Monday, May 31, 2004

Wiranto's Shrewd Alliance Could Swing Votes

By Andreas Harsono

Jakarta, 31 May 2004 (IPS) -- On the eve of Indonesia's month-long presidential campaign due to begin Tuesday, a retired army general indicted for war crimes in East Timor seems to be taking centre-stage in the country's first-ever direct elections for its head of state on July 5.

Wiranto, the former Indonesian military commander, was a surprise nomination as presidential candidate for Golkar, Indonesia's most popular political party that won the largest number of parliamentary seats in the Apr. 5 legislative election with 21 percent of the vote.

Since then, he has been hard at work seeking alliances with Golkar's rivals to shift the political balance in his favour as he competes against four other candidates including the incumbent President Megawati Sukarnoputri.

Just hours after Wiranto received the nod from delegates at the Golkar party convention weeks ago, more than 100 of his supporters gathered at a small hotel in the Senayan area in central Jakarta. It was after midnight and they were extremely exhausted.

"This is only the knockout round and we are soon to enter the semi-final. The real work is yet to begin," he told his party workers while also receiving several visitors, among whom included Rizal Ramli, a former chief minister for the economy during the administration of past president Abdurrahman Wahid.

Wahid's Nation Awakening Party or PKB came third in the April parliamentary election with 11 percent of the vote.

But Ramli is not an ordinary economist. He used to be a student leader in the 1970s and was jailed under the authoritarian Suharto regime.

"He was one of the smartest among my Indonesian students," said Gus Papanek, a Boston University professor, who once taught Ramli in the United States.

Ramli went to the hotel in Senayan with a political proposal rather than to congratulate Wiranto, the former adjutant to deposed dictator Suharto, on his presidential nomination.

Up his sleeve was a shrewd strategy to give Wiranto a leading edge against the other candidates.

Ramli urged Wiranto build a coalition with PKB and it was an offer on a silver platter for the former general.

In a coup over his rivals, Wiranto secured PKB's endorsement -- the country's third largest party, which is linked to the 40-million- strong grassroots organisation Nadhlatul Ulama.

"I believe if Gus Dur comes together with Wiranto, Megawati will be finished," Ramli said in a March public meeting, referring to Wahid by his popular nickname 'Gus Dur.'

But Indonesia's election commission has barred Wahid, who is half-blind, from running in the presidential race on health grounds.

Wiranto's running mate, instead, will be Solahuddin Wahid, a younger brother of the former president.

Foreign bankers, however, are wary of Ramli if he is to be restored to his old job under a Wiranto presidency. Many believe he will imperil any hopes of foreign investment in Indonesia because of his bitter relationship with international lending agencies.

The Jakarta-based 'Tempo' magazine reported that against all other presidential candidates, Wiranto is the toughest competitor with the support of two big parties, which makes him a major force in Indonesian politics.

Wiranto is backed by Golkar's well-oiled political machinery, flush with funds from mysterious donors, and PKB's grassroot support among villagers in Indonesia's most populated island of Java.

But the former general's international reputation could be the Achilles heel of his candidacy.

In Dili, the capital of East Timor, a U.N.-backed special tribunal issued an arrest warrant for Wiranto in early May for his alleged role in the 1999 violence, when the former Indonesian province held a referendum on independence. Wiranto headed Indonesia's army at the time of the vote.

The referendum sparked a murderous rampage by Indonesian troops and their militia proxies, which also destroyed much of East Timor's infrastructure and reduced Dili to smoking rubble.

Last year, U.N. prosecutors working in the tiny nation indicted Wiranto for his alleged command responsibility for "murder, deportation and persecution" committed during 1999.

Wiranto has denied any wrongdoing, saying the indictment was an effort to undermine his candidacy in the Jul. 5 presidential elections.

In a gesture of reconciliation, he even met East Timor's President Xanana Gusmao on May 28 in the Indonesian island of Bali, to extend his hand of friendship.

The election, however, will also test the political machinery of the other four candidates.

Megawati has set up a 'Mega Centre' to conduct her campaign nationwide and recruited some top economists to help draft her economic platform. "The prospect of the economic growth in 2005 will be better and a five percent growth might be achieved," wrote columnist Mohammad Sadli of the 'Business News' daily, predicting another term for the president.

"But it is not enough to overcome unemployment," he warned.

But Wiranto's camp still has a lot of work to do. He trails the frontrunner Susilo Bambang Yudhoyono, another retired army general, by a wide margin.

An April poll by the Indonesian Survey Institute indicated that Yudhoyono could win 40 percent of the vote, way above his main rivals Megawati or Wiranto who were predicted to be able to garner only 14.7 and 5.9 percent respectively.

The two other candidates, Amien Rais and Hamzah Haz, lag well behind Yudhoyono. A runoff between the top two is required if no candidate wins more than 50 percent in July.

Yudhoyono has won converts across all walks of life through his strategic media campaign, despite entering the presidential race with minimal funds.

And unlike Wiranto, his military career seems untainted even though he was the former general's subordinate.

Sunday, May 30, 2004

Dari Thames ke Ciliwung

Bagaimana perusahaan air minum Jakarta diswastakan Presiden Suharto pada 1997-1998?

Andreas Harsono


WAKIL Presiden Hamzah Haz seorang politikus yang tahu cara memanfaatkan media. Dia menunjukkan ketrampilan tersebut sekali lagi pada 3 November 2003, ketika bertemu duta besar Inggris untuk Indonesia Richard Gozney. Tentu saja, pertemuan mereka tertutup, tapi setelah mengantar tamunya ke luar istana Wakil Presiden di bilangan Kebon Sirih Jakarta, Hamzah membiarkan dirinya dikerubuti wartawan.

Hamzah pasang senyum depan kamera. Dia mengatakan bahwa mereka baru saja membicarakan soal PT Thames PAM Jaya, anak perusahaan Inggris Thames Water. Gozney minta Hamzah membantu menaikkan tarif air di Jakarta dalam upaya penyelamatan PT Thames PAM Jaya, yang menderita kerugian finansial sebesar US$58 juta, selama tiga tahun terakhir. Per bulan perusahaan itu rugi rata-rata $1.5 juta dan sangat mungkin angkat kaki dari Jakarta. Kenaikan tarif air minum diperlukan sekitar 20 persen.

Petang itu, ketika Gozney masih dalam perjalanan pulang, program berita malam di televisi sudah menyiarkan pertemuan mereka. Pagi berikutnya pernyataan Hamzah jadi berita utama di sejumlah suratkabar Jakarta. The Jakarta Post memasang tajuk, “Gozney Wants Water Rates Hiked.” Di London, tempat markas Thames Water berada, surat kabar Guardian memberitakan pertemuan tersebut dari sudut berbeda, “Jakarta Unit Drains Thames Cash.”

Thames Water adalah satu dari sejumlah pengelola air terbesar di dunia. Sejarah konglomerat ini berawal di London pada abad ke-17. Namun bentuk modernnya baru terwujud pada 1989 ketika Perdana Menteri Margareth Thatcher melakukan privatisasi sejumlah perusahaan publik termasuk Water Authority. Thames Water, hasil privatisasi Water Authority, kemudian melebarkan sayap dan beroperasi di berbagai tempat di dunia. Pada 2001 sebagian besar saham Thames Water dibeli konglomerat Jerman, RWE Group, yang bermarkas di Essen. Nama perusahaan tersebut kemudian diubah jadi RWE Thames Water.

Satu dari banyak proyek Thames Water ada di Jakarta. Pada Juni 1997, atau empat tahun sebelum merger Jerman-Inggris itu terjadi, Thames Water mendapat kontrak selama 25 tahun untuk membentuk usaha modal bersama dengan perusahaan air milik negara di Jakarta, Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya). Saat itu Thames Water menggandeng Sigit Harjojudanto, putra sulung Presiden Suharto.

Tapi Jakarta dianggap terlalu besar untuk dikelola satu perusahaan saja. Presiden Suharto kemudian membagi Jakarta dengan mengikuti aliran Sungai Ciliwung. Thames Water mendapat bagian timur Ciliwung. Lyonnaise des Eaux milik konglomerat Prancis Suez (belakangan ganti nama menjadi Ondeo Service) kebagian jatah di sebelah barat. Suez bekerjasama dengan Salim Group, yang ketika itu adalah konglomerat terbesar di Indonesia. Konsorsium ini mulai bekerja pada Februari 1998 dengan tanggung jawab utama menjaga pasokan, distribusi, dan pembayaran air bersih buat penduduk Jakarta.

Sialnya, tiga bulan kemudian, pada Mei 1998, Presiden Suharto jatuh di tengah-tengah krisis ekonomi di sejumlah negara Asia. Kekerasan pecah di berbagai tempat di Indonesia. Sejumlah organisasi politik menuntut Suharto diadili karena korupsi. Banyak orang percaya bahwa anak-anak dan kroni Suharto juga terlibat dalam sederet kerja sama bisnis yang dilakukan secara kotor.

Alhasil, baik Thames Water dan Suez, dua dari sekian perusahaan internasional yang terkait dengan bisnis keluarga Suharto, terpaksa membicarakan ulang kesepakatan mereka dengan PAM Jaya. Ekonomi Indonesia terpuruk akibat krisis ekonomi. Rupiah terdevaluasi terhadap dollar Amerika dari Rp 2.300 pada Juli 1997 ke sekitar Rp 10.000 di pertengahan 1998.

Kedua konsorsium berusaha mempertahankan operasi mereka, tapi tak seorang pun menyangka bahwa devaluasi bisa terjadi begitu liar. Pemerintah Jakarta dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta terus-menerus terlibat dalam perundingan dengan konsorsium tersebut untuk membahas kenaikan tarif air. Singkat kata, sejak mulai beroperasi pada Februari 1998 hingga pertemuan Hamzah dan Gozney, sudah terjadi tiga kali kenaikan tarif. Kenaikan pertama sebesar 18 persen, disusul 25 persen pada April 2001, dan menjadi 40 persen pada terjadi April 2003. Namun tarif (water tariff) itu terhitung rendah, secara rata-rata, bila dibanding imbalan air (water charge) yang harus PAM Jaya bayar pada para pengelola air internasional tersebut.

Saat Gozney berkunjung menemui Hamzah Haz, gagasan untuk sekali lagi menaikkan tarif air mendapatkan kecaman dari berbagai aktivis organisasi konsumen, beberapa lembaga swadaya masyarakat, dan sejumlah partai politik. Mereka berpendapat, baik RWE Thames Water maupun Suez gagal memperbaiki layanan dan efisiensi, yang ditandai dengan adanya gangguan pasokan air, kualitas air yang buruk, dan angka kebocoran air yang mencapai 45 persen. Organisasi konsumen air, Komparta, bahkan mengajukan gugatan ke pengadilan, dengan alasan layanan yang disediakan konsorsium ini jauh dari memuaskan.

Bagaimana situasi rumit ini bisa melibatkan Richard Gozney? Apakah ini lantaran kedekatannya dengan sejumlah pemimpin Indonesia? Seberapa jauh kelancarannya berbahasa Indonesia, lengkap dengan sebersit aksen ala Jakarta, dapat membuka jalan sehingga dirinya bisa menembus struktur kekuasaan Jakarta yang sedemikian kompleks?

Said Budiary, salah seorang asisten Hamzah Haz, dalam wawancara dengan saya mengatakan bahwa Gozney sebelumnya telah berbicara dengan Gubernur Jakarta Sutiyoso. Gozney minta Sutiyoso menaikkan tarif air. Namun Sutiyoso berkata bahwa ia perlu dukungan kuat agar bisa menaikkan tarif, dengan menyebut bahwa dukungan tersebut haruslah datang dari “yang di atas.” (Said Budairy juga kolumnis majalah Pantau ketika saya jadi redakturnya).

Gozney, dengan dukungan John Trew, presiden direktur PT Thames PAM Jaya, semula bermaksud mendekati Presiden Megawati Sukarnoputri. Namun, jadwal Megawati agak padat. “Beliau juga sering kurang cepat bergerak,” kata Budairy. Gozney akhirnya mendekati Hamzah.

Menurut Budiary, Hamzah sepakat mendukung kenaikan harga, tapi minta perusahaan Inggris-Jerman itu menerapkan mekanisme subsidi silang, antar mereka yang miskin dan yang kaya. Hamzah khawatir bila kenaikan tak terjadi, RWE Thames Water hengkang dari Indonesia. Ini tak hanya menimbulkan masalah air di Jakarta, melainkan membuat gentar pemodal asing lain di Indonesia.

Tekanan tak cuma datang dari kubu Jerman-Inggris. Suez mengirimkan Eric de Muyinck, presiden Ondeo untuk urusan internasional, menemui Gubernur Sutiyoso. De Muyinck dan Michele Tay, presiden Ondeo untuk kawasan Asia, mendatangi kantor Sutiyoso 21 Oktober lalu. Menurut Bernard Lafrogne, wakil Ondeo di Jakarta, pesan mereka singkat saja: naikkan tarif air atau Ondeo Service angkat kaki!

Tekanan dua arah itu berhasil. Gubernur Sutiyoso mendapat dukungan Hamzah Haz. Ia pun mengajukan usul kenaikan air ke DPRD Jakarta pada 10 November 2003 atau seminggu setelah pertemuan Gozney-Hamzah, dengan memasang angka 30 persen, 10 persen lebih tinggi dari angka yang diusulkan Gozney.

Proposal tersebut menjelaskan bahwa 17 persen dari kenaikan tadi akan digunakan untuk melunasi utang PAM Jaya sebesar Rp 900 milyar ($105,88 juta) pada konsorsium swasta, sedang sisanya yang 13 persen dipakai untuk menutupi ongkos inflasi dan biaya operasi pihak swasta. Utang itu hasil kumulatif dari perbedaan antara tarif air yang dibayar pelanggan dan imbalan air yang dibayarkan PAM Jaya kepada perusahaan-perusahaan air internasional tersebut sejak Februari 1998.

Tanpa banyak cingcong, DPRD Jakarta, yang anggotanya juga terdiri dari politisi Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz, menyetujui proposal tersebut pada Desember 2003. Tarif baru yang naik sebesar 30 persen akan berlaku mulai 1 Januari 2004.

Richard Gozney tentu saja senang. Ketika masa kerjanya selesai pada akhir Januari lalu, ia dirayakan dengan sebuah pesta perpisahan yang amat mengesankan! The Jakarta Post menurunkan editorial yang manis untuk Gozney. Dia tak hanya mampu menjelaskan duduk persoalan Perang Irak pada publik Indonesia, antara lain dengan muncul di layar televisi, tapi juga membela kepentingan usaha dagang Inggris di Indonesia.



KANTOR pusat PAM Jaya terletak di daerah Pejompongan, sebuah permukiman yang lumayan sejuk di tengah hiruk-pikuk Jalan Penjernihan, Jakarta Pusat, yang menuju daerah Tanah Abang. Gedungnya dua lantai dan di salah satu ruang, saya menemui Achmad Lanti.

Lanti seorang birokrat yang piawai bicara tentang pekerjaannya. Ia suka membumbui isi pembicaraan dengan aneka peraturan, angka-angka, tanggal, nama-nama dan data-data lain. Ia berkulit gelap dan sahaja dalam berbusana. Ketika saya mengunjunginya akhir Desember 2003, Lanti kelihatan santai dan seperti biasa menyodorkan bermacam tabel, data, dan angka, yang ia ambil dari sejumlah laci.

Lanti adalah kepala Badan Regulator Pelayanan Air Minum Provinsi DKI Jakarta. Nama lembaga ini cukup panjang, toh tugas utamanya sederhana saja yakni menjadi “wasit” antara pihak swasta dan PAM Jaya. Lanti mulai menjabat pekerjaan ini pada November 2001, beberapa bulan setelah ia pensiun dari Departemen Pekerjaan Umum.

Saat itu Badan Regulator baru saja dibentuk. Ia harus menyeimbangkan kepentingan publik, yang membutuhkan air bersih dengan harga murah, dan konsorsium swasta, yang membutuhkan keuntungan finansial atas investasi mereka.

“Ini soal kepercayaan, harus membangun kepercayaan baik dari mitra swasta maupun dari PAM Jaya,” ujarnya.

Lanti bukan wajah baru di bisnis air. Ia datang ke Jakarta pada 1968, setelah lulus dari Institut Teknologi Bandung, lalu merintis karir sebagai birokrat di Departemen Pekerjaan Umum, sebuah departemen yang juga menangani masalah air di Indonesia.

“Saya sendiri tak pernah berlangganan air bersih. Jadi air sumur bagus. Sumur pompa. Jadinya, saya tidak pernah jadi pelanggan air PAM di Jakarta. Sekarang di rumah sendiri di (Jalan) Radio Dalam, air tanah masih bagus. Bagus banget. Saya selalu tinggal di Kebayoran Baru.”

Lanti satu dari sedikit warga Jakarta yang beruntung punya sumur bagus. Sebagian besar warga kota ini tak seberuntung Lanti.

Pada 1928 pemerintah kolonial Belanda membangun sistem air bersih yang pertama di Jakarta dengan kapasitas 600 liter per detik. Sistem ini bertujuan melayani kebutuhan 300.000 penduduk yang sebagian besar warga Belanda. Mereka berdiam di lingkaran elit di sebelah utara dan pusat Jakarta. Sesudah Indonesia meraih kemerdekaan pada 1945, sistem ini pelan-pelan diperluas pada 1950-an, meski tak dimaksudkan untuk melayani ekspansi yang terjadi begitu cepat pada 1970-an. Kualitas air menurun tajam akibat industrialisasi besar-besaran, urbanisasi, dan ketiadaan aturan main soal polusi air.

Menurut catatan statistik, pada tahun 1991, populasi penduduk Jakarta nyaris mencapai angka tujuh juta, tapi hanya 45 persen yang bisa menikmati air keran. Jakarta berhasil mendirikan begitu banyak pencakar langit, tapi masih banyak warganya yang menikmati kucuran air keran hanya di malam hari. Banyak dari mereka, terutama yang tinggal di selatan Jakarta, memilih menggali sumur seperti halnya keluarga Lanti, dan menggunakan pompa air berkekuatan tinggi. Di wilayah selatan ini, seperti Kemang, Pondok Indah, atau Lebak Bulus, pengembangan relatif lebih lambat.

Cerita tentang keterlibatan Lanti dengan privatisasi PAM Jaya berawal tanpa rencana. Pada pertengahan 1995 ia diminta mewakili atasannya menghadiri pertemuan dengan Menteri Pekerjaan Umum Radinal Moochtar pada saat Moochtar memaparkan maksud pemerintah menswastakan PAM Jaya.

Paparan tersebut tak muncul sekonyong-konyong. Pada 12 Juni 1995, Presiden Suharto mengemukakan isu privatisasi ini ke Radinal Moochtar. Suharto menginstruksikan Moochtar agar membentuk satu tim untuk menyiapkan privatisasi PAM Jaya dan mengikutsertakan pihak swasta. Suharto menyuruh Moochtar menghubungi PT Kekarpola Airindo, milik Sigit Harjojudanto, dan Salim Group, juga mitra internasional mereka, masing-masing Thames Water dan Lyonnaise des Eaux.

Suharto memiliki kekuasaan amat besar dan ia suka bergerak cepat. Radinal Moochtar paham hal itu. Tiga hari kemudian, Moochtar menyelenggarakan rapat di departemennya dan menyampaikan pada rekan-rekan kerjanya perihal instruksi Suharto. Rapat memutuskan membagi Jakarta menjadi dua zona air dengan garis pembatas Sungai Ciliwung. Bagian barat diberikan pada Salim Group, sedang yang di sebelah timur jadi jatah Sigit. Mereka sepakat membentuk dua tim untuk mengurusi privatisasi ini. Tim pertama menangani peraturan tingkat nasional, termasuk menelurkan peraturan menteri tentang privatisasi air. Tim kedua bertugas melakukan perundingan dengan para penanam modal swasta. Lanti tergabung dalam tim kedua.

Sigit Harjojudanto dikenal berkantong tebal dan punya reputasi sebagai penjudi. Kerjanya kebanyakan menjadi perantara bisnis, dengan memanfaatkan pengaruh ayahnya. Sasarannya tak lain perusahaan multinasional yang hendak beroperasi di Indonesia.

Namun gagasan privatisasi PAM Jaya bukan murni ide Sigit maupun sang ayah. Gagasan ini kemungkinan sudah bergulir pada awal 1990-an. Ketika itu Jakarta tumbuh menjadi salah satu kota yang paling cepat perkembangannya di Asia. Pada Juni 1991, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian utang sebesar US$92 juta dengan Bank Dunia untuk membiayai proyek perbaikan sistem PAM Jaya selama 20 tahun dengan bunga 9.5 persen per tahun. Utang ini digabungkan dengan pinjaman lain dari Overseas Economic Cooperation Fund (Jepang) yang dialokasi untuk membangun instalasi air di Pulogadung, di timur Jakarta.

Thames Water memutuskan bekerja sama dengan Sigit Harjojudanto pada 1993. Sigit minta rekannya, Fachry Thaib, pengusaha asal Aceh, menangani segala urusan dengan Thames Water.

Di Paris, gebrakan Thames Water di Jakarta memicu Lyonnaise des Eaux milik Suez, salah satu konglomerat konstruksi terbesar di dunia, bergerak cepat. Lyonnaise des Eaux minta Bernard Lafrogne, warga Perancis yang bekerja di Jakarta, membuka kantor perwakilan. Lafrogne seorang insinyur kelahiran Vietnam, yang sekolah rekayasa air di Toulouse, Perancis Selatan. Ia pertama kali datang ke Indonesia pada 1977, sewaktu bekerja untuk sebuah proyek Bank Dunia. Ia lancar berbahasa Indonesia dan menikahi perempuan Indonesia. Ia tahu betul isi perut PAM Jaya, karena ia sendiri pernah bekerja sebagai konsultan di sana.

I was born in water and will die in the water,” kata Lafrogne.

Lyonnaise des Eaux mendekati CEO Salim Group, Anthony Salim. Salim tertarik tapi ingin tahu lebih dulu cara mengatasi Sigit dan Thames Water. Lafrogne menyarankan untuk membagi kue bisnis. “Jakarta is big enough for two companies,” katanya, seraya menambahkan bahwa layanan air di Manila dan Paris juga dijalankan oleh dua perusahaan. Anthony Salim sepakat dan menunjuk koleganya, Iwa Kartiwa, untuk memimpin perundingan tersebut.

Kubu Inggris dan Perancis berharap instruksi Suharto dapat melancarkan semua proses. Kenyataannya, instruksi itu memang membuka jalan, tapi juga menjadi titik awal sederet perundingan rumit antara konsorsium swasta itu dan PAM Jaya.

PAM Jaya secara teknis berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum. Namun PAM Jaya resminya dimiliki pemerintah Jakarta, sehingga para direkturnya juga diangkat dan harus bertanggungjawab kepada gubernur.

Letnan Jenderal Surjadi Soedirdja, yang ketika itu menjabat gubernur Jakarta, dikenal anak buahnya sebagai birokrat yang tegas dan bersih. Ia tak pernah secara terbuka menyatakan opininya terhadap gagasan privatisasi PAM Jaya. Meski terkesan mempertanyakan keputusan Suharto, ia justru menggunakan segala peraturan agar privatisasi tersebut berlangsung sebaik mungkin.

Toh Surjadi harus bertanggungjawab pada atasannya, Menteri Dalam Negeri Moh. Yogie S.M., yang lebih tunduk pada Suharto. Persoalan jadi lebih rumit, karena utang luar negeri PAM Jaya, kebanyakan dengan Bank Dunia, ditandatangani menteri keuangan. Alhasil PAM Jaya juga harus bertanggungjawab pada menteri keuangan.

Bank Dunia, mendukung, bahkan lebih tepat lagi mendesak, privatisasi PAM Jaya. Namun Akira Nishigaki, presiden Overseas Economic Cooperation Fund, secara pribadi pernah berbicara pada Rama Boedi, yang ketika itu menjabat presiden direktur PAM Jaya, bahwa privatisasi itu “masih terlalu pagi.”

Kebanyakan manajer PAM Jaya, termasuk Rama, juga bersikap kritis terhadap rencana tersebut. PAM Jaya mempekerjakan sekitar 3.000 pegawai yang cukup terorganisasi. Mereka mendesak konsorsium swasta untuk memberi fasilitas, yang paling tidak setara dengan, yang mereka dapatkan dari PAM Jaya. Pendek kata, perundingannya lumayan alot.

“Saya ikut rapat pertama di Hotel Sahid Jaya,” kata Achmad Lanti, mengacu pada pertemuan antara konsorsium dan tim pemerintah pada 12-15 Juni 1996. Masing-masing delegasi membawa lima anggota. Tim pemerintah mengikutsertakan birokrat seperti Prawoto Danoemihardjo, Lanti dan Rama Boedi. Sementara tim dari PT Garuda Dipta Semesta membawa Iwa Kartiwa serta Christian Michelon dan Bernard Lafrogne dari Lyonnaise des Eaux. Tim PT Kekarpola Airindo mengirimkan Fachry Thaib serta John Blair, Lindsey Dawes, dan Les Crowther dari Thames Water.

Enam puluh persen saham PT Garuda Dipta Semesta dikuasai Salim Group dan 40 persen sisanya dimiliki Lyonnaise des Eaux. Thames Water Overseas Ltd. Memiliki 80 persen saham PT Kekar Thames Airindo, sedang 20 persen saham menjadi milik perusahaan Sigit, PT Kekarpola Airindo. Menurut notulensi rapat yang saya dapatkan, pertemuan tersebut menyimpulkan:
  • Mereka bersepakat bahwa penanam modal swastalah yang bertanggung jawab menyediakan dana dan memenuhi target-target teknis;
  • PAM Jaya akan memantau pencapaian target-target teknis, tujuan dan standar pelayanan, serta membuat rekomendasi seputar penentuan tarif air;
  • PAM Jaya akan berdiskusi dengan lembaga pemerintahan terkait guna menegakkan aturan untuk menutup sumur dalam yang ada di tempat-tempat yang terdapat saluran pipa air bersih;
  • Mereka akan membagi keuntungan;
  • Pemilik modal akan menggunakan aset yang ada pada PAM Jaya namun diskusi lebih jauh perlu dilakukan untuk membahas soal pemilikan aset baru dan sebagainya;
  • Para penanam modal sepakat bahwa 100 persen pegawai operasional PAM Jaya akan dialihkan ke tangan penanam modal, dan di akhir tahun pertama, paling tidak 80 persen dari pegawai pihak swasta adalah pegawai yang dialihkan tersebut. PAM Jaya saat itu memiliki 3.053 pegawai dan hanya 250 orang yang bekerja di kantor pusat (bukan staf operasional);
  • PAM Jaya akan menyediakan daftar inventarisasi barang untuk dipertimbangkan lebih lanjut oleh penanam modal;
  • Mereka belum mencapai kata sepakat seputar tempat penyelesaian kalau timbul pertikaian. PAM Jaya memilih Jakarta sementara para penanam modal memilih negara ketiga;
Kedua pihak menghabiskan lebih dari satu tahun untuk melakukan perundingan. Pemerintah Jakarta mengirimkan sejumlah pejabat, termasuk di antaranya Lanti, Danoemihardjo, juga Rama Boedi, untuk ikut serta dalam perundingan lanjutan. Pengacara, akuntan, konsultan, insinyur, manajer dan birokrat terlibat di dalam perundingan tersebut.

“Kita itu rapat banyak sekali sampai saya lupa jumlahnya. Pindah itu dari hotel ke hotel,” kata Lanti.

Kontrak tersebut akhirnya ditandatangani pada 6 Juni 1997. Masing-masing pihak membubuhkan tanda tangannya di atas dokumen setebal 600 halaman yang terdiri dari sederet bagan, rumus-rumus penghitungan uang, dan tabel-tabel. Gubernur Surjadi Soedirdja menandatangani sendiri kontrak-kontrak tersebut. Sigit Harjojudanto juga hadir. Menurut Bernard Lafrogne dan Iwa Kartiwa, ini kali pertama dan terakhir mereka melihat Sigit setelah tahun demi tahun berlalu dalam proses perundingan ini.

Kontrak itu pada dasarnya berisi kesepakatan membagi laba selama 25 tahun. Pihak swasta wajib mengelola pasokan air baku sampai mengumpulkan uang dari pelanggan PAM Jaya di seluruh Jakarta. Pihak swasta dapat memanfaatkan aset milik PAM Jaya, mulai dari instalasi air sampai gedung perkantoran. Tapi konsorsium swasta mesti membayar utang luar negeri PAM Jaya. Mereka juga harus mempekerjakan 3.000 karyawan PAM Jaya.

Tanggung jawab PAM Jaya adalah memantau kinerja konsorsium swasta. PAM Jaya memantau target teknis dan standar pelayanan, serta menyusun rekomendasi untuk menentukan kenaikan tarif air. Bila muncul pertikaian, mereka sepakat membawanya ke pengadilan Singapura.

Kontrak ini menekankan bahwa lima tahun pertama adalah masa paling penting. Kontrak tersebut dapat dikaji ulang bila konsorsium swasta tak berhasil memenuhi target mereka, terutama seputar persyaratan teknis. Pada 1997 PAM Jaya memiliki 428,764 sambungan air dan menjual 191 juta meter kubik air. Perusahaan ini melayani sekitar 43 persen populasi penduduk Jakarta, tapi 57 persen dari air tersebut dianggap air yang tak tertagih atau kebocoran (non revenue water).

Kontrak tersebut menggariskan bahwa selama lima tahun pertama, konsorsium swasta harus bisa membangun 757.129 sambungan dan menjual 342 juta meter kubik air. Cakupan pelayanan air bersih harus mencapai 70 persen dan air yang tak tertagih harus turun ke angka 35 persen.

Kontrak juga menegaskan bahwa penanaman modal swasta selama lima tahun pertama harus mencapai Rp 732 miliar (US$318 juta dengan nilai tukar Rp 2.300 untuk satu dollar). Tarif air ditentukan DPRD Jakarta. Namun penyesuaian tarif otomatis bisa juga terjadi setiap enam bulan, berdasarkan sebuah rumus penghitungan yang kompleks, apabila DPRD Jakarta butuh waktu lebih lama lagi untuk menaikkan tarif.

Bagaimana menilai kontrak yang rumit ini?

Nila Ardhianie dari Indonesian Forum on Globalization menulis makalah yang disampaikan dalam World Water Forum di Jepang pada Maret 2003, yang menyebutkan bahwa privatisasi tersebut tanpa tender dan menuduh Bank Dunia berperan penting. Nila mengatakan Bank Dunia telah mengucurkan sejumlah pinjaman untuk penanganan air di Indonesia sejak 1968, termasuk di antaranya $92 juta pinjaman untuk PAM Jaya pada 1991. Ironisnya, ketika pinjaman tersebut usai pada 1998, yang terjadi justru privatisasi. Manajemen aset dan manajemen operasional dialihkan ke kedua perusahaan tersebut.

“Ini artinya PAM Jaya tak diberi kesempatan untuk menggunakan aset yang dibangun berdasarkan pinjaman tersebut,” kata Nila.

Argumentasi Nila ada benarnya. Pada Oktober 1997 sebuah tim dari Bank Dunia yang dipimpin ekonom Alain Locussol menerbitkan sebuah laporan berjudul "Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework." Locussol rekomendasin sejumlah kebijakan untuk privatisasi sekitar 300 perusahaan air di Indonesia. Ia usul pemerintah Indonesia memisahkan “pemilikan aset dari manajemen mereka,” agar pemerintah daerah bisa memiliki aset seputar pengelolaan air tapi tidak mengelola distribusi air.

Locussol berpendapat pemisahan semacam ini dapat mencegah “campur tangan politik lokal” dalam manajemen air. Pemisahan juga membuka peluang bagi swastanisasi. Ini juga memungkinkan “perusahaan pengelola” untuk membentuk sinergi dengan perusahaan lain yang mengelola air di daerah yang berdekatan.

Laporan Locussol mengundang kritik Stephanie Fried dari Environmental Defense Fund yang berbasis di Washington DC. Fried menulis makalah yang mempertanyakan laporan Locussol. “Tidak satu pun dari analisis sepanjang 54 halaman itu yang menyebut nama-nama dari pemilik konsorsium swasta tersebut,” tulis Fried.

Locussol tak menyebutkan kenyataan bahwa PAM Jaya telah diswastakan dengan Sigit dan Salim. “Siapa yang memiliki kedua konsorsium swasta yang disebut-sebut terus dalam laporan Bank Dunia ini?” Fried bertanya.

Fried memaparkan bahwa PAM Jaya telah menerima pinjaman sebesar $92 juta dari Bank Dunia tapi Locussol tidak menyebut satu pun konsekuensi finansial dan legal yang mengiringi privatisasi itu. “Kalau mengingat upaya-upaya Bank Dunia untuk memerangi korupsi di Indonesia, mengapa tak ada analisis yang detail tentang implikasi dari pengambilalihan sistem pasokan air bersih di Jakarta ini dalam Implementation Completion Report –selain pernyataan bahwa swastanisasi ini difasilitasi oleh proyek Bank Dunia dan lebih lanjut akan merupakan pengembangan dari upaya penyediaan air bersih?”

Dari beberapa orang yang terlibat perundingan dengan pihak swasta, saya mengetahui bahwa mereka rata-rata setuju dengan analisis Nila Ardhianie dan Stephanie Fried. Mereka mengatakan saat perundingan berlangsung, pihak swasta pernah minta, baik pada Sigit Harjojudanto atau Anthony Salim, untuk campur tangan apabila ada butir-butir perundingan yang terhambat. Masalah manajemen rekening escrow, misalnya, secara teoritis dimiliki bersama oleh konsorsium dan PAM Jaya, tapi rekening ini justru dibuat agar sepenuhnya ada di bawah kendali konsorsium swasta.

Achmad Lanti mengatakan Gubernur Surjadi bahkan mengancam undur diri jika perusahaan-perusahaan internasional itu bersikeras memungut imbalan air dari PAM Jaya dalam mata uang dollar Amerika, bukannya rupiah. Pihak konsorsium swasta khawatir terhadap ancaman ini dan belakangan sepakat menggunakan rupiah.

Namun Surjadi setuju pencantuman klausul yang menyebutkan bahwa bila terjadi kekurangan antara jumlah yang dibayar pelanggan (water tariff) dan yang dikeluarkan konsorsium swasta (water charge), dan bila DPRD masih memerlukan waktu untuk bahas kenaikan tarif air maka tarif air dapat naik secara otomatis.

Nila Andrianie memperkirakan privatisasi tersebut akan menimbulkan banyak masalah, mulai dari isu tenaga kerja sampai kepemilikan, “Saya kuatir ketika masa konsesi ini berakhir, PAM Jaya tak akan punya aset lagi karena semua aset mereka akan habis untuk dipakai bayar utang.”



DESA Kemusuk mungkin tergolong desa kecil di Pulau Jawa yang tak mempunyai masalah tentang air bersih serumit dan semahal metropolitan macam Jakarta. Tapi di desa inilah, pada Juni 1921, lahir bayi laki-laki, yang kelak akan menentukan masalah air bersih di kota Jakarta.

Suharto kecil dibesarkan dalam keluarga petani. Riwayat awal hidupnya biasa-biasa saja. Pada awal 1940-an ia bergabung dengan sebuah organisasi milisi sokongan Jepang. Namun Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan Suharto jadi gerilyawan melawan tentara kolonial Belanda, yang hendak merebut kembali Hindia Belanda. Pada 1949 para pejuang kemerdekaan ini mendapatkan pengakuan dunia internasional sebagai negara merdeka. Mereka mengumumkan berdirinya Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Sukarno.

Namun Sukarno bukanlah seorang manajer yang efisien. Sukarno juga memberi angin pada gerakan kiri. Pada tahun 1965, di puncak Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, Mayor Jenderal Suharto merebut kekuasaan dari tangan Sukarno. Rezim militer Suharto membantai lebih dari 500.000 pendukung Sukarno. Suharto memusatkan kekuasaan di tangannya. Ia mengundang Bank Dunia untuk membantu pembangunan Indonesia dan membuka pasar Indonesia serta sumber daya alamnya ke tangan perusahaan-perusahaan internasional.

Pada 1970-an Suharto menunjuk kroni-kroninya, kebanyakan pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa seperti Sudono Salim, pendiri Salim Group, ayah Anthony Salim, untuk merintis pembangunan ekonomi Indonesia. Bisnis mereka meroket seiring dengan eksploitasi cadangan minyak bumi Indonesia. Ekonomi Indonesia tumbuh sekitar tujuh sampai delapan persen per tahun. Di akhir 1980-an, saat keenam anaknya dewasa, Suharto mulai meletakkan sederet bisnis besar Indonesia ke tangan anak-anaknya, termasuk Sigit.

Pada zaman Suharto, perusahaan-perusahaan internasional biasanya mengalami kesulitan menanam modal dalam jumlah besar bila belum membangun kemitraan dengan kroni-kroni Suharto. Rekanan macam itu dibutuhkan untuk mengatasi hambatan birokrasi. Keluarga Suharto sendiri jadi rekanan diam. Mereka semata-mata meminjamkan pengaruh.

Suharto menjalankan pemerintahan dengan efisien. Mereka yang ada di pihak oposisi ditekan. Pers dikontrol lewat berbagai macam perizinan. Serikat buruh dan petani dikendalikan negara. Militer dan organisasi politik disatukan di bawah Suharto. Tak seorang pun mampu menantang Suharto selama nyaris tiga dekade. Sejumlah akademisi Barat menyebut Suharto memimpin Indonesia layaknya seorang sultan Jawa. Ia pendiam, sulit ditebak, dan ahli dalam menjalankan politik dan intrik.

Tak ada benteng yang selamanya kokoh, begitu pula pemerintah Suharto. Pada Juli 1997, atau sebulan setelah Thames Water dan Lyonnainse des Eaux menandatangani kontrak air, spekulan valuta asing menghajar bath Thailand kemudian rupiah. Krisis di Asia mulai bergulir dan krisis politik merebak di Indonesia. Huru-hara pecah di berbagai daerah seiring naiknya harga beras, minyak goreng, gula, susu dan sebagainya. Beberapa bulan kemudian, Suharto mengundang International Monetary Fund (IMF) untuk membantu pemerintahannya.

Tetapi anak-anak dan sanak saudaranya menampik sederetan rekomendasi IMF, termasuk di antaranya menutup bank-bank milik mereka yang tak sehat. Langkah ini justru memperkeruh krisis. Bambang Trihatmodjo, adik kandung Sigit, menyilahkan Bank Andromeda miliknya ditutup tapi ia segera mendirikan Bank Alfa. Probosutedjo, adik tiri Suharto, yang banknya juga ditutup, bersama-sama Bambang menggugat pemerintah ke pengadilan.

Pada Oktober 1997, Suharto menunjuk Sutiyoso, mantan komandan militer Jakarta, untuk menggantikan Gubernur Surjadi Soerdirdja. Langkah ini mencipta suasana baru dalam lingkaran urusan air. Berbeda dengan Surjadi yang hati-hati, Sutiyoso yang kurang berpengalaman, bersedia mengawal kepentingan keluarga Suharto tanpa ragu. Tak lama kemudian, Menteri Dalam Negeri Yogie S.M. meresmikan kontrak tersebut sehingga langkah pengambilalihan PAM Jaya tinggal soal waktu.

Pada 1 Februari 1998, di tengah menajamnya tekanan politik dalam negeri dan krisis ekonomi, kontrak air ini pun praktis dimulai. Dini hari itu, belasan eksekutif PT Kekar Thames Airindo, baik expatriate maupun lokal, mendatangi kantor-kantor PAM Jaya dan instalasi air di sebelah timur Jakarta yang ada dalam kontrol mereka.

“Saya senang sekali. John Hurcom berkeliling hingga pagi,” kata Rhamses Simanjuntak, seorang eksekutif PT Kekar Thames Airindo, mengacu pada atasannya yang asal Inggris.

Sementara itu krisis ekonomi makin lama makin parah. Suharto mencoba segala cara untuk mempertahankan diri. Menantunya yang temperamental, Letnan Jenderal Prabowo Subianto, memerintahkan anak buahnya untuk menculik, menyiksa, dan diduga juga membunuh sejumlah aktivis. Anak-anak Suharto menggenjot kampanye lewat media dengan “Aku Cinta Rupiah.” Di awal Mei 1998, empat mahasiswa Jakarta ditembak mati dalam sebuah demonstrasi di Jakarta. Peristiwa tersebut memicu gelombang anti Suharto di seluruh negeri.

Para mahasiswa pun mulai menduduki gedung parlemen. Sejumlah politisi menunjukkan sikap menentang Suharto. Para jurnalis pun menentukan sikap. Beberapa petinggi di sejumlah stasiun televisi, yang dimiliki keluarga Suharto, mengabaikan instruksi para pemilik mereka. Televisi ikut mengobarkan semangat melawan Suharto. Karyawan PAM Jaya ikut serta dalam gelombang protes tersebut. Parlemen minta Suharto untuk mundur. Suharto terpojok.

Akhirnya, Kamis 21 Mei 1998 di Istana Merdeka di jantung kota Jakarta, Suharto membaca sebuah pernyataan pendek di depan kamera televisi. Ia menyatakan bahwa dirinya mengalihkan kekuasaannya ke Wakil Presiden B.J. Habibie. Dengan suara bersalut duka, pemimpin yang kini pucat pasi menyatakan diri berhenti saat itu juga.

Banyak orang Indonesia terkesima menyaksikan pidato Suharto. Bocah Kemusuk yang saat itu berusia 77 tahun, telah berkuasa atas negara berpenduduk nomor empat terbesar di dunia selama 33 tahun. B.J. Habibie, insinyur pesawat terbang didikan Jerman, secepatnya diambil sumpah dan Suharto diam-diam undur diri ke dalam limusin bersama Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulungnya, meninggalkan istana.

Di luar euforia mulai meledak. Ribuan mahasiswa, yang tengah menduduki gedung parlemen, mencucurkan air mata gembira. Ada yang menceburkan diri ke dalam kolam air mancur, merayakan kemenangan mereka. Peristiwa ini kemudian bergema ke seluruh negeri kepulauan ini.

Di kantor pusat PAM Jaya, para manajernya ikut senang tapi juga cemas. Kebakaran melalap sejumlah gedung di Jakarta. Ribuan pusat perbelanjaan, rumah, dan bangunan kantor, terutama yang dimiliki warga Indonesia keturunan Cina, dijarah dan dibakar. Lebih dari 2.500 orang meninggal dunia, kebanyakan para penjarah yang terperangkap dalam bangunan yang terbakar.

“Apa yang akan terjadi bila kerusuhan jalan terus? Bayangkan kota Jakarta tanpa air?” kenang presiden direktur PAM Jaya Rama Boedi, yang tidur di kantor selama seminggu di tengah kerusuhan berlangsung.

Saya beberapa kali mewawancarai Rama Boedi. Dia seorang insinyur lulusan ITB. Ia pecinta ilmu bela diri. Tubuhnya berotot dan mendapat julukan “Rambo” –plesetan dari karakter film Hollywood yang diperankan Sylvester Stallone. Kata “rambo” juga gabungan dari dua suku kata pertama namanya “Ra(ma)-Boe(di).” Rambo yang satu ini mendapat telepon bertubi-tubi dari sejumlah manajer PAM Jaya, menanyakan apa yang seharusnya mereka lakukan.

“Stok bahan kimia ini cuma cukup tiga hari. Apa harus berhenti dulu nih?” tanya Djoni Heryanto, manajer instalasi air di Buaran, Jakarta Timur.

“Pak ini gimana?” tanya yang lain.

Tak mudah bagi Rama untuk menjawab. Kedua tangannya terbelenggu. Baru tiga bulan yang lalu, operasi PAM Jaya dialihkan ke tangan konsorsium swasta.

Jajaran manajer PAM Jaya ini juga cemas, karena orang Prancis dan Inggris telah melarikan diri dari Jakarta. Sejumlah kedutaan besar negara-negara Barat, termasuk Perancis dan Inggris, sebelumnya telah mendesak warganya untuk meninggalkan Jakarta. Bos-bos Lyonnaise des Eaux dan Thames Water juga tergopoh-gopoh kabur dari Jakarta, yakin bahwa mitra lokal mereka dapat menangani pengelolaan tersebut selama mereka tidak ada.

“Mereka bahkan tidak menelepon saya,” kata Rama.

Rama memutuskan untuk mengirimkan laporan ke Gubernur Sutiyoso, pada hari Jumat, atau sehari sesudah pengunduran diri Suharto. Sutiyoso langsung mengeluarkan instruksi tertulis, minta Rama Boedi mengambil langkah-langkah guna mengamankan layanan air dan “apabila perlu mengambil alih pengelolaan tersebut sepenuhnya guna mengisi kekosongan.”

Keesokan harinya Rama mengundang Iwa Kartiwa dan Fachry Thaib, masing-masing presiden direktur PT Garuda Dipta Semesta dan PT Kekar Thames Airindo, bersama beberapa pembantu mereka, agar datang ke markas besar PAM Jaya.

Pertemuan tersebut mulai sekitar pukul 10 pagi dan berlangsung di sekeliling meja bundar dalam ruang rapat PAM Jaya. Belasan petinggi dan manajer PAM Jaya datang. Di luar ruang pertemuan, para karyawan menggelar demonstrasi.

“Situasinya tegang sekali,” kenang Efendy Napitupulu, seorang manajer PAM Jaya, seraya berkata bahwa sejumlah orang di dalam dan di luar ruang pertemuan diduganya membawa pistol di balik jaket mereka.

Rama Boedi mengatakan bahwa ia memulai rapat itu dengan menyampaikan secara singkat pada Iwa dan Fachry tentang instruksi Sutiyoso dan minta mereka menandatangani dokumen penyerahan pengelolaan air ke tangan PAM Jaya. Ia tak bisa menyembunyikan kekecewaannya terhadap para expatriate Inggris dan Perancis. Fachry dan Iwa keberatan. Terjadi perdebatan antara Rama dan Fachry Thaib.

“Gila ya? Mana orang-orang Anda?” tanya Rama.

“Di Singapore.”

Iwa dan Fachry mencoba sebisa mungkin agar tetap tenang. Fachry sendiri sudah pindah sementara ke Hotel Hilton, sebuah hotel bintang lima, demi menghindar penjarahan dan kekerasan di bilangan tempat tinggalnya. Euforia anti-Suharto masih memanas. Jelas bahwa Iwa dan Fachry paham posisi mereka saat itu. Mereka kini kroni Suharto yang jadi sasaran tembak.

Rama Boedi mencoba meredakan ketegangan dengan membawa Iwa dan Fachry ke kantornya yang ada di sebelah ruang pertemuan. Beberapa staf inti mengikuti Rama. Fachry dan Iwa akhirnya sepakat untuk menandatangani selembar dokumen, yang secara resmi menyerahkan kembali pengelolaan air ke tangan PAM Jaya.

Pukul 03.05 mereka meninggalkan ruangan. Iwa, Fachry dan rekan-rekan mereka keluar lewat pintu belakang menghindari para karyawan yang sedang berdemonstrasi.

“Terhitung sejak Sabtu pengelolaan sudah ada di tangan saya,” kenang Rama Boedi.

Pada hari Senin, lebih dari 3.000 karyawan PAM Jaya berkumpul di kantor pusat PAM Jaya, mengelu-elukan Rama Boedi dan meneriakkan, “Hidup Rambo, hidup Rambo.”

Di depan karyawannya Rama berbicara. “Lebih baik bagi kita untuk menghentikan kerja sama dengan pihak swasta karena tak menguntungkan PAM Jaya. Saya dengan ini membatalkan kerja sama!”

“Hidup Rambo, hidup Rambo,” seru para karyawan.

Sebagian dari mereka memandu Rama di atas pundak mereka. Mereka larut dalam suasana jatuhnya Suharto sekaligus hilangnya perusahaan internasional yang selama ini membuat PAM Jaya tak berdaya.

Namun euphoria ini tidak bertahan lama. Para expatriate Inggris dan Prancis menganggap pengambilalihan tersebut ilegal. Dalam sebuah memo internal Lyonnaise des Eaux, yang diberikan Lafrogne kepada saya, mereka menyebut peristiwa tersebut sebagai “kudeta.” Para expatriate tersebut kembali ke Jakarta dan menuntut PAM Jaya menaati kontrak hukum.

John Hurcom dan Bernard Lafrogne menganggap tanda tangan Iwa dan Fachry dibuat di bawah tekanan. Artinya, pengambilalihan itu batal demi hukum. Tapi Hurcom dan Lafrogne juga sadar bahwa mereka harus lebih realistis. Mereka melihat gelombang sentimen anti-Suharto muncul di mana-mana. Orang berlomba-lomba melucuti apa pun yang ada kaitannya dengan keluarga Suharto. Selama Suharto berkuasa, koneksi dengan Suharto dipandang sebagai aset. Kini aset tersebut tak lagi menguntungkan. Sutiyoso menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan internasional itu dapat mempertahankan kontrak-kontrak mereka asalkan lepas dari Salim Group dan Sigit Harjojudanto.

Rambo terjepit di antara bosnya dan dua raksasa internasional itu. Pada 1 Juni 1998, tepat satu minggu setelah pidato kemenangannya, Rambo tak berdaya menandatangani sebuah dokumen yang menyatakan bahwa kedua perusahaan internasional tersebut akan membeli saham dari kroni Suharto. Kedua perusahaan internasional itu kemudian memang melepaskan Salim Group dan PT Kekar Pola Airindo. Mereka juga sepakat merundingkan ulang kontrak tersebut, dengan mengakui bahwa kontrak pertama dibuat secara tak adil. Rambo tak bisa berbuat apa-apa.

Zainal Abidin, seorang aktivis serikat pekerja di PAM Jaya, mengatakan pada saya bahwa para karyawan seketika itu juga kehilangan rasa hormat mereka pada Rama. “Minggu sebelumnya kita pikir dia pahlawan. Pidatonya keras sekali, bilang kita harus bela PAM Jaya. Banyak yang menggotong dia. Sekarang dia kembali ke orang asing itu.”

“Pak Rama Boedi pasti frustasi sekali. Dia orang PAM Jaya sejak lulus sekolah. Mimpinya memang jadi direktur PAM Jaya. Dia pikir dia bisa mengembangkan PAM Jaya dan mengubahnya jadi perusahaan yang baik. Ketika akhirnya dia jadi direktur, perusahaan diprivatisasi. Secara psikologis dia tidak senang,” kata Lafrogne.

Lafrogne mengatakan pada saya bahwa Iwa Kartiwa orang jujur, sederhana, dan sangat profesional. “Dia sedih sekali ketika proyek ini diambil,” kata Lafrogne, menambahkan bahwa Salim Group pada awalnya, lepas dari segala keuntungan berlimpah yang datang dari perusahaan-perusahaan mereka, berkeinginan untuk memberikan sesuatu untuk masyarakat Jakarta. Anthony Salim berpendapat layanan air bersih adalah pilihan yang ideal. Tapi kini Suharto sudah lengser dan hidup harus jalan terus tanpa Suharto maupun … kroni-kroninya.



KALAU Anda berkendara sepanjang sebuah ruas jalan Jakarta menuju batas sebelah timur, Anda harus siap berjuang menghadapi pengemudi bis yang ugal-ugalan, metro mini yang berisik, kemacetan lalu lintas, pengemudi motor yang seenaknya sendiri, dan perempatan jalan yang kacau balau, agar bisa sampai ke sebuah jalan yang membentang di sepanjang sungai Kali Malang. Perjalanan ini akan membawa Anda menuju satu dari instalasi air bersih terbesar di Jakarta. Penduduk setempat menamainya instalasi air Buaran yang merupakan sebuah kompeks yang luas dengan bangunan-bangunan mirip barak militer, tanki-tanki air besar, pipa berbagai ukuran dan penjagaan keamanan. Saya mengujungi Buaran akhir Desember lalu untuk bertemu dengan Efendy Napitupulu dan Taufik Sandjaja, dua aktivis Serikat Pekerja Air Minum (SPAI), bersama dengan sejumlah rekan kerjanya.

SPAI adalah yang terbesar dari empat serikat pekerja yang ada di PAM Jaya. Mereka berkumpul di satu kantor kecil dengan dua kamar, terletak di sebelah kios kecil yang menjajakan minuman ringan, makanan kecil, aspirin, dan rokok. Perempuan yang menjaga kios menyajikan sebotol teh botol dingin untuk saya. Sementara itu, para aktivis itu merokok tak putus-putus sepanjang wawancara berlangsung. “Ini makin susah berhenti! Ada banyak masalah khan!” keluh Napitupulu.

Napitupulu termasuk pentolan SPAI. Dia dan empat aktivis lainnya dipecat manajemen PT Thames PAM Jaya, nama baru PT Kekar Thames Airindo, agaknya gara-gara aktivisme mereka. Menariknya, mereka cukup berpendidikan. Napitupulu sendiri bergelar MBA. Mereka berlima mengadukan pemecatan lewat prosedur hukum ketenagakerjaan dan mereka menang. Mereka pun “ditransfer” dari PT Thames PAM Jaya kembali ke PAM Jaya untuk menjalani “program pembinaan” –artinya mereka tak diberi pekerjaan yang jelas. Masih banyak yang bernasib serupa. Sebagian besar aktivis ini mengatakan tertunda gaji bulanannya. Di Buaran, seorang aktivis mengatakan gajinya baru dibayar setelah 16 bulan. Salah satu pemimpin mereka bahkan meninggal dan seorang lagi kena stroke.

Aktivis-aktivis macam inilah, Napitupulu, Taufik, dan sebagainya, yang mengorganisasi sebagian besar aktivitas serikat pekerja sejak jatuhnya Suharto pada Mei 1998. Mereka menggerakkan demonstrasi di jalan-jalan, bahkan kadang-kadang sampai mengelas pintu gudang-gudang PAM Jaya, demi memprotes konsorsium swasta. Mereka juga mendesak manajemen PAM Jaya untuk bersikap keras dengan konsorsium. Tahun lalu lebih dari 1.000 karyawan PAM Jaya mengajukan gugatan hukum terhadap PAM Jaya dan kedua perusahaan swasta, gara-gara pekerjaan mereka terancam. Kasus tersebut masih ada di tangan pengadilan negeri Jakarta Pusat.

“Sampai lupa jumlah demonya … banyak sekali,” kata Taufik.

Aksi-aksi mereka menarik perhatian media. Taufik juga berkunjung ke berbagai kantor media untuk memberi informasi kepada para editor.

“Saya ketemu Pak Bambang dan cerita soal PAM Jaya,” ujar Feri Watna, seorang insinyur Buaran, mengacu pada Bambang Harymurti, pemimpin redaksi majalah Tempo, yang pernah dua kali menurunkan laporan panjang tentang privatisasi PAM Jaya.

Seorang pemimpin serikat pekerja yang merasa geram bahkan pernah mengancam Lafrogne dengan sebilah pisau. Lafrogne melaporkannya kepada polisi. Idris Mansuri membantah bahwa ia serius melakukan tindakan tersebut. Indri mengatakan pada saya bahwa “normal” bagi orang Betawi untuk membawa-bawa pisau ke mana-mana. Polisi menutup kasus ini setelah Idris minta maaf.

Situasi macam inilah, yang mungkin tak nyaman, yang dihadapi RWE Thames Water dan Ondeo Service setelah Suharto lengser. Indonesia mungkin sudah jadi sebuah demokrasi walau chaos. Anthony Salim dan Sigit Harjojudanto tersingkir dan serikat buruk makin punya gigi. RWE Thames Water dan Ondeo tak punya pilihan selain merundingkan ulang kontrak pertama yang dibuat pada 1997.

Presiden B.J. Habibie sendiri tak banyak menaruh perhatian pada PAM Jaya. Perhatian Habibie tersita oleh isu lain, termasuk Timor Timur dan penyelenggaraan pemilihan umum. Pada 1999 Habibie mengijinkan PBB melangsungkan referendum di bekas jajahan Portugis yang diduduki rezim Suharto sejak 1975. Warga Timor Timur memilih merdeka. Sementara di Aceh meletus pemberontakan bersenjata yang serius. Penduduk Papua juga menuntut kemerdekaan. Selain itu Habibie masih harus menghadapi tuduhan sebagai orang yang melindungi Suharto dari tangan hukum.

Pada Oktober 1999 Habibie kalah suara dari Abdurrahman Wahid dalam pemilihan presiden. Indonesia memasuki masa demokratisasi yang jauh lebih kompleks. Wahid berupaya keras mendorong program demokratisasi. Ia memecat jenderal-jenderal nakal bahkan menjanjikan referendum di Aceh. Ia bicara dengan para pemberontak melalui telepon dan mendengarkan keluhan mereka. Wahid bertahan 20 bulan sebelum ia diberhentikan dari kursi kepresidenan pada Juli 2001. Wahid seorang cendekiawan liberal dan aktivis pro-demokrasi, tapi bukan seorang manajer yang baik. Wakilnya, Megawati Soekarnoputri, mengambil alih kendali. Hamzah Haz, ketika itu menjabat menteri, menjadi wakil presiden.

Apa yang bermula sebagai protes terhadap privatisasi kemudian mengerucut menjadi persoalan gaji. Presiden Wahid memutuskan kenaikan gaji pegawai negeri saat ia menjabat. Karyawan PAM Jaya memandang diri mereka “pegawai negeri.” Tapi setelah mereka bekerja untuk RWE Thames Water dan Ondeo Service, mereka sadar bahwa penghasilan mereka sekitar 30 persen lebih rendah dibandingkan dengan gaji kolega mereka yang masih bekerja untuk PAM Jaya.

“Kami baru sadar itu ada sekitar 200 yang masih kerja di PAM Jaya lebih enak mereka,” ujar Napitupulu.

Demonstrasi yang terus-menerus bagaimana pun juga mengganggu manajemen konsorsium. Pada periode tersebut, kalau Anda mengunjungi kantor PAM Jaya di mana pun, Anda akan melihat suasana kerjanya mencemaskan. Ada karyawan yang mau bekerja dengan manajemen baru namun lebih banyak lagi yang bekerja sejauh mereka tak melanggar hukum. Sutiyoso belakangan memecat Rama Boedi. Alasannya tak jelas. Banyakyang menduga lantaran Rama tak mendukung privatisasi dan diam-diam memberi angin pada para demonstran.

Pihak konsorsium juga mendapat masalah baru dengan munculnya DPRD yang lebih bertaring. Bulan Desember 1999, Edy Waluyo, ketua DPRD Jakarta, melayangkan surat pada Gubernur Sutiyoso, menyampaikan bahwa perundingan ulang dengan konsorsium hanya bisa dilaksanakan sampai Februari 2000, “Jika negosiasi tak bisa selesai per 1 Februari 2000, kerja sama harus dibatalkan.”

Buru-buru Sutiyoso mendesak orang-orangnya untuk mempercepat proses perundingan. Tim baru bergerak lebih cepat sekaligus membujuk DPRD untuk meredam tuntutannya. Di sisi lain, Sutiyoso juga menolak permintaan konsorsium agar ia mengusulkan kenaikan tarif air. Air adalah isu politik yang peka. Orang bisa hidup tanpa listrik, tanpa telepon, atau tanpa jalanan mulus, tapi tanpa air mereka akan menderita sekali. Sutiyoso enggan memancing kemarahan rakyat selagi dirinya, sebagai kaki tangan Suharto, masih digugat banyak orang.

Pada 28 Februari 2000, ketika sudah jelas bahwa perundingan tak mungkin tuntas, Edy Waluyo melayangkan surat lagi, memberi Sutiyoso tambahan waktu. Ternyata perundingan berjalan jauh lebih lambat. Sutiyoso setuju menaikkan tarif air sebesar 35 persen pada April 2001. Perundingan kedua ternyata sama panjangnya seperti yang pertama. Baru pada 22 Oktober 2001 kontrak kedua, ditandatangani oleh PAM Jaya dan pihak swasta.

Kedua perusahaan internasional pun berganti nama. Sembilan puluh lima persen saham PT Thames PAM Jaya maupun PT PAM Lyonnaise Jaya dimiliki perusahaan induk mereka di London dan Paris. Dua perusahaan Indonesia, masing-masing PT Terra Metta Phora dan PT Bangun Cipta Sarana, hanya punya hak saham lima persen. Kedua pemegang saham minoritas asal Indonesia ini adalah sub-kontraktor dari kedua konsorsium.

Kontrak kedua mencakup 13 perubahan besar. Semula masing-masing konsorsium swasta memiliki kontrol atas rekening escrow. Mereka dapat menarik uang dari rekening tersebut tanpa persetujuan PAM Jaya. Prioritas penggunaan rekening adalah untuk biaya operasi pihak swasta. Mulanya, PAM Jaya juga tak dapat menelaah laporan keuangan pihak swasta. Kini semua itu berubah. Sebuah badan regulator dibentuk. Ketuanya tak lain adalah Achmad Lanti, pensiunan pegawai negeri, yang dulunya terlibat dalam perundingan pertama.

Namun bagi karyawan PAM Jaya, kontrak kedua lebih merugikan mereka. Kontrak ini menyatakan bahwa hanya ada “status tunggal” bagi karyawan. Mereka harus memilih: jadi pegawai konsorsium atau menerima “golden hand shake” –istilah halus berminyak untuk pemecatan. Dengan kata lain, kontrak kedua ini bisa menjadi dasar pemecatan besar-besaran.

“Saya mulai curiga ketika melihat status kerja,” kata Efendy Napitupulu.

Bernard Lafrogne mengatakan bahwa pada 1998 mereka mulai beroperasi dengan nisbah 7,72 pekerja per 1.000 sambungan air. Pada 2001 nisbah tersebut turun jadi 4,71 pekerja. “Jika kita lihat pada Malaysia atau Manila, sekitar tiga orang saja sudah cukup, perusahaan akan lebih efisien.”

Taufik Sandjaja menjelaskan, jumlah pegawai telah turun dari 3.000 menjadi 2.200 pada Desember 2003, seraya menambahkan bahwa setengah dari mereka yang memilih meninggalkan PAM Jaya terpaksa mengambil uang pesangon. Namun 1.110 dari 2.200 yang tertinggal itulah yang mengajukan gugatan hukum melawan PAM Jaya dan konsorsium.

Dalam wawancara dengan para aktivis di kantor kecil mereka di Buaran, saya bertanya, “Mana dari kedua operator tersebut yang lebih baik?” Ini memang bukan pertanyaan mudah karena kedua perusahaan bekerja sama dengan erat dan berkomunikasi secara rutin. Tapi para aktivis itu rata-rata menyatakan PT PAM Lyonnaise Jaya lebih memahami budaya lokal daripada PT Thames PAM Jaya milik RWE Thames Water.

Saya bertanya apa beda Thames Water dulu dengan manajemen RWE Thames Water sesudah merger? “Ada kemajuan sejak mereka dengan RWE. Masih pola lama, tapi mereka berusaha membentuk satu komunitas di karyawan, dikondisikan agar mau bekerja sama dalam menunjang policy kepegawaian. Misalnya, alih status dari karyawan PAM menjadi karyawan mereka. Buntutnya rasionalisasi. Ujung-ujungnya rasionalisasi,” kata Taufik, yang berstatus tenaga pemasaran PT PAM Lyonnaise Jaya.

Ponimin, aktivis SPAI yang lain, mengatakan bahwa tak banyak kebijakan yang berubah. Itulah alasan mereka melancarkan gugatan hukum. “Ini ide kita semua. Semua sudah kita lewati, Departemen Tenaga Kerja, Gubernur dan sebagainya. Untuk mencari keadilan, kami masuk ke pengadilan, untuk dapat kekuatan hukum. Dulu ada Foska PAM Jaya tapi sifatnya lobby-lobby saja. Ada jawaban, tapi ya cuma omongan. Lalu kita bikin SPAI.”

Persoalan tak berpusar pada tarik urat leher semata. Ada juga tawaran yang menggiurkan. Taufik Sandjaja menyodorkan sebuah contoh. Satu kali ia “ditawari” memimpin bagian kepegawaian PT Thames PAM Jaya.

“Saya tolak tentu. Itu khan namanya berkhianat?”

Dari Buaran, saya punya kesan yang campur aduk tentang Napitupulu dan rekan-rekannya. Bagaimana pun mereka berjuang untuk sebuah cita-cita, yang mungkin tak sepenuhnya bisa dimengerti orang, terutama mereka yang berada di Bank Dunia atau perusahaan air, tapi saya melihat mereka berkorban untuk cita-cita mereka.



RHAMSES Simanjuntak bekerja dari sebuah ruang yang lapang di lantai 29 gedung Danamon Aetna di Jalan Sudirman, kawasan bisnis paling mahal di Jakarta. Ia seorang lelaki paruh baya dengan rambut keperakan dan badan besar. Ketika saya menemuinya Desember lalu, ia sedang bekerja dengan laptop mungil di meja kerja yang tertata rapi.

“Duduk dulu. Saya selesaikan pekerjaan sedikit,” katanya.

Simanjuntak adalah salah seorang tokoh yang paling berpengaruh untuk urusan air bersih di Jakarta. Ia direktur PT Thames PAM Jaya yang mengurusi “external relations and communication”. Artinya, ia orang Thames Water yang bertugas menghadapi DPRD Jakarta, pejabat PAM Jaya, orang Badan Regulator, para aktivis, juga wartawan seperti saya. Ia satu-satunya orang Indonesia yang duduk di dewan direksi konsorsium tersebut.

Dulu Simanjuntak seorang akuntan. Pada Agustus 1996 ia memutar haluan yang mengubah seluruh jalan hidupnya. Ia memutuskan bergabung dengan PT Kekarpola Thames Airindo.

“Ya, saya cuma cari pekerjaan dan bergabung di sini. Biasa saja,” kata Simanjuntak, seraya menambahkan bahwa ia serta merta ikut mempersiapkan privatisasi PAM Jaya. Simanjuntak banyak membantu Fachry Thaib, orang kepercayaan Sigit, dalam melakukan perhitungan privatisasi.

Ia juga saksi mata pengambilalihan PAM Jaya pada Februari 1998, juga saksi krisis ekonomi yang kemudian memuncak seiring kejatuhan Presiden Suharto. Namun, Simanjuntak bisa tetap berada di posisinya saat warga Indonesia lain, termasuk Fachry dan Iwa Kartiwa, harus angkat kaki dari bisnis air ini.

Efendy Napitupulu mengatakan bahwa Simanjutak menanjak dari yang tadinya “naik Mikrolet” menjadi naik “Land Cruiser” mahal. Menurut Budi Saroso, mantan rekan Simanjuntak di PT Kekar Thames Airindo, yang ikut terpental dari perusahaan itu sesudah jatuhnya Suharto, “Rhamses tidak join dari awal. Dia gabung di tengah-tengah perundingan. Keahliannya finance. Tapi dia kerja untuk Thames, tidak pada kita, karena masalah keuangan ada pada Thames.”

Simanjuntak menerangkan panjang lebar pada saya bahwa RWE Thames Water punya komitmen jangka panjang di Indonesia, dengan mengatakan bahwa proyek air bersih di Jakarta ini adalah satu-satunya proyek Thames Water di Indonesia. Mereka ingin bisnis ini berhasil. “Bahkan saat krisis ekonomi dan politik, komitmen Thames Water tetap terjaga,” katanya. Thames Water terus mempertahankan komitmen mereka di Jakarta sejak kontrak 1997.

Simanjuntak mengatakan, RWE Thames Water punya bisnis lain di kawasan ini, yang dikendalikan baik dari Singapura maupun Australia, tapi nilainya relatif kecil dibandingkan dengan modal pada PT Thames PAM Jaya. Sejak 1997 perusahaannya telah menanamkan modal sebesar Rp 434 milyar dan berencana untuk menanamkan lebih banyak lagi sampai di atas Rp 1 trilyun pada 2007 nanti.

Ketika saya bertanya mengapa Thames Water awalnya bekerja sama dengan Sigit Harjojudanto dan memanfaatkan pengaruh Sigit dalam perundingan, ia langsung menepis dugaan adanya permainan. Ia mengatakan perundingan pertama itu memang alot, “Kalau memang ada kemudahan, mengapa kita negosiasi hingga satu tahun lebih?”

Lantas bagaimana menilai kinerja konsorsium ini?

Hingga Desember 2003 atau bulan terakhir dari lima tahun pertama kontrak 25 tahun yang mereka dapatkan, baik PT Thames PAM Jaya maupun PT PAM Lyonnainse Jaya, berhasil melakukan konsolidasi terhadap sebagian besar jaringan PAM Jaya. Mereka secara drastis memangkas jumlah karyawan. Mereka juga bekerja sama dengan BCA, bank swasta terbesar Indonesia, untuk memberikan fasilitas pembayaran air pada para pelanggan lewat ATM.

RWE Thames Water sempat menghadapi masalah yang memalukan ketika proyek bantuan Bank Dunia mereka di kawasan kumuh, Marunda, sebelah utara Jakarta, berantakan. Pada Juli dan Agustus 2003, sejumlah warga Marunda mengadakan demonstrasi atas buruknya layanan air di sana. Perusahaan Inggris-Jerman ini awalnya berniat membangun jaringan distribusi pipa ke Marunda. Namun tekanan air yang rendah dan kurangnya daya tekan pompa membuat air mengalir pelan ke Marunda. Buntutnya, warga Marunda protes.

Menurut data Badan Regulator, baik RWE Thames Water dan Ondeo telah meningkatkan sambungan air dari sekitar 428,764 pada 1997 ke hampir 650,000 pada Desember 2003. Cakupan layanan air bersih pun meningkat dari 43 persen pada 1997 menjadi 53 persen pada 2003. Penjualannya juga meningkat dari 191 juta ke 255 juta meter kubik air.

Simanjuntak mengatakan PT Thames PAM Jaya secara khusus meningkatkan sambungan di sebelah timur Jakarta dari 268,000 pada 1997 menjadi 320,000 pada 2001 dan kemudian 336,550 pada 2003. Artinya, terjadi peningkatan sebesar 26 persen dalam waktu lima tahun pertama.

Secara umum layanan jelas lebih baik, terutama untuk daerah-daerah kelas menengah dan elit di Jakarta seperti Pondok Indah dan Kemang, tapi perusahaan internasional tersebut gagal memenuhi target-target teknis sebagaimana tertera dalam kontrak tahun 1997. Volume yang terjual pada bulan Desember 2003 adalah 255 juta meter kubik air. Padahal targetnya 342 juta. Mereka bisa melayani 53 persen penduduk Jakarta sementara targetnya adalah 70 persen. Mereka berhasil menekan tingkat air tak tertagih menjadi 47 persen, sedang targetnya adalah 35 persen.

Achmad Lanti dari Badan Regulator mengatakan bahwa sekitar 40.000 sampai 45.000 dari total sambungan sekitar 650.000 memiliki layanan buruk, mulai dari tak setetes pun air mengalir sampai tekanan air yang rendah seperti di Marunda.

“Kami dapat banyak laporan, air hanya mengalir dua atau tiga jam sehari,” kata Lanti.

Pendek kata, dalam hal kualitas dan kuantitas, konsorsium gagal memenuhi target. “Saya bilang pada mereka namun mereka membantah. Mereka tidak percaya pada temuan Badan Regulator sehingga harus diundang tim pakar untuk melakukan evaluasi.”

Pengeluaran mereka juga memicu kritik. Atjeng Sastrawidjaja dari Badan Pemeriksa Keuangan Publik (BPKP) Jakarta menulis dalam sebuah laporan pada Mei 2000 bahwa biaya operasional dari perusahaan internasional tersebut terlalu tinggi. Mereka menyewa kantor-kantor baru di dua gedung di kawasan bisnis Jakarta, termasuk kantor Simanjuntak, ketimbang memanfaatkan aset PAM Jaya yang ada. Gaji para expatriate pun relatif tinggi.

Sejumlah expatriate digaji sekitar US$100,000 atau sekitar Rp 800 juta per tahun di luar fasilitas penunjang lainnya, termasuk mobil dan tunjangan keluarga.

“Kita tak tahu persis jumlahnya satu per satu tapi angka $100,000 bisa dilihat dari anggaran mereka,” kata Alizar Anwar, direktur eksekutif Badan Regulator.

Simanjuntak mengatakan bahwa sewa gedung Danamon Aetna tersebut relatif murah akibat devaluasi rupiah, “Orang bilang kita bayar terlalu mahal atau mobilnya terlalu mewah. Tapi kita toh harus tahu mereka ini expatriates harus hidup sesuai dengan standar hidup mereka di negeri asalnya.”

Ketika saya menanyakan pertemuan Duta Besar Richard Gozney dengan Wakil Presiden Hamzah Haz, Simanjuntak mengatakan bahwa ia tak banyak tahu ide awalnya. Pertemuan itu kemungkinan besar gagasan John Trew, atasannya. Tapi Simanjuntak menekankan logika kenaikan tersebut, “Penyesuaian itu diperlukan untuk menutup inflasi yang membuat harga listrik, bahan kimia, dan gaji karyawan naik, maupun investasi.”

Achmad Lanti juga mendukung kenaikan tarif karena consumer price index naik sebesar 156 persen dari Februari 1998 sampai Januari 2004. Sementara, total kenaikan tarif air sebelumnya sebesar 18, 25 dan 40 persen, masih lebih rendah dibandingkan indeks tadi.

Consumer price index adalah sebuah perhitungan guna mengukur perubahan harga barang-barang dan layanan jasa. Angka ini juga mengukur laju inflasi.

Walau setuju kenaikan tarif air, Lanti mempertanyakan biaya operasi konsorsium itu. Apa benar-benar masuk akal? Ia menyebutkan bahwa sangat sulit membangun kepercayaan dalam kerja sama yang sudah berlangsung sejak 1997 ini. Baik PAM Jaya maupun pihak swasta saling tak percaya, bahkan untuk data dasar sekalipun mereka sering berbeda pendapat. Lebih buruk lagi, kedua pihak, terutama pihak konsorsium, juga tidak memercayai Badan Regulator, sampai pada titik keduanya sepakat mengundang pihak ketiga, “tim pakar internasional” untuk datang ke Indonesia dan menghitung semuanya.

Satu dari sejumlah pertikaian adalah soal hitung-hitungan. PAM Jaya menyatakan total utangnya pada konsorsium sekitar Rp 600 milyar, sedangkan Thames Water dan Ondeo mematok angka total Rp 900 milyar.

Dalam kontrak 2001, kedua pihak sepakat bila terjadi pertikaian, mereka akan menggunakan mekanisme empat tingkat: (1) musyawarah; (2) mediasi lewat Badan Regulator; (3) pakar internasional; (4) peradilan baik di Jakarta atau Singapura.

Ternyata mereka tak bisa bermusyawarah. Perbedaan pendapat dengan Badan Regulator muncul setelah lembaga itu mempertanyakan efisiensi pemakaian uang oleh pihak swasta. Tapi laporan tersebut disanggah konsorsium.

“Ya tidak apa-apa bukan? Kita punya alasan kita sendiri,” kata Simanjuntak.

Akhirnya, mereka sepakat mengundang sebuah perusahaan Amerika untuk mengadakan penelitian selama setahun.

Gubernur Sutiyoso jarang mengungkapkan pendapatnya tentang kontroversi PAM Jaya ini, tapi satu kali ia mengatakan pada wartawan bahwa ia menyewa konsultan dari Singapura untuk mempelajari kontrak tersebut. Para konsultan mengatakan ada 11 butir dari kontrak tahun 2001 yang jelas-jelas menguntungkan pihak konsorsium, “Salah satunya adalah ketentuan bahwa tarif air harus naik setiap enam bulan sekali.”

