Wednesday, August 30, 2006

Pantau Edisi Pernikahan

Saya menulis surat ini dari Hotel Mentari, sebuah rumah penginapan kecil, 12 kamar di kota Ende. Saya tiba-tiba merasa hidup saya nyaman sekali. Saya bukan orang berduit tapi saya bisa pergi ke tempat-tempat yang indah.

Di Ende, tempat bekerja hanya lima menit dari tempat menginap. Siang bisa siesta. Sore jogging di Bitta Beach yang indah. Makanan laut segar. Murah. Langsung beli dari nelayan di pantai. Di Bitta saya sering memperhatikan dua pohon pinggir laut yang daunnya warna merah. Ada perasaan tenang dan bahagia.

Kebahagiaan lain, bila semua rencana berjalan lancar, Januari nanti saya akan melangsungkan pernikahan dengan gadis yang baik dan manis bernama Sapariah Saturi. Kami akan adakan pesta kecil untuk keluarga dan teman dekat di Jakarta dan Pontianak.

Kami juga hendak menghadiahi para tamu nanti dengan sebuah "majalah Pantau" edisi pernikahan. Isinya, melulu soal pernikahan maupun pengantin berdua. Saya mungkin juga merasa bahagia karena di Ende, kami sering kirim SMS dan merasa rindu satu sama lainnya. Arie tinggal dan bekerja di Jakarta. Aku sering keliling Asia Tenggara.

Mulanya, Eva Danayanti, Esti Wahyuni dan Imam Shofwan, tiga orang teman dekat kami, menjodoh-jodohkan kami dengan macam-macam gurauan, dengan kebijakan "don't ask, don't tell," dengan membuat kami tersipu-sipu, dengan mengajak kami ke karaoke dan seterusnya. Mereka menyebut diri mereka "the three musceteers." Mereka merasa kami pasangan yang cocok. Eva teman kost Arie. Ia gencar sekali melakukan diplomasi agar teman-teman kami membiarkan kami berduaan saja. Tanpa gosip macam selebritas saja.

Arie dan saya lalu pergi ke Blitar, melihat makam Soekarno serta Candi Palah di desa Panataran. Ia merasa saya teman perjalanan yang menyenangkan. Macam buku berjalan. Kami merasa, selama berteman dua tahun terakhir, kami cocok satu sama lainnya. Kami suka diskusi, bergurau dan "mengerjai" orang bersama.

Kami nonton konser Toto bersama di Senayan. Terpukau ketika Steve Lukather, Simon Phillips, Bobby Kimball, Mike Porcaro dan Greg Philinganes membawakan lagu-lagu baru dari album Falling in Between namun juga karya klasik macam I Won't Hold You Back, Africa, Rosanna, I Will Remember dan lain-lain. Arie suka dengan gaya pemain bass Porcaro yang tampaknya asyik sendiri dengan gitarnya.

Saya juga sering curhat padanya -maupun beberapa teman lain-- soal hubungan putus-sambung-14-kali antara saya dengan pacar saya waktu itu. Kami transparan saja. Kami juga sesama wartawan, mengerti suka-duka pekerjaan ini dan mencintai profesi kewartawanan. Saya tentu mengerti tuntutan kerja ini bila Arie harus pulang malam. Maklum kami ini manusia deadline.

Anak saya, Norman, juga cocok dengan Arie. Norman menganggap Arie sebagai temannya. She is my friend. Do not marry her. Norman selalu menunggu Arie datang ke rumah bila hendak "play fighting" atau "pillow war" ... mengeroyok saya. Tanpa Arie, Norman merasa permainan tidak seru dan dia bakal kalah.

Juli lalu, Mamak Arie datang ke Jakarta. Saya pun melamar Arie. Mamak setuju. "Makin cepat makin baik," kata Mamak. Kami lalu berkunjung ke keluarga Arie pertengahan Agustus ini di Pontianak. Berkenalan dengan semua keluarganya serta ziarah ke makam Bapak. Beliau seorang peternak sapi dan meninggal empat tahun lalu. Saya diterima dengan terbuka oleh keluarga Arie.

