Monday, September 03, 2001

Nachtwey



Amalia Pulungan dan Andreas Harsono

SEORANG pria duduk di restoran sebuah hotel kecil di daerah Menteng, Jakarta. Rambutnya pirang keperakan, tersisir rapi. Usianya awal 50-an. Dia mengenakan celana jin, baju kanvas, sepatu gunung, dan berbincang pelan dengan asistennya.

Matahari penghujung bulan Juli mulai meninggi. Di meja sebelah, seorang wartawan Korea, rambut panjang dengan kacamata berbingkai hitam, menyapa sopan, “Rasanya pernah bertemu Anda?”

“Oh ya, di mana kira-kira?” kata pria Amerika itu, seraya bangkit dari tempat duduknya. Si Amerika sopan mengulurkan tangan, memperkenalkan diri, “James Nachtwey.”

“Jeong Moon Tae. November tahun lalu saya lihat Anda di Gaza,” kata Jeong.

“Anda di sana juga?” kata Nachtwey.

“Ya, saya ada di Gaza. Tapi saya tinggal di Bangkok. Anda tinggal di New York?”

“Ya, New York.”

“Saya sering lihat Anda di Rwanda?” kata Jeong.

“Ya.”

Mereka bertukar kartu nama, membandingkan cerita demi cerita, membangun percakapan ringan. Cerita tentang medan perang satu ke medan perang lain. Kosovo. Rwanda. Palestina. Pertemanan yang singkat, dua orang asing, dua wartawan asing, bertemu di tanah asing. Jeong pamit karena harus pergi. Nachtwey pun kembali pada kopinya.


KALAU seseorang mengunjungi Newseum, sebuah museum tentang jurnalisme di Arlington, dekat Washington D.C., ibukota Amerika Serikat, dan mengetikkan huruf “N” di komputer, maka di layar monitor salah satu biodata wartawan yang bisa dibacanya adalah biodata James Nachtwey.

Nachtwey memang nama besar dalam dunia jurnalisme. Dalam buku War Stories: Reporting in the Time of Conflict, kurator Newseum Harold Evans menjajarkan Nachtwey dengan wartawan legendaris macam Ernest Hemingway, Robert Capa, David Halberstam, Peter Arnett, dan sebagainya.

“Foto-fotonya indah, secara komposisi kompleks, bahkan terkadang terlalu sempurna. Orang heran bagaimana dia bisa memegang kameranya dengan seimbang, menyetel bukaan kamera, dan menciptakan komposisi yang dahsyat, sekaligus elegan, ketika berhadapan dengan lelaki telanjang, kelaparan sedang merangkak ke sebuah penampungan darurat, seperti yang dilakukannya di Sudan?” kata Michele McDonald, fotografer freelance dari Boston, dalam triwulanan Nieman Reports.

“Kalau Anda bekerja di dekatnya, Anda tahu bahwa Anda bekerja dengan para wartawan profesional,” kata Seth Mydans, koresponden harian The New York Times untuk Asia Tenggara, menambahkan bahwa Nachtwey, “sangat profesional, sangat menyenangkan, dan sangat murah hati.”

Prestasi Nachtwey bisa lebih dipahami kalau orang memperhatikan penghargaan yang didapatkannya. Nachtwey memenangi World Press Photo of the Year dua kali (1992 dan 1994), Magazine Photographer of the Year (enam kali), Capa Gold Medal (lima kali antara 1984 dan 1999), International Center of Photography Infinity Award (dua kali), Leica Award (dua kali), penghargaan Canon Photo Essayist, dan W. Eugene Smith Grant in Humanistic Photography.

Menurut Zamira Loebis, reporter majalah Time di Indonesia, di luar jam kerja Nachtwey adalah sosok yang manis dan sopan. Tapi jika di lapangan, Nachtwey berubah jadi sangat intens memburu gambar. “Kalau sudah begitu kita lebih baik menjauh,” katanya.

Zamira Loebis seringkali melakukan liputan bersama Nachtwey, “James sangat tertarik dengan hal human interest, dan sepertinya dia juga sedang banyak mengumpulkan data tentang anak-anak jalanan, baik itu di Yogya, Jakarta, Surabaya.”

Nachtwey dikontrak majalah Time terbitan New York sejak 1984. Pada 1999 Nachtwey menerbitkan buku Inferno. Ini sebuah buku raksasa. Tebalnya 5,5 cm, ukuran 11×15 inci, 480 halaman berisi 380 foto yang diambil Nachtwey dari India, Rumania, Somalia, Sudan, Bosnia, Rwanda, Zaire, Chechnya, dan Kosovo. Harganya US$125.

Inferno adalah sebuah visual archive tentang kejahatan terhadap kemanusiaan pada dasawarsa terakhir abad 20. Fokusnya meliputi ethnic cleansing, kekejaman di Bosnia, Kosovo, genocide antar kelompok etnik di Rwanda, kekejaman,” kata Nachtwey pada kami dalam suatu wawancara.

“Kerja dengan beliau harus benar-benar profesional,” kata Dwi Abi Yantoro, asisten merangkap “tukang ojek” Nachtwey, yang membantu Nachtwey berjalan ke mana pun di Jakarta dengan sepeda motornya.

Nachtwey memilih sepeda motor ketimbang mobil.

“Datang harus tepat waktu,” kata Abi.

Tantyo Bangun, seorang fotografer Indonesia yang pernah jadi asisten Nachtwey, ingat bagaimana mereka bekerja, “Di mana dia harus memotret James tidak pernah coba dekat dengan subyeknya. Dia hanya pasang muka baik dan diam. Dia lebih banyak diam dan bergerak, diam lagi dan bergerak, yang kerja hanya mata dan tangannya.”

“Orang terkadang suka melupakan kehadirannya. Dan alat yang dibawa pun sangat minim hanya satu kamera dengan zoom 17-35mm/f 2.8 dan satu kamera dengan lensa 24mm f/1.4. James tidak pernah pakai tele lens.”


MINGGU 22 November 1998 dini hari. Di sebuah daerah padat, separuhnya kumuh, di daerah Ketapang, Jakarta, terjadi ketegangan. Beberapa pemuda penganggur bertengkar dengan seorang pemuda kampung. Tokoh setempat melerai mereka.

Pukul delapan pagi, kampung di Gang Pembangunan I itu didatangi sekitar 40 pemuda penganggur, yang kebanyakan dikenal sebagai tukang parkir dan preman daerah Ketapang. Kedatangan mereka untuk melanjutkan amarah dini hari itu. Walau mereka tak semuanya orang Ambon tapi cukup banyak yang berasal dari etnik Ambon.

Suasana panas. Dalam keributan itu sebuah kaca jendela masjid pecah. Kabar angin tentang penyerbuan masjid beredar. Pengeras suara masjid dipakai untuk membangun solidaritas. Agama dinistakan. Banyak pemuda muslim ke luar rumah dan berkumpul di sebuah pusat keramaian dekat Ketapang. Tujuannya bukan saja membela diri tapi menyerang para preman dan menuntut ditutupnya “tempat-tempat perjudian dan pelacuran” yang selama ini dianggap “sarang para preman.”

James Nachtwey mendapat informasi ini lewat radio taksi. Dia cepat-cepat ke sana bersama tukang ojeknya Dwi Abi Yantoro, mereka meluncur dengan sepeda motor ke Ketapang. “Sejak pukul enam, kami mutar-mutar di sana,” kata Abi.

Seorang ulama Muslim setempat, Habib Rizieq Shihab, datang dan bicara dengan polisi maupun tentara. Tapi keinginan Shihab dan ulama lain, agar para preman “dievakuasi secepatnya” tak dipenuhi. Mereka berusaha menenangkan massa tapi kurang berhasil.

Suasana makin panas. Para pemuda Muslim ini menyerang dan membakar sebuah tempat permainan ketangkasan yang berdekatan dengan Gereja Ketapang. Gereja ini ikut terbakar.

Kerusuhan berbau sentimen agama meledak. Pemuda Ambon diidentikkan dengan kekristenan. Dua gereja lain ikut dirusak. Para preman Ambon yang melarikan diri dihajar warga.

Nachtwey ada di Gang Pembangunan I ketika seorang pemuda Ambon lari menghampirinya. Si Ambon dikejar 20-an pemuda Muslim. Mereka bersenjata, dari celurit hingga pentungan, dari batu hingga golok. Mereka mengejar dan membantai si Ambon dengan brutal.

“Urat takutnya sudah putus,” kata Panji Wibowo, seorang pembuat film dokumenter yang kebetulan jadi saksi mata, dan menyaksikan Nachtwey memotret adegan itu.

Beberapa pemuda muslim berteriak, “No photo, no photo.”

Nachtwey mundur, tapi maju lagi.

Mereka teriak lagi, “No photo, no photo.”

Nachtwey mundur lagi, tapi maju lagi, setiap massa bergerak, setiap saat itu pula Nachtwey menguber.

Nachtwey berada pada detik-detik yang sulit. Seorang fotografer terkadang dituntut memilih apa yang harus dilakukannya: memotret dan membiarkan si Ambon mati atau membantu menyelamatkan nyawa seorang anak manusia tapi tak memotret. Siapa tahu dengan kehadiran seorang asing, mereka bisa diingatkan untuk tidak main hakim sendiri?

“Ketika itu terjadi, saya mencoba menghentikan massa. Dua kali mereka seakan-akan hendak menghentikan serangan mereka. Tapi mereka menunjukkan sikap tak bersahabat pada saya. Di sisi lain saya hanya seorang diri. Saya juga tak menguasai bahasa setempat,” kata Nachtwey.

Dia pun memutuskan memotret.

Panji juga melihat Nachtwey, “Gua liat ada upaya-upaya gitu tapi karena dia outsider, bule, dan dia nggak bisa ngomong bahasa Indonesia.”

Tapi ini dilema yang sering dihadapi fotografer. Mereka sering dituduh tak berperikemanusiaan. Kapan seorang fotografer membantu orang yang difotonya dan kapan memutuskan hanya jadi pengamat?

“Batasnya adalah ketika Anda hanya jadi satu-satunya orang yang bisa mengubah keadaan,” kata Nachtwey.

Ketika usaha Nachtwey gagal, pertanyaan berikutnya adalah meninggalkan kejadian atau merekam adegan kejam itu? Nachtwey memilih merekam adegan di Gang Pembangunan I. Tugas seorang fotografer adalah merekam dan memperlihatkan adegan itu pada masyarakat luas. Nachtwey pun mengarahkan kameranya, klik ….

Foto-foto itu beberapa bulan sesudahnya memenangkan World Press Photo untuk kategori kedua.


BANYAK orang mengatakan karya James Nachtwey membangkitkan rasa jijik, rasa ngeri, dan takut. Ada mayat membusuk. Ada anak matanya dicongkel. Mayat berkulit pucat, berbintil-bintil di seluruh wajahnya karena luka. Foto Nachtwey bercerita tentang kekejaman perang, tentang kelaparan, kekerasan, pembunuhan, senjata, darah, dan air mata.

Dari Somalia pada 1993 Nachtwey memotret seorang ibu yang membawa mayat anaknya, terbungkus kain kafan, dan menguburkannya seorang diri di pemakaman Bardera. Panen gagal dicampur dengan perang saudara mengakibatkan antara satu hingga dua juta orang Somalia meninggal. Bahkan lebih dari 200 orang meninggal per hari di daerah-daerah yang paling parah.

Pada perang saudara Hutu melawan Tutsi di negara Rwanda 1995, Nachtwey memotret wajah seorang suku Hutu dengan bekas luka bacokan. Orang ini menolak ikut menyerang dan merampok kelompok minoritas Tutsi sehingga dia ditahan, dibuat kelaparan, dan disiksa oleh sesama Hutu.

Bukankah gambar-gambar ini bad taste, bisa merusak selera makan? Bayangkan bila seseorang diperlihatkan sebuah foto yang menjijikkan sedemikian rupa sehingga tragedi itu selalu mengganggu pikirannya?

“Mana ada kelaparan atau perang yang bisa disajikan dengan indah?” tanya Nachtwey.

Nachtwey berpendapat orang-orang yang mengatakan fotonya bad taste justru perlu dipertanyakan mengapa mereka enggan melihat gambar-gambar itu? Kenyataan yang buruk tak bisa disajikan seindah foto-foto glamor.

Ketika menciptakan buku raksasa Inferno, Nachtwey dan penerbit Phaidon Press memperhitungkan proyek ini sebagai bagian dari idealisme mereka, menghabiskan uang, tak bakal menguntungkan.

Phaidon Press mengirimkannya gratis ke berbagai kepala negara, kepala pemerintahan, pemimpin perusahaan, di seluruh dunia, maupun organisasi nonpemerintah, pemikir, juga duta besar dengan harapan mereka belajar tentang dampak dari berbagai keputusan yang mereka buat.

“Saya kaget ketika Inferno ternyata mendapat perhatian besar,” kata Nachtwey. Reaksi dari berbagai pemimpin dunia menyakinkan mereka bahwa gambar-gambar itu berpengaruh. Lebih mengagetkan lagi ternyata edisi pertama Inferno habis terjual dalam dua bulan.

“Orang ternyata menaruh perhatian. Orang ternyata ingin tahu substansi,” kata Nachtwey. Kenyataan ini membuktikan bahwa orang ternyata peduli dengan masalah kemanusiaan, perang, kelaparan, dan pembunuhan massal. Kenyataan ini membuktikan orang bukan hanya peduli pada hiburan dan segala yang glamor.


JAMES Nachtwey lahir 1948 di Syracuse, negara bagian New York, tapi besar dan sekolah di Massachusetts, Amerika Serikat. Negara bagian ini terkenal karena dianggap sebagai daerah dengan tradisi intelektual yang kuat di Amerika Serikat.

Massachusetts didirikan para imigran asal Inggris pada awal abad ke-17. Revolusi kemerdekaan Amerika Serikat bahkan dimulai dari Boston, ibukota Massachusetts, pada 1773, ketika para penghuni koloni ini menolak membayar pajak pada Kerajaan Inggris.

Massachusetts punya banyak perguruan tinggi, salah satunya adalah Dartmouth College, di mana Nachtwey belajar ilmu politik. Masa kuliah Nachtwey banyak dibentuk oleh gerakan anti-Perang Vietnam. Dia mengetahui banyak hal buruk tentang perang itu lewat foto-foto medan peperangan.

Saat itulah nama-nama besar dalam jurnalisme muncul lewat Perang Vietnam: David Halberstam dan Neil Sheehan dari The New York Times, Peter Arnett dari United Press Service, Robert Capa dari Magnum, dan sebagainya.

Ketika lulus 1972, Nachtwey memutuskan ingin jadi wartawan perang. Selama dua tahun di Boston dan New York, dia belajar sendiri. Dia termasuk orang yang percaya bahwa fotografer adalah salah satu profesi yang membantu menghentikan Perang Vietnam.

“Nachtwey dilahirkan dari kelas pekerja, mungkin karena itu perasaannya cepat tersentuh dengan masalah sosial,” kata Zamira Loebis dari Time.

“Saya menyewa sebuah kamar gelap untuk berlatih. Saya melihat buku-buku foto, saya melihat pameran. Saya kira penting sekali untuk mengamati karya fotografer lain. Saya mencoba mendekonstruksi karya fotografer yang baik dan mencoba mengerti proses kreatifnya,” kata Nachtwey.

“Saya tak punya uang untuk membeli buku sehingga saya sering membaca di toko buku. Saya sering kembali ke toko buku yang sama untuk mengamati buku yang sama. Ini semacam universitas gratis.”

Pada 1976 Nachtwey bekerja di sebuah suratkabar kecil di New Mexico. Dia menganggapnya sebagai latihan. Empat tahun di sana Nachtwey pindah ke New York dan bergabung dengan agen foto Black Star. Liputan perang pertamanya adalah pertikaian Irlandia Utara pada 1981. Cita-cita Nachtwey jadi wartawan perang dimulai.

Hampir semua negara yang mengalami perang, bencana kelaparan, dan problem sosial lain pernah diliputnya: El Salvador, Nikaragua, Guatemala, Lebanon, West Bank dan Gaza, Israel, India, Sri Lanka, Afghanistan, Filipina, Korea Selatan, Somalia, Sudan, Rwanda, Afrika Selatan, Rusia, Bosnia, Chechnya, Romania, Brazil, dan Amerika Serikat.

Pada 1986 Nachtwey bergabung dengan Magnum, sebuah koperasi fotografer yang tergolong sangat bergengsi. Anggotanya tak banyak, tak lebih dari 50 orang, dan keanggotaan barunya harus melalui persetujuan anggota lama.

“Saya sudah tujuh atau delapan kali ke Indonesia sejak 1997. Ketika Soeharto digulingkan saya juga di sini. Proses demokratisasi dimulai. Padahal negara ini sebuah negara yang kurang begitu terbiasa dengan praktik demokrasi. Hingga kini proses itu masih berlanjut.”

Pekerjaan Nachtwey berbahaya. “Saya pernah dipukul polisi, disergap tentara, terkena ranjau, dijadikan sasaran tembak, sulit menghitungnya,” katanya. Di Jakarta pada akhir 1998 dia dipukul polisi sehingga bibirnya pecah, berdarah. Tapi sehari sesudah itu Nachtwey kembali ke lapangan.

Satu ketika Nachtwey bersama sekelompok wartawan jadi sasaran tembak di Afrika Selatan. Nachtwey membantu temannya Ken Oosterbroek yang tertembak. Sebuah peluru menyerempet Nachtwey sehingga sejumput rambutnya rontok. Oosterbroek sendiri luka parah tapi nyawanya tertolong.

Tantyo Bangun, fotografer yang pernah kerja buat majalah Matra, juga pernah mendampingi Nachtwey memotret di Kawah Ijen, daerah tambang belerang di dekat Jember dan Bondowoso, di timur Pulau Jawa.

“Selama tiga hari dia ikutin pekerja tambang itu di kawah, tanpa pakai masker dan hanya mengenakan secarik kain seperti pekerja itu. Itu jelas sangat berbahaya buat paru-paru, tapi dia ingin merasakan hal yang sama dengan subyeknya,” kata Tantyo Bangun.

“Orang pake masker aja megap-megap apalagi nggak pake? Emang dia itu gila kalo kerja tapi kalo selesai kerja, James berubah total jadi manusia paling lembut di dunia. Yang jelas dia itu total sekali sama kerjanya. Kalau udah kerja tidak ada kompromi," kata Bangun.

Tapi Nachtwey juga tahu bagaimana bersantai sembari menunggu berita. Zamira Loebis ingat sewaktu meliput sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1998. Sambil menunggu sidang, para awak Time, termasuk Nachtwey, sibuk bermain game dari telepon seluler mereka. “Nachtwey selalu menjadi pemenang dalam game tersebut,” kata Loebis.

Ketika bertemu kami Juli lalu, Nachtwey mengatakan dia baru mundur dari Magnum dan September ini bermaksud memperkenalkan sebuah agen foto baru. Namanya VII –angka tujuh dalam karakter Romawi.

“Saya merasa Magnum kurang responsif dengan kebutuhan-kebutuhan saya. Magnum sudah jadi sebuah perusahaan besar,” kata Nachtwey. VII didirikan oleh Nachtwey dan enam orang fotografer rekannya antara lain John Stanmeyer dan Ron Habib. Mereka bakal bekerja lewat internet, memberikan kemudahan pada orang untuk download foto mereka dari internet, walau ada seorang manajer yang bakal bekerja di sebuah kantor kecil di Paris.

Mengapa namanya VII?

“Karena jumlah kami tujuh, dan kami suka angka tujuh,” kata Nachtwey, tersenyum.

Saturday, September 01, 2001

Kecepatan, Ketepatan, Perdebatan


Bagaimana media Jakarta meliput hari-hari diturunkannya Presiden Abdurrahman Wahid?

Oleh ANDREAS HARSONO et.al.
Pantau September 2001

-------------------------------------------------------------------------
Laporan ini dikerjakan sebuah tim yang terdiri dari
Agus Sudibyo, Andreas Harsono, Coen Husain Pontoh,
Dyah Listyorini, Elis N. Hart, dan Eriyanto.
Desain polling dan monitoring televisi dikerjakan Eriyanto.
-------------------------------------------------------------------------


MENJELANG
sore Jumat 20 Juli para awak redaksi RCTI berkumpul di kantor. Mereka akan piknik ke Puncak, daerah sejuk sekitar 70 kilometer selatan Jakarta, memanfaatkan liburan akhir pekan.

Suasana meriah itu mendadak surut ketika mereka tahu Presiden Abdurrahman Wahid bakal melantik seorang perwira polisi jadi pejabat sementara kepala polisi Republik Indonesia. Ini gawat karena akan memancing lawan-lawannya menggelar sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Kata lainnya: pemecatan!

"Jadi acara dibatalkan dan semua siaga," kata Atmadji Sumarkidjo, wakil pemimpin redaksi RCTI.

Mereka bergegas meliput langsung acara itu pukul 17.30 dari Istana Negara tempat Jenderal Surojo Bimantoro, pejabat kepala polisi yang diganti Wahid, sengaja memboikot dan tak menyerahkan tongkat komando. Toh, Wahid tetap melantik Jenderal Chaeruddin Ismail seraya mengatakan tongkat komando itu tradisi militer, bukan polisi.

Seusai pelantikan, Wahid menyatakan "semua pihak" harus siap-siap bila negara dinyatakan dalam keadaan bahaya. Chaeruddin tampaknya disuruh Wahid melaksanakan keadaan darurat itu.

Usai pelantikan, pukul 19.00 Atmadji Sumarkidjo, memimpin rapat redaksi RCTI. Mereka membagi pekerjaan. Semua awak redaksi yang ada di rumah ditelepon. "Besok pagi pukul lima sudah harus ada di kantor, pergi ke lapangan dan mengerjakan pekerjaan sesuai dengan tugasnya masing-masing," kata Sumarkidjo.

Untungnya, mereka tak panik karena sudah punya persiapan satu bulan sebelumnya, jaga-jaga kalau pertikaian presiden versus parlemen meruncing. "Yang juga krusial adalah mengatur dengan yang lain. Kita ada sinetron, film anak-anak, kita sudah mengatur itu semua," kata Sumarkidjo. "Pihak iklan bisa complain ketika iklannya tidak ditayangkan," kata Sumarkidjo.

Sekitar dua kilometer dari RCTI, di sebuah ruangan hotel bintang lima di daerah Senayan, terjadi pertemuan singkat antara ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais dengan menteri koordinator politik, sosial, dan keamanan Agum Gumelar.

Amien adalah rival utama Wahid. Mereka saling mengenal lebih dari 20 tahun. Mereka juga pernah memimpin dua organisasi keagamaan yang secara, historis, dan sosiologis punya perbedaan. Amien adalah mantan ketua Muhammadiyah, yang sering disebut sebagai organisasi Islam modernis, anggotanya kebanyakan orang perkotaan. Sedangkan Wahid, lebih akrab dipanggil Gus Dur, adalah mantan ketua Nahdlatul Ulama, yang biasa disebut Islam tradisional, dan anggotanya kebanyakan warga perdesaan.

Gumelar adalah pembantu Wahid untuk urusan keamanan. Gumelar orang militer tulen. Dia lulusan akademi militer Magelang pada 1968. Kariernya banyak dibangun lewat pasukan komando serta intelijen.

Di kamar hotel itu, menurut Gumelar dalam wawancara dengan majalah Forum, Amien menyampaikan rencana percepatan sidang istimewa MPR. Gumelar tanya apakah rencana itu sudah dibicarakan dengan Megawati Soekarnoputri, wakil presiden sekaligus ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai yang punya kursi terbanyak di parlemen.

"Sudah," jawab Amien.

"Kalau memang sudah ya, go ahead. Saya tidak bisa melarang. Silakan kalau sudah bulat. Kalau soal keamanan, dari awal aparat keamanan sudah siap. Itu tidak ada masalah," kata Gumelar.

Dari pertemuan itu, Amien Rais mengadakan rapat di ruang kerjanya di gedung parlemen yang terletak dekat hotel. Amien memimpin rapat sekitar 20 legislator untuk menanggapi pelantikan Chaeruddin Ismail. Banyak wartawan menunggu keputusan rapat.

"Besok, Sabtu 21 Juli mulai pukul 10.00 pagi kami mengundang seluruh anggota majelis untuk mengadakan rapat paripurna dalam rangka sidang istimewa MPR," kata Amien Rais. Amien mengatakan pengangkatan Chaeruddin dapat membuat institusi kepolisian "retak dan pecah sehingga mengganggu keamanan."

Maka Jumat malam itu semua anggota MPR, yang terdiri dari semua anggota parlemen, sekitar 500 orang, plus sekitar 200 orang utusan daerah dan golongan, diberitahu agar hadir Sabtu pagi untuk rapat paripurna. Pertempuran presiden versus parlemen dimulai.


SABTU pagi 21 Juli 2001. Lain dengan hari biasa, hari ini wartawan tak bisa masuk ke gedung parlemen tanpa menunjukkan kartu tanda pengenal warna putih bertuliskan PELIPUTAN. Suasana halaman depan gedung sangat sepi.

Tapi di halaman belakang terlihat 15 buah panser berjejer rapi. Agak jauh sedikit ada 14 tank baja VAB Renault buatan Prancis dan tiga mobil pemadam kebakaran. Juga terdapat anjing gembala Jerman. Menurut seorang perwira polisi, ada 2095 tentara dan polisi dari 29 satuan setingkat kompi yang datang ke Senayan. Mereka menjaga kemungkinan datangnya ribuan demonstran pendukung Wahid, yang didukung oleh Nahdlatul Ulama, organisasi muslim terbesar di Indonesia, memprotes rapat paripurna MPR.

Tindakan ini didasarkan pada asumsi bahwa kaum nahdliyin bisa mengamuk kalau junjungan mereka diganggu. Jawa Timur, provinsi asal Wahid, beberapa kali dilanda amuk ketika parlemen mengeluarkan memorandum terhadap Wahid. Wahid sendiri tak sekali dua mengkhawatirkan kemungkinan itu walau dia sering minta pengikutnya, terutama dari Jawa Timur, agar tak datang ke Jakarta.

Agak jauh sedikit tampak studio mini dari beberapa televisi Indonesia: SCTV, RCTI, Indosiar, TPI, dan TVRI. Wartawan hilir mudik di berbagai tempat umum. Makin lama makin banyak. Dari suratkabar Indonesia hingga asing, dari media Jakarta hingga daerah-daerah.

Salvo pertama Sabtu pagi ternyata datang dari Istana Negara tempat Presiden Wahid mengadakan pertemuan pers. Wahid menyatakan tak akan menghadiri pertemuan dengan MPR, "Itu sidang yang tidak sah atau ilegal." MPR hanya berhak menyelenggarakan sidang umum, sidang tahunan, dan sidang istimewa. Rapat paripurna merupakan bagian dari ketiga sidang tersebut. "Mana mungkin sidang istimewa ditentukan oleh sebuah paripurna? Bagaimana mungkin bagian yang lebih kecil bisa menentukan sesuatu yang lebih besar?" kata Wahid.

Seraya berpidato, Wahid menyuruh stafnya membagikan fotokopi surat undangan Amien Rais yang minta Wahid hadir di parlemen pada Senin 23 Juli 2001 untuk menyampaikan pertanggungjawaban. Wahid tak bisa menyembunyikan kemarahannya ketika mempertanyakan bagaimana mungkin sidang paripurna yang belum dimulai Sabtu pagi ini sudah memberikan surat macam itu Jumat malam?

Pada saat sama, sekitar pukul 09.40 di depan televisi yang terdapat dalam gedung parlemen di Senayan, tampak berkumpul polisi dan beberapa wartawan. Mereka menonton siaran langsung dari Istana Negara dan tertawa terbahak-bahak, sambil berteriak hu... hu... hu... ketika Wahid meninggikan suara.

Rapat paripurna sendiri yang sedianya dimulai pukul 10.00 tertunda karena Amien Rais dan banyak anggota MPR yang lain juga menyaksikan televisi. Ibarat orang bertinju, Istana Merdeka dan Senayan mulai saling melancarkan pukulan demi pukulan lewat media. Ini sesuai dengan apa yang disebut oleh Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam buku The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. Kedua wartawan Amerika Serikat itu mengatakan satu dari sembilan elemen jurnalisme adalah media harus menyediakan forum bagi masyarakat untuk melontarkan kritik dan komentar.

Mereka mengibaratkan media dengan "public houses" pada zaman prapercetakan di mana setiap pengunjung rumah macam itu, bisa berupa bar atau warung, menyampaikan dan mencari informasi.

Seorang penjaga bar, seraya menyajikan segelas bir, tahu bagaimana menyampaikan informasi dengan akurat. Dia tak diharapkan menambahi, tak diharapkan mengurangi. Makin akurat seorang penjaga bar menjalankan fungsi ini makin menguntungkan bagi warungnya. Makin banyak orang percaya pada forumnya. Makin banyak pula pelanggannya.

Televisi Indonesia tampaknya mulai mendapatkan kepercayaan macam itu. Siaran langsung demi siaran langsung menjadikannya sebagai forum publik. Ini prestasi tersendiri. Tanpa adanya kepercayaan, orang tak mau bicara lewat media.

Ini pertama kali pertikaian presiden versus parlemen disiarkan langsung oleh televisi. Pada zaman Presiden Soekarno (1945-1965) radio belum melakukan itu sedang televisi masih teknologi baru. Selama 33 tahun pemerintahan Presiden Soeharto (1966-1998) media tak bisa bekerja cukup bebas. Presiden B.J. Habibie bekerja dalam waktu tak sampai dua tahun, sangat singkat, dan diganti oleh Presiden Abdurrahman Wahid.

Lewat media pula orang-orang di Senayan mempertanyakan pelantikan Chaeruddin Ismail. Legislator Budi Harsono, ketua fraksi militer di parlemen, mengatakan, "Ciri-ciri organisasi bersenjata itu dia harus satu, harus homogen tidak boleh dua."

Legislator Ade Komarudin dari Partai Golongan Karya berpendapat Presiden Wahid, tak biasanya bicara prosedur ketika Wahid sendiri sering melanggar prosedur. Komarudin berpendapat adalah sah bagi MPR mengadakan sidang paripurna untuk mengambil keputusan bikin sidang istimewa atau tidak.

