Jakarta Post on Saturday. The report said the BIN retained Collins & Co. for US$30,000 a month in May 2005 to influence the U.S. Congressmen, through the Gus Dur Foundation.

Rafendi called on the House of Representatives to pursue the matter because it had oversight over the intelligence agency.

"BIN must explain this case to the House's defense commission," he said.

Rafendi said he believed that President Susilo Bambang Yudhoyono, as a retired army general with close links to American politicians, must have been informed about such lobbying.

However, Rafendi played down the alleged connection between former president Abdurrahman "Gus Dur" Wahid and BIN in the case.

"Gus Dur's (connection with BIN) is not the main issue. It's just a secondary matter," he said.

Gus Dur's eldest daughter Zannuba "Yenny" Arifah Chafsoh Rahman has denied the report, saying her father never had contact with the U.S.-based lobby group.

Yenny suggested Gus Dur's name might have been used by those close to BIN to help them lobby Washington without specific consent from her father. "But as far it was for the good of the nation, it's fine," she said.

George W. Bush's administration ended the 14-year arms embargo imposed on the country last year to improve military ties and help the U.S. in its war against terror. The embargo was imposed after the international community accused the Indonesian Military (TNI) of serious human rights abuses in former province East Timor and Papua.

Former BIN officers have been implicated in the 2004 murder of leading human rights advocate Munir Said Thalib, who co-founded the Commission for Missing Persons and the Victims of Violence (Kontras) and rights watchdog Imparsial.

No BIN officials were available for comments on Sunday.

Kontras coordinator Usman Hamid demanded that BIN disclose its lobbying documents to the public. "If the agency had asked Collins & Co. to lobby the U.S. Congress that BIN was not involved in the Munir murder case, there must be a document and an argument supporting the claim," he said.

When asked about the Gus Dur Foundation's involvement in the advocacy, Usman said he had contacted the controversial former president and he denied the report.

Gus Dur told the International Consortium for Investigative Journalism (ICIJ), which was involved in issuing the report, that he did not understand and did not know anything about any contract with the firm. He asked for a copy of the documents used in the lobbying so he could check whether people had used his name.

Gus Dur has made many statements condemning human rights abuses by the military and BIN, and backs thorough investigation into the killing of Munir.

"I think it is shocking," Munir's widow, Suciwati, said about the report. "We will have to check its validity first," she said.

She said BIN might have used Gus Dur's name without his consent to discredit him and divide civil society groups. "They act like they always do," she said. "They will do anything to achieve their goals."

Saturday, September 09, 2006

BIN Gunakan Wahid Institut Lobi Kongres AS

Suara Pembaruan

[WASHINGTON] Badan Intelijen Negara (BIN) menggunakan sebuah lembaga yang terkait dengan mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang dikenal dengan nama Wahid Institut untuk melobi Kongres Amerika Serikat (AS) guna membuka kerja sama militer dengan negara-negara Asia Tenggara.

Demikian disampaikan Center for Public Integrity, sebuah lembaga advokasi dan penyelidik independen, yang berbasis di AS, sebagaimana diberitakan Associated Press, Jumat (8/9) di Washington.

Laporan menyebutkan bahwa BIN menggunakan lembaga tersebut untuk melobi Pemerintah AS. Putri Abdurrahman Wahid yakni Yenny Wahid menolak laporan tersebut dan mengatakan, lembaga yang dimaksud adalah sebuah organisasi kemanusiaan.

Selain itu, dia menegaskan bahwa ayahnya tidak pernah melakukan kontak dengan kelompok manapun untuk melakukan lobi. Apalagi, dirinya disebutkan dalam laporan tersebut dikenal sebagai "operator politik" meminta izin dan menggunakan nama ayahnya sebagai mantan presiden dalam melakukan lobi ke Pemerintah AS.

Tahun lalu, Pemerintah AS mengakhiri embargo militer kepada Indonesia yang sudah berlangsung selama enam tahun, karena dipicu oleh tragedi Timor Leste tahun 1999 lalu. Pencabutan embargo penjualan peralatan dan kerja sama militer itu sebagai bagian dari upaya untuk memerangi terorisme bersama-sama dan juga menjadi kepentingan AS.

Dokumen Center for Public Integrity menyebutkan pihaknya menyimpan sejumlah bukti yang melibatkan perusahaan pelobi internasional Richard L Collins and Co.

Dijelaskan, Wahid Institut menerima dana senilai US$ 30,000 pada Mei 2005 untuk melobi "para pengambil kebijakan agar membuka kerja sama dengan Indonesia."

Dalam dokumen itu menyebutkan bahwa Wahid Institut memiliki hubungan dengan perusahaan Collins and Co. serta terkait dengan BIN. "Uang itu tidak berasal dari yayasan," kata Yenny yang saat ini menjadi salah satu penasihat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dikatakan, uang tersebut tidak berasal dari pemerintah tetapi itu berasal dari bantuan swasta dalam mendorong hubungan lebih erat antar kedua pihak dan peningkatan hubungan bisnis. [AP/H-12]

Gus Dur bantah bantu BIN lobi AS

British Broadcasing Corporation

Mantan Presiden Abdurrahman Wahid mengaku tak tahu soal kerjasama Gus Dur Foundation dengan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk melobi Amerika.

"Saya nggak tahu itu, ya mereka saja menggunakan nama kita," kata Gus Dur kepada BBC.

Gus Dur mengakui bahwa dia pernah dihubungi oleh wakil kepala BIN untuk memanfaatkan yayasannya.

"Dulunya wakil kepala BIN ngomong kepada saya gimana kalau Gus Dur Foundation itu digunakan untuk kepentingan bangsa dan negara. Saya bilang lho, segala sesuatu untuk kepentingan bangsa dan negara boleh-boleh saja."

Tetapi menurut Gus Dur, dia tidak tahu bagaimana namanya akan dimanfaatkan.

"Saya tidak tahu kalau dipakai kerjasama pihak intel."

Gus Dur mengatakan ia juga tidak tahu siapa saja yang duduk sebagai pengurus Gus Dur Foundation.

Gus Dur menanggapi tulisan sebuah lembaga pengkajian Amerika, Center for Public Integrity, bahwa BIN, memanfaatkan Gus Dur Foundation untuk menyewa sebuah lembaga pelobi Amerika, agar membantu BIN mempengaruhi anggota-anggota Kongres Amerika untuk memulihkan hubungan militer dengan Indonesia.

