Saturday, March 03, 2001

Cermin Jakarta, Cermin New York

Jatuh-bangun majalah The New Yorker

Andreas Harsono

WAKTU ITU SALATIGA HANGAT DENGAN macam-macam diskusi politik. Pemerintahan militer Orde Baru menekan kebebasan sipil, kebebasan akademik dan demokrasi. Mahasiswa hidup dalam rasa takut. Mereka kagum pada Arief Budiman, seorang pembangkang-cum-dosen Universitas Kristen Satya Wacana, Ph.D. dari Universitas Harvard, yang sering melancarkan kritik terhadap kapitalisme dan otoriterisme Orde Baru. Orang suka bicara politik walau bisik-bisik.

Suatu sore yang tenang, di sebuah pondokan di Jalan Cemara II, seorang mahasiswa menyodorkan fotokopi majalah berbahasa Inggris, berisi laporan tentang Soeharto, bisnis anak-anaknya, perseteruan Jenderal Benny Moerdani dan Wakil Presiden Sudharmono, Soeharto mendekati Islam, represi terhadap Timor Timur dan sebagainya.

Saya kurang perhatikan judulnya. Tapi ada kalimat “A Reporter at Large” mencolok. Desain majalah agak tak lazim. Model majalah kuno di Pulau Jawa pada 1960-an.

“Berapa ongkos fotokopi ini?” tanya saya.

“Gampang,” ujarnya.

Malam itu saya baca laporan yang ditulis oleh Raymond Bonner. Laporan dibuka dengan dokumen rahasia Rand Corporation –think tank berpengaruh di Washington DC– beberapa saat setelah Shah Reza Pahlevi dari Iran tersingkir oleh gerakan revolusi Islam dari Ayatollah Khomeini. Menurut Rand Corporation, ada tiga negara lain bisa meniru Iran: Korea Selatan, Filipina dan Indonesia.

Ketiganya dipimpin oleh penguasa otoriter: Chun Doo-Hwan, Ferdinand Marcos serta Soeharto. Mereka manipulasi pemilihan umum, melakukan pembunuhan politik, korupsi besar-besaran, serta dekat dengan dunia Barat. Pada lapisan menengah dan bawah ada ketakpuasan terhadap Chun, Marcos dan Soeharto. Konon saking rahasia, laporan Rand Corporation hanya dicetak 20 eksemplar dan dibagikan ke kalangan terbatas. Presiden Ronald Reagan termasuk menerima satu.

Perlahan laporan itu menarik saya masuk ke detail demi detail politik Indonesia. Bonner mengutip professor-professor Jogjakarta, mahasiswa Bandung, cendekiawan Padang, wartawan Jakarta dan seorang rektor Makassar. Bagai film kolosal, Bonner menghanyutkan pembaca, pelan-pelan memahami kerumitan sebuah negara pasca-kolonial yang bernama Indonesia.

Bonner datang dari New York dan liputan selama dua bulan di Indonesia. Dia wawancara sumber di Jakarta, Padang, Makassar, Jogjakarta dan Bandung. Dia tak bisa datang ke Dili karena militer Indonesia membuat Timor Timur daerah tertutup. Maka dia interview orang-orang Timor dan Portugis di Darwin, Australia.

Bonner bicara dengan orang-orang yang akrab dengan Indonesia, misalnya Ed Masters dan Marshall Green, keduanya mantan duta besar Amerika di Jakarta. Frederick Bunnel, professor ilmu politik dari Amerika. Jack Whittleton, duta besar Kanada di Jakarta. Bonner juga bicara dengan Jose Costa Alves, konsul jenderal Portugis di Darwin atau Gubernur Timor Timur Mario Viegas Carrascalao, serta pengusaha Hotel Turismo Dili Sebastian Calado.

Buat mahasiswa yang suka diskusi, laporan itu menyenangkan karena informasi Bonner jarang dimuat media massa Jakarta. Kini mereka tercetak lengkap, dari fakta, gosip, hingga rasa kecewa, marah dan kecut. Ibaratnya, saya mengerti politik Jakarta dengan memandang cermin yang diletakkan oleh Bonner. Saya agak lupa berapa lama saya baca laporan Bonner. Semuanya 40 halaman tanpa foto. Tapi seingat saya, semalam suntuk saya pakai buat membaca. Esok hari saya terlambat bangun. Bolos kuliah.

Dalam kantuk, saya perhatikan apa nama majalah yang memberi tempat buat narasi ini.

Namanya ... The New Yorker.


BEBERAPA SAAT SETELAH PERANG DUNIA I USAI. Ekonomi Amerika bergerak lagi, terutama di New York, kota pelabuhan dan perdagangan penting, yang mengundang banyak pendatang. Salah satunya wartawan bernama Harold W. Ross.

Ross kelahiran 1892 di Aspen, Colorado. Sekolahnya agak berantakan. Namun dia punya bakat menulis dan suka membaca. Pada usia belasan tahun Ross memutuskan jadi wartawan. Kerjanya pindah dari kota ke kota: Sacramento, Panama, New Orleans, Atlanta, sebelum jadi sukarelawan tentara Amerika Serikat dalam Perang Dunia I.

Dia dikirim ke Paris pada 1917. Tapi tak lama, Ross melakukan desersi. Dasar anak badung, bukan dihukum, malah dipercaya jadi editor Stars and Stripes, mingguan militer Amerika. Misi mingguan ini menyediakan hiburan untuk menjaga moral tentara.

Ross cukup berhasil. Dia menyajikan humor dan kartun, bahkan menerbitkan buku tentang humor prajurit. Selera humor Ross baik. Dia juga menikmati seni, makan enak, jalan-jalan, namun di atas segalanya, Ross muda sangat tertarik pada kata-kata. Dia mencintai sastra dan gemar mengasah kepekaan, kritik sastra.

Di Paris pula teman dekat dan rekan kerja Ross, Alexander Wolcott, memperkenalkan Ross dengan Jane Grant, wartawati The New York Times. Mereka jatuh cinta, pacaran dengan hangat, hingga satu saat bicara tentang pernikahan. Grant mengajak Ross tinggal di New York, metropolitan paling besar di Amerika.

Ross menolak. New York, menurut Ross, “... kota yang menakutkan.”

Grant membujuk dan hati Ross leleh. Mereka menikah. Bersama dua teman, pasangan muda ini menyewa rumah di Manhattan, daerah paling sibuk di New York, dan menjadikannya sebuah komunitas. Di sana wartawan, seniman dan pengacara suka berkumpul dan diskusi tentang seni dan sastra.

Ross bekerja sebagai editor di sebuah majalah. Tapi lama-lama dia berpikir untuk menerbitkan media sendiri. Dia punya beberapa ide: sebuah harian khusus isu perkapalan, penerbitan buku, atau sebuah “majalah ringan.”

Grant memperkenalkan suaminya dengan Raoul H. Fleischmann, seorang Yahudi kaya dari keluarga pemilik perusahaan roti. Fleischmann kurang suka pada bisnis keluarganya. Dia menjalankan bisnis roti karena rasa tanggung jawab semata pada ibu dan saudara perempuannya. Ketika bisnis itu mapan, Fleischmann ingin terjun ke bisnis yang tak sekadar berdagang komoditas.