Akhirnya rapat paripurna MPR dimulai. Mula-mula dilakukan dengan mempersilakan masing-masing fraksi menyuarakan sikapnya. Satu per satu juru bicara fraksi naik ke podium dan berpidato. TVRI adalah satu-satunya televisi yang diizinkan masuk ke ruang sidang. Entah kenapa televisi swasta tak dipersilakan meliput dari ruang sidang?

Legislator Yusuf Muhammad, ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, partainya Wahid, memberi keterangan lain, "Kita tidak membenarkan, tidak menyetujui, tidak ikut serta, dan tidak ikut bertanggung jawab."

"Kalau saya boleh menyatakan secara sederhana, mereka kecewa dan sakit hati. Karena berkali-kali para tokohnya mengatakan bahwa mereka itu kesal karena fungsionarisnya diberhentikan," katanya.

Ketika pemungutan suara diambil semua 180 legislator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menyatakan setuju sidang istimewa dipercepat dan diadakan Senin 23 Juli 2001. Partai Golongan Karya dengan 176 anggota hadir semuanya setuju. Fraksi Utusan Golongan, 63 hadir, lima anggota fraksi menolak, empat orang menyatakan abstain. Kemudian, fraksi militer-polisi, yang seringkali memutuskan abstain, 38 anggota setuju. Partai Kebangkitan Bangsa menolak hadir dalam rapat paripurna ini.

Singkatnya dari jumlah total 601 anggota MPR yang hadir 592 orang menyatakan setuju penyelenggaraan sidang istimewa, lima menolak, dan empat orang menyatakan abstain. Mereka yang setuju beralasan Presiden Wahid melanggar sebuah ketetapan MPR karena mengangkat Chaeruddin Ismail sebagai pemangku sementara jabatan kepala kepolisian tanpa konsultasi parlemen.

Sabtu siang voting sudah diambil. Banyak anggota MPR hilir mudik di gedung parlemen. Wartawan mengerumuni mereka. Salah satunya adalah Nursyahbani Katjasungkana, anggota fraksi utusan golongan yang dikenal sebagai pengacara dan aktivis perempuan, yang menolak percepatan sidang istimewa MPR.

Kepada wartawan Katjasungkana mengatakan dia menolak sidang istimewa karena "elemen-elemen yang ada di sini mayoritas adalah Orde Baru."

"Kalau kita ingat pascajatuhnya Soeharto, kita berhasil melalui pemilihan umum dengan happy. Tetapi begitu masuk ke gedung ini, semua itu dinafikan begitu saja. Para wakil ini memposisikan diri tidak sebagai wakil tapi sebagai wali!"


MINGGU pagi 22 Juli 2001. Di sebuah rumah dengan halaman hijau, luas, penuh tanaman, di daerah Kebagusan, di selatan Jakarta, diadakan sebuah rapat selama hampir tiga jam. Rumah ini milik pribadi Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. Para tamunya adalah ketua berbagai partai politik.

Usai rapat Megawati menemui puluhan wartawan yang menunggu di pintu rumah. "Seperti yang saudara lihat di tempat kediaman saya pribadi, saya telah mengundang para ketua umum dan kapasitas saya sebagai pengundang adalah ketua umum PDI Perjuangan," kata Megawati.

Selanjutnya Megawati mempersilakan Amien Rais, ketua Partai Amanat Nasional sekaligus ketua MPR, maupun Akbar Tanjung, ketua Partai Golongan Karya sekaligus ketua parlemen, untuk memberitahu wartawan hasil pertemuan itu.

Amien mengatakan tidak berapa lama lagi Indonesia akan melihat sebuah kepemimpinan nasional yang baru, "Insya Allah, itu semua tergantung Allah, kami semua di sini sudah bersepakat untuk memberikan dukungan moral support kepada ibu Megawati Soekarnoputri."

Ketika wartawan bertanya apa Megawati setuju dengan kesepakatan tersebut, Amien Rais menyatakan, "Ya tentu."

Megawati hanya tersenyum. Rapat ini berhasil memuluskan kesepakatan partai-partai. Mereka tampaknya puas dengan penampilan Megawati. Bisa dipastikan bila tak ada aral melintang mereka bakal minta wakil-wakil mereka di parlemen untuk memberikan suara memecat Wahid dan mengangkat Megawati sebagai presiden.

Ternyata Minggu masih ada satu peristiwa besar yang makan perhatian politisi maupun media. Saat Amien, Megawati, dan politisi lain berunding di Kebagusan, dua buah gereja mengalami pengeboman. Bom meledak di Gereja Santa Anna dan satunya di Gereja Batak, keduanya di kawasan timur Jakarta. Wartawan pun ditugaskan mengejar berita itu. Baik datang ke gereja maupun rumah sakit tempat 32 korban dirawat.

Seakan-akan melupakan pertikaian mereka, Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Akbar Tanjung, Alvin Lie, A.M. Fatwa, Fuad Bawazier, dan banyak politisi lain mengalir ke berbagai tempat itu. Mereka tak datang bersamaan tapi tak bisa hilang kesan bahwa pada momen-momen yang sangat menentukan perseteruan politik mereka, kedua kubu berlomba menunjukkan simpati kepada para korban lewat media.


LAPANGAN luas sekitar Monumen Nasional selalu menarik perhatian orang pada hari libur. Minggu sore 22 Juli 2001 itu seperti biasa banyak orang makan angin di sana. Ada banyak anak kecil yang minta diantar bapak dan ibunya naik dokar. Banyak juga orang muda pacaran. Para pedagang kakilima menggelar dagangannya di sini.

Minggu sore itu ada satu tambahan tontonan. Lebih dari 2.000 serdadu dilengkapi dengan 134 tank datang ke lapangan itu. Mereka mengadakan "apel bersama dalam rangka kesiapan jajaran Tentara Nasional Indonesia di wilayah Jakarta."

Apel siaga ini dipimpin komandan apel Kolonel Marinir Sapzen Nurdin dari Brigade Infanteri 2 Marinir. Sedangkan inspektur upacara adalah Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Letnan Jenderal Ryamizard Ryacudu.

Pukul 19.00 Ryacudu memasuki lapangan Monumen Nasional dengan mengendarai panser. "Bismillahhirrahmannirahim," Ryamizard Ryacudu membuka pidatonya.

"Pangdam Jaya, Komandan Korp Marinir, Danjen Kopassus, Panglima Kohanudnas, Pangkop AU, dan Paskhas, panglima Armabar dan seluruh prajurit TNI terutama yang berada di daerah Jakarta Raya yang saya hormati, saya cintai dan yang sangat saya banggakan."

Secara singkat Ryacudu mengatakan tujuan apel itu adalah "membangun kekompakan" antara semua prajurit. Dia mengingatkan pada 1998 kekompakan itu terganggu ketika "kita diadu-adu sehingga timbul perkelahian di antara kita." Walau dalam pidatonya tak disebut, tapi Ryacudu mengacu pada pertikaian antara prajurit Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan marinir pada momen-momen jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998. Saat itu Kostrad dianggap antireformasi. Marinir justru dielu-elukan mahasiswa.

Ryacudu menjelaskan bahwa apel ini tanpa "maksud politik" karena sudah dilaporkan dan sudah mendapat persetujuan dari semua kepala staf angkatan, panglima TNI Widodo A.S. dan Presiden Wahid. Dia menekankan bahwa dia adalah tentara profesional yang tak mengurus politik.

Belum jelas benar apa dampak politis dari apel tersebut. Media Indonesia belum banyak yang menggali informasi rapat apa yang memutuskan diadakannya apel malam itu? Bagaimana hubungan Ryamizard Ryacudu dengan Presiden Wahid? Apa hubungan apel itu dengan ketaksukaan Wahid pada dukungan fraksi militer di parlemen terhadap percepatan sidang istimewa MPR?

Di Jakarta perkembangan ini bisa diketahui dari siaran langsung televisi dan radio, terutama Metro TV dan radio Elshinta 90,5 MHz FM. Apalagi juga ada undangan via short message service, biasa disingkat SMS, yang beredar secara terbatas di Jakarta lewat telepon seluler. Pesannya: Dukung Gusdur sbg pejuang kemanusiaan! (bukan sbg presiden saja) & malam ini istana terbuka utk rakyat; kl setuju kirim pesan ini ke 10 org lagi & dtg ke istana.

Seberapa jauh teknologi itu mendorong orang datang ke Istana Negara masih bisa dijadikan bahan studi yang lebih serius. Yang jelas cukup banyak tokoh-tokoh lembaga swadaya masyarakat maupun mahasiswa, yang selama ini mendukung Presiden Wahid, datang berbondong-bondong ke Istana Merdeka.

Sekitar pukul 22.00 jumlah mereka makin banyak. Sebut saja aktivis Emmy Hafild, Muchtar Pakpahan, Sandyawan Sumardi, Nursyahbani Katjasungkana, Bonar Tigor Naipospos, Dita Indah Sari, Yeni Rosa Damayanti, Alexander Irwan, Hermawan Sulistyo, dan sebagainya. Adik kandung Megawati, Rachmawati Soekarnoputri, juga ikut datang.

Faisol Riza dari Partai Rakyat Demokratik mengatakan lewat telepon pada seorang wartawan bahwa istana terbuka bagi rakyat, "Tidur di sini pun boleh."

Yeni Rosa Damayanti dari Solidaritas Perempuan keluar masuk istana dan merasa kecewa karena pada saat yang genting media tak berperan membela Gus Dur, "Tidak ada prinsip-prinsip dan etika yang dipegang. Saya lihat uang menjadi faktor pendorong yang utama. Bukan lagi sebuah cita-cita atau sebuah ideologi."

"Nah, ketika konflik menjadi sumber uang, itulah jalan yang diambil. Sama sekali tidak ada pikiran tentang akibat yang ditimbulkan. Akibatnya media massa terjebak pada jurnalisme yang prokekerasan, prosensasional dan memacu konflik."

"Semakin konflik itu berkembang dan lama, maka semakin besar pendapatannya," katanya lagi.

Menurut AC Nielsen, antara Sabtu 21 Juli dan Senin 23 Juli, SCTV mengantungi Rp 3.182 miliar dari iklan program berita. RCTI mengantongi Rp 1.741 miliar, Indosiar Rp 1.380 miliar, TPI Rp 683 juta, Anteve Rp 523 juta, serta Metro TV Rp 282 juta.

Jumlah ini besar tapi relatif kecil dibandingkan iklan dari program hiburan. Metro TV memperoleh iklan paling sedikit karena usianya relatif muda. Stasiun ini mulai siaran Desember 2000.

Novi B. Suratinoyo, wakil pemimpin redaksi tabloid Victorius, memandang media banyak yang ingin menjatuhkan Gus Dur, "Editorial Media Indonesia, misalnya, itu sangat jelas anti-Gus Dur. Seharusnya sikap wartawan itu adalah mengontrol mereka bukan menjatuhkan mereka."

Pukul 21.30 Gus Dur menemui para aktivis. Beberapa menteri juga datang. Gus Dur mengatakan dia akan mengeluarkan dekrit. Rapat jadi panas. Sebagian menteri menyatakan kurang setuju. Gus Dur mengatakan, "Malam ini juga akan saya umumkan dekrit."

Soal konsep Wahid minta para aktivis membantu. Hermawan Sulistyo, seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang menulis buku Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966), mengusulkan pembubaran Partai Golongan Karya, warisan dari rezim Presiden Soeharto. Usul itu ditolak karena dianggap antidemokrasi. Kesepakatannya, partai ini dibekukan hingga ada keputusan Mahkamah Agung.

Sekitar pukul 22.30 pintu istana ditutup karena banyaknya jumlah pengunjung. Banyak orang menunggu di pintu kiri gedung istana. Juga banyak wartawan yang menunggu di sana. Situasi sekeliling istana tampak sepi. Tidak terlihat pasukan dalam jumlah yang mencolok.

Pada pukul 23.03, tampak beberapa orang kiai keluar dari istana. Habib Yahya Assegaf dari Jakarta kepada wartawan mengatakan Gus Dur "nasibnya mujur, bagus. dekrit akan didukung oleh semua rakyat Indonesia."

Kalau dari TNI tidak mendukung bagaimana?

"TNI mendukung kok. Yang tidak mendukung itu barangkali cuma 20 persen atau kurang."

Televisi tak banyak mengambil gambar para kiai dan aktivis ini. Indra Piliang dari Center for Strategic and International Studies mengatakan, "Saya udah pegel nungguin sampai pukul 23.00, tapi Arief Suditomo (dari SCTV) dan kawan-kawan hanya melaporkan sejumlah nama yang ada di istana, tanpa tertarik untuk wawancara orang-orang itu."

Hermawan Sulistyo keluar dari istana dan dicegat wartawan.

"Gus Dur mau mengeluarkan dekrit?"

"Belum tahu, maju mundur, maju mundur."

"Konsep apa yang Anda tawarkan untuk dekrit?"

"Ah nggak, masuk aja saya nggak kok. Kalau kemarin, bersama dengan teman-teman LSM, dekritnya hanya soal pembubaran Golkar sampai ada keputusan MA (Mahkamah Agung). Tapi, kemarin. Bukan tadi lho! Soal dekrit itu saya masih seorang demokrat. Hitungan-hitungannya itu bukan pertarungan politik."

"Kalau dalam pandangan Anda mestinya gimana?"

"Ini sudah point of no return buat saya. Bagi saya cuman satu aja, kalau alasan moral, bukan alasan politik: pembekuan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), lalu pemilu dipercepat. Itu anu aja bahwa mereka menolak peradilan HAM untuk penanggung jawab Trisakti dan Semanggi."

Sulistyo mengacu pada dua tempat di Jakarta saat pada 1998 terjadi penembakan mati terhadap beberapa mahasiswa. Pertama di depan kampus Universitas Trisakti dan kedua terjadi dekat jembatan Semanggi.

"Tapi militer khan tidak mendukung Gus Dur untuk mengeluarkan dekrit?"

"Ini kan urusan politik, urusan apa sama tentara?"

Sulistyo memainkan peran cukup penting Minggu malam itu. Salah satu televisi yang melakukan kontak telepon dengan Sulistyo adalah Metro TV. Menariknya, pemirsa dengan jelas mendengar tuduhan-tuduhan mahasiswa terhadap Metro TV ketika wawancara berlangsung.

"Metro Cendana itu. Metro cuci uang Cendana itu."

"Mungkin Anda bisa backsound di belakang Anda itu. Nanti ada kesempatan Bung Kikiek," ujar Hersubeno Arief dari Metro TV. Kikiek adalah nama panggilan Sulistyo.

"Iya, saya sudah menghindar," kata Sulistyo.

Tuduhan mahasiswa bahwa Metro TV berhubungan dengan keluarga Cendana mungkin disimpulkan karena 20 persen saham Metro TV dimiliki Bimantara, sebuah perusahaan publik, yang didirikan dan sebagian sahamnya dimiliki putra Presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo.

"Jadi konkritnya apa Bung Kikiek?"

"Kalau buat saya bubarin saja DPR itu. Itu penghambat reformasi"

Di studio Metro TV, Hersubeno ditemani Alifian Mallarangeng dari Partnership for Government Reform, sebuah lembaga dana bentukan Bank Dunia, Asian Development Bank, serta United Nations Development Program. Mallarangeng dikenal sebagai komentator politik. Dalam wawancara itu Mallarangeng mengatakan, "Persoalannya adalah siapa yang berhak membubarkannya Bung Kikiek?"

"Ah, itu soal hukum. Biarlah para pakar hukum berantem. Saya lihat dari sisi moralitas saja itu."

Mallarangeng menjawab, "Tentu kalau kita bicara tentang demokrasi, kita menghargai adanya konstitusi, aturan-aturan hukum, yang membatasi kemungkinan pemusatan kekuasaan."

"Bukan! Bagi saya demokrasi itu berarti pembenaran pembunuhan terhadap mahasiswa. Itu ukuran saya," kata Hermawan Sulistyo.

"Bung Kikiek, Anda tidak membayangkan dampak dari dekrit bisa meneteskan darah seperti yang Anda sesali saat ini?" tanya Hersubeno Arief.

"Sama halnya anggota DPR yang tidak membayangkan darah mahasiswa itu. Sama saja kan?" kata Sulistyo.

"Artinya kemudian sah saja darah tumpah berikutnya. Dan ini bukan hanya mahasiswa tetapi juga rakyat biasa," kata Hersubeno Arief.

"Itu kan kata Anda. Kata saya, mereka yang memulai ini. Jadi, ini konsekuensi logis dari satu situasi yang bagi saya itu sangat menghambat reformasi," jawab Sulistyo.

"Metro itu Cendana," muncul teriakan lagi.

"Tapi bukankah, saya bisa saja, dan Anda bisa tidak sepakat, dengan keputusan DPR dan MPR, tetapi bukankah sistem demokratis," kata Mallarangeng.

"Saya tidak bisa dengar, ribut nih mahasiswa di seputar saya," kata Sulistyo.

"Mungkin Anda bisa bergerak sedikit. Nanti kita kasih porsi," kata Hersubeno.

Suara mahasiswa makin ricuh.

"Saya tidak bisa mendengar nih. Sudah," kata Sulistyo, sembari mematikan teleponnya.


PUKUL 21.00 di Departemen Pertahanan di Jalan Merdeka Barat ada rapat. Tuan rumahnya Laksamana Widodo A.S., panglima Tentara Nasional Indonesia, yang mengundang para petinggi militer dari angkatan darat, laut, dan udara, serta Agum Gumelar, menteri koordinator politik, sosial, dan keamanan.

Widodo mengatakan Presiden Wahid hendak menggantikan kepala staf angkatan darat dan angkatan laut, masing-masing Jenderal Endriartono Soetarto dan Laksamana Indroko Sastrowiryono serta mengangkat Letnan Jenderal Johny Lumintang, seorang perwira senior yang menjabat sekretaris jenderal Departemen Pertahanan, sebagai wakil panglima TNI.

Mereka menganggap keputusan ini persiapan Wahid menjalankan keadaaan darurat. Tanpa dukungan polisi dan militer Wahid tak bisa menjalankan kebijakan itu. Polisi sudah relatif dikuasainya dengan mengangkat Chaeruddin Ismail. Langkah berikutnya adalah militer.

Para perwira ini juga mengundang Lumintang. Ternyata Lumintang menolak pengangkatannya. Secara diplomatis Lumintang menyerahkannya pada Widodo A.S.

Pukul 23.30 Widodo dan Gumelar pergi ke Istana Negara buat menyampaikan keputusan rapat. Di istana, Gumelar melihat banyak orang. "Entah dari mana. Banyak sekali. Ada orang-orang LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan Rachmawati (Soekarnoputri) di situ," kata Gumelar.

Di dalam ruang kerja Wahid ada beberapa pembantu Wahid termasuk Chaeruddin. Sempat hening sejenak. Kemudian Agum Gumelar mendekati Wahid yang penglihatannya kurang baik.

"Saya Agum Gumelar, menteri Bapak, ingin menyampaikan pandangan dan saran. Kalau Presiden mengeluarkan dekrit, keadaan tidak akan bertambah baik, tapi semakin memburuk, dan ini juga menyangkut nama baik serta reputasi Presiden. Saran saya, janganlah dekrit dikeluarkan demi keselamatan bangsa."

Tiba-tiba Wahid berdiri sambil berteriak sekeras-kerasnya, "Kalian semua banci!" Teriakan Wahid sedemikian kerasnya sehingga mengundang perhatian orang luar. Beberapa pengawal presiden menyerbu masuk. Agum Gumelar kaget. Wahid terlihat emosional dan napasnya terengah-engah. Menurut penuturanya pada Forum, Gumelar memegang tangan Wahid, "Bapak Presiden, saya membantu presiden dan tidak menginginkan presiden mengambil keputusan yang keliru."

"Sudah saya putuskan!" teriak Wahid.

"Kalau tidak setuju dengan dekrit, maka silakan pisah. Kalau setuju dengan dekrit, maka ikut saya." Suasana tak nyaman. Gumelar pun mengajak Widodo keluar.


SENIN 23 Juli 2001 dini hari. Di kantor RCTI di bilangan Kebon Jeruk, Atmadji Sumarkidjo kelelahan dan tertidur di kantornya. Bersama rekan-rekannya, wakil pemimpin redaksi RCTI itu seharusnya bersantai di Puncak. Tapi Sumarkidjo malah tidur di kantor.

Budhius Maruf, seorang produser RCTI, membangunkan Sumarkidjo lima menit sebelum Presiden Abdurrahman Wahid muncul di depan wartawan untuk mengumumkan maklumat.

RCTI langsung menghentikan tayangan film dan pindah siaran ke Istana Negara. Wahid minta maaf lebih dulu pada wartawan karena mereka menunggu lama. Dia mengatakan itu bukan tindakan yang menyenangkan tapi dia harus mengambil tindakan untuk keselamatan negara.

Isi lengkap maklumat dibacakan juru bicara kepresidenan Yahya C Staquf pukul 01.17. Maklumat itu, yang sering disebut "dekrit" oleh Wahid, dasarnya mengatakan "krisis konstitusional telah memperparah krisis ekonomi, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi."

"Maka dengan keyakinan dan tanggung jawab untuk menyelamatkan negara dan bangsa serta berdasarkan sebagian terbesar masyarakat Indonesia, hari ini selaku kepala negara dan kepala pemerintahan saya terpaksa mengambil langkah-langkah luar biasa untuk memaklumkan:

- Membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI dan Dewan Perwakilan Rakyat RI;
- Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemilihan umum dalam waktu setahun;
- Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung."

Wahid memerintahkan seluruh jajaran militer dan polisi untuk "mengamankan langkah-langkah penyelamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia."

Acara ini berlaku singkat saja. RCTI, Indosiar, dan SCTV kembali melanjutkan tayangan hiburan yang tertunda.

Sumarkidjo mengatakan pengumuman itu membuat seluruh awak RCTI bekerja keras, mencari nara sumber, mengemas berita, dan menyiarkannya untuk berita pagi. Mereka kerja tanpa henti hingga pukul 08.00. "Karena kita bukan stasiun berita, kita memasukkan berita curi-curi diselipkan ketika acara film," kata Sumarkidjo.

Tapi acara-acara hiburan itu, dari musik, film, dan hiburan lain, tampaknya membantu meredakan ketegangan di masyarakat. Waktu diumumkannya yang lewat tengah malam juga mengurangi reaksi spontan dari masyarakat. Mungkin reaksinya berbeda bila diumumkan siang hari.

Sepuluh menit sesudah pengumuman itu, menteri koordinator politik, sosial, dan keamanan Agum Gumelar dipanggil Megawati di kediaman resmi Megawati di bilangan Menteng.

"Ada apa ini dan bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Megawati.

Gumelar menjelaskan kejadian di Istana Negara ketika Presiden Wahid emosional. Usai bercerita Gumelar mengatakan dia hendak mundur karena tak setuju dekrit.

"Siapa yang akan mengendalikan masalah keamanan?" tanya Megawati.

Gumelar jadi bingung karena di satu pihak sebagai menterinya Gus Dur yang tak setuju keputusan Gus Dur, dia harus mundur, tapi di pihak lain dilarang Megawati. Namun Gumelar membenarkan Megawati dan menyatakan dia tetap menteri tapi "siap mundur."

Sementara itu di hotel bintang lima tempat ketua MPR Amien Rais dan kebanyakan anggota MPR menginap, suasananya mendadak hiruk-pikuk. Orang-orang turun ke lobi hotel. Mereka yang tidur dibangunkan. Orang-orang Partai Golongan Karya tak bisa menyembunyikannya kegeramannya terhadap Wahid.

"Suasananya kayak pasar," ujar seorang wartawan.

Dalam suasana hiruk-pikuk itu, di mana perkembangan berita diluncurkan dengan cepat, peran televisi jadi sentral dan orang pertama yang komentarnya muncul di televisi bisa berperan paling besar dalam membentuk opini publik.

Kebanyakan televisi menyiarkan langsung dekrit tersebut tapi cuma Metro TV yang siap dengan seorang komentator di studionya. Komentator itu adalah Alifian Mallarangeng, seorang Ph.D ilmu politik dari Northern Illinois University (NIU) Dekalb, Illinois, Amerika Serikat. Mallarangeng keturunan bangsawan Bugis sehingga sering dipanggil gelar bangsawan Andi.

Menurut Mallarangeng, sebelum dekrit diumumkan, dia dan Hersubeno Arief mengobrol "ngalor ngidul nungguin sambil berdebar-debar apa yang terjadi." Ini terjadi karena pengumuman itu ditunda tiga jam dari pukul 22.00 sampai 01.00.

Mereka kemudian berpikir apakah akan ada semacam dekrit yang isinya tak jelas? Semua serba meraba-raba. Situasi di studio Metro TV juga menarik. Informasi yang masuk menit per menit; dari reporter di lapangan, dari internet, dari segala macam.

Mereka disodori informasi terus hingga menyaksikan sendiri siaran langsung dari Istana Negara. Saat itu Mallarangeng tak bisa menyembunyikan emosinya lagi. Begitu siaran langsung dihentikan Hersubeno Arief minta komentar Mallarangeng.

"Ini maklumat, sayang sekali, memperlihatkan sekali lagi, dan tampaknya akan dicatat dalam sejarah, bahwa Presiden Abdurrahman Wahid adalah seorang diktator. Dia telah melakukan makar terhadap negara," kata Mallarangeng.

"Makar ya Bung Andi?" tanya Hersubeno.

"Dia telah melakukan makar terhadap negara. Dia telah melakukan makar terhadap lembaga tertinggi negara yang menjadi perwakilan rakyat. Tidak ada hak seorang presiden yang tidak dipilih oleh rakyat secara langsung untuk membubarkan parlemennya. Ini bukan sistem parlementer. Ini juga bukan sistem autoritarian. Dengan ini, dia mengambil kembali seluruh kewenangan kekuasaan negara. Pada dirinya sendiri dia sudah mendefinisikan negara. Dirinya adalah negara. L'etat c'est moi."

Tanpa jeda Mallarangeng melanjutkan, "Ini tidak bisa dibiarkan semacam ini. Karena itu saya juga mengimbau, seluruh aparat negara, seluruh TNI, dan militer agar tidak mematuhi dekrit ini. Dekrit ini adalah makar terhadap negara. Kepada sesama warganegara Republik Indonesia, inilah saatnya kita mengatakan selamat tinggal Gus Dur! Kemudian kita mempersilakan sidang istimewa MPR/DPR tetap bersidang sebagaimana mestinya. Kita sebagai rakyat dan seluruh aparat negara mesti melindungi wakil-wakil rakyat di MPR melakukan persidangan sebagaimana mestinya. Kemudian memberhentikan dengan tidak hormat Presiden Abdurrahman Wahid dan kemudian melantik Wakil Presiden Megawati sebagai presiden."

Suasana agak tegang. Hersubeno bergurau, "Ya, saya kira ini bukan maklumat tandingan ya?"

"Bukan. Sebagai warga negara dan seorang demokrat," kata Mallarangeng.


PERTANYAANNYA adalah seberapa besar pengaruh Alifian Mallarangeng? Berapa banyak orang yang menonton Metro TV? Berapa persen dari para penonton itu yang terpengaruh imbauan Mallarangeng?

Menurut lembaga pemeringkat AC Nielsen peringkat Metro TV Senin dini hari itu berkisar 0,3 sampai 1,2. Ini berarti 0,3 persen sampai 1,2 persen penduduk Indonesia nonton Metro TV. Katakanlah populasi Indonesia 200 juta maka yang menonton 600 ribu sampai 2,4 juta orang. Sebagian besar mereka ada di Jakarta karena jangkauan Metro TV paling banyak di ibukota. Ini cukup besar mengingatnya baru beroperasi sejak Desember 2000.

Berapa orang yang datang ke parlemen untuk menentang dekrit? Belum ada jawaban konkrit tapi di satu sisi Mallarangeng dipuji karena berani mengambil risiko. Bagaimana pun juga ada kemungkinan dekrit dijalankan, parlemen dibubarkan, Amien Rais ditangkap, dan televisi dikuasai. "Istri saya sudah nangis-nangis di rumah karena khawatir saya ditangkap," kata Mallarangeng.

Mallarangeng mengatakan dia berusaha seobjektif mungkin dalam acara bincang-bincang itu dengan melihat konteks peristiwanya pada beberapa hari atau bulan sebelumnya. "Tapi ada beberapa titik di mana mungkin saya tidak bisa objektif. Misalnya ketika dekrit diumumkan, saya kecewa, saya marah. Saya menganggap dekrit yang dikeluarkan presiden itu inkonstitusional. Bisa mengarah pada makar, kudeta terhadap negara."

Mallarangeng belajar dari pengalaman negara lain, semisal dampak buruk pembubaran parlemen oleh Presiden Albert Fujimori di Peru dan Presiden Boris Yeltsin di Rusia. "Saya jadi marah. Saya juga tidak suka sidang istimewa MPR karena banyak prosesnya yang saya pertanyakan. Tapi tidak bisa karena saya tidak suka sidang istimewa MPR maka saya membekukan MPR. Dalam titik itulah saya tidak bisa mengambil jarak. Saya bersikap. Sebagai warga negara mungkin atau sebagai orang yang selalu berusaha mewujudkan demokrasi," katanya.

Tapi ada juga yang berpendapat persoalan tak seserius yang dibayangkan Mallarangeng. Wahid tak bisa dibandingkan dengan Fujimori atau Yeltsin. Wahid mengeluarkan dekrit yang tumpul. Kalau saja Mallarangeng tahu kesepakatan Amien Rais dan Agum Gumelar pada Jumat malam, mungkin Mallarangeng bisa mengatakan dekrit itu tak bakal efektif. Militer tak mendukung sehingga tak bakal jalan. Dia tak perlu "mengimbau" militer agar menentang "makar." Kalau Mallarangeng tahu sikap Megawati Soekarnoputri, yang menanggapi ketegangan itu dengan santai, bahkan pergi nonton film Walt Disney Shrek, mungkin Mallarangeng bakal lebih tahu bahwa dekrit itu tak bakal melumpuhkan parlemen.

Theodorus Jacob Koekeritsz, seorang aktivis Forum Demokrasi, yang kenal Mallarangeng sejak bangku sekolah menengah di Makassar, mengatakan Mallarangeng "emosional sekali." Mallarangeng dianggapnya "tidak lagi political scientist karena berpihak sekali."

"Okelah Andi Mallarangeng dikasih waktu empat jam berturut-turut. Satu atau 1,5 jam diberikan kepada Arbi Sanit, Thamrin Tomagola, atau yang lain," kata Yeni Rosa Damayanti, mengacu pada dua dosen Universitas Indonesia yang pro-Wahid.

Hersubeno Arief mengatakan kesulitan terkadang disebabkan keterbatasan komentator yang bisa dihubungi dengan cepat. Selain harus menguasai persoalan, seorang komentator diharapkan orang yang kenal kamera. Metro TV juga menghubungi orang-orang Partai Kebangkitan Bangsa tapi mereka tak bisa dihubungi atau tak bersedia datang. Andy F. Noya, pemimpin redaksi Metro TV, menghubungi Alifian Mallarangeng Minggu pukul 22.00. Noya minta Mallarangeng datang ke studio. Padahal Mallarangeng baru selesai dengan talk show televisi lain.

Atmadji Sumarkidjo mengatakan, "Para komentator, para pengamat itu pasti laku. Jadi kita list dulu beberapa nama untuk dijadikan sumber. Waktu itu ada banyak nama yang diajukan. Ada Dewi Fortuna Anwar, Andi Malarangeng, Rizal Malarangeng, Arbi Sanit, Imam Prasojo, dan lain-lain. Ada 30 nama waktu itu."

RCTI akhirnya memilih Eep Saefulloh Fatah, seorang mahasiswa pascasarjana Ohio State University yang "masih segar karena baru pulang dari Amerika."

"Dalam memilih narasumber kita coba seobjektif mungkin. Dia tidak membawa suatu aliran atau pro-Gus Dur atau anti-Gus Dur karena nanti akan bias. Riswanda Imawan juga jadi prioritas kita tapi karena ia jauh di Yogyakarta ya kita cari yang ada di Jakarta saja," kata Sumarkidjo.

M. Imdadun Rahmat, Zuhairi Misrawi, dan Rumadi dari Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama, berpendapat media sengaja ingin menjatuhkan Wahid. Anak-anak muda Nahdlatul Ulama ini mengatakan mereka tak pernah sekali pun dihubungi televisi. Lembaga mereka hanya sekali dihubungi oleh sebuah stasiun radio.

"Saya kira apa yang ditampilkan Media Indonesia atau Metro TV sangat jelas aspek by design itu. Orang awam akan bisa melihatnya. Apalagi orang yang berada dalam komunitas NU," kata Rumadi.

Harian Media Indonesia dan Metro TV adalah dua institusi media yang berhubungan. Keduanya dipimpin oleh pengusaha Surya Paloh. Editorial Media Indonesia tiap hari juga divisualkan di Metro TV.

Salim Said, penulis buku The Genesis of Power dan seorang komentator politik yang banyak tampil pada hari-hari ini, berpendapat secara umum penampilan televisi lumayan baik. Kesalahan atau pertanyaan yang bodoh memang muncul tapi "by default not by design."

Sumarkidjo berpendapat agak sulit bagi televisi untuk tak mendapat cap anti-Gus Dur, "Sekarang ada nngak orang yang pro-Gus Dur pada waktu itu?" Masalah teknis lain. Komentator politik yang setuju dekrit semuanya ada di istana sehingga sulit memanggilnya ke studio televisi. Sehingga yang muncul adalah yang kontra dekrit tersebut.

Setiap televisi dan radio memang harus sangat hati-hati memilih narasumber. Lebih hati-hati ketimbang media cetak karena narasumber media elektronik hanya bicara. Orang menulis harus jujur terhadap dirinya sendiri. Orang menulis sulit untuk berbohong. Ini berbeda dengan wicara.

Salah satu cara mengatasinya adalah memberikan suara kepada semua pihak yang bertikai, kalau perlu sama-sama di studio. Dalam momen secepat ini salah satu keterbatasan televisi dan radio adalah sulit dan mahalnya memproduksi berita. Talk is cheap. News is expensive. Talk show jadi pilihan karena murah dan kelihatannya gampang. Bandingkan kalau siaran-siaran ini diisi oleh berita melulu? Berapa ratus reporter yang harus dikerahkan?

Konsekuensi lain adalah kerja maraton. Padahal makin capek seseorang makin berkurang kinerjanya. Baik Hersubeno Arief maupun Alifian Mallarangeng, sekadar contoh, bicara lebih dari enam jam. Hersubeno bahkan mulai kerja Minggu pukul 06.30 dan baru pulang ke rumah 25 jam sesudahnya: Senin pukul 07.30. Mallarangeng, yang merasa khawatir akan keamanannya setelah bicara demikian keras, merasa tak aman pulang dini hari, dan memutuskan tetap tinggal dan bicara di studio hingga hari terang.

Atmakusumah Astraatmadja dari Dewan Pers berpendapat, "Memang sulit untuk meminta perimbangan sumber berita 50:50 tapi sepintas (televisi) sudah cukup baik."


SENIN pagi 23 Juli 2002. Televisi, radio, dan dotcom terbukti di atas angin dalam liputan 24 jam terakhir. Ini bisa dilihat pada harian Kompas, The Jakarta Post, Media Indonesia, Republika, dan harian lain yang terasa lebih kurang relevan ketimbang berita televisi, radio, dan dotcom.

Kompas menurunkan stop press pukul 03.15 dini hari yang berisi keterangan pers Amien Rais bahwa MPR tetap bakal melaksanakan sidang.

Amien mengadakan pertemuan pers sekitar pukul 02.00 dini hari ketika kebanyakan suratkabar Jakarta sudah naik cetak. Mereka masih sempat menurunkan berita maklumat Presiden Wahid. Tapi reaksi Amien Rais sudah terlambat untuk dicetak. Apalagi reaksi Akbar Tanjung, ketua Partai Golongan Karya, yang mengadakan pertemuan pers lebih lambat dari Amien. Agum Gumelar bahkan bikin pertemuan pers menjelang shalat subuh.

Suratkabar di zona Waktu Indonesia Tengah maupun Waktu Indonesia Timur, yang masing-masing sejam dan dua jam lebih cepat dari waktu Jakarta, malah banyak yang tak sempat menurunkan berita maklumat Wahid.

Kompas bisa melakukan stop press karena suratkabar ini menguasai sendiri percetakannya. Toh, Kompas terbit Senin tanpa memasukkan reaksi Partai Golkar atau keterangan Agum Gumelar.

Unsur kecepatan memang sangat penting. Makin cepat suatu media bekerja makin penting kedudukannya dalam situasi kritis. Suratkabar kalah bersaing dengan televisi, dotcom, dan radio karena butuh waktu cetak. Majalah Tempo bahkan sudah selesai cetak ketika Wahid menyatakan negara dalam keadaan darurat.

Susahnya, wartawan cenderung bekerja dengan pola media masing-masing. Senin dini hari itu hanya ada lima wartawan di hotel tempat Amien Rais dan Akbar Tanjung bikin pertemuan pers. Kebanyakan wartawan suratkabar dan televisi pulang setelah deadline. Mungkin kecapekan. Ini beda dengan media internet atau kantor berita yang bekerja praktis 24 jam.

Detikcom menurunkan berita "Gus Dur Bekukan Partai Golkar, Pemilu Digelar 1 Tahun Lagi" hanya beberapa menit setelah juru bicara kepresidenan Yahya C. Staquf membacakan maklumat itu di Istana Merdeka pukul 01.17. Detikcom terus-menerus melaporkan perkembangan momen-momen ini. Amien dilaporkan. Tanjung dilaporkan. Gumelar juga dilaporkan.

Sapto Anggoro, wakil pemimpin redaksi Detikcom, mengatakan dia dan para reporternya juga maraton. Para reporternya menggunakan telepon seluler dan melaporkan berbagai kejadian dari istana, parlemen, hotel, kantor Gumelar, dan sekitar Monumen Nasional.

Kompas Cyber Media menurunkan naskah lengkap maklumat pada pukul 01.43 dengan judul "Isi Lengkap Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid."

Di belahan dunia lain, situs web The New York Times menurunkan laporan "Facing Removal, Wahid Dissolves Legislature in Indonesia" pada pukul 01.47. Laporan ini diambil dari kantor berita Associated Press.

Keunggulan suratkabar sebenarnya ada pada kedalaman. Wartawan mereka sebenarnya bisa menembus tembok-tembok ruang rapat yang tak bisa ditembus kamera televisi. Mereka juga punya waktu lebih panjang ketimbang wartawan dotcom. Tapi hingga Senin, belum ada suratkabar yang mampu menjelaskan apa yang terjadi sepanjang Jumat-Sabtu-Minggu di luar hal yang resmi.

Pertemuan Amien Rais dan Agum Gumelar tak diberitakan suratkabar hingga seminggu sesudahnya. Dibentaknya Agum Gumelar oleh Abdurrahman Wahid juga baru muncul hampir seminggu sesudah kejadian.

Media, menurut Bambang Wisudo dari Kompas, "Kita terjebak pada apa yang diomongkan, tidak menggali hingga ke substansi persoalan." Kegamangan ini membuat berita suratkabar jadi kurang relevan. Mereka mengejar komentar demi komentar tapi melupakan proses verifikasi fakta demi fakta.

"Wartawan bingung menangkap mana yang substansi dan mana yang tidak. Saya sendiri mengalami kejenuhan, karena problem politik tidak maju-maju dari jaman Soeharto," kata Iwan Setiawan dari majalah Tempo.


SENIN siang 23 Juli 2001. Televisi berlomba-lomba menyiarkan sidang istimewa MPR dan mendatangkan komentator di studio masing-masing. SCTV mendatangkan Solahuddin Wahid dari Nahdlatul Ulama. Stasiun lain kebanyakan mendatangkan pembicara dari kubu anti-Wahid. TPI mendatangkan Indria Samego dari LIPI, Maswadi Rauf dari Universitas Indonesia, dan Salim Said.

SCTV mendatangkan Solahuddin bersama Hasnan Habib, pensiunan letnan jenderal, Ryas Rasyid, rektor sebuah perguruan tinggi dan mantan menteri kabinet Wahid, dan Daniel Sparingga dari Universitas Airlangga. Metro TV mendatangkan Rizal Mallarangeng dari Center for Strategic and International Studies, Denny J.A. dari Universitas Jayabaya serta Hamid Awaluddin dari Partai Golkar.

RCTI mendatangkan Eep Saefulloh Fatah. Anteve mendatangkan Alifian Mallarangeng dan Agus Haryadi dari CPPS-Paramadina.