Arie orang Madura Borneo. Ia mengatakan bulan baik untuk menikah adalah bulan Haji. Jatuhnya sekitar akhir Desember hingga Januari. Saya pun usul menikah pada hari ulang tahunnya yang ke-31, pada 6 Januari nanti.

Saya juga sudah memberitahu Papa dan Mama serta adik-adik saya. Adik saya, Heylen, bahkan sudah siap-siap dengan rekomendasi catering, baju pengantin dan sebagainya.

Kami semua setuju dan kini mulai melakukan persiapan. Sederhana saja. Undangan sekitar 100 orang per pesta. Kami ingin pernikahan ini berkesan buat kita semua. Kami juga mau berhemat mengingat saya masih mengerjakan buku soal mitos kebangsaan Indonesia. Arie juga baru pindah kerja ke harian Jurnal Nasional.

Saya bayangkan nanti akan ada feature tentang keluarga Arie tapi juga keluarga saya di Jember dan Jogjakarta.

Saya hendak membuatnya mirip majalah Pantau, lebih tipis tentu, lengkap dengan foto dan gambar bermutu. Ia bakal punya rubrik "Obrolan dari Kebayoran Lama." Beberapa rekan menawarkan bantuan, dari membuat reportase hingga mengajak Arie dan saya ke studio fotonya.

Saya merasa sangat bersyukur. Moh. Iqbal (redaktur foto) bilang anggap saja foto-foto nanti ini "sumbangan" darinya. Linda Christanty akan menulis dari Aceh. Juga Agus Sopian, Anugerah Perkasa, Imam Shofwan (resensi buku-buku pernikahan) maupun Tita Rubianti (disain) bilang akan bantu mengisi majalah edisi khusus ini. Hitung-hitung reuni bikin majalah.

Teman-teman Arie dari Pontianak juga kami mintai bantuan menulis. Nur Iskandar akan menulis soal harian Equator dan Leavy soal "gang perempuan" dimana mereka dulu sering main bersama. Arie dulu bekerja di Equator untuk liputan kriminal dan perempuan.

Saya belum bisa cerita banyak soal rencana edisi ini. Nanti saja bila Sudah bicara panjang lebar, saya akan cerita detailnya. Yang jelas, anggota mailing list ini kami undang semua.

Saya kira ini dulu. Saya merasa berbahagia sekali kenal dengan Arie dan diterima sebagai pasangannya. I adore her so much.

Tuesday, August 08, 2006

Tak Selamanya Uang

Veby Mega Indah
Jurnal Nasional

Asti, seorang gadis Bandung, kini menjalani “kawin kontrak” dengan seorang ekspatriat asal Jepang. Alasannya, sang kekasih sudah punya anak dan isteri di Jepang, sementara hidup bersama tanpa menikah membuatnya merasa berdosa. Maka Asti memilih kawin kontrak.

Nama lengkap Asti sengaja tidak diungkapkan disini. Asti kelahiran Banjar, sebuah daerah di Jawa Barat, pada 1981. Keluarganya, kelas menengah Muslim tapi ekonominya kurang kuat.

Ketika lulus sekolah menengah, Asti mengambil keputusan kuliah di Bandung. Ia memilih merantau ke Bandung dan kuliah di Universitas Pasundan. Bagi keluarga Asti, ini sebenarnya cukup berat. Universitas Pasundan termasuk perguruan swasta. Biayanya relatif besar karena tidak ada subsidi negara.

Dia pun berpikir bekerja sambil kuliah. Tapi tanpa keahlian dan pengalaman? Seorang teman kuliahnya mengajak kerja di klub karaoke untuk ekspatriat Jepang. Semula ketakutan akan dunia malam melanda pikiran gadis ini.

“Apalagi citra gadis malam akan melekat pada saya,” papar Asti. Namun manager klub menjelaskan seorang karaoke girl tak berkaitan dengan prostitusi. Kalau terdapat hubungan lebih lanjut dengan tamu, itu dianggap sebagi urusan pribadi yang bersangkutan. Keterangan manager klub membuat Asti memutuskan mencoba.

Mulanya, Asti masih tangguh menahan godaan. Dalam pikirannya, semua pria yang datang dianggap sebatas tamu semata. Namun kisahnya berubah saat ia bertemu dengan Tadashi Sato, seorang eksekutif marketing sebuah perusahaan tekstil. Sato terlihat sopan, tidak seperti tamu-tamu lainnya. Sato berasal dari Nara, sebuah kota kuno di Pulau Honshu, pulau terbesar dan terpadat di Kerajaan Jepang.

Sikapnya yang mengayomi bagai siraman air hujan saat kemarau. “Selain itu, Sato juga terus mendukung saya untuk menyelesaikan kuliah. Ia ingin saya sukses,” kisahnya. Asti jatuh cinta dengan Sato. Sang kekasih kerap menjemputnya sepulang kerja, saat pagi menjelang. Hubungan terus berlanjut, hingga Asti diajak untuk tinggal di rumah Sato.

Terkesan oleh sifat yang mengayomi, Asti akhirnya setuju. Padahal Sato sendiri telah memiliki seorang istri dan dua anak di Jepang. Sejak tinggal bersama, Asti pun mengundurkan diri dari tempatnya bekerja.

“Selain makan dan kuliah, saya jarang diberi uang,” papar Asti. Padahal, biasanya menjadi kekasih seorang ekspatriat biasanya menjadi jaminan bagi karaoke girl untuk hidup senang. “Teman saya bahkan ada yang dibelikan rumah, bahkan keluarga di kampung juga dibelikan tanah,” ujarnya.

Namun, Asti beralasan mereka melakukan itu bukan demi uang semata. Asti setia mendampingi Sato. Selayaknya seorang istri, ia tinggal dan mengatur urusan rumah tangga Sato. Jujur, Asti mengaku cukup bahagia dengan perannya saat itu.

Kenyataan ini tak diketahui oleh pihak keluarga di Banjar. Pekerjaan Asti sebagai karaoke girl juga dirahasiakan pada keluarga. Dikejar-kejar rasa berdosa, akhirnya Asti mendesak Sato untuk mau menikahinya.

“Sato sempat kaget, tapi setelah saya ancam akan meninggalkannya, akhirnya ia setuju,” papar Asti. Sato mau “kawin kontrak” karena perkawinan ini hanya dilaksanakan secara Islam, tidak mengikat secara hukum negara dan akan berakhir begitu Sato pulang ke Jepang selepas kontrak kerja.

“Daripada dosa, lebih baik begini, ” cetus Asti, sambil menghisap rokok mentholnya. Kekuatiran ditinggalkan Sato juga mengusik benaknya. Maka Asti dan Sato berusaha menjaga jangan sampai Asti mengandung. Kini Asti sudah lulus dan mulai giat mencari pekerjaan di Jakarta.

“Rencananya saya akan meninggalkan Sato, begitu dapat pekerjaan di Jakarta,” katanya. Bagi Asti, terasa lebih mudah jika ia meninggalkan sang kekasih, daripada harus miris menerima kenyataan dibuang setelah tak diperlukan lagi. ***

Kalla, Arabisasi dan Cisarua

Sapariah Saturi
Jurnal Nasional

Wakil Presiden Jusuf Kalla punya perasaan tak enak ketika membaca ucapannya soal “janda-janda di Puncak” muncul di halaman depan harian The Jakarta Post. Kalla menduga bakal kontroversial. Maka ia bikin pertemuan pers untuk memperbaiki keadaan. Tapi nasi sudah jadi bubur. Aktivis-aktivis perempuan berpendapat kelakar itu keterlaluan dan tak pantas diucapkan orang baik-baik.