Fleischmann tertarik dengan proposal Ross. Apalagi ekonomi Amerika sedang tumbuh, tarif pengiriman pos menggiurkan, dunia periklanan perlu media nasional, teknologi cetak foto meningkat, serta teknik penjilidan sudah lebih cepat. Fleischmann bersedia jadi penerbit majalah ini dan Ross menjadi editor.

Ross ingin majalah ini menjadi media yang sophisticated. Artinya ia diciptakan untuk konsumsi orang-orang sekolahan, mengerti seni dan sastra, tapi perlu informasi dan analisis mendalam. Majalah ini bukan majalah berita. Ross bahkan tak suka dengan tenggat berita. Ross menekankan unsur humor dalam majalah. Ini tak mudah karena membuat artikel yang membuat orang tersenyum, merasa lucu, lebih sulit daripada membuat laporan biasa, berisi informasi.

Dia mengajak teman-teman diskusi untuk mengisi majalah itu. Ada yang penuh waktu, ada yang paruh waktu. Pada 21 Februari 1925 mingguan The New Yorker meluncur ke pasar. Mulanya dicetak 30.000 eksemplar tapi ditambah menjadi 40.000 karena permintaan pasar. Dalam setahun, format dan desain The New Yorker menemukan bentuk.

Thomas Kunkel dalam buku Genius in Disguise menganggap The New Yorker sebuah ironi. Bagaimana sebuah majalah yang dianggap paling sophisticated di Amerika ternyata lahir dari tangan seorang wartawan kota kecil, yang sekolahnya tak beres, apalagi tak menyandang gelar dari kampus ternama dan terhormat macam Harvard, Yale dan Stanford.

Ini sebuah bukti lagi bahwa orang bukan sekolahan, bukan tak mungkin menghasilkan karya bagus. Kunkel menekankan bahwa ini mungkin terjadi karena Ross adalah pribadi yang bisa belajar sendiri.

Kunkel membeberkan prestasi Ross secara jelas. Ross memoles orang-orang berbakat menjadi penulis hebat. Seusai membaca laporan para kontributor, Ross suka membuat satu daftar pertanyaan buat mereka. Para kontributor The New Yorker dipaksa berpikir lebih keras, menerangkan setiap ide, logika, tata bahasa, setelah membaca daftar Ross.

Sirkulasi The New Yorker naik, dari rata-rata 14.064 per minggu pada 1925 menjadi 46.446 pada 1926. Sepuluh tahun kemudian sirkulasi naik jadi 128.210 dan pada 1941 jadi 171.665. Kenaikan terjadi tanpa biaya promosi besar. Antara 1927 dan 1940, The New Yorker menjadi satu dari tiga majalah top di Amerika dari segi penghasilan.

Dari sisi segmentasi, pembaca The New Yorker lebih menarik daripada dua saingan mereka, Reader’s Digest dan Time, karena separuh pembaca The New Yorker tinggal di New York, kota terbesar dan terkaya di Amerika. Antara 1925 dan 1927, Fleischmann rugi tapi mulai 1928 dia untung. Pada tahun keempat majalah ini mendapat laba bersih (sesudah pajak) US$287.000, lalu US$486.100 pada 1929 dan meningkat US$619.400 pada 1934.

Buat Ross, menjadi seorang editor berarti menjadi anonim, memainkan peran Pygmalion, yang tersembunyi, tak terdengar dan tak kelihatan. Ross memainkan peran itu dengan sempurna. Dia mempekerjakan penulis-penulis legendaris: E.B. White, John Hersey, Wolcott Gibbs, John O’Hara, John Updike, Rebecca West dan seterusnya. Di antara para kartunis besar terdapat juga Charles Addams, Helen Hokinson, James Thurber, Roz Chast, Peter Arno dan Rea Irvin.

Menurut Brendan Gill dalam buku Here at The New Yorker, selama puluhan tahun, Ross menjalankan peran sebagai ayah-paman-kakak-pengasuh-pastor buat para kontributor The New Yorker. Ross meminjami duit. Ross mengirim kontributor yang sakit ke ruang operasi. Ross mengurus perselingkuhan. Ross mengurus orang mati. Dia juga menerima protes.

John O’Hara, misalnya, seorang pengarang cerita pendek, selalu merengek minta honor naik. Dia suatu saat mengirim memo, “Ross, saya perlu uang, saya perlu uang, saya perlu uang, saya perlu uang, saya perlu uang ....”

Dari urusan serius hingga paling lucu, mau tak mau diurusi Ross. Brendan Gill tak melihat kejengkelan Ross ketika bekerja di sana. Gill merasa dia kurang diperhatikan. Ini kebiasaan semua kontributor, dari penulis hingga pelukis. Gill merasakan peran besar Ross justru setelah dia keluar dari The New Yorker.

Dengan berjarak, Gill merasa bahwa Ross ternyata mengambil peran macam-macam buat orang-orang kreatif yang bekerja di The New Yorker. Dengan gaya bicara yang berapi-api, terkadang memaki, tapi selalu lembut pada perempuan, Ross memimpin majalah ini dengan penuh kesabaran. Terkadang gayanya meledak-ledak. Ross suka mengumpat, tentu dengan humor, depan banyak orang. Suatu saat Ross mengumpat, “Kantor ini sebenarnya mirip sarang semut. Tak ada satu orang pun yang tak bermasalah di sini. Lihat (nama orang) yang mengaku buah pelirnya bengkak, atau (nama lain) yang mengira lubang duburnya buntu. Oh my God, apa tak cukup masalah di dunia ini dari sekadar mengurus sampah beginian?”

Dalam buku Genius in Disguise, Thomas Kunkel tak mampu menyembunyikan kekaguman pada Ross. Tapi Kunkel menjaga jarak agar bisa melihat kelemahan-kelemahan Ross. Kunkel menggambarkan Ross orang ceroboh. Ross senantiasa kekurangan uang walau penghasilan besar. Dia acapkali ditipu orang dekat. Seorang sekretaris pernah meniru tanda tangan Ross selama beberapa tahun hingga Ross menderita kerugian US$75 ribu tanpa sadar.

Ross menikah tiga kali dan tiga kali pula gagal. Ross pisah dari Jane Grant pada 1927 dan bercerai dua tahun sesudahnya. Mungkin Ross terlalu sibuk dengan The New Yorker sehingga tak punya banyak waktu buat keluarga. Dengan istri kedua, Marie Francoise Elie, Ross memiliki seorang putri.

Walau sudah cerai dari Grant, Ross terikat kontrak memberi bantuan keuangan pada mantan istri pertamanya itu. Ross juga rutin bertemu dengan Grant karena Grant ikut mendirikan dan memegang saham The New Yorker. Grant juga diperlukan karena dia bisa menjembatani perseteruan Ross dengan Fleischmann.


PERANG DUNIA II MENGUBAH PENAMPILAN The New Yorker. Jane Grant mengusulkan The New Yorker dicetak khusus untuk edisi perang. Rapat pemilik saham setuju dan majalah ini menciptakan edisi mini, tanpa iklan dan ukurannya lebih kecil, khusus dibagikan buat tentara Amerika di medan perang.

Sambutan prajurit Amerika ternyata besar sehingga pihak militer Amerika bersedia bayar subsidi kertas dan biaya lain, sehingga edisi mini ini sampai dicetak 150 ribu pada akhir 1944. Bersamaan dengan edisi mini, para kontributor The New Yorker lebih sering meliput Perang Dunia II.

Koresponden The New Yorker A.J. Liebling pada Maret 1943 menerbitkan laporan berjudul “The Foamy Fields,” tentang sebuah kamp Angkatan Udara Amerika, dengan pilot, mekanik dan perwira intelijen di selatan Tunisia di Afrika Utara.

Liebling datang suatu malam, tidur di sebuah tenda berlubang, bersama dua mekanik. Suasana gelap karena dilarang menyalakan lampu, yang memudahkan musuh menyerang. Liebling bahkan tak mengenal wajah teman setendanya walau mereka berkenalan dan bercakap-cakap dalam gelap. Sebelum terang mereka sudah keluar dari tenda.

Laporan Liebling berbeda dari kebanyakan laporan perang karena dia justru tak tertarik pada masalah makro. Dia bercerita bagaimana dia berkenalan dengan pilot muda. Sambil menunggu jam patroli, para pilot itu bermain dengan anak-anak anjing, lalu menerima serta membuka kiriman surat dari keluarga mereka di Amerika. Ada yang dapat kue kering, permen, majalah. Mereka juga main kartu. Semua senang, tertawa dan tengah hari mereka santai menuju hanggar buat patroli rutin.

“Sebentar saja,” ujar seorang pilot.

Dua jam, patroli itu kembali. Liebling kaget ketika melihat pesawat pertama mendarat dengan roda tak mau keluar dari sangkarnya. Cairan oli menetes keluar. Pendaratan yang berbahaya tapi selamat. Pilotnya penuh luka. Lalu pesawat dua, tiga, empat, lima juga datang. Tubuh pesawat penuh tembakan, kaca pecah. Tapi pesawat keenam, ketujuh dan kedelapan tak kembali.

Patroli rutin itu berubah jadi tragedi. Mereka disergap pesawat Jerman. Dan pilot yang bilang “sebentar saja” termasuk yang tertembak pesawat Jerman.

Liebling memakai kata “saya” untuk bercerita apa yang dilihatnya. Liebling sebenarnya bercerita tentang kegetiran perang, tentang dilema kekerasan untuk menyelesaikan pertikaian. Liebling menjadikan perang sebagai sesuatu yang dekat, yang kejam, dilihat dari jarak dekat. Banyak orang lantas meniru gaya Liebling.

Ada kontributor yang menyaksikan langsung bagaimana bom dijatuhkan di daerah Jerman. Dia masuk ke perut pesawat bomber, mencatat anak muda yang ragu menjatuhkan bom, atau pilot yang khawatir terkena tembakan meriam anti pesawat. Ada kontributor yang menyaksikan pertempuran di Iwo Jiwa, dekat Jepang. Ada juga yang meliput Teluk Persia. Samudera Pasifik. Okinawa.

Janet Flanner, koresponden The New Yorker di Paris, membuat cerita menarik tentang seorang nyonya Amerika, yang melarikan diri dari Paris, ketika diduduki Nazi, Jerman, lewat pemeriksaan demi pemeriksaan, hingga kembali ke Amerika.

Namun, namanya juga perang, The New Yorker terpaksa memberikan toleransi terhadap laporan yang berlepotan. Kiriman via kawat kadang tak sambung, terpaksa diulang, tambah bobrok sehingga editor menulis ulang. Editor macam Ross memperlihatkan kekuatan justru ketika harus mengubah laporan yang berlepotan, minta kiriman ulang, mengecek ulang fakta demi fakta, menimbang logika dan mengubah laporan di medan perang itu jadi narasi panjang yang enak dibaca.

Saking populer liputan kontributor macam Liebling dan Flanner, dua tahun setelah perang usai, pada 1947, majalah ini menerbitkan buku The New Yorker Book of War Pieces. Isinya melulu liputan Perang Dunia II. Buku ini dianggap karya baik sehingga terus-menerus dicetak ulang hingga kini.

Namun dari sekian naskah perang, tampaknya tak ada yang mengalahkan laporan John Hersey berjudul “Hiroshima” terbitan 31 Agustus 1946. Laporan ini beberapa kali disebut sebagai karya jurnalisme terpenting di Amerika Serikat abad ke-20.

Hersey mulanya bekerja buat majalah Life. Alumnus Universitas Yale dan tinggal di Cambridge, kota universitas di pinggiran Boston. Suatu sore pada 1942, wartawan muda ini pergi dengan istrinya, Frances Ann Cannon, menonton sebuah pertunjukan seni.

Menurut Ben Yagoda –memanfaatkan arsip-arsip internal The New Yorker buat bahan buku About Town– Cannon memperkenalkan suami dengan bekas pacarnya, seorang letnan Angkatan Laut Amerika bernama John F. Kennedy. Kedua lelaki ini cocok mengobrol apalagi setelah Kennedy bercerita bagaimana kapalnya tenggelam di sebuah pulau di selatan Pasifik.

Selama berhari-hari Kennedy berenang dari satu pulau ke pulau lain, membawa anak buah yang luka, untuk mencari bantuan. Dia harus berhati-hati karena patroli Jepang acap muncul di perairan itu. Hersey tertarik pada heroisme Kennedy dan memutuskan untuk wawancara lebih dalam beserta beberapa anak buahnya.

Hersey menawarkan laporan itu kepada Life tapi ditolak sehingga dialihkannya ke The New Yorker. Ia diberi judul “Survival.”

Kelak “Survival” dicetak ratusan ribu oleh keluarga Kennedy untuk membantu kampanye John F. Kennedy menjadi senator dan, pada gilirannya, presiden Amerika Serikat.

“Survival” juga membuat John Hersey dekat dengan The New Yorker. Pada akhir 1945 dia hendak pergi ke Tiongkok dan Jepang untuk melihat situasi pasca-Perang Dunia II, dia mendatangi dulu kantor The New Yorker.

Hersey bertemu dengan William Shawn, redaktur pelaksana The New Yorker, dengan siapa dia berdiskusi sekitar 10 buah ide laporan. Satu di antaranya membuat laporan pemboman lewat kacamata penduduk kota yang jadi sasaran bom.

Ide ini semula hendak dikerjakan oleh kontributor lain terhadap kota Cologne, Jerman, yang dihujani bom Sekutu. Tapi pemboman nuklir Hiroshima membuat Cologne terlihat kecil. Shawn menawarkan ide tersebut pada Hersey untuk diterapkan di Hiroshima.

Dalam perjalanan kapal laut dari Tiongkok ke Jepang, iseng-iseng Hersey membaca novel The Bridge of San Luis Rey karangan Thornton Wilder, yang bercerita tentang bencana alam di Peru pada abad ke-18. Hersey menganggap ide Wilder, yang menceritakan bencana itu dari pandangan beberapa korban, bisa dipakainya.

Setibanya di Hiroshima, Hersey mewawancarai 40-an akademisi dan ahli. Dia juga bicara dengan para korban, lima di antaranya orang Jepang dan seorang pastor Jerman. Keenam orang itulah yang dijadikan Hersey sebagai karakter utama dalam laporannya.

Hersey menceritakan kedahsyatan bom itu. Ada kulit terkelupas, ada desas-desus soal bom rahasia, ada kematian menyeramkan, ada dendam, ada perasaan rendah diri. Semua campur aduk ketika Hersey merekam dalam tulisan.

Ketika kembali ke Amerika, Hersey perlu waktu enam minggu untuk menulis. Mula-mula Hersey membuatnya jadi empat bagian dengan harapan The New Yorker memuat dalam empat nomor bersambung. Shawn mengedit hingga selesai.

Shawn merasa laporan Hersey bagus sekali sehingga dia datang ke Ross dan berkata, “Ini tidak bisa dibuat bersambung. Ini harus terbit sekali jadi.”

Ross agak bingung. Laporan Hersey sepanjang 30 ribu kata. Ia bakal menghabiskan seluruh halaman majalah.

Selama 10 hari, dari pukul 10 pagi hingga pukul 2 dini hari, Shawn dan Ross mengurung diri di kamar kerja Ross, melakukan editing laporan tersebut. Gaya Ross dalam menyunting adalah melayangkan pertanyaan tertulis. Untuk bagian pertama saja Ross menghasilkan 47 pertanyaan buat Hersey. Ketika sudah direvisi, Hersey masih mendapat enam pertanyaan lagi. Ross bertanya hal-hal kecil, misalnya kejelasan, konsistensi, diksi, tata bahasa, atau logika.

Ross memutuskan laporan Hersey bisa terbit dalam satu nomor.

Sehari sebelum diterbitkan, The New Yorker mengirim nomor awal edisi itu ke berbagai suratkabar lain. Surat pengantar Ross menjelaskan bagaimana bom itu membunuh 100 ribu dan melukai 100 ribu penduduk Hiroshima yang berjumlah 245 ribu.

Ketika muncul di pasar, The New Yorker habis diserbu pembaca. Minggu itu tak ada media Amerika yang tak memberitakan laporan Hersey. The New York Times memuatnya. The New York Herald Tribune membuat ringkasan. America Broadcasting Company membacakan laporan itu buat pendengar selama empat hari, masing-masing setengah jam, berturut-turut tanpa interupsi siaran iklan. Di seberang Samudera Atlantik, radio British Broadcasting Corporation juga membacakan naskah Hersey.

Seorang pembaca The New Yorker menulis, tak seorang pun tak membicarakan laporan Hersey selama dua hari berturut-turut di seluruh New York: di restoran, kereta api dan rumah. Koran-koran memberitakan dan New York meledak gara-gara laporan Hersey.

Laporan Hersey memicu sebuah gerakan antibom nuklir yang gemanya terasa hingga beberapa dekade kemudian, terutama dalam suasana Perang Dingin. Laporan Hersey juga menggugah kesadaran manusia bahwa bom nuklir tak layak dipakai dalam perang, karena secara pukul rata membunuh semua orang, sipil atau militer, wanita dan anak-anak.

Laporan Hersey juga mengukuhkan The New Yorker sebagai majalah serius. Dia bukan lagi majalah ringan. Kehadirannya diperhitungkan.

Fisikawan Albert Einstein, yang menulis teori pertama soal energi atom, tak mendapatkan edisi 31 Agustus 1946 tersebut. Einstein ingin membeli 1.000 buah lagi buat diberikan ke teman-temannya. Majalah itu laku habis. Einstein tak kebagian.


PADA 5 DESEMBER 1951, MAUT MENJEMPUT ROSS di sebuah rumah sakit Boston. Dia terkena kanker saluran pernafasan, meninggal dalam usia 59 tahun. Dia meninggalkan seorang putri yang masih kecil serta istri ketiga, Ariane Allen, yang dalam proses perceraian. Shawn, redaktur pelaksana The New Yorker, resmi menggantikan Ross pada 21 Januari 1952.

Berbeda dari Ross yang ramai dan suka bergurau, Shawn orang sopan, pendiam, pemalu, walau terkadang dianggap eksentrik bahkan misterius. Kalau Ross senang mengirim surat dan memo, Shawn hemat tulisan. Shawn lebih suka bicara via telepon, tatap muka atau mengirim telegram pendek. Ketika mulai bekerja, Shawn tak menunjukkan kemampuan menulis luar biasa. Tapi dia teliti dalam reportase.

Tapi kesamaan Ross dan Shawn adalah kecintaan mereka pada kata-kata. Mereka juga tak suka publikasi dan tak mau nama mereka muncul dalam masthead The New Yorker. Suksesi mulus karena Shawn termasuk editor senior dan tak ada seorang pun berharap Shawn menciptakan perubahan pada The New Yorker.

Ben Yagoda menggambarkan sepuluh tahun pertama kepemimpinan Shawn sebagai biasa-biasa saja. Shawn menjaga mutu The New Yorker, tapi perlahan dia merekrut orang muda berbakat, menggantikan orang lama. Dia tak segan menelepon wartawan mahasiswa, mengajak wartawan muda bergabung ke The New Yorker.

Seorang wartawan Harvard Crimson, harian mahasiswa Universitas Harvard, suatu hari menerima telepon.

Suara sopan di ujung telepon memperkenalkan diri, “Saya William Shawn dari The New Yorker.”

Bill Mc Kibben mengira ada teman mengerjai. Telepon dibanting. Beberapa tahun kemudian dia sadar bahwa Shawn memang menelepon hari itu.

Shawn, dengan gaya kepemimpinan sopan, perlahan mencapai lagi era gemilang The New Yorker ala Harold Ross. Satu demi satu narasi hebat bermunculan, mulai dari Truman Capote yang menulis “In Cold Blood” tentang pembunuhan berdarah dingin sebuah keluarga petani Kansas hingga laporan pengadilan Hannah Arendt tentang seorang tukang jagal Nazi Jerman, yang ditangkap di Argentina dan diadili di Israel berjudul “Eichmann in Jerusalem”. Orang mulai berdecak kagum pada Shawn.

Pada Juni 1962, Shawn menerbitkan laporan ahli biologi Rachel Carson berjudul “Silent Spring.” Laporan ini bercerita dampak pemakaian pestisida DDT terhadap ekosistem. Pestisida mematikan serangga tapi juga meracuni tanaman pangan, membuat polusi lingkungan hidup, membunuh binatang lain serta membahayakan manusia.

Carson perlu tiga tahun untuk riset, meliput sidang pengadilan terhadap perusahaan produsen pestisida dan wawancara. “Silent Spring” dianggap monumental, karena kali pertama dalam sejarah biologi hubungan manusia dengan alam dijelaskan secara populer dan detail. Ketakpedulian manusia terhadap lingkungan hidup berarti malapetaka.

Laporan Carson membuat penjualan The New Yorker meloncat tinggi. Ia setidaknya mencapai tingkat sensasi “Hiroshima” karya John Hersey. Ketika diterbitkan sebagai buku, harian The New York Times mencatat Silent Spring sebagai buku paling laku selama 32 minggu. Silent Spring bahkan selama beberapa dasawarsa menjadi inspirasi gerakan lingkungan hidup modern.

Shawn juga menerbitkan esei James Baldwin berjudul “Down at the Cross,” yang risetnya mulai pada 1959 ketika Baldwin mengajukan proposal bepergian ke Afrika. Baldwin ingin menulis benua hitam ini, tempat budak-budak perkebunan Amerika didatangkan. Tapi Baldwin kurang mujur. Reportasenya tak selesai.

Sebagai ganti, dia membuat sebuah esei tentang hubungan orang kulit hitam dengan kulit putih di Amerika. Baldwin mengira eseinya bakal ditolak. The New Yorker tak pernah memuat esei. Ternyata Shawn menerima. Ini salah satu perubahan radikal yang dibuat Shawn. Dia merasa ketakmauan Ross, memuat esei sudah saatnya ditinggalkan. The New Yorker perlu memuat ide-ide baru agar pembaca bisa mengikuti pemikiran-pemikiran mutakhir.

Di Amerika isu rasial adalah isu peka. Baldwin menyerang orang kulit putih liberal yang menganggap “pernyelesaian masalah Negro tergantung pada kecepatan orang-orang Negro menerima dan berasimilasi dengan standar hidup orang kulit putih.” Baldwin berargumentasi, orang kulit hitam, sebagaimana layaknya kaum minoritas di manapun, berhak punya kebudayaan dan standar hidup sendiri. Mereka tak harus mengikuti kehendak mayoritas!

Baldwin ikut mengompori gerakan antidiskriminasi rasial di Amerika. Secara internal The New Yorker konsisten dengan mempekerjakan wartawan kulit hitam. Zaman Harold Ross, semua wartawan The New Yorker orang kulit putih. Tapi Shawn mengubahnya.


PADA 1965, KETIKA THE NEW YORKER MERAYAKAN ulang tahun ke-40, media lain berlomba-lomba menurunkan laporan sukses majalah ini. Seorang kontributor harian The New York Herald Tribune, Tom Wolfe, ingin tampil beda. Dia minta waktu wawancara dengan Wiliam Shawn. Sebagaimana biasa, Shawn menolak: dia menolak menjawab pertanyaan tertulis, menolak melakukan verifikasi naskah Wolfe.

Tom Wolfe jalan terus dan menerbitkan sebuah parodi dengan judul “Tiny Mummies” yang mengolok-olok para redaktur The New Yorker sebagai orang yang bekerja mengawetkan ... mumi peninggalan Harold Ross. Majalah The New Yorker seakan disebutnya sudah mati, tinggal mayat, yang diawetkan Shawn, yang dioloknya sebagai orang bertubuh kecil, pendiam, kalau bicara berbisik, kalau bergerak lamban.

Menurut Yagoda, dalam buku About Town, kritik ini tak benar karena The New Yorker di bawah Shawn sudah berubah. Dalam periode Shawn, muncul beberapa laporan hebat karya Rachel Carson, Truman Capote, James Baldwin dan sebagainya. Shawn juga memberi banyak perhatian pada Perang Vietnam, mengambil sikap kritis terhadap perang itu dengan mengizinkan cendekiawan Amerika yang anti-Perang Vietnam untuk mengisi halaman The New Yorker. Shawn juga menurunkan banyak laporan soal bencana dan lingkungan hidup.

Ada dua Ross yang berpengaruh dalam hidup Shawn.

Ross yang kedua, seorang wanita, bernama Lillian Ross.

“Tiny Mummies” mengungkap hubungan intim Shawn dan Lillian Ross, salah seorang redaktur senior The New Yorker. Menurut Wolfe, Lillian dalam sehari bisa beberapa kali berada di ruangan Shawn. Mereka sering makan bersama, nonton teater, menikmati konser, jalan bersama dan sebagainya. Wolfe mengungkapkan masa kecil Shawn yang tak bahagia. Dia bersaudara 12 orang. Seorang teman Shawn diculik di depan mata Shawn dan ditemukan mati terbunuh.

Pembongkaran rahasia pribadi ini menyakitkan Shawn.

Wolfe menuai 16 surat protes gara-gara laporan itu. Seseorang menyebut laporan itu bukan saja “brutal” tapi memanfaatkan kelemahan Shawn, kekurangan fisik dan psikologisnya, untuk dilukai. Orang lemah seharusnya diberi simpati, bukan diolok-olok. Laporan Wolfe, setelah dicek, juga mengandung lebih dari selusin kesalahan fakta.

Menariknya, 33 tahun setelah parodi Wolfe, Lillian Ross menerbitkan buku Here But Not Here: A Love Story yang menceritakan romannya selama 40 tahun dengan Shawn. Lillian menceritakan bagaimana dia mulai bercinta dengan Shawn. Lillian memakai apartemen seorang bintang film, sekitar 10 blok dari apartemen Shawn. Lillian merayakan setiap libur Natal bersama Shawn tapi membiarkan Shawn merayakan liburan Thanksgiving bersama istri dan anak-anaknya.

“Bill mengatakan bahwa Cecille menerima pengaturan ini. Saya pikir, ‘Mungkin Cecille sangat mencintai Shawn sehingga dia membiarkan Shawn melakukan apa saja asal Shawn tetap hidup,’” kata Lillian Ross.

Renata Adler dalam buku Gone: The Last Days of The New Yorker mengatakan bahwa Lillian memang orang yang paling dekat dengan Shawn. Adler menyebut Lillian –yang sebagai wartawan dikenal karena liputannya tentang sastrawan Ernest Hemingway dan sutradara John Houston– sebagai “istri kantor” Shawn. Jadi Shawn punya dua istri: Cecille Shawn, istri di rumah dan Lillian Ross, istri kantor.

Adler menganggap terbitnya buku Ross, Here But Not Here, bukan saja penghinaan buat Cecille dan kedua anak lelaki Shawn, tapi juga bagi Shawn sendiri. Sejauh ini keluarga Shawn tak pernah mengeluarkan reaksi apapun terhadap Lillian Ross. Shawn memang misterius. Selama 38 tahun memimpin The New Yorker, dia jarang memberikan wawancara. Shawn pendiam, pemalu, pekerja keras dan bahkan menghancurkan banyak dokumennya sendiri, termasuk korespondensi, sehingga sejauh mana kebenaran buku Lillian Ross juga masih misteri.


SEJAK AWAL 1970-AN, SEJUMLAH ORANG DALAM The New Yorker mulai bicara soal siapa yang bakal menggantikan Shawn. Shawn sadar bahwa usianya sudah menginjak kepala tujuh. Pada 1978, Shawn mengirim surat pengunduran diri ke direksi The New Yorker.

