Thursday, September 21, 2000

Tujuh Pertimbangan Jurnalisme Sastrawi

Andreas Harsono 
Institut Studi Arus Informasi 

Istilah jurnalisme sastrawi
adalah salah satu dari sekian banyak nama buat genre tertentu dalam jurnalisme. Wartawan Amerika Tom Wolfe pada 1973 membukukannya dengan nama "new journalism (jurnalisme baru)." Ada juga yang memakai nama narasi atau narrative reporting. Ada juga yang pakai nama passionate journalism. Tapi ada yang secara sederhana menyebut “tulisan panjang” (long form reporting). Saya lebih suka istilah "narasi."

Intinya, genre ini menukik lebih dalam daripada apa yang kita kenal sebagai in-depth reporting. Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal tersebut. 

Tulisan biasanya panjang. Majalah The New Yorker bahkan pernah hanya menerbitkan laporan John Hersey berjudul “Hiroshima” dalam satu edisi majalah, total 30,000 kata. Wawancara untuk sebuah laporan bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan ratusan, nara sumber. Risetnya juga tidak main-main. Waktu bekerjanya juga tidak seminggu atau dua. Tapi bisa berbulan-bulan. 

Memang reportase adalah bagian yang melekat dengan genre ini. Data-data diperoleh dari liputan di lapangan dengan tangguh. Menