Sunday, October 22, 2006

37 Jam Dipermainkan KM Munic

Ketika Jusuf Kalla Jumat kemarin sibuk memuji prestasinya sendiri selama dua tahun jadi wakil presiden ­"Nilainya sembilan dari total 10," pujinya-- saya bersama ribuan calon penumpang sibuk mempertahankan kemanusiaan kami di pelabuhan Tanjung Priok. Perasaan, tak ada tanda apapun bahwa telah terjadi perbaikan dalam pengaturan angkutan Lebaran.

Kami menunggu kapal Munic Lines, jurusan Jakarta-Pontianak, sejak Jumat pukul 8:00 hingga akhirnya kesal dan memutuskan pulang ke rumah di Jakarta Sabtu pukul 21:00. Para penumpang tidur di lantai, ada yang kehilangan uang, berjejal-jejal untuk mencari tempat menggelar tikar, berebut macam hewan ternak digiring satu kandang ke kandang lain, masuk ke sebuah pintu ukuran setengah meter dengan rebutan 300 orang lebih, toilet tak cukup, AC mati, tanpa pengumuman, pendek kata, akal sehat kami dihina selama 37 jam.

Kami mulanya pesan tiket Batavia Air namun dibatalkan sesudah airport Supadio ditutup. Alasannya, pesawat tak bisa terbang karena tebalnya asap kebakaran hutan (Pertanyaan buat Jusuf Kalla: Apa kebakaran hutan sudah diatasi bila nilainya memang sembilan?).

Sapariah Saturi, pasangan saya, membeli tiket kapal Munic di PT Mila Muris Mala Perkasa di Tanjung Priok (021-43930389 dan 021-43935775) seharga Rp 185,000 per orang.

"Nani" dari PT Mila Muris mengatakan kapal berangkat Jumat pukul 10.00. Kami diminta "harus" sudah di pelabuhan sejak pukul 08.00 buat masukin barang.

Jumat pukul 08.00 kami tiba di Tanjung Priok. Tapi pukul 10.00, Nani menelepon dan bilang kapal ditunda. Dia mengatakan kapal terlambat masuk. Nani mengakui sebelumnya dapat informasi kapal akan datang pukul 18.00. Dia mengatakan sengaja tak menelepon penumpang, "Toh masih hari yang sama." Bayangkan beda delapan jam dan dianggap tak perlu memberitahu penumpang? Lalu Nani mendapat informasi lagi kalau kapal ternyata ditunda hingga Sabtu pukul 14.00. Maka Nani memutuskan menelepon karena bedannya 28 jam.

Banyak penumpang, yang tak punya tempat singgah di Jakarta, terpaksa tidur di terminal penumpang Tanjung Priok. Ada satu keluarga dari Bandung dengan bayinya tidur disana. Kami sendiri memilih pulang ke rumah Jakarta.

Keesokan harinya, pukul 10.30 kami sudah tiba di pelabuhan. Manajemen pelabuhan mengatakan hari itu, pukul 15:00 kapal Munic dijadwalkan berangkat ke Pontianak.

Sekitar pukul 12:00, penumpang mendapat gosip kalau kapal baru berangkat sore. Semua serba simpang siur. Sampai pukul 14.00, ratusan penumpang, entah dapat gosip dari mana, serentak berebut berdiri di depan pintu masuk, menunggu dibuka karena kapal sudah tiba.

Ternyata kapal Munic mau bongkar muat dulu. Kapal ini jenis roll-on-roll-off, muatan barang dan penumpang. Maka berpuluh truk diatur keluar dari lambung kapal. Pukul 16.00 penumpang masuk, berebut macam ternak, bantuan kuli pelabuhan seharga Rp 30,000 untuk mencari tempat.

"Kapal ini tidak layak mengangkut manusia. Air minum saja tidak ada. Ini overload," kata Hotma Hutapea, seorang penumpang, yang juga aktivis Rakyat Pemantau Reformasi. Namun seperti mayoritas penumpang, Hutapea tak melawan, lebih baik menunggu, penting kapal bisa berangkat dan orang bisa liburan di kampung halaman.