Di internet, komentar pro dan kontra, bahkan sinis, bermunculan. Ada komentar, “Why haven’t we learned from the Germans on the danger of putting a short man with funny moustache in power?

Situs blog indonebia.blogspot.com mengeluarkan satire tajam. Isinya, memuji Kalla, “Sungguh kejam dan biadab kalau pernikahan yang disumpah sesuai tuntunan kitab suci Al-Quran tersebut dituding sebagai 'kawin kontrak' belaka.” Tapi jangan salah sangka. “Indonebia” --singkatan dari “Indo Arabia”-- adalah “negara yang terbentuk dari puing-puing reruntuhan sebuah negeri bernama Republik Indonesia.” Blog ini tak menerangkan siapa pengelolanya namun di beberapa mailing list diduga ia dilakukan Radityo Djadjoeri, seorang mantan wartawan yang mengelola list mediacare@yahoogroups.com.


Wakil Presiden Jusuf Kalla

“Saya sama sekali tidak mengatakan bahwa wanita Indonesia dipakai seperti itu. Astaghfirullah … saya sudah duga akan ada reaksi.”

Kalla menekankan sebenarnya juga tak salah jika orang-orang Arab “menikahi” wanita-wanita Indonesia. "Jangan hanya orang Barat saja yang kawin dengan orang kita, masak orang Arab tidak boleh kawin dengan gadis Indonesia. Di koran itu dikatakan seolah-olah Wapres mengatakan wanita dipergunakan untuk itu (prostitusi). Mana pernah saya bilang begitu.”

Abdurrahman Wahid, mantan Presiden sekaligus mantan atasan Kalla

“Saya nggak ngerti bagaimana mungkin Wapres menganjurkan orang untuk wisata seks. Itu menurunkan martabat perempuan. Itu menunjukkan dia tidak punya sensitivitas.”

“Dia hanya cari untung saja kerjanya. Saya tidak heran, karena dia berpikirnya dagang melulu. Semua diukur dengan uang.”

“Indonebia” – Indonesia-Arabia

“Para hamba Allah yang berniat mulia dengan menebarkan bibit-bibit unggul untuk bangsa ini semustinya dianugerahi penghargaan oleh Pemerintah RI. Bapak H. Jusuf Kalla selaku Wakil Presiden saja menyetujui ritual mulia ini untuk memperbaiki keturunan, tetapi kenapa para birokrat yang notabene menjadi bawahannya tidak mematuhinya?”

“Tindakan polisi dan imigrasi wilayah Bogor ini menghambat gerakan dan cita-cita mulia kami untuk menjadikan negeri ini sebagai tempat persemaian bibit-bibit unggul kaum Semit demi terwujudnya Syariat Islam di Indonesia.”

Kontroversi Kawin Kontrak

Sapariah Saturi
Jurnal Nasional

JAKARTA – Besaran suatu berita sering tergantung pada kebetulan belaka. Wakil Presiden Jusuf Kalla kebetulan bikin pernyataan soal “janda-janda di Puncak” kawin dengan lelaki Arab Saudi. Sebulan kemudian petugas kepolisian dan imigrasi Bogor kebetulan bikin razia terhadap pasangan “kawin kontrak” di Puncak. Maka kebetulan itu jadi berita besar.

Jusuf Kalla menyampaikan pendapatnya akhir Juni lalu dalam "Simposium Strategi Pemasaran Pariwisata di Kawasan Timur Tengah" di hadapan para pengusaha turisme. Kalla berpidato, "Kalau ada masalah janda di Puncak itu urusan lain. Jadi orang-orang Arab yang mencari janda-janda di kawasan Puncak bisa memperbaiki keturunan.”