Tapi dua bulan berikutnya, Shawn membatalkan niatnya dengan alasan banyak orang tua, antara lain maestro seni lukis Picasso, berprestasi ketika berumur 70 tahun lebih. Shawn tampaknya kurang sreg dengan seorang wakil, Robert Bingham, yang bakal menggantikannya. Shawn menjagokan editor yang lebih muda. Tapi orang muda ini, Jonathan Schell, kurang disukai anggota redaksi The New Yorker. Dia dianggap kurang berpengalaman dan terlalu meniru Shawn.

Lama-lama Shawn dianggap rewel soal pengganti. Dia tak percaya pada orang lain. Dia juga gagal mendelegasikan wewenang. Dalam periode magang, orang-orang yang diharapkan jadi pengganti Shawn sering tak berdaya karena Shawn membiarkan para wartawan mengabaikan mereka. Ada calon ketiga tapi memilih keluar dari The New Yorker untuk jadi editor majalah lain.

Pada 1984, kinerja majalah ini mulai menurun dihantam persaingan dengan televisi maupun majalah sejenis. Perang Vietnam mempengaruhi sirkulasi The New Yorker karena sikap editorial yang agak melenceng dari arus besar. The New Yorker bagaimana pun dibaca oleh banyak orang mapan yang ingin liputan Perang Vietnam dibuat dengan berimbang. Ada juga isu gaji wartawan yang kurang memadai. Usul perubahan manajemen sering berbenturan dengan Shawn, sehingga pemilik saham The New Yorker merasa frustasi dan akhirnya menerima tawaran pembelian saham mereka oleh Samuel I. Newhouse Jr.

Newhouse adalah pemilik konglomerasi media bernama Conde Nast, salah satu kelompok bisnis media terbesar di Amerika dengan pendapatan tahunan rata-rata US$4 miliar pada 1980-an. Walau besar, citra Conde Nast kurang cemerlang karena produk mereka, macam majalah Vanity Fair, Vogue, Glamour, Mademoiselle dan GQ, dianggap pasaran.

Newhouse berambisi bukan saja jadi orang nomor satu kerajaan media yang kaya, tapi juga pemilik media paling bergengsi di Amerika. Newhouse membujuk keluarga Fleischmann untuk menjual saham mereka, sehingga Newhouse jadi pemilik saham mayoritas The New Yorker. Harga yang dibayarnya 40 persen lebih mahal dari harga pasar. Newhouse membayar total US$168 juta buat membeli The New Yorker.

Newhouse janji tak campur tangan urusan redaksi dan minta Shawn mencari pengganti dari dalam The New Yorker. Tapi tiga tahun berselang, proses itu tetap tak jelas dan ketika sudah jelas, Newhouse tak suka dengan calon pilihan Shawn. Dalam keadaan berlarut-larut, pada 13 Januari 1987, Newhouse memecat William Shawn dan menggantikannya dengan Robert Gottlieb, editor penerbit buku Alfred A. Knopf, salah satu anak perusahaan Newhouse.

Para wartawan The New Yorker protes. Tapi kedatangan Gottlieb ternyata tak jelek. Gottlieb mampu mendinginkan protes tersebut walau beberapa wartawan, termasuk Lillian Ross dan Renata Adler, memutuskan mundur dari The New Yorker.

Gottlieb mempertahankan standar mutu The New Yorker. Dalam satu-dua hal Gottlieb, yang suka seni dan teater serta membaca The New Yorker sejak kanak-kanak, justru memperbaiki liputan The New Yorker. Gottlieb merekrut banyak koresponden luar negeri bernama harum, antara lain Raymond Bonner dan David Remnick, masing-masing spesialis Amerika Latin dan Rusia, untuk menjaga mutu liputan internasional The New Yorker. Pada 1988, Gottlieb mengirim Bonner ke Indonesia dan menulis laporan panjang tentang keluarga Presiden Soeharto dan bisnis-bisnis mereka, dari Bambang Trihatmodjo hingga Tommy Soeharto.

Tapi usaha Gottlieb kurang berhasil mencegah kerugian The New Yorker. Sirkulasi praktis tak berubah, pendapatan iklan kurang memadai. Pada 1993, The New Yorker rugi US$ 30 juta, sehingga Newhouse memecat Gottlieb dan menggantikannya dengan Tina Brown, seorang wartawati kelahiran Inggris, yang dianggap berhasil memajukan Vanity Fair, majalah kebanggaan Conde Nast.

Pergantian ini menimbulkan reaksi keras. Orang sangsi apakah Brown mengerti makna The New Yorker. Apalagi Brown mendesain ulang The New Yorker. Brown menambah halaman para kontributor, lengkap dengan foto mereka. Dia juga menambahkan foto di halaman-halaman dalam, berwarna dan hitam-putih. Dia menciptakan halaman surat pembaca, membuat kalimat eye catching di bawah judul, serta memindahkan byline di awal karangan.

Harold Ross, William Shawn, maupun Robert Gottlieb selalu meletakkan nama pengarang di akhir karangan, dengan alasan mereka tak mau menjual nama penulis. Biarlah pembaca menikmati suatu karangan tanpa diiming-imingi siapa penulisnya. Mereka menganggap foto, bila ada untuk melengkapi suatu cerita, cenderung menjadi pelengkap saja. Mereka suka bila laporan mereka kuat hanya pada narasi, tanpa perlu dibantu foto. The New Yorker melengkapi majalah mereka hanya dengan ilustrasi dan kartun.

Perbedaan lain, Brown tak segan-segan memunculkan hal-hal yang provokatif. Dia menerbitkan sebuah artikel tentang dildo –penis buatan dari plastik, alat bantu masturbasi untuk perempuan. Suatu saat Brown juga menampilkan maskot The New Yorker sebagai pemuda punk dengan kulit pucat. Brown juga cinta publisitas. Dia suka popularitas, menyukai wawancara dan membiarkan dirinya diiklankan bersama The New Yorker.

Bila Shawn menyukai timelessness –bahwa The New Yorker terbit tanpa memperhatikan unsur waktu– Brown justru menyukai timeliness yang kalau perlu dalam satu minggu desain majalah diganti dua atau tiga kali untuk mengejar berita yang sedang hangat. Shawn menyukai kedalaman, Brown menyukai kecepatan.

Renata Adler dalam buku Gone: The Last Days of The New Yorker berpendapat, riwayat majalah tempat Adler membangun karier tamat bersamaan pengalihan kepemilikan The New Yorker dari keluarga Fleischmann ke keluarga Newhouse.

“Orang Conde Nast mengira mereka tahu bisnis dan tahu seni,” kata Adler.

Penerbitan Conde Nast macam majalah Vanity Fair memang sukses, tebal, mengkilap, penuh iklan, foto perempuan setengah telanjang, gosip selebritas, mode pakaian, gaya hidup dan sejenisnya, tapi Vanity Fair bukan tandingan The New Yorker. Vanity Fair memang memuat laporan panjang, tapi tak pernah melewati kemampuan The New Yorker dalam memuat laporan yang bukan saja panjang tapi cerdas dan mengejutkan macam “Hiroshima” atau “Silent Spring.”