Tulisan itu menyebutkan bahwa Gus Dur Foundation membayar lembaga pelobi Richard L. Collins and Co sebanyak 30 ribu dollar per bulan antara bulan Mei hingga Juli tahun lalu.

Salah seorang yang menulis laporan itu, Andreas Harsono, mengatakan tindakan Gus Dur Foundation dan BIN tidak melanggar Undang-Undang Indonesia maupun Amerika.

"Cuma aneh dan tentu secara moral Gus Dur perlu ditanyakan, bagaimana Gus Dur yang selama ini membela Munir, mebela Papua, membiarkan namanya dipakai untuk sebuah kegiatan yang tidak mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi dalam tubuh militer Indonesia," kata Andreas kepada BBC.

Embargo militer Amerika kepada Indonesia pertama kali berlaku pada tahun 1991 dan baru dicabut akhir tahun 2005.

Friday, September 08, 2006

Yayasan Gus Dur dan BIN Melobi AS?

Aboeprijadi Santoso - Radio Nederland

Gus Dur membantah keras bahwa yayasannya bersama badan intelejen negara BIN pernah menyewa sebuah perusahaan lobi di Washington untuk mendesak Amerika Serikat agar memulihkan program pelatihan militer bagi TNI. Badan lobi Collins & Co memoles citra TNI pada saat kalangan Kongres prihatin kasus Aceh, Papua dan kasus Munir tahun silam. Isu itu kini ramai di tengah peringatan dua tahun kasus Munir yang penuh tanda tanya dan keprihatinan karena kasus Munir masih misterius.

Nggak kenal
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kepada Radio Nederland Wereldomroep di Jakarta, membantah keras keterlibatan yayasannya dalam upaya lobi di Amerika itu. "Nggak, kenal aja enggak," katanya tentang perusahaan Collins & Co. Gus Dur mengaku tidak tahu menahu mengenai lobi yang menyebut BIN dalam satu nafas dengan Gus Dur Foundation. Di dalam Wahid Institute memang ada sebuah yayasan bernama Yayasan Gus Dur yang berupaya mendirikan rumah sakit, universitas dan sebagainya, tapi ini tak ada hubungannya dengan BIN, katanya. Tentang tokoh As'ad Said Ali yang disebut-sebut dalam dokumen Collins, Gus Dur membenarkan, dia orang NU dan Wakil Kepala BIN, satu-satunya yang tidak dicopot sejak Kepala BIN Hendropriyono digantikan Syamsir Siregar. Tapi, tandas Gus Dur, dia orang BIN yang bisa saja orang NU atau apa saja.

Tanda tanya baru
Dokumen yang sedianya akan diterbitkan Collins & Co itu menjadi tanda tanya baru. Adakah As'ad Said Ali dan BIN memanipulasi nama Gus Dur Foundation seperti dikesankan Gus Dur, ataukah ada upaya BIN membangun citra baru di dalam dan di luar negeri. Sebab dokumen yang disebut Dokumen FARA itu menyebut Collins berupaya kuat memoles citra TNI di kalangan Kongres Amerika yang waktu itu amat prihatin soal Aceh, Papua dan kasus Munir.

Kasus Munir belum terbongkar
Sementara itu peringatan dua tahun kasus Munir dikabuti pertanyaan publik, mengapa kasus ini belum juga terbongkar? Menurut Gus Dur, "Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang sebenarnya memerintahkan pembunuhan Munir, ada di dalam pemerintah." Jadi, lanjutnya, "Ini cuma supaya kasusnya terhenti." Lalu mengapa Presiden SBY sama sekali tidak bertindak, bahkan tidak bersedia menerbitkan Laporan Tim Pencari Fakta Independen yang merupakan tim dengan mandat kepresidenan? Gus Dur ketawa ngakak. "Itu, karena SBY pada dasarnya tidak punya keberanian saja," katanya.

Takut diMunirkan
Ada yang mengatakan, SBY tidak berisiko diguncang para jenderal kalau kasus Munir dibongkar, seperti mereka dulu mengguncang Gus Dur. Tapi yang lain berpendapat, ini kan presiden terpilih rakyat, maka dia kuat. Hanya SBY takut jika pensiun, dia bisa diMunirkan.

"DiMunirkan" sudah menjadi kata kerja baru di Indonesia. Baru-baru kabarnya mantan Kepala BIN Jenderal Hendropriyono yang sering berkampanye untuk PDI-P, sempat kesal tentang prestasi partainya itu, dan di muka kader PDIP sempat keceplosan, "Kalau gini terus, ya saya Munirkan".

Namun, kenyataannya, investigasi TPF maupun polisi tidak memiliki indikasi apa pun menyangkut diri Hendropriyono. Jadi Hendro agaknya bersih. Kalau pun tersangkut, itu hanya karena dia mantan bosnya Mayjen Muchdi Pr yang telepon genggamnya diketahui sampai 41 kali berhubungan dengan HP-nya Pollycarpus, terhukum kasus Munir. Pembela Muchdi menangkis itu tidak membuktikan siapa pengguna HP yang mengadakan kontak itu.

Koordinator Kontras Usman Hamid menunjuk, kalau mau menuntaskan soal ini, mudah saja, silahkan minta presiden RI atau Kapolri meminta Kantor Pusat Telkom di Bandung membuka isi dan suara ke-41 pembicaraan telepon genggam itu. Itu saja masalahnya, jadi publik sempat bingung mengapa SBY maupun Kapolri Jenderal Sutanto tetap bergeming.

Walhasil peringatan kasus Munir yang bertajuk "Keadilan Untuk Munir, Keadilan Untuk Semua" itu tetap prihatin, mulai dari perenungan di Lapangan Tugu Proklamasi sampai peluncuran buku kumpulan tulisan Munir yang berjudul "Membangun Bangsa & Masalah Kemiliteran, Jejak Pikiran Munir". Jejak itu kini membuat 7 September sebagai "Hari Pembela HAM".

Indonesian Intelligence said to have used ex-president's foundation to lobby US Congress

WASHINGTON (AP) - A U.S. advocacy group says Indonesian intelligence agents used a former Indonesian president's foundation in a successful effort to lobby the U.S. Congress to resume military cooperation with the Southeast Asian country.