"Nanti mendapat rumah kecil, rumah BTN, ini artinya kan sah-sah saja. Walau kemudian para turis tersebut meninggalkan mereka, ya tidak apa-apa. Karena anak-anak mereka akan punya gen yang bagus bisa menjadi aktor-aktris TV yang cakep-cakep,” tambah Kalla.

Kebetulan wartawan The Jakarta Post Rendi Witular, yang biasa meliput kegiatan Presiden dan Wakil Presiden, memutuskan mengambil kutipan seminar tersebut. Witular menterjemahkan kalimat Kalla menjadi, "If there are a lot of Middle East tourists traveling to Puncak to seek janda, I think that it's OK. The children resulting from these relationships will have good genes. There will be more television actors and actresses from these pretty boys and girls.”

Jusuf Kalla pun muncul di halaman depan The Jakarta Post. Pembaca harian ini meliputi diplomat dan kalangan internasional. Aktivis perempuan angkat suara. Sekitar 70 organisasi perempuan, termasuk Fatayat Nahdatul Ulama, Institut Ungu, Kalyanamitra dan Srikandi Demokrasi Indonesia, bikin pertemuan media di Jakarta. Kaukus Perempuan –kumpulan semua legislator perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat—berniat memanggil Kalla. Ucapannya dikutip media internasional, dari bahasa Inggris hingga Mandarin, dari Jerman hingga Arab. Maka kantor Wakil Presiden segera bikin pertemuan pers guna meredakan kemarahan orang. Kalla mengakui ia hanya “kelakar.” Ia sama sekali tak punya keinginan merendahkan perempuan.

Maka kelakar itu mereda. Tapi sebulan kemudian, polisi dan petugas imigrasi Bogor menangkap 17 pasangan kawin kontrak di daerah Cisarua, Puncak. Sebagian besar pelaku pria berasal dari Arab Saudi. Sedangkan perempuan lokal yang menjadi pasangannya punya latar belakang beragam termasuk dua mahasiswi di Jakarta. Mereka berumur sangat muda untuk pernikahan biasa, antara 18 hingga 20 tahun.

Operasi terhadap praktik kawin kontrak itu dilakukan sejak Senin (31/7) dini hari hingga Selasa sore (1/8). Sasaran utama sejumlah vila dan hotel di wilayah tersebut. Sasaran pertama adalah Villa Cokro di Ciburial. Petugas bermaksud melakukan operasi terhadap warga asing yang ada di sana. Tetapi petugas harus gigit jari karena mereka sudah pergi. Polisi mengatakan kemungkinan kedatangan petugas sudah dibocorkan para tukang ojek sekitar Villa Cokro.

Warta Kota melaporkan petugas lalu bergerak ke Vila Aldita di Warung Kaleng, Desa Tugu. Disana ada empat pasangan kawin kontrak: Diana(20)-Mohammad Almuhana; Riyani (20)-Sulaeman Saud A Altraigi, Nina Lestari (18)-Ali Dhafer M Aldosari, Yuli Astuti (19)-Abdullah Shuraie Alhrarshah.

Almuhana warga negara Arab Saudi. Dia kawin dengan Diana pada 31 Agustus 2005, dengan mas kawin Rp 3 juta. Wali nikahnya Salim. Mereka dikawinkan dengan perantara “Ratna” yang mendapatkan uang jasa sebesar Rp 1,5 juta. Sedangkan Diana mendapatkan uang Rp 1,5 juta.

Riyani menjadi istri kontrak Sulaeman Saud A Altraigi setelah dikawini pada 15 Agustus 2003 di sebuah hotel di kawasan Senen, Jakarta. Ibunda Riyani, yakni Rosillah, bertindak sebagai saksi. Sedangkan pamannya, Husen, bertindak sebagai wali. Mas kawinnya berupa uang tunai sebesar Rp 10 juta.