Rama Boedi mengatakan, ia tak menentang privatisasi. Tapi seharusnya privatisasi dipersiapkan dengan lebih baik. Menurutnya, Presiden Suharto terlalu tergesa-gesa dan mengambil jalan pintas. Dalam perenungannya, Rama juga menyesali mengapa kedua perusahaan raksasa itu mengambil cara bekerja sama dengan kroni-kroni Suharto.

“Mereka perusahaan besar, mereka tak perlu menggunakan cara-cara kotor dalam negosiasi awal itu,” kata Rama.

Namun susah juga menilai orang macam Bernard Lafrogne sebagai karakter yang jahat. Lafrogne akrab dengan Indonesia. Ia percaya keterlibatan perusahaan Indonesia adalah metode penting untuk mengelola bisnis air. Ondeo membawa pengetahuan dan ketrampilan, sementara mitra Indonesia mereka memberikan sentuhan lokal.

Sekarang keadaan makin sulit. Kalau mekanisme “pakar internasional” tak bisa menyelesaikan sengketa, langkah selanjutnya adalah pengadilan. Achmad Lanti menjelaskan kalau sampai pihak swasta angkat kaki dari Jakarta, maka pemerintah harus mengeluarkan uang sekitar Rp 3 triliun untuk mengganti keseluruhan biaya investasi dan kerugian para investor, plus membayar 50 persen dari keuntungan yang diproyeksikan pihak swasta sepanjang sisa masa berlakunya kontrak.

Angka tersebut hanya perkiraan dan harus disetujui kedua pihak, PAM Jaya dan pihak swasta, kalau memang pihak swasta harus angkat kaki. Namun berapa pun angkanya, kelihatannya tak ada jalan keluar yang mulus untuk sengketa air ini, dan apa pun yang terjadi, tak sulit untuk meramal bahwa yang paling bakal dirugikan adalah seluruh warga Jakarta. Mereka akan rugi karena pelayanan air bisa terganggu dan lebih rugi lagi karena uang merekalah yang akan dipakai membayar petualangan ini.

Sebelum meninggalkan kantornya, saya bertanya pada Rhamses Simanjuntak, apa yang ia senangi dari bisnis air ini.

“Semua orang butuh air. Ini komoditi yang dibutuhkan semua orang. Ini adalah komitmen hidup saya. Saya mau pensiun di sini,” kata Simanjuntak.

Saya hanya diam, tapi setuju pada ucapannya. Bisnis air, bila dikelola dengan modal besar dan didukung kekuatan politik yang kuat, adalah bisnis yang menjanjikan. Tak heran kalau Simanjuntak merasa aman.

***


Liputan bermula sebagai pekerjaan untuk International Consortium of Investigative Journalists pada 2001. Naskahnya diterbitkan bersama naskah lain dari beberapa kota dunia. Khusus soal Indonesia berjudul, "Water and politics in the fall of Suharto." Proyek liputan ini diberi judul Water Barons terbit Februari 2002. 

Pada Maret 2004, Andreas Harsono hendak menerbitkan naskah dengan judul “Diplomasi Air Kotor, Investasi Air Besar” buat majalah Pantau. Sayang Pantau berhenti terbit. Naskah dialihkan ke majalah Gatra dan dimuat dalam edisi 7 Mei 2004 dengan judul “Dari Thames ke Ciliwung.” 

Pada Agustus 2004, Harsono menerbitkan naskah ini dalam bahasa Inggris buat Asienhaus di Essen, Jerman dengan judul "From the Thames to the Ciliwung." Asienhaus menterjemahkan ke bahasa Jerman dengan judul "Von der Themse zum Ciliwung."

Tuesday, May 25, 2004

Amid Bloodletting, Acehnese Try Music and Humor

Tuesday, May 25, 2004, Tuesday

By Andreas Harsono

In a medium-sized amphitheatre, some 200 students in faded blue jeans and T-shirts listened to speeches, applauded a traditional Acehnese dance performance and laughed at a story teller who engaged the audience with jokes.

"Stop, stop, stop for a while! Hamzah Fansuri forgot to turn off his handphone," said Agus PM Toh, the story teller. Immediately, he grabbed his handphone from his pocket and responded with the microphone still on, "Hello! Call me again later. I am in the middle of my performance now."

The audience laughed. Agus smiled and continued his performance on Apr. 13 as if nothing happened. He blended his tale about Hamzah Fansuri, an Acehnese teenager who tried to catch some fish in the open sea but ended up fighting a giant monster, with his day-to-day life.

But it was no ordinary humorous event. Agus is Acehnese and the main theme of this two-day exhibition is the Indonesian government's repression in Aceh province in northern Sumatra.

Thus, outside the amphitheatre, students and NGO activists exhibited gruesome photos of Indonesian soldiers beheading Aceh guerrillas or corpses dumped into rivers. Others sold books on Aceh and other rebellions in Indonesia.

"Many students told me that they have never imagined Aceh to be that bad," said Reni Ch Suwarso, a lecturer at University of Indonesia's school of political science, who helped her students organise the Aceh exhibition.

Indonesian students at the campus were shocked while watching a documentary on the Simpang Kraft massacre in Aceh in May 1999. At the time, Indonesian soldiers were seen shooting down hundreds of Acehnese protesters, killing at least 46 civilians and wounded 156. Not a single soldier was ever brought to justice for the violence.

"They said their stomachs were churning, prompting them to get out of the room. But they got back again after 10 minutes," said Reni, adding that more than 1,000 students had attended the two-day event.

The separatist movement in oil-rich Aceh was born in 1976, out of a deep sense of historical and economic injustice committed on the Acehnese by Indonesia's Jakarta-centric governments.

Indonesian dictator Suharto ordered military operations in Aceh in 1979 and this lasted nearly 20 years. It ended only when Suharto was forced to step down from his three-decade rule in 1998.

It is not clear how many Acehnese were killed, but some human rights organisations estimate that around 10,000 people were killed during this period.

The de facto military rule also created fear among the Acehnese toward Indonesian soldiers. Soon after the fall of Suharto, many Acehnese organisations immediately demanded a referendum.

But Jakarta rejected this and restiveness has continued ever since. Indonesian President Megawati Sukarnoputri declared martial law in Aceh in May, after which the Indonesian army once again conducted military operations.

Megawati said this month that she would end martial law in Aceh in May and put the province under a state of "civil emergency" instead.

But the self-proclaimed Aceh Prime Minister Malik Mahmud said from his exile in Stockholm, Sweden, that the plan was a move without substance. "In other words, the change is merely a window dressing exercised to hide the dismal failure of the military to perform its duty, other than carrying out indiscriminate killing of thousands of civilians, kidnapping, rapes and other gross violations of human rights."

But if the Acehnese are finding it hard to have their sentiments heard in the usual political forums, their views are finding an audience through performances like that in the University of Indonesia campus.

Just a few days after the performance there, a similar event took place in Taman Ismail Marzuki, an art complex in the heart of Jakarta, where other Acehnese groups performed another artistic event about "peace" in Aceh.

Student organisers in the campus said they had collected nearly 1,000 signatures calling for peace during the two-day show. They will also bring the photos, movies, and star performers like Agus PM Toh to other campuses in and outside of Jakarta.

Reni said the organisers also debated whether they should support a freedom movement for Aceh. "Our colleagues from the NGOs and the Acehnese declared that independence is their goal. But we want to go beyond independence. Our goal is to have peace in Aceh. Will they guarantee that there will be peace in Aceh if GAM is to gain independence?"

Agus PM Toh, for his part, told the audience that he does not want to discuss that issue, but that at least Jakarta should not send soldiers to his 'kampung' (country).

"Why don't you send doctors or even tourists to my kampung? My kampung is beautiful and if you have money, why don't you visit my kampung during your vacation?" he asked the audience.

He triggered another round of laughter from the students when he satirically told them that many of their alumni had actually also helped to 'design' the violence in Aceh over the years when they went to Aceh, as political scientists, sociologists or government advisors in the past.

Copyright 2004 IPS-Inter Press Service/Global Information Network
IPS-Inter Press Service

Thursday, May 13, 2004

Indonesia Presidential Candidates a Mix of Secular and Islamic

Analysis - By Andreas Harsono
Inter Press Service

JAKARTA, May 13, 2004 (IPS/GIN) -- The six pairs of presidential and vice presidential candidates for the Indonesian election in July, revealed on Wednesday, are an interesting mix of secular and Islamic-based politicians.

The presidential candidates in the electoral race are incumbent President Megawati Sukarnoputri, Vice President Hamzah Haz, National Assembly chairman Amien Rais, former president Abdurrahman Wahid and two retired generals - Susilo Bambang Yudhoyono and Wiranto.

They will slug it out in a protracted battle that could result in run-off polls in September.

Megawati is still in the running despite her party's embarrassing setback in the April parliamentary polls. She has close to 20 percent of the popular vote, mostly from the nationalists.

Her alliance with her vice presidential candidate, Hasyim Muzadi, chairman of the 35-million-strong Nahdlatul Ulama, has also given her chances a big boost.

"Megawati still has a chance to win the first election. Don't underestimate her. She has brought economic stability during her rule," said Kwik Kian Gie, a close adviser to Megawati, in an interview with 'Tempo' magazine.

Hasyim, who chairs Indonesia's largest Muslim organisation, is also an attractive catch. But he is burdened with his acrimonious relationship with Wahid, affectionately known as 'Gus Dur', who continues to wield enormous influence in Nahdlatul Ulama.

Moreover, Gus Dur himself is running for the presidency along with his vice presidential bet, Marwah Daud Ibrahim, a female politician who used to head the Golkar Party established by the U.S.-installed authoritarian president Suharto in the 1960s.

But the Nahdatul Ulama has been parading not only Gus Dur and Hasyim. It also has Solahuddin Wahid, Gus Dur's younger brother who is the vice presidential candidate of Wiranto, the former military commander accused of human rights abuses in Indonesia's former colony, East Timor.

A U.N.-sponsored judge has issued an arrest warrant against Wiranto on crimes against humanity.

The Wahids are considered to be a blue-blood political family in Indonesia. Their grandfather, Hasyim Ashari, was a charismatic Muslim teacher who helped found the Nahdatul Ulama in the 1920s.

Their father Wahid Hasyim was a progressive Muslim thinker who modernised the Nahdlatul Ulama.

Gus Dur himself is known as a democracy activist during Suharto's time and a campaigner for religious tolerance. Solahudin is currently vice chairman of Indonesia's Human Rights Commission.

It is expected that many Nahdatul Ulama members, who are mostly villagers on the Indonesian main island of Java, may get confused with the presence of the three politicians from their group in the July electoral race.

Each might win a sizeable chunk of the Nahdatul Ulama vote, but it is not clear whether Gus Dur, who is legally blind and had two strokes in the past, can pass the difficult health test imposed by the Indonesian Election Commission.

The talk in town is that if Gus Dur fails the test, he would back his younger brother's partnership with Wiranto.

On paper, the candidate who wins more than 50 percent of the July votes will become president.

But with six candidates in the running, it is not easy to get a good amount of the votes. In the event a runoff election is needed, the first and the second candidates with the most number of votes will go for a final vote in September.

Who is the darling of the western world? It is widely speculated that the United States, an influential country in Indonesia, would prefer the U.S.-trained Susilo Bambang Yudhoyono.

His vice presidential candidate is Jusuf Kalla, a popular businessman who hails from Sulawesi island in eastern Indonesia -- another important factor in Java-dominated politics.

In Indonesian politics, the issues of whether a candidate is Javanese or non-Javanese, from the military or civilian sector, Muslim or non-Muslim, carry a lot of weight. Skilled politicians need to know how to use, or how not to use, those issues.

Yudhoyono is a Javanese, like most other candidates, but Hamzah Haz comes from the Kalimantan island.

Islam is a decisive card because Indonesia, a nation of 220 million people, is the largest Muslim-majority country in the world. Today's presidential and vice presidential candidates are all officially Muslims, although the orientation of some politicians, including Megawati, is considered to be secular.

The latest survey by the Jakarta-based Indonesian Survey Institute shows that support for the 54-year-old Yudhoyono has soared to 40.6 percent of the 1,216 respondents' votes. He eclipsed President Megawati, a distant second with 14.7 percent of votes.

"Susilo and Megawati are the most likely winners in the first round of the presidential election," the executive director of the institute, Denny J A, said in a press conference on Tuesday.

Their biggest challenge will come from Wiranto, who is likely to be in a position to mobilise voters because he has the combined machinery of the Golkar Party, which won majority of seats in the April parliamentary election, and Solahuddin's Nahdlatul Ulama-affiliated Nation Awakening Party.