The report by the Center for Public Integrity says the Badan Intelijen Negara intelligence agency used former Indonesian President Abdurrahman Wahid's charitable group to hire a Washington lobbying firm to press the
U.S. government on the matter. Efforts to reach the Indonesian Embassy on Thursday were unsuccessful.

The former president's daughter Yenny Wahid denied the report and said the suggested foundation was a humanitarian organization and has been dormant for quite sometime and that her father had never made any contact with the lobbying group.

She, however, acknowledged a group of political operators had asked permission to use her father's name with the idea that the former president figure had a considerable leverage for lobbying in Washington.

"We trust them, and we believe it was for the country's interest," she told The Associated Press.

The administration of U.S. President George W. Bush decided last year to lift a six-year military embargo on the Muslim country that was imposed in 1999 after troops ravaged East Timor during the territory's break from Indonesia.

The administration said that continuing to isolate Jakarta, seen as a close ally in the Bush's campaign against terror, was not in Washington's strategic interest. Human rights groups say Indonesian forces have killed hundreds of thousands of people.

The Center for Public Integrity said its charges are documented in papers filed by the lobbying firm Richard L. Collins and Co. The group said Wahid's foundation retained the lobbying firm for $30,000 (euro23,565) a month in May 2005 to persuade lawmakers to remove legislative and policy restrictions on security cooperation with Indonesia.

The Center for Public Integrity said the lobbying firm's filings described the Wahid foundation's relationship with Collins and Co. as directed and funded by the (BIN).

The money is not from the foundation, said Yenny, who is now an adviser to incumbent President Susilo Bambang Yudhoyono. She added the money could not have come from the government, but suggested it must be from the private sector chipping in together to promote better bilateral ties and more business.

Thursday, September 07, 2006

Jakarta's Intelligence Service Hires Washington Lobbyists

Former Indonesian president’s foundation served as conduit for push to overturn U.S. ban on military cooperation.

By Andreas Harsono in Jakarta and Nathaniel Heller in Washington D.C.
International Consortium of Investigative Journalists


THE INDONESIAN national intelligence agency used a former Indonesian president’s charitable foundation to hire a Washington lobbying firm in 2005 to press the U.S. Congress for a full resumption of controversial military training programs to the country, the Center for Public Integrity’s International Consortium of Investigative Journalists has learned.

The connection between the intelligence agency, Badan Intelijen Negara (BIN), and the charity group, the Gus Dur Foundation, is documented in papers filed by the lobbying firm, Richard L. Collins & Co., in compliance with the Foreign Agents Registration Act (FARA).

BIN has a long history of involvement in human rights abuses and was recently linked to the assassination of a prominent Indonesian human rights activist.

The Gus Dur Foundation was established by former Indonesian President Abdurrahman Wahid, who goes by the nickname of Gus Dur and is known for his moderate politics and support for human rights . Gus Dur and another foundation official denied knowing about the contract between their Jakarta-based charity group and the lobbying firm.

In late 2005 Congress and the State Department fully reinstated military cooperation and aid to Indonesia.

The documents were uncovered as part of a year-long ICIJ investigation into changes in America’s post-Sept. 11 foreign military aid and assistance programs and the impact of those changes on human rights. The investigation is focusing on 10 key countries, including Indonesia, and is scheduled for release in early 2007.

In May 2005, the Gus Dur Foundation retained Collins & Co. for $30,000 a month to lobby Congress and the Bush administration to “remove legislative and policy restrictions on security cooperation with Indonesia,” according to a copy of a signed contract.

In Collins & Co.'s statements that accompany the contract, the firm notes that, “For the purposes of this contract, the Gus Dur Foundation’s activities are directed and funded by the [BIN]. The nature of the activities carried out under this contract were defined in consultation with representatives from the [BIN] and the [BIN] provides the funding for this contract for the Gus Dur Foundation.”

On July 31, 2005, the contract between Collins & Co. and the Gus Dur Foundation was terminated and, effective Sept. 1, a new contract for the same monthly amount was executed directly between Collins & Co. and BIN, the FARA documents show. Records indicate that the second contract ended in November 2005. Collins & Co. lobbyists did not return repeated calls requesting comment.

Overcoming "Obstacles"

The original contract defines Collins & Co.’s mission in the context of Indonesia’s “obstacles to a more cooperative relationship with the United States, particularly in the area of military cooperation … the image of Indonesia, especially in the United States Congress, remains highly negative and colored by events in East Timor and other disturbed areas like Papua and Aceh… .” Those obstacles were indeed substantial.

In response to Indonesian troops opening fire and killing more than 100 demonstrators in East Timor on Nov. 12, 1991, Congress banned Indonesia from receiving funding and training under the International Military Education and Training (IMET) program, which is overseen by the State Department and implemented by the Defense Department to provide military education training to foreign military and civilian officials.

Even under the IMET ban, U.S. Special Operations forces continued to carry out training with their Indonesian counterparts through the Department of Defense’s Joint Combined Exchanged Training Program. But after a violent crackdown on anti-government demonstrators in May 1998, the joint training program was severed. President Bill Clinton finally banned the exports of all defense materials and services to Indonesia after Indonesian troops and related militia groups launched attacks in East Timor following the United Nations-administered independence referendum in 1999.

In the U.S. Foreign Operations Appropriations Bill for fiscal 2000, Congress stipulated that neither IMET nor the Foreign Military Financing (FMF) program – which provides U.S. taxpayer financing for foreign militaries’ purchases of U.S. military goods, services and training – would be permitted for Indonesia unless there was a legitimate reform of the Indonesian army as well as prosecution of the major human rights offenders.

The FARA filings also reflect the fact that part of Collins & Co.'s charge was to assuage congressional concerns over the assassination of Indonesian human rights campaigner Munir Thalib, whose killing has been linked in Indonesian court proceedings to BIN.

According to Central Jakarta district court documents, Munir was poisoned with arsenic that was sprayed on his fried noodles during a Garuda Indonesia flight from Jakarta to Amsterdam on Sept. 7, 2004. The court sentenced a Garuda pilot, Pollycarpus Budihari Priyanto, to 14 years imprisonment for poisoning Munir and for carrying forged travel documents.

The court documents describe a sophisticated killing that suggested the involvement of a larger, well-organized group of perpetrators. It also noted that Pollycarpus had no personal motive to kill Munir. The court recommended that the Indonesian police investigate Garuda Indonesia’s security officials.

The court proceedings also brought to light 41 telephone conversations that took place between Pollycarpus and a mobile phone number, 0811-900978, before and after Munir’s assassination. The mobile phone’s owner was Maj. Gen. Muchdi Purwopranjono, a deputy director at BIN.

Muchdi was formerly the commander of the Indonesian army’s Special Forces Koppasus unit, which was involved in kidnapping student activists during the Suharto era. He was removed from his position just days after Suharto’s resignation in 1998 and retired from the military the next year. An investigative commission found that a Koppasus unit was involved in assassinating Papua leader Theys Eluai in November 2001.

In his court testimony, Muchdi Purwopranjono confirmed that 0811-900978 was his mobile phone number, but he said it was frequently used by his driver and aides. He denied having ever met Pollycarpus. He also denied ordering Munir’s assassination.

In Washington, Collins & Co. did its best to convince Congress that the Indonesian military and security apparatus had overcome its checkered history and was ready once again for normal treatment under the IMET and FMF programs. BIN’s choice of Collins & Co. was no coincidence: Collins & Co.’s vice president for international business, Eric Newsom, was a former assistant secretary of state for political-military affairs in charge of running the IMET and FMF programs. He was also a former top aide to Democratic Sen. Patrick Leahy (Vt.), a key figure in the Senate on human rights issues and U.S.-Indonesia policy.

The FARA records show that between June and October of 2005, Collins & Co. lobbyists, sometimes accompanied by BIN officials, met with several key members of Congress and their staffs. Among them were Leahy and Sens. Chuck Hagel, R-Neb., and Lisa Murkowski, R-Alaska, as well Rep. Jesse Jackson Jr. and an aide to Sen. Barack Obama, both Democrats of Illinois.

Newsom accompanied BIN deputy head As’ad Said Ali and BIN deputy director Burhan Mohammed to a meeting with Leahy and a key aide just off the Senate floor on July 21, 2005.

According to Tim Reiser, Leahy’s top aide on the Senate Appropriations Committee’s subcommittee for State, Foreign Operations, and Related Programs (whose annual funding bill finances the IMET and FMF programs), Leahy agreed to take the 15-minute meeting to express his opposition to the resumption of full military cooperation with Indonesia. Leahy told As’ad that he didn’t think real reform had taken place within the Indonesian military.

The Collins & Co. lobbying was certainly not the only reason that military cooperation was eventually reinstated; in fact, some of the key policy changes took place before Collins & Co. signed the initial contract with the Gus Dur Foundation. The push for reinstating IMET and FMF for Indonesia began shortly after the Bush administration took office in 2001. The administration and Republican allies in Congress say the previous policy of punishing Indonesia for human rights violations had not paid dividends ; the much-hoped-for reform of the Indonesian military and security apparatus had not taken place.

In a post-Sept. 11 environment when Indonesia suddenly took on greater strategic importance for the U.S., both the State and Defense departments sought to reinstate IMET and FMF as a demonstration of Washington’s gratitude for Indonesian assistance in the global war on terrorism. In February 2005, Secretary of State Condoleeza Rice determined that the Indonesian military had reformed itself sufficiently to merit the resumption of IMET; later in November, the restrictions on FMF and defense exports were lifted.

In an interview with the Inter Press Service news agency, Leahy called the IMET decision “premature and unfortunate,” saying that the resumption of a military training program for Jakarta “will be seen by the Indonesian military authorities who have tried to obstruct justice as a friendly pat on the back.”

The Gus Dur Connection

Gus Dur is an internationally known Muslim cleric. He formerly headed the Nahdatul Ulama, Indonesia’s largest Muslim organization and is widely recognized as an advocate of moderate Islam. He helped lead the opposition against Suharto in the 1990s, and in 1999, he became the first elected Indonesian president of the post-Suharto dictatorship.

Gus Dur was forced out of office by the Indonesian parliament in July 2001 over his erratic governing style and ceded power to Megawati Sukarnoputri. Megawati was succeeded by the current president, Susilo Bambang Yudhoyono, who was elected in 2004.

When contacted in Jakarta, Gus Dur, who is legally blind, denied any involvement in the contract. “I don’t understand. I don’t know,” he said. “Could you please give me a copy of those documents, just for my own use, so that I could check these people who used my name?”

But he added that he has close relations with Syamsir Siregar, the head of BIN, and As’ad Said Ali, BIN’s second-in-command.

The Gus Dur Foundation’s secretary, Ihksan Abdullah, also denied any knowledge of the foundation’s involvement with BIN. “Frankly speaking, I don’t know. How could we have this much money? How could we pay $30,000 per month?”

According to Abdullah, the foundation was established in January 2005, two weeks after the Asian tsunami hit the Indonesia island of Aceh. He described the foundation’s objectives as establishing orphanages, public libraries and schools and holding scientific seminars. The foundation “has nothing to do with the military or international lobbying. We never had a meeting in which we talked about BIN,” Abdullah told ICIJ.

“Companies worldwide conduct due diligence when signing contracts, especially with foreign firms,” said Abdullah, a lawyer with his own firm. “I think this [contract] was signed without Gus Dur’s knowledge.”

The foundation’s governing documents show that Gus Dur is its founder. He appointed Abdullah and three other men to sit on its board: Aris Junaidi, the treasurer, and members Salim Muhamad and Sulaiman.

“They’re all close associates to Gus Dur. They’re mostly political adventurers,” said Ahmad Suaedy, executive director of the Wahid Institute, whose office is located at Jl. Taman Amir Hamzah 8 in Jakarta – the same address noted in the Collins & Co. contract as that of the Gus Dur Foundation.

The Wahid Institute is a newly formed research institution whose stated purpose is to promote a “moderate and tolerant view of Islam.” Gus Dur, for whom the new organization is named, is the patron of the new institute as well. Suaedy added that the Gus Dur Foundation moved out of the compound in January 2006 following a request from Gus Dur’s daughter, Yenny, the director of the Wahid Institute, who dislikes “those political adventurers.”

Muhyiddin Arubusman, a close associate of Gus Dur, signed the original Collins & Co. contract on behalf of the Gus Dur Foundation. Arubusman is a member of the Indonesian parliament from the Nation Awakening Party, whose patron is also Gus Dur. Ikhsan Abdullah, the Gus Dur Foundation secretary, told ICIJ that Arubusman had no official position at the foundation, although Arubusman – as well as BIN deputy head As-ad Said Ali – frequently attended foundation meetings between January and May 2005 to talk about fundraising. As-ad is a member of the Nahdlatul Ulama.

Arubusman comes from Ende, a small town on Flores Island, which is a predominantly Catholic area. The Ende airport is named for his father’s uncle Hasan Aroeboesman. Earlier this year, Muhyiddin Arubusman edited and published a book on terrorism, Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi (“Terrorism in the Global Democratic Current”), in which both BIN’s As-ad Said Ali and Gus Dur wrote chapters.

In telling ICIJ that he had signed the contract with Collins & Co., Arubusman said, “Our concern was then Aceh and Papua’s separatism. BIN asked assistance from the Gus Dur Foundation to influence the U.S. Congress.”

“The Collins & Co. came to Jakarta. BIN organized everything. I just signed the contract. I share similar concerns over Aceh and Papua separating from Indonesia.”

The Free Acheh Movement declared independence in December 1976, arguing that the Acehnese were being colonized by Indonesia. The movement claims that "Indonesia" is a name foisted on minority ethnic groups by the "Javanese," the main ethnic group in Indonesia from its most populous island. The Free Papua Organization began in 1965 when the Dutch, who formerly ruled the Indonesian islands as colonies, were still supporting Papua’s push to be an independent state. Indonesia invaded Papua and manipulated a U.N. independence referendum there in 1969. Proponents of a unified Indonesia argued that the country should comprise all of the former Dutch colonies, including Papua.

Arubusman gave a mixed answer when asked whether he was authorized to sign the contract on behalf of the Gus Dur Foundation or whether Gus Dur himself knew about the contract. “I can’t discuss more. I have to bear in mind Gus Dur’s good name. He didn’t know,” Arubusman said.

Legislator Muhammad A.S. Hikam, whose office is next to Arubusman’s, was dubious that Arubusman has the savvy to understand Washington’s political corridors or to hire a firm such as Collins & Co. “He even doesn’t speak English very well,” Hikam said.

When Arubusman signed that first contract with Collins & Co. in May 2005, President Yudhoyono’s fact-finding team on the Munir killing was about to recommend that the police investigate BIN’s involvement in the assassination.

Yudhoyono also ordered Lt. Gen. Syamsir Siregar, who had taken over the job of heading BIN from Lt. Gen. A.M. Hendroprijono, to open up his institution to public scrutiny. But BIN dragged its feet and continues to refuse to cooperate with the police investigation, citing its need to protect state secrets. BIN did not respond when contacted several times to comment on this story.

A group of 68 members of the U.S. Congress sent a letter to President Yudhoyono on Oct. 27, 2005, urging his government to implement the investigative team's suggestions on the Munir killing. “We understand the [reports] suggests that the government should create a new commission with a strong mandate to explore the evidence wherever it may lead, including enforcement of full cooperation of all state agencies, including [BIN].”

The bipartisan letter, co-sponsored by Reps. Mark Kirk, R-Ill., and Jim McDermott, D-Wash., closes by noting: “Munir devoted his life to finding the truth, and in the end he gave his life for that cause. Now his own death is the subject of an unprecedented fact-finding report. We strongly urge your government to fulfill Indonesia’s promise as an open and democratic society by publicly releasing the report and acting on its recommendations.”

Gus Dur himself called on the Indonesian government to hold BIN accountable. He held a press conference with Suciwati, Munir's widow, one day after Pollycarpus’ verdict was read, declaring that Munir was a hero and that Muchdi should be questioned. The former president told the media that he was committed to finding Munir's murderer; he privately told Suciwati that As-ad was "clear.”

Ikhsan Abdullah, the Gus Dur Foundation’s secretary, wondered aloud how Munir’s friends and widow would respond if they knew that the Gus Dur Foundation was involved in lobbying the U.S. Congress to resume full military cooperation with Indonesia.

“Gus Dur is known as a human rights campaigner. He has big influence and a global reputation. What will the people of Papua think of Gus Dur if these documents are published?” ***

Susanna Hamblin and Marina Walker Guevara contributed to this report. The ICIJ investigation is supported by funding from the JEHT Foundation.

BIN Menyewa Perusahaan Lobby Washington

Gus Dur Foundation jadi medium untuk menghapus embargo bantuan militer Amerika untuk Jakarta

Andreas Harsono dan Nathaniel Heller
International Consortium of Investigative Journalists


Badan Intelijen Negara memakai yayasan sosial milik mantan presiden Abdurrahman Wahid untuk menyewa sebuah perusahaan di Washington DC sejak Mei 2005. Maksudnya mendekati tokoh-tokoh penting Kongres agar menghapus semua hambatan bantuan dan pelatihan militer Amerika untuk Indonesia.

Temuan ini didapatkan International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) sesudah meneliti beberapa dokumen dari kantor Foreign Agent Registration Act (FARA) di Washington DC, tempat perusahaan Richard L. Collins & Company melaporkan jasa mereka untuk BIN dan Gus Dur Foundation.

BIN punya sejarah panjang dalam pelanggaran hak asasi manusia dan baru-baru ini dikaitkan dengan pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Thalib dari Kontras.

Gus Dur Foundation adalah yayasan sosial di Jakarta yang didirikan mantan presiden Wahid atau biasa dipanggil Gus Dur. Collins & Co. menyatakan dalam laporan FARA bahwa BIN “mengarahkan dan membiayai” Gus Dur Foundation untuk menggunakan jasa Collins & Co. Namun Gus Dur dan seorang pejabat yayasan mengatakan mereka tak tahu soal kerja sama ini.

Pada akhir 2005, Kongres dan Departemen Luar Negeri mencairkan semua hambatan kerja sama militer dengan Indonesia.