Ali Dhafer kawin dengan Nina Lestari pada 30 Juli 2006 di Vila Aldita. Dalam kesepakatan mereka, setiap hari Ali harus memberi uang kepada Nina sebesar Rp 500.000. Tetapi Nina mengatakan Ali belum pernah membayar. Yuli Lestari dikawin kontrak oleh Abdullah Shuraie pada 30 Juli 2006. Abdullah berjanji membayar Rp 500.000 setiap hari. Namun Yuli juga belum menerima pembayaran itu.

Petugas melanjutkan operasi ke Villa GBI dimana mereka memeriksa dua pasangan kawin kontrak: Marini (19)-Saad Mousa A Alshamrani dan Erni Kurniawati (18)-Abdul Rahman Awad A Alshamrani.

Kepala Imigrasi Bogor Yeyet Oking mengatakan ada enam warga Arab Saudi bakal dideportasi. Mereka juga diduga melanggar UU No 9/1992 tentang Keimigrasian karena menyalahgunakan visa turis untuk menikahi perempuan Indonesia. Ini diduga mengganggu ketertiban umum dan jika terbukti akan dikenai hukuman enam tahun penjara.

Kepala Polisi Bogor Kombes Sukrawadi Dahlan mengatakan jaringan bisnis kawin kontrak ini sebenarnya sangat kuat mengakar di masyarakat dan melibatkan beberapa oknum. "Karena itu sudah menjadi ladang mencari nafkah kebutuhan sebagian warga. Akibatnya kami sempat dihalang-halangi pada saat melakukan operasi ini.”

Sebuah tafsir dalam Islam di Saudi Arabia berpendapat kawin misyar sah bila mempelai perempuan disaksikan walinya, ada penghulu, ada saksi dan mempelai lelaki membayar mas kawin. Namun kriteria ini dianggap hanya legalitas belaka karena esensi perkawinan –kedua mempelai maupun anak-anak mereka dilindungi hukum negara dan masyarakat—tidak dipenuhi.

Para aktivis perempuan mengatakan kawin kontrak adalah penyakit kronis di Pulau Jawa dan beberapa pulau lain. “Pemerintah harus dapat melihat masalah kawin kontrak sebagai masalah nasional, bukan hanya isu perempuan,” cetus Ratna Bataramurti dari Lembaga Bantuan Hukum Apik.

Masalah ini juga rumit dengan adanya sindikasi kejahatan. Kawin kontrak sering digunakan sebagai batu loncatan untuk perdagangan bayi. “Dalam beberapa kasus di Batam para perempuan hanya dikawin kontrak, setelah melahirkan anak mereka pun dijual ke luar negeri,” kisah Mariana Amiruddin dari Jurnal Perempuan.

Mariana mengatakan kawin kontrak muncul karena adanya sindrom Cinderella Complex. Para perempuan dari keluarga kurang mampu, biasanya bermimpi suatu saat akan ada pangeran yang datang menyelamatkan mereka dari kesulitan hidup.

Berasal dari keluarga miskin dengan pengetahuan hukum kurang, mereka senang bertemu lelaki asing. Tak disangka, sang pangeran justru menyekap mereka layaknya hewan dengan tujuan utama menghasilkan anak sebanyak-banyaknya. Anak-anak ini kemudian dijual ke luar negeri dengan harga tinggi. Jurnal Perempuan mendokumentasikan kasus ini dalam film “Don’t Buy, Don’t Sell.”

“Di negara maju, pasangan yang hidup bersama saja biasanya melakukan perjanjian secara tertulis,” papar Ratna. Jika ada anak lahir, status pertanggungannya sudah jelas. Jusuf Kalla terlalu memandang remeh kemungkinan lahirnya anak-anak ini dengan berpendapat mereka bisa jadi “bintang film” dan memperbaiki penampilan fisik “bangsa Indonesia.”

Semua yang kebetulan bukanlah kebenaran. Namun kebetulannya Jusuf Kalla dan polisi Bogor mengungkap adanya kebenaran yang pahit ini.

-- laporan Januarti Sinarra T. dan Veby Mega Indah