Dia memperkirakan kapasitas kapal sekitar 200 penumpang namun dijejali hingga 600 lebih. Jumlah pelampung ­syarat layak jalan sebuah kapal‹tak cukup untuk seluruh penumpang. AC kapal tak dihidupkan. Menunggu beberapa jam dengan suhu panas Tanjung Priok, apalagi yang ada dalam kabin ruang duduk, bisa pakai sabun seraya mandi keringat. Namun dalam kapal pun tak ada kejelasan kapan berangkat.

Kapten Muhammad Nur mengatakan pada Anteve bahwa kapal terlambat karena terjadi pendangkalan pelabuhan Banjarmasin. Dia menjamin air cukup tersedia dan penumpang tanpa karcis akan diminta keluar mengingat kapal kelebihan kapasitas. Kapten menyalahkan "agen" yang tetap menjual karcis walau kapasitas kurang.

Namun Nani menyalahkan kapal yang tak memberitahu kepastian tiba. Pemilik kapal, seorang pengusaha bernama "Nicky" datang ke Priok, memakai kaos polo warna hitam-garis-putih, tertawa bercanda dengan karyawan dan petugas pelabuhan.

Hutapea menghitung kasar. Bila setiap penumpang bisa didapat bersih Rp 100 ribu maka Nicky panen Rp 600 juta dari penumpang. Belum lagi ongkos ratusan sepeda motor baru, belasan truk dan muatan lain. Nicky bisa dapat Rp 1 milyar dengan ongkos solar sekitar 15 ton atau sekitar Rp 65 juta. Angkutan Lebaran jadi tambang uang.

Hingga pukul 20:00 janji Kapten Nur tak dipenuhi. Mundur pukul 22.00, lalu mundur lagi pukul 23.00. Anak saya, Norman, sering bilang "panas dan bosan." Anak-anak lain tertidur di lorong, depan toilet, buka baju dan sebagainya.

Kami memutuskan turun dari kapal. Kami secara finansial rugi Rp 1 juta lebih untuk ongkos bolak-balik, beli tiket, telepon pembatalan dan sebagainya. Mungkin Lebaran adalah nasib baik bagi pengusaha macam Nicky atau nahkoda macam Nur.

Kami beruntung bisa cari tiket Batavia Air (Supadio dibuka lagi) dan ganti pesawat. Namun ratusan penumpang Munic tetap terperangkap dalam kesengsaraan. Setiap tahun jutaan orang juga tak punya uang untuk beli tiket pesawat dan harus rela diperlakukan macam ternak.

Saya ingat pengalaman pertama pada 1982 mudik Lebaran, ketika sekolah di Malang dan pulang ke rumah orang tua di Jember. Capeknya, sesaknya, tak manusiawi, berjejal, sedemikian rupa sehingga saya memutuskan menghindar dari bepergian saat Lebaran.

Kini 24 tahun berlalu, saya coba lagi, ternyata masih sama. Membaca suratkabar dan menonton televisi, ceritanya juga sama saja, masih bolak-balik kisah sedih mudik Lebaran. Orang ditipu dengan harga melangit. Pengusaha cari untung. Pemerintah cuma bikin pujian diri sendiri.

Pertanyaan untuk Jusuf Kalla (dan Nicky): Tahi kebo macam apa pula ini?

2 comments:

Anonymous said...

biasa. itu lazim terjadi di pelabuhan: perak, priok. manusia indonesia memang dari dulu dianggap sama dengan binatang. belum tahu ya? saya sering naik kapal pelni di perak. penumpang baku pukul, berkelahi, saling tonjok... agar bisa naik. jual beli kasur, kakus busuk, tidur di lantai... biasaaaa. indonesia kan indopahit.... sangat pahit.

freddy limahekin
laki-laki adonara
tinggal di surabaya

ikram said...

Penyelesaian parsial.

Mereka yang punya duit bisa bebas dari kewajiban menjadi ternak dengan beli tiket pesawat.

Tapi mereka yang tak punya duit, terpaksa jadi ternak.

Pemerintah tidak menyelesaikan secara tuntas masalah yang ada, tetapi hanya memberi alternatif kepada mereka yang tak mau kena masalah (dan tentunya punya duit).

Ini seperti kalau kita naik angkot yang penuh dan jalan lambat serta supirnya sering kontemplasi alias ngetem pula. Kalau kita komplain, dia cuma bisa bilang: kalau mau enak naik taksi aja!

Kalaupun orang pemerintah baca postingan Mas Andreas ini, paling-paling jawaban mereka sama: kalau mau enak naik pesawat aja!

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.