Ketika Newhouse membeli The New Yorker, dia memperkenalkan teknik penjualan dan promosi yang agresif. Orang Conde Nast giat berpromosi: menawarkan rabat langganan, menaikkan sirkulasi, memasang iklan horizontal, memuat advertorial dan sebagainya. Brown dianggap sebagai editor yang justru “lebih dekat” dengan orang pemasaran daripada dengan wartawan-wartawannya.

Padahal The New Yorker adalah majalah dengan tradisi menjaga pagar api antara editorial dan iklan. Iklan tak salah. Tapi iklan harus dibedakan dari berita. Ibarat pemisahan negara dan agama. Bila campur aduk, komersialisme bisa merusak jurnalisme. Bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Dampak ambrolnya pagar api, pembaca kurang percaya dengan berita yang dibacanya. Kekaburan ini terlihat jelas dari apa yang disebut sebagai advertorial –singkatan dari advertisement dan editorial.

Bagi Adler, advertorial bukan kompromi kecil. Advertorial Tina Brown sengaja dibuat untuk mengundang mata pembaca untuk membaca. Advertorial dibuat dengan desain dan jenis huruf sedemikian rupa sehingga pembaca mengira artikel itu bagian dari berita. Padahal advertorial adalah iklan.

Kekuatan The New Yorker dalam kepemimpinan Harold Ross dan William Shawn adalah kemampuan untuk hanya diatur dan ditentukan oleh rasa ingin tahu dan semangat dari para redaktur, penulis dan artis, tanpa khawatir dengan apa yang disukai pembaca, apalagi biro iklan dan pemasang iklan.

Tina Brown tak setia pada prinsip pagar api. Ben Yagoda dalam About Town menyebut Brown campur aduk konsep The New Yorker dengan hal lain yang tak jelas. Ironisnya, dengan segala pergantian itu, Brown tak berhasil menaikkan sirkulasi The New Yorker. Pendapatan datar-datar saja. Newhouse bahkan rugi terus karena The New Yorker.

Antara 1985 dan 1997, Conde Nast menanggung kerugian US$ 150 juta buat The New Yorker. Angka yang relatif kecil buat Conde Nast dengan rata-rata keuntungan US$ 4 miliar setiap tahun. Ben Yagoda belum bisa menyimpulkan mengapa The New Yorker senantiasa rugi. Mungkinkah karena pasar yang berubah? Orang makin tak perlu bacaan panjang? Mungkinkah karena persaingan dengan majalah lain? Atau televisi yang menggaet persentase iklan terbesar di antara semua media?

Pada 1998, secara mengejutkan Tina Brown mengundurkan diri. Alasan resmi, dia hendak mendirikan majalah lain. Tapi alasan itu sulit dimengerti. Mungkinkah Brown capek dikritik kiri-kanan? Mungkinkah dia lelah dengan kesendiriannya? Mungkin dia merasa tak dimengerti? Penggantinya adalah David Remnick, koresponden The New Yorker di Rusia, yang dulu direkrut Robert Gottlieb.

Proses pergantian berjalan mulus. Mungkin karena Remnick termasuk orang dalam, pernah memenangi hadiah Pulitzer untuk buku Lenin’s Tomb: The Last Days of the Soviet Empire. Dia juga dikenal sebagai penulis profile yang hebat. Pekerjaan utama Remnick memoles ulang pekerjaan Brown, termasuk menghapus foto seronok, foto kontributor dan merapikan majalah itu lagi. Perwajahan The New Yorker jadi lebih dingin ketika Remnick mengambil alih kemudi ruang redaksi. Walau Remnick merekrut beberapa wartawan papan atas, termasuk Seymour Hersh, mantan wartawan The New York Times yang spesialis investigasi, mungkin terlalu awal buat Yagoda dan penulis lain untuk menilai prestasi Remnick. Hersh adalah wartawan Amerika yang membongkar pembunuhan penduduk dusun My Lai di Vietnam oleh prajurit Amerika pada 1968.

Jelas, Newhouse ingin The New Yorker tetap jadi salah satu majalah terkemuka Amerika. Newhouse ingin majalah itu jadi kebanggaan Conde Nast. Persoalannya, sampai kapan Newhouse bisa bertahan? Seberapa cepat Remnick mampu menaikkan mutu The New Yorker di tengah persaingan yang makin ketat? Bagaimana Remnick memimpin The New Yorker bersamaan dengan kemunculan Microsoft, Netscape, Yahoo dan sebagainya?


DUABELAS TAHUN SETELAH MEMBACA The New Yorker secara sembunyi-sembunyi di Salatiga, pada satu hari yang dingin, ketika salju mulai mencair, di sebuah ruang diskusi Kennedy School of Government, Universitas Harvard, Cambridge, saya hadir dalam diskusi soal investigasi dalam jurnalisme. Pembicaranya Raymond Bonner, wartawan The New Yorker, yang bikin laporan Indonesia pada 1988.

Ada sekitar 30 orang dalam ruangan itu. Ada beberapa wajah Asia. Kebanyakan orang kulit putih. Hanya beberapa menit, Bonner masuk dan kemudian duduk.

“Lho, orangnya kok kecil?” pikir saya.

Dalam sampul buku karangan Bonner, Waltzing with a Dictator, soal Ferdinand Marcos, foto Bonner menggambarkan wajah laki-laki berwajah keras, rambutnya agak panjang-belah pinggir-agak berantakan, rahang kuat-segiempat dan bibir berkerut. Saya bayangkan orangnya pasti tinggi besar.

Bonner di ruang seminar itu ternyata kecil untuk ukuran Amerika, mungkin hanya 165 centimeter. Bicaranya cepat, ramah, suka tertawa, menggerak-gerakkan tangan, mengatur rambut, kelihatan selalu berusaha meyakinkan orang –mengingatkan saya pada makelar emas partikelir yang bekerja di sepanjang jalan di dekat toko ayah saya di Jember.

Saat itu musim semi 2000. Seusai diskusi saya memperkenalkan diri. Bonner kelihatan senang mengetahui di sudut Amerika ini ada wartawan dari Jakarta, duduk dan mendengarkan paparannya.

Saya ingat, dia bertanya, “Apa pendapat Anda tentang Gus Dur? Dia orang baik, bukan?”

Pada liputannya 1988, Bonner mewawancarai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang dikenalnya sebagai satu dari dua cendekiawan Muslim paling terkemuka di Indonesia. Satunya lagi Nurcholish Madjid.

Bonner kelihatan tertarik bicara soal ulama yang kemudian jadi presiden keempat Indonesia itu. Mungkin Bonner tak membayangkan Gus Dur bisa jadi presiden.

“Saya punya beberapa kenalan di Indonesia. Satu di antaranya adalah wartawan. Aduh siapa namanya ya?” ujar Bonner.

“Mungkin ...” jawab saya.

“Jangan, jangan dijawab, saya ingat, saya ingat, saya juga ketemu istrinya yang juga editor. Ini wartawan terkenal ... namanya ... namanya ... Mohamad.”

“Goenawan Mohamad,” jawab saya.