Kalau ada dua nama Mallarangeng di sini karena mereka memang kakak-beradik. Alifian adalah kakak sulung Rizal. Keduanya kuliah di ilmu sosial dan politik Universitas Gadjah Mada dan melanjutkan studinya sama-sama di Ohio State University di bawah bimbingan Bill Liddle, seorang akademisi Amerika Serikat dengan spesialisasi Indonesia.

Pilihan-pilihan ini tampaknya tak memuaskan semua orang. Wakil direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Enceng Sobirin Nadj. termasuk salah satunya.

"Sungguh tak adil bahwa pengamat-pengamat yang tampil di televisi notabene adalah mereka yang anti-Gus Dur. Menurut saya, mereka ini lebih pas disebut sebagai pemain-pengamat, karena mereka tak segan-segan turut bermain dalam permainan politik menjatuhkan Gus Dur," kata Sobirin.

"Tidak kritis terhadap tentara. Itu jelas sekali," kata Koekeritsz dari Forum Demokrasi.

Zuhairi dari Lakpesdam Nahdlatul Ulama melihat pilihan para komentator itu dari sudut pandang "perebutan kekuasaan" antara Islam tradisional dan Islam modernis. Menurutnya alumni Ohio State University kebanyakan berlatar belakang Islam modernis.

"Nah persoalannya, selama ini tidak cukup ada dialog antara teman-teman berbasis Islam modernis dan teman-teman dari kalangan tradisionalis."

"Mereka berpikir kalau Gus Dur semakin berkuasa, otomatis mereka tidak punya banyak peluang untuk berkembang. Di sini ada gambaran tentang persaingan antara Ulil Abshar-Abdalla dan rekan-rekannya yang modernis. Ulil itu sebagai intelektual muda Islam sangat cepat melejit. Sementara teman-teman segenerasinya tidak mengalami hal yang sama."

"Mereka menganggap kalau Gus Dur tetap berkuasa akan semakin banyak lagi anak-anak muda NU yang melejit mewarnai dinamika intelektual, keagamaan, dan politik di Indonesia. Saya menangkap ada kekhawatiran seperti itu," kata Zuhairi.

Menurut Hersubeno Arief, Metro TV mencoba mengatasi kurang beragamnya sumber mereka pada Selasa 24 Juli 2001. Mereka mencari Ulil Abshar-Abdalla, orang nomor satu Lakpesdam NU, tapi Ulil sedang berada di Amerika Serikat. Mereka menggantinya dengan Ahmad Sahal dari jurnal kebudayaan Kalam. Sahal dari latar belakang keluarga Nahdlatul Ulama.

Zuhairi mengatakan Sahal memang warga Nahdlatul Ulama tapi tak banyak terlibat dan mengikuti secara langsung perkembangan-perkembangan yang terjadi di Nahdlatul Ulama.

"Saya kira ini kecelakaan betul Metro TV. Mestinya media mengetahui hal-hal seperti ini. Apakah benar seseorang itu merepresentasikan suara anak-anak muda NU secara umum? Karena sesungguhnya Sahal diundang untuk melihat bagaimana sih sebenarnya suara anak muda NU."

Menurut Zuhairi ada dua penjelasan ketakrepresentasian itu. Pertama Metro TV tidak memahami peta perkembangan di Nahdlatul Ulama. Kedua, ada kesengajaan menghadirkan tokoh-tokoh dari luar maupun dalam Nahdlatul Ulama yang mau bicara kritis atau negatif tentang Nahdlatul Ulama dan Gus Dur.

Kerangka yang muncul di media adalah kaum nahdliyin kurang berpendidikan, orang desa, dan bakal mengamuk bila Gus Dur dijatuhkan. Ternyata kekhawatiran itu tak terjadi. Penjagaan gedung parlemen terkesan malah berlebihan. Apakah media kecele dengan asumsi-asumsi mereka? Hermawan Sulistyo mengatakan dekrit dikeluarkan sebagai lambang "gerakan moral" melawan tren bahwa demokratisasi Indonesia kembali ke model Orde Baru.

Hersubeno Arief dan Rizal Mallarangeng membantahnya. Tidak ada konspirasi. "Lawan Gus Dur adalah prinsip demokrasi. Kikiek bilang dekrit moral. Itu juga omong kosong. Itu dekrit politik. Nggak ada soal moral di situ," kata Mallarangeng. Hersubeno mengatakan bahwa latar belakangnya sendiri adalah seorang nahdliyin.

Ya bagaimana lagi? Mungkin persoalannya memang sudah terlalu terpecah. You take it or you leave it. Th. Yacob Koekeritsz, aktivis Forum Demokrasi, memilih mematikan televisi ketika talk show Metro TV sedang berjalan antara Rizal Mallarangeng dan Ahmal Sahal.


MASALAH dari pemberitaan cepat biasanya akurasi. Waktu untuk verifikasi, untuk editing, jadi berkurang. Bill Kovach dan Tom Rosentiel mengatakan esensi jurnalisme adalah verifikasi. Boleh cepat tapi jangan meninggalkan esensinya. Itulah kelemahan kebanyakan media Indonesia. Banyak wartawan yang melontarkan pertanyaan tolol karena tak melakukan verifikasi lebih dulu. Ada wartawan di Istana Negara yang Minggu petang dibentak Wahid dan dibilang "tukang melintir" karena asumsi dalam pertanyaannya, soal kerja sama Wahid dan Rachmawati Soekarnoputri, bertentangan dengan fakta.

Dari SCTV ada seorang presenter yang mengatakan dia mendapat "bocoran." Hal itu tanpa dicek lebih dulu langsung disiarkannya di televisi dan ditanyakan pada J. Kristiadi dari Center for Strategic and International Studies, nara sumber di studio. Bagaimana mungkin Kristiadi bisa mengetahui fakta itu? Seberapa besar kebenaran bocoran itu? Beruntung Kristiadi cukup berpengalaman sehingga tak mau memperpanjang informasi yang belum jelas asal-usulnya.

Orang bisa melancarkan kritik terhadap media dengan memperhatikan akurasi dalam pemberitaannya. Siapa yang kebobolan? Siapa yang tekun? Siapa yang tak terburu-buru minta komentar orang-orang yang disebut "pengamat" atau "pakar" sebelum melakukan verifikasi fakta? Bagaimana seorang wartawan menempelkan label "pakar" atau "pengamat" pada nara sumbernya? Mengapa orang yang tak pernah menulis buku atau bikin penelitian serius bisa disebut sebagai pakar?

Selain itu salah satu kelemahan televisi adalah penggunaan apa yang disebut sebagai telepolling atau penggunaan telepon buat menjaring pendapat masyarakat.

Menurut Enceng Sobirin dari LP3ES tak ada satu pun polling yang akurat di televisi. Logikanya, dalam sebuah polling, pengambilan sampel harus benar. Populasinya yang mana? Kerangka samplingnya apa? Teoritis setiap anggota populasi sasaran harus memiliki kesempatan yang sama jadi responden. Penyelenggara polling yang menentukan responden dengan menggunakan teknik sampling tertentu. Artinya, responden itu dipilih dan bukan memilih dirinya sendiri.

Salah satu contoh telepolling televisi dibuat dengan pertanyaan: Setujukah Anda, apabila dekrit yang dikeluarkan presiden disebut sebagai inkonstitusional?

Polling itu diadakan pada 17 Juli 2001 pukul 18.00-18.50. Jumlah penelepon 1351 (85 persen dari Jakarta dan 15 persen luar Jakarta). Hasilnya setuju 81,65 persen, tidak setuju 16,80 persen, dan tidak peduli 2,15 persen.

"Telepolling kita kan ngawur sekali. Pemirsa televisi mengajukan dirinya sendiri untuk menjadi responden. Mereka menelepon untuk memberikan suaranya. Bisa saja karena temanya sudah menjurus menyudutkan Gus Dur, dan para pakar yang diundang juga memberi komentar negatif tentang Gus Dur, maka yang banyak menelepon adalah mereka yang anti Gus Dur."

"Mereka yang anti-Gus Dur cenderung untuk tidak menonton acara tersebut. Dengan kata lain, antara mereka yang pro dan anti-Gus Dur tidak memiliki peluang yang sama untuk menjadi responden. Dengan kata lain, televisi tidak melakukan sampling yang benar," kata Sobirin.

Polling itu masalah metodologi penelitian. Kalau metodologinya tak benar maka hasilnya juga tak bermakna apa-apa. Hasil telepolling televisi tak bisa dianggap sebagai suara masyarakat. "Namun apa yang terjadi? Para doktor lulusan Amerika yang berbicara di televisi membenarkan begitu saja hasil polling itu," kata Sobirin.

Atmakusumah Astraatmadja dari Dewan Pers berpendapat polling macam ini memang cacat. "Saya kira sudah jelas itu. Memang disayangkan jika ada media tidak jujur mengatakannya. Hasil polling diklaim sebagai representasi suara masyarakat."

Namun Astraatmadja mengatakan pengaruh media tak seserius yang dibayangkan orang selama ini, "Paling jauh, pengaruh media adalah membuat orang yang sebelumnya sudah anti-Gus Dur, menjadi lebih anti lagi, demikian juga sebaliknya. Namun saya yakin tidak sampai membuat orang yang sebelumnya pro-Gus Dur atau netral menjadi anti-Gus Dur."

Mungkin dugaan itu benar. Pukul 16.53 MPR resmi memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai presiden karena dinilai melanggar haluan negara. Megawati Soekarnoputri jadi penggantinya.

Sebanyak 591 anggota MPR menyatakan setuju memberhentikan Wahid dan mengangkat Megawati. Tidak ada yang menolak dan tidak ada yang abstain. Semua politisi itu kelihatan kelelahan tapi tak ada satu pun yang menyimpang dari opini mereka sebelumnya untuk memberhentikan Gus Dur.

Nun jauh di berbagai kantor berita, para wartawan pun kecapekan. Tapi maraton tiga hari ini memberikan pelajaran dan pengalaman yang berharga sekali agar kelak mereka bekerja lebih baik. Kritik adalah cambuk untuk kemajuan masa yang akan datang. ***

Copyright © 2001, Pantau

RALAT Naskah awal menyebut Alifian Mallarangeng lulusan dari Ohio State University. Mallarangeng sebenarnya lulusan Northern Illinois University (NIU) Dekalb, Illinois, Amerika Serikat.