Di Amerika ada aturan bahwa perusahaan yang melobby Kongres harus melaporkan kegiatan kliennya secara transparan. Semua dilaporkan lengkap. Dokumen-dokumen ini didapatkan International Center for Investigative Journalists sebagai bagian dari liputan panjang tentang perubahan kebijakan militer Amerika sesudah serangan 11 September 2001. Liputan ini difokuskan pada 10 negara, termasuk Indonesia, dan dijadwalkan berakhir pada awal 2007.

Pada Mei 2005, Gus Dur Foundation meneken kontrak pertama dan sepakat membayar Collins & Co. $30,000 per bulan guna melobby Kongres dan pemerintahan Presiden George W. Bush agar “menghapus semua hambatan legislatif maupun kebijakan soal kerja sama keamanan dengan Indonesia.”

Dalam pernyataan Collins & Co. yang dilampiri kontrak, perusahaan ini menyatakan, “For the purposes of this contract, the Gus Dur Foundation’s activities are directed and funded by the [BIN]. The nature of the activities carried out under this contract were defined in consultation with representatives from the [BIN] and the [BIN] provides the funding for this contract for the Gus Dur Foundation.”

Pada 31 Juli 2005, kontrak antara Collins & Co. dan Gus Dur Foundation berakhir dan, sejak 1 September, sebuah kontrak baru dilakukan langsung antara Collins & Co. dan BIN. Dokumen itu menyatakan bahwa kontrak berakhir pada November 2005.

Mengatasi “Hambatan”

Kontrak pertama menegaskan bahwa misi Collins & Co. dalam konteks Indonesia adalah mengatasi “berbagai hambatan sedemikian rupa sehingga hubungan dengan Amerika Serikat, terutama di bidang militer diperbaiki … citra Indonesia, khususnya di Kongres Amerika Serikat, sangat negatif dan dinodai kejadian-kejadian di Timor Timur maupun di daerah-daerah bermasalah macam Papua dan Aceh ….” Hambatan-hambatan ini bukan main besarnya.

Sebagai ganjaran terhadap tentara Indonesia, yang menembak dan membunuh lebih dari 100 demonstran di Timor Timur pada 12 November 1991, Kongres melarang Indonesia menerima dana dan pendidikan militer dalam program International Military Education and Training (IMET). Program ini diawasi oleh Departemen Luar Negeri dan dijalankan oleh Departemen Pertahanan atau Pentagon.

Namun bantuan untuk training tentara Indonesia tetap berjalan di bawah Joint Combined Exchanged Training Program oleh Pentagon. Namun sesudah tentara melakukan kekerasan terhadap demonstran pada Mei 1998, program ini pun dihentikan. Presiden Bill Clinton akhirnya melarang semua ekspor peralatan dan pelayanan militer ke Indonesia sesudah tentara Indonesia dan milisi binaannya merusak dan membakar di Timor Timur gara-gara kekalahan Indonesia dalam referendum pada 1999.

Dalam Foreign Operations Appropriations Bill tahun fiskal 2000, Kongres menegaskan bahwa baik IMET maupun program Foreign Military Financing (FMF) –yang menyediakan kredit lunak untuk pembelian peralatan, jasa maupun pelatihan di bidang militer kepada negara asing– bisa dicairkan kepada Indonesia bila ada reformasi yang serius di tubuh Angkatan Darat serta perwira-perwira yang terlibat pelanggaran hak asasi manusia diadili.

Dokumen-dokumen FARA ini menjelaskan bahwa sebagian tugas Collins & Co. adalah mengatasi kekhawatiran Kongres atas kasus pembunuhan Munir Thalib, yang menurut dokumen pengadilan, terkait dengan BIN.

Dalam keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Munir terbukti mati karena menelan racun arsenik yang dicampur dalam bakmi goreng makanannya di dalam pesawat Garuda Indonesia penerbangan Jakarta-Amsterdam 7 September 2004. Pengadilan menghukum pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, 14 tahun penjara karena meracuni Munir dan memalsukan dokumen perjalanan.

Pengadilan menerangkan bahwa kejahatan itu dilakukan ”secara berkawan atau berkelompok (conspiracy)” dengan cara canggih –modus, pilihan lokasi, waktu dan cara yang digunakan untuk membunuh Munir memerlukan perencanaan yang liar biasa, dengan pengetahuan, akses informasi, sekaligus kemampuan mengeksekusi dalam penerbangan internasional. Pengadilan menganjurkan aparat hukum menyelidiki beberapa orang Garuda Indonesia, termasuk Ramelgia Anwar (vice president corporate security), Oedi Irianto (pramugara) dan Yeti Susmiarti (pramugari).

Catatan dari pengadilan juga menekankan adanya 41 pembicaraan telepon yang dilakukan Pollycarpus dengan seseorang yang menggunakan nomor handphone, 0811-900978, sebelum dan sesudah pembunuhan Munir. Pemilik handphone itu adalah Mayor Jenderal Muchdi Purwopranjono, seorang direktur deputi BIN.

Muchdi sebelumnya komandan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang terkait dengan penculikan aktivis demokrasi menjelang berakhir kekuasaan Presiden Soeharto. Dia digeser dari jabatannya beberapa saat sesudah Soeharto mundur dari kekuasaannya pada Mei 1998. Kopassus juga terbukti terlibat dalam pembunuhan pemimpin Papua Theys Eluai pada November 2001.

Dalam kesaksiannya, Muchdi Purwopranjono mengakui bahwa 0811-900978 adalah nomor handphonenya. Namun dia mengatakan telepon itu sering dipakai oleh ajudan, sopir dan rekan-rekannya. Dia membantah menyuruh pembunuhan Munir.

Di Washington, Collins & Co. bekerja meyakinkan Kongres bahwa militer Indonesia sudah mengatasi masa lalunya yang compang-camping dan kini siap mendapatkan perlakuan normal dalam program IMET dan FMF. Pilihan BIN terhadap Collins & Co. bukan kebetulan belaka: wakil presiden Collins & Co. untuk bisnis internasional, Eric Newsom, adalah mantan asisten Menteri Luar Negeri untuk urusan politik-militer yang menangani program IMET dan FMF. Newsom juga mantan pembantu Senator Patrick Leahy dari Partai Demokrat asal Vermont, seorang tokoh penting di Senat untuk urusan hak asasi manusia dan hubungan Amerika-Indonesia.