"That's right! How is he?"

Sehari kemudian kami ikut jamuan makan malam yang diadakan Nieman Foundation di Faculty Club milik Universitas Harvard. Istri Bonner, Jane Perlez, koresponden The New York Times, memberikan keynote speech tentang suka-duka liputan luar negeri.

Saya ceritakan kepada Raymond Bonner bagaimana narasi “New Order” dari The New Yorker itu saya dapatkan di Salatiga. Naskah itu dibendel rapi, tersebar merata di kelompok-kelompok diskusi mahasiswa yang lagi menjamur di Jogjakarta, Bandung, Surabaya, Jakarta dan mungkin kota-kota lain.

“Artikel itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia,” kata saya. Narasi tersebut ikut mengompori gerakan mahasiswa di Jawa.

Bonner sedikit kaget dengan adanya terjemahan itu. Dia bilang dia senang dan tertarik untuk mendapatkan satu fotokopi. Saya kira, banyak mahasiswa lebih bisa mengerti politik Jakarta dengan memandang cermin yang dibuat dari New York itu.

Malam itu, ketika berjalan kaki pulang, saya berpikir “New Order” mungkin tak mengubah dunia sebanyak “Hiroshima” karya John Hersey atau “Silent Spring” karya Rachel Carson. Bonner tak menulis soal bom nuklir atau bahaya pestisida. Bonner menulis soal seorang kepala negara, nun jauh di seberang lautan, yang sedang di puncak kejayaan. Ketika anak-anak kepala negara itu mulai merambah dunia bisnis, merampok negaranya sendiri, ketika masalah Timor Timur kelihatannya mulai sukses di tangan Indonesia.

Sejarah ternyata terbalik. Tiga tahun sesudah laporan itu ditulis, tentara-tentara Indonesia yang tak berdisiplin membantai ratusan orang Timor di kota Dili. Ada wartawan Inggris merekam dalam video. Kebengisan dan kekejaman itu menyebar ke seluruh dunia. Menteri Luar Negeri Ali Alatas menganggap peristiwa Dili pada November 1991 itu sebagai titik balik diplomasi internasional Indonesia.

Tapi sang sultan Jawa tetap percaya diri. Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap dibuatnya sebagai stempel saja. Sepuluh tahun setelah laporan itu, Presiden Soeharto kembali merekayasa sidang MPR agar dia terpilih lagi. Padahal badai krisis ekonomi menerjang deras. Ekonomi Indonesia gemetar. Rupiah ketakutan. Kali ini tak ada Sudharmono, tak ada Benny Moerdani. Wakil presiden yang ditunjuknya, B.J. Habibie, seorang insinyur cerdas yang jenaka, yang belasan tahun membantunya.

Soeharto hanya bertahan dua bulan. Pada Mei 1998 dia turun tahta dengan kesedihan dan malu. The New Yorker, sedikit banyak, ikut merintis tumbangnya diktator ini.

***




Thursday, March 01, 2001

Wartawan, ee, Radio, ee

 Andreas Harsono

Pantau, 1 Maret 2001

APA Anda pernah memperhatikan gaya wartawan radio –kalau mereka boleh disebut wartawan– mengadakan wawancara di udara?

Ada yang khas Indonesia dalam hal ini. Mereka doyan, doyan banget, menambah bunyi “ee” atau “oh gitu” atau “oh gitu ya” dalam wawancara. Ketika sumber menjawab, apapun jawabannya, di sela-sela jawaban kebanyakan ada bunyi “eh” dan sebangsanya.

Ambil contoh Odetta Levine dari radio Elshinta Jakarta.

Suatu sore di bulan Oktober, dari studio Elshinta di daerah Joglo, Jakarta, mbakyu satu ini berbunyi “ee” hingga 35 kali dalam satu segmen wawancara 10 menit dengan seorang dokter, mengenai kesehatan Presiden Suharto.

Mau lengkap lagi? Levine membunyikan kata “iya” sebanyak 15 kali dan kata “oh begitu ya” dua kali.

Mengapa?

Levine menolak berkomentar dan memberi nama Eddy Harsono, kepala bagian siaran Elshinta, buat menerangkan jurus “ee” dan strategi “oh gitu ya” itu.

Harsono menjawab, bunyi “ee” diperlukan agar sumber di ujung telpon tetap tahu bahwa si Levine masih mendengarkan omongannya. “Kalau nggak, mereka khan bisa bilang, ‘Halo? Halo?’” kata Harsono.

Harsono dan Levine mungkin tak tahu, dalam standar siaran internasional, bunyi “ee” itu haram hukumnya, karena mengganggu pendengar, karena mengesankan si pewawancara membenarkan ucapan sumber, karena terkesan mengajari pendengar dan karena itu jelek.

Tak usah jauh-jauh. Kalau Levine dan Harsono mau menyimak siaran berita BBC –yang disiarkan Elshinta setiap malam sesudah acara Levine usai, mereka tahu bahwa wartawan BBC tak ada yang pakai jurus “ee.”

Atau dengarkan Voice of America, Radio Australia, atau kalau punya dana, datang saja ke radio-radio berita di negara maju, misalnya, WBUR di Boston. Mereka semua mengharamkan bunyi “ee.”

Atau sekali-kali, Harsono dan Levine dikirim ke pelatihan jurnalisme radio, untuk tahu bahwa bertanya di udara, haram hukumnya berbunyi “ee” atau menggunakan kalimat panjang, apalagi pertanyaan tertutup (jawaban: ya atau tidak).

Levine, lagi-lagi, cukup tak punya malu untuk bertanya hingga menggunakan 60 kata. Levina juga tak punya malu untuk meminjam mulut orang buat mengiyakan opininya sendiri.

Levine, lagi-lagi, tak tahu ketika ditanya berapa jumlah kata yang sebaiknya dipakai buat bertanya? Mbakyu satu ini mempersilahkan Eddy Harsono (ada sedikit pertanyaan soal profesionalisme Levine karena penyiar muda ini adalah istri Iwan Haryono, general manager Elshinta yang atasan Harsono).

“Untuk di radio, ee, kita sebetulnya tidak ada aturan berapa kata, berapa kalimat. Yang kita pentingkan, tidak perlu panjang, tidak perlu pendek, yang penting adalah apa yang ingin dipertanyakan itu sudah mewakili rasa ingin tahu dari audience,” kata Harsono.

Ketaktahuan Harsono dan Levine, bukan monopoli radio Elshinta. Dari Medan hingga Jakarta, dari Yogyakarta hingga Ujungpandang, radio-radio gemetar, karena tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan harus memproduksi berita.

Mereka tak siap. Selama setengah abad, radio di Indonesia hanya jadi alat penguasa atau alat cari makan. Radio di Indonesia, identik dengan propaganda ala RRI, atau bermusik ria ala radio swasta.

Hasilnya, ya jurnalisme yang amburadul. Jurnalisme yang tak punya rasa malu. Jurnalisme ala Levine, yang tak sadar bahwa mereka ikut menggerogoti nama baik wartawan Indonesia.

Ee, itu kalau mereka boleh disebut wartawan lho ya!