For their part, Amien Rais and his anointed deputy, Siswono Yudhohusodo, a former Cabinet minister in the Suharto era, have neither the popularity nor the machinery to win the presidency.

But Amien has the backing of the 30-million strong Muhammadiyah, the second largest Muslim organisation in Indonesia.

Still, it is a big question mark whether Muhammadiyah members, who are mostly urban middle-class citizens, would vote in accordance with the choice of their top leaders. Amien himself is a former chairman of the Muhammadiyah.

In contrast, the village-based followers of the Nahdatul Ulama are more likely vote according to their leaders' instructions.

Vice President Hamzah Haz, whose United Development Party came in third in the parliamentary poll, wooed Agum Gumelar, another retired general and currently transportation minister, to run in the July presidential election.

The Hamzah-Gumelar duo was the latest to enter the race because of the likelihood previously that Megawati would choose Hamzah to be her running mate once more. But Megawati obviously did not see Hamzah as having the ability to bring her votes -- and opted for her current running mate, Hasyim Muzadi.

INDONESIA: Presidential Candidates a Mix of Secular and Islamic

Copyright 2004 IPS-Inter Press Service/Global Information Network
IPS-Inter Press Service

May 13, 2004, Thursday

Andreas Harsono

The six pairs of presidential and vice presidential candidates for the Indonesian election in July, revealed on Wednesday, are an interesting mix of secular and Islamic-based politicians.

The presidential candidates in the electoral race are incumbent President Megawati Sukarnoputri, Vice President Hamzah Haz, National Assembly chairman Amien Rais, former president Abdurrahman Wahid and two retired generals - Susilo Bambang Yudhoyono and Wiranto.

They will slug it out in a protracted battle that could result in run-off polls in September.

Megawati is still in the running despite her party's embarrassing setback in the April parliamentary polls. She has close to 20 percent of the popular vote, mostly from the nationalists.

Her alliance with her vice presidential candidate, Hasyim Muzadi, chairman of the 35-million-strong Nadhlatul Ulama, has also given her chances a big boost.

"Megawati still has a chance to win the first election. Don't underestimate her. She has brought economic stability during her rule," said Kwik Kian Gie, a close adviser to Megawati, in an interview with 'Tempo' magazine.

Hasyim, who chairs Indonesia's largest Muslim organisation, is also an attractive catch. But he is burdened with his acrimonious relationship with Wahid, affectionately known as 'Gus Dur', who continues to wield enormous influence in Nadhlatul Ulama.

Moreover, Gus Dur himself is running for the presidency along with his vice presidential bet, Marwah Daud Ibrahim, a female politician who used to head the Golkar Party established by the U.S.-installed authoritarian president Suharto in the 1960s.

But the Nahdatul Ulama has been parading not only Gus Dur and Hasyim. It also has Solahudin Wahid, Gus Dur's younger brother who is the vice presidential candidate of Wiranto, the former military commander accused of human rights abuses in Indonesia's former colony, East Timor.

A U.N.-sponsored judge has issued an arrest warrant against Wiranto on crimes against humanity.

The Wahids are considered to be a blue-blood political family in Indonesia. Their grandfather, Hasyim Ashari, was a charismatic Muslim teacher who helped found the Nahdatul Ulama in the 1920s.

Their father Wahid Hasyim was a progressive Muslim thinker who modernised the Nahdatul Ulama.

Gus Dur himself is known as a democracy activist during Suharto's time and a campaigner for religious tolerance. Solahudin is currently vice chairman of Indonesia's Human Rights Commission.

It is expected that many Nahdatul Ulama members, who are mostly villagers on the Indonesian main island of Java, may get confused with the presence of the three politicians from their group in the July electoral race.

Each might win a sizeable chunk of the Nahdatul Ulama vote, but it is not clear whether Gus Dur, who is legally blind and had two strokes in the past, can pass the difficult health test imposed by the Indonesian Election Commission.

The talk in town is that if Gus Dur fails the test, he would back his younger brother's partnership with Wiranto.

On paper, the candidate who wins more than 50 percent of the July votes will become president.

But with six candidates in the running, it is not easy to get a good amount of the votes. In the event a run-off election is needed, the first and the second candidates with the most number of votes will go for a final vote in September.

Who is the darling of the western world? It is widely speculated that the United States, an influential country in Indonesia, would prefer the U.S.-trained Susilo Bambang Yudhoyono.

His vice presidential candidate is Jusuf Kalla, a popular businessman who hails from Sulawesi island in eastern Indonesia -- another important factor in Java-dominated politics.

In Indonesian politics, the issues of whether a candidate is Javanese or non-Javanese, from the military or civilian sector, Muslim or non-Muslim, carry a lot of weight. Skilled politicians need to know how to use, or how not to use, those issues.

Yudhoyono is a Javanese, like most other candidates, but Hamzah Haz comes from the Kalimantan island.

Islam is a decisive card because Indonesia, a nation of 220 million people, is the largest Muslim country in the world. Today's presidential and vice presidential candidates are all officially Muslims, although the orientation of some politicians, including Megawati, is considered to be secular.

The latest survey by the Jakarta-based Indonesian Survey Institute shows that support for the 54-year-old Yudhoyono has soared to 40.6 percent of the 1,216 respondents' votes. He eclipsed President Megawati, a distant second with 14.7 percent of votes.

"Susilo and Megawati are the most likely winners in the first round of the presidential election," the executive director of the institute, Denny J A, said in a press conference on Tuesday.

Their biggest challenge will come from Wiranto, who is likely to be in a position to mobilise voters because he has the combined machinery of the Golkar Party, which won majority of seats in the April parliamentary election, and Solahudin's Nahdatul Ulama-affiliated Nation Awakening Party.

For their part, Amien Rais and his anointed deputy, Siswono Yudhohusodo, a former Cabinet minister in the Suharto era, have neither the popularity nor the machinery to win the presidency.

But Amien has the backing of the 30-million strong Muhammadiyah, the second largest Muslim organisation in Indonesia.

Still, it is a big question mark whether Muhammadiyah members, who are mostly urban middle-class citizens, would vote in accordance with the choice of their top leaders. Amien himself is a former chairman of the Muhammadiyah.

In contrast, the village-based followers of the Nahdatul Ulama are more likely vote according to their leaders' instructions.

Vice President Hamzah Haz, whose United Development Party came in third in the parliamentary poll, wooed Agum Gumelar, another retired general and currently transportation minister, to run in the July presidential election.

The Hamzah-Gumelar duo was the latest to enter the race because of the likelihood previously that Megawati would choose Hamzah to be her running mate once more. But Megawati obviously did not see Hamzah as having the ability to bring her votes -- and opted for her current running mate, Hasyim Muzadi.

Friday, May 07, 2004

Dari Thames ke Ciliwung

Gatra, 7 Mei 2004

Di Jakarta, air bersih seru diperebutkan secara bisnis. Perlu modal besar dan dukungan politik yang kuat. Bagaimana perusahaan raksasa RWE Thames Water dan Suez mengatur air bersih? Simak investigasi jurnalis independen Andreas Harsono. Paid Story

Wednesday, May 05, 2004

Muslim Cleric A Terrorist To Some, A Teacher To Others

By Andreas Harsono

Jakarta, 5 May 2004 (IPS) -- Less than 12 hours after deadly bombs had exploded near two nightclubs in the Indonesian island of Bali and killed 202 people, mostly foreign tourists, in October 2002 dozens of Muslim 'ulama' conducted a press conference in Solo, in the hinterlands of Java, around 800 kilometres west of Bali.

They condemned the "brutal act" in Bali and sent their condolences to the victims' families. They asked the police to investigate the bombing, but also stated that based on their "preliminary analysis," the bombings were not done by Indonesians.

"It was too complicated for any civilian to do that," Abubakar Baasyir, the spokesman for the group of 'ulama', had said, adding that they believed that the bombings must have been done by foreign agents to undermine the rise of Islam in Indonesia.

Baasyir accused Israel's Mossad and the CIA of committing the terrorist acts.

This was quite a popular analysis those days. Many Jakarta media subscribed to Baasyir's analysis, reporting that the bomb must have been a "micro-nuclear bomb" dropped from the sky or raising the public's suspicions about a French warship that docked in Bali a few days earlier.

Some Muslim politicians also believed that western countries were trying to undermine Indonesia's struggling democracy.

But other Muslim figures also openly opposed such conspiratorial views. "I'm really angry to hear that kind of statement from people like Abubakar Baasyir, who also say that the U.S. allegation against al-Qaeda in the World Trade Centre attack was groundless, " said Ulil Abshar-Abdalla of the Jakarta-based Liberal Islam Network.

"It is a kind of self-denial that opens doors to further violence in our country," he added in an interview.

That conspiracy theory only gradually diminished after Indonesian police began to unravel a string of bombing conspirators, ranging from a man who bought the deadly van to the field commander of the violent acts in Bali.

Most of them were alumni of the U.S.-backed guerrilla war against the Soviet intervention in Afghanistan as well as of a 'pesantren' or Islamic boarding school in Solo - one that was co-founded by none other than Baasyir himself, who on Apr. 30 was rearrested on suspicion of having links to terrorist acts.

Police spokesman Maj. Gen. Bashir Ahmad Barmawi said that there is new evidence against Baasyir, including witness testimony about him attending a ceremony at a militant training centre in the southern Philippines in April 2000. One week after the Bali bombing in October 2002, Baasyir was arrested by the Indonesian police. But prosecutors have so far failed to convict him.

In September, a court sentenced him to four years in jail for taking part in a plot, supposedly by the Jemaiah Islamiyah militant group that seeks to have a pan-Islamic state in South-east Asia, to overthrow the government. But it said there was no proof he was its leader.

An appeals court in November overturned the treason conviction but ruled that Baasyir must serve three years for immigration offences and forgery. Last month, the Supreme Court halved that sentence and said the time he has spent in detention counted toward it, prompting expressions of dismay from the United States, Australia and Singapore.

Baasyir was released Friday, but was promptly re-arrested. The emotions were such afterwards that clashes took place between police and Baasyir supporters in some areas in Indonesia following his re-arrest.

In the days since, hardline and some mainstream Islamic groups in Indonesia have accused Jakarta of bowing to U.S. pressure in Baasyir's re-arrest, especially after U.S. Ambassador Ralph Boyce had contacted the police and asked some moderate Muslim leaders to continue to keep Baasyir in detention.

But if he is a high-ranking terrorist to officials, to others Baasyir remains a genuine religious leader. Ahmad Syafii Maarif, chairman of the Muhammadiyah, the second largest Muslim organisation in Indonesia and himself a hugely influential Muslim cleric, called Baasyir only a 'kyai kampung' or village preacher.

In a column for the Indonesian-language 'Republika' daily, Maarif called on the police and the western governments to respect Indonesia's judiciary system. Maarif said he does not agree with Baasyir's thinking, but also refused to help Boyce in pressuring the police to re-arrest Baasyir.

Indeed, Baasyir, a frail 64-year-old man with a wispy beard, embroidered white skull cap and heavy glasses perched on his aquiline nose, likes to introduce himself as a village preacher.

He spent decades teaching Islam. His consistent theme has been that Islamic communities are the necessary preconditions for setting up an Islamic state.

He established the Ngruki 'pesantren' in 1971 with his colleague Abdullah Sungkar. Both of them were sons of Yemeni traders who migrated to Solo. Both are also fervently anti-Jewish.

Baasyir also sat on the Indonesian Mujahideen Council, formed in Yogyakarta in 2000 as an umbrella group for those who wanted to turn Indonesia into an Islamic state. He favours the adoption of 'shariah' or Islamic law across Indonesia. The Suharto dictatorship jailed Baasyir for subversion in the late 1978, accusing him of promoting an Islamic state. He fled to Malaysia in 1985 to avoid additional jail time, only returning to Indonesia following Suharto's fall in 1998.

In Malaysia, he developed his network along with Sungkar, who died in 1999. In 1997 and 1998, Sungkar told the Sydney-based 'Nidaul Islam' bi-monthly magazine that he had set up a network to campaign for an Islamic state in South-east Asia.

Despite his outspoken support for Osama bin Laden, purported leader of the al-Qaeda group, Baasyir denies having personal links with him or with terrorism.

Sidney Jones of the International Crisis Group, who has published extensive reports on Jemaiah Islamiyah, said: "It's not clear whether Baasyir played any kind of operational role, but he's the glue that holds the association together."

The cleric has repeatedly denied all the charges against him. He admitted that many of the Bali bombers are former students but denied giving any permission to bomb the Bali nightclubs.

Indonesian and other intelligence officials believe that the Bali bombers were part of Jemaiah Islamiyah. Officials have also blamed it for the bombings of more than 30 churches in Indonesia on Christmas Eve 2000 and the Marriott hotel blast in Jakarta in August, which killed 12 people.