Dokumen FARA memperlihatkan bahwa antara Juni dan Oktober 2005, para pelobby Collins & Co., terkadang bersama pejabat-pejabat BIN, bertemu dengan tokoh-tokoh kunci Kongres atau pembantu mereka. Antara lain Senator Leahy, Chuck Hagel, dan Lisa Murkowski, maupun anggota parlemen Jesse Jackson Jr. dan seorang asisten dari Senator Barack Obama, keduanya dari Partai Demokrat asal Illinois. Newsom menemani Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali dan Deputi BIN Burhan Mohammad bertemu Leahy dan pembantunya di gedung Senat pada 21 Juli 2005.

Menurut Tim Reiser, pembantu Leahy untuk urusan Komite Senat bidang kerja sama internasional (anggaran komite ini dipakai untuk mendanai IMET dan FMF), Leahy setuju bertemu selama 15 menit untuk menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemulihan kerja sama militer Amerika-Indonesia. Leahy mengatakan kepada As’ad bahwa dia tidak yakin reformasi sungguh-sungguh terjadi di tubuh militer Indonesia.

Lobby dari Collins & Co. tentu bukan satu-satunya unsur yang membuat kerja sama militer itu dipulihkan. Bahkan sebenarnya beberapa perubahan kebijakan sudah terjadi sebelum Gus Dur Foundation teken kontrak dengan Collins & Co.

Dorongan guna memulihkan IMET dan FMF untuk Indonesia dimulai sesaat sesudah administrasi Bush masuk ke Gedung Putih pada 2001. Jajaran Bush serta rekan-rekan mereka di Partai Republik berpendapat bahwa keputusan administrasi sebelumnya untuk menghukum Indonesia terbukti tak berhasil; reformasi di tubuh militer Indonesia dan peradilan terhadap para perwira pelanggar hak asasi manusia praktis jalan di tempat.

Namun suasana pasca-September 11, ketika Indonesia tiba-tiba berada dalam posisi strategis untuk memerangi “terorisme,” membuat Departemen Luar Negeri maupun Pentagon berusaha agar IMET dan FMF dipulihkan sebagai hadiah Washington kepada Indonesia atas dukungannya dalam upaya global melawan terorisme.

Pada Februari 2005, Menteri Luar Negeri Condoleeza Rice menyatakan bahwa militer Indonesia sudah cukup menunjukkan upaya reformasi dan layak mendapatkan IMET lagi. Belakangan, pada bulan November, hambatan terhadap FMF dan penjualan peralatan militer juga dihilangkan.

Dalam wawancara dengan Inter Press Service, Leahy menyebut keputusan IMET itu “prematur dan tak menguntungkan.” Ia menambahkan bahwa pemulihan pelatihan militer untuk Jakarta “akan dilihat para petinggi militer Indonesia, yang berusaha menghalang-halangi terwujudnya keadilan, sebagai tepukan akrab di bahu.”

Koneksi Gus Dur

Gus Dur adalah ulama terkenal di dunia. Dia pernah memimpin Nahdlatul Ulama, organisasi Muslim terbesar di Indonesia. Dia ikut memimpin perlawanan terhadap rezim Soeharto pada 1990-an, dan pada 1999 menjadi presiden pertama Indonesia pascakediktatoran militer Soeharto.

Gus Dur disingkirkan dari jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Juli 2000 karena cara kerjanya yang keliru. Kekuasaannya beralih ke tangan Megawati Soekarnoputri. Megawati diganti oleh Susilo Bambang Yudhoyono, yang terpilih sebagai presiden pada 2004.

Ketika dihubungi di Jakarta, Gus Dur, yang secara medis buta, membantah keterlibatannya. “Saya nggak ngerti. Saya nggak tahu,” katanya. “Tolong kasih saya fotokopi. Saya mau tanya ke As-ad. Saya mau tahu dari orang yang memakai nama saya, ini apa?”

Gus Dur menambahkan bahwa dia punya hubungan dekat dengan Syamsir Siregar, kepala BIN, maupun wakilnya, As’ad Said Ali.

Sekretaris Gus Dur Foundation, Ihksan Abdullah, juga membantah keterlibatan yayasannya dengan BIN. “Saya tidak tahu, terus-terang saya tidak tahu. Masak kita punya uang begitu banyak? Uang $30.000 itu dari mana?”

Menurut Ikhsan Abdullah, yayasan ini didirikan pada Januari 2005, dua minggu sesudah tsunami Aceh. Dia menjelaskan bahwa tujuan yayasannya mendirikan rumah yatim, perpustakaan, sekolah, dan membikin seminar ilmiah. Yayasan ini “tidak punya urusan dengan militer atau lobby internasional. Belum ada rapat untuk kerja sama dengan BIN,” katanya.

Company di mana pun juga di dunia ini tidak mungkin bekerja sama dengan pihak luar, apalagi pihak asing, tanpa due dilligence sehingga terhindar dari orang yang mencatut nama organisasi,” kata Ikhsan Abdullah, yang juga seorang pengacara dan punya kantor pengacara sendiri.

“Walau saya tidak tahu, tapi tidak mungkin Gus Dur meninggalkan kami. Saya rasa [kontrak] ini tidak sepengetahuan Gus Dur.”

Anggaran dasar yayasan ini menunjukkan bahwa Gus Dur adalah satu-satunya pendiri. Dia menunjuk Ikhsan Abdullah dan tiga orang lain untuk jadi pengurus: Aris Junaidi (bendahara), Salim Muhamad (pembina), dan Sulaiman (pengawas).

“Mereka ini orang-orang yang bener-bener dekat dengan Gus Dur. Banyak petualang politik,” kata Ahmad Suaedy, direktur eksekutif Wahid Institute, yang kantornya terletak di Jl. Taman Amir Hamzah 8 di Jakarta –alamat sama yang tercatat dalam kontrak Collins & Co. dengan Gus Dur Foundation.

Wahid Institute sebuah lembaga riset baru yang tujuannya mempromosikan “Islam yang moderat dan toleran.” Gus Dur, yang nama belakangnya dipakai organisasi ini, juga merupakan pendiri.

Suaedy menambahkan bahwa Gus Dur Foundation sudah pindah dari rumah ini pada Januari 2006 menyusul permintaan putri Gus Dur, Yenny –juga direktur Wahid Institute– yang kurang suka pada “para petualang politik itu.”

Muhyiddin Arubusman, seorang pendukung setia Gus Dur, menandatangani kontrak Collins & Co. atas nama Gus Dur Foundation. Jabatan yang tercantum "wakil ketua." Arubusman anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa, yang juga didirikan Gus Dur.

Ikhsan Abdullah, sekretaris Gus Dur Foundation, mengatakan bahwa Arubusman tak punya jabatan apapun di yayasan, walau Arubusman –maupun Wakil Kepala BIN As-ad Said Ali– seringkali hadir dalam rapat-rapat yayasan antara Januari dan Mei 2005 untuk bicara soal penggalangan dana. As-ad berasal dari keluarga Nahdlatul Ulama.

Arubusman berasal dari Ende, Pulau Flores, sebuah daerah mayoritas Katholik. Bandara udara Ende memakai nama paman ayahnya, Hasan Aroeboesman. Awal tahun ini, Muhyiddin Arubusman menyunting dan menerbitkan sebuah buku “Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi.” Wakil Kepala BIN As-ad Said Ali dan Gus Dur menyumbang tulisan masing-masing satu bab.

Kepada ICIJ soal bagaimana dia menandatangani kontrak dengan Collins & Co., Arubusman mengatakan, “Awalnya, kecenderungan separatisme kuat saat itu. Jadi, BIN meminta bantuan bagaimana caranya agar GDF ini bisa mempengaruhi Kongres, karena cenderungnya Papua dan Aceh pisah.” GDF adalah akronim dari Gus Dur Foundation.

“[Collins & Co.] datang ke Jakarta. BIN mengatur semuanya. Saya hanya teken saja karena semangatnya sama, karena juga NKRI, juga separatisme dari Aceh dan Papua.”

Gerakan Acheh Merdeka menyatakan merdeka dari Indonesia pada Desember 1976, dan menyatakan bahwa “bangsa Acheh” dijajah Indonesia. Mereka menyatakan bahwa ”bangsa Indonesia” adalah nama samaran “bangsa Jawa.” Organisasi Papua Merdeka berdiri pada 1965 di Manokwari ketika administrasi Belanda, yang menguasai seluruh kepulauan di sini, mendukung Papua untuk jadi negara merdeka. Indonesia menyerbu Papua dan memanipulasi Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969. Pendukung negara Indonesia berpendapat Indonesia terdiri dari semua bekas jajahan Belanda, termasuk Papua.

Arubusman memberikan jawaban yang berhati-hati ketika ditanya apakah ia mendapat mandat untuk teken kontrak atas nama Gus Dur Foundation atau apakah Gus Dur sendiri tahu soal kontrak. “Saya tidak bisa menjelaskan lebih lanjut lagi. Gus Dur harus saya perhatikan nama baiknya karena dia memang tidak tahu,” kata Arubusman.

Legislator Muhammad A.S. Hikam, yang kantornya di Senayan berhadapan dengan kantor Arubusman, meragukan apabila Arubusman punya kemampuan memahami seluk-beluk politik Washington, apalagi menyewa perusahaan macam Collins & Co. “Bahasa Inggrisnya saja kurang lancar,” kata Hikam.

Ketika Arubusman meneken kontrak pertama dengan Collins & Co. pada Mei 2005, tim pencari fakta bentukan Presiden Yudhoyono untuk kasus Munir merekomendasikan polisi untuk memeriksa keterlibatan BIN dalam pembunuhan Munir.

Yudhoyono juga meminta Letnan Jenderal Syamsir Siregar, kepala BIN yang menggantikan Letnan Jenderal A.M. Hendroprijono, membuka diri terhadap pemeriksaan polisi. Namun BIN berbelit-belit dan tetap menolak bekerja sama dengan tim pencari fakta maupun polisi. BIN tidak memberikan reaksi ketika dihubungi beberapa kali untuk memberikan komentar tentang laporan ini.

Enampuluh delapan anggota Kongres juga mengirim surat kepada Presiden Yudhoyono pada 27 Oktober 2005, mendesak agar presiden menindaklanjuti rekomendasi tim pencari fakta soal pembunuhan Munir. “Kami mengetahui bahwa laporan tim menganjurkan pemerintah untuk membentuk komisi baru dengan mandat meneliti bukti-bukti lebih lanjut, termasuk memaksa kerja sama dari seluruh lembaga negara, termasuk [BIN].”

Surat tersebut, yang dimulai anggota Kongres Mark Kirk dan Jim McDermott, mengatakan: “Munir menyerahkan seluruh hidupnya untuk mencari kebenaran, dan pada akhirnya menyerahkan hidupnya sendiri untuk kebenaran. Kini kematiannya jadi awal dibentuknya sebuah tim pencari fakta. Kami minta agar pemerintah Anda memenuhi janji bahwa Indonesia sudah menjadi masyarakat yang terbuka dan demokratis dengan menyebarluaskan laporan tim dan mengikuti rekomendasinya.

Gus Dur juga mendesak pemerintah Indonesia menekan BIN. Dia bikin pertemuan pers bersama Suciwati, isteri almarhum Munir, sehari sesudah vonis pilot Pollycarpus. Gus Dur bilang Munir seorang pahlawan dan Muchdi harus ditanyai. Mantan presiden ini mengatakan kepada media bahwa ia punya niat mencari pembunuh Munir. Dia secara pribadi mengatakan kepada Suciwati bahwa As-ad “clear.”

Ikhsan Abdullah, sekretaris Gus Dur Foundation, bertanya-tanya bagaimana reaksi teman-teman dan janda Munir bila mengetahui Gus Dur Foundation terlibat dalam melobby Kongres Amerika untuk memulihkan hubungan militer dengan Indonesia. “Gus Dur dikenal sebagai pejuang hak asasi manusia. Pengaruhnya besar di dunia. Bagaimana nanti pendapat orang Papua terhadap Gus Dur kalau dokumen ini dikeluarkan?”

International Consortium for Investigative Journalists adalah sebuah jaringan wartawan internasional yang dikelola Center for Public Integrity di Washington DC. Susanna Hamblin dan Marina Walker Guevara memberi kontribusi untuk laporan ini dari Center for Public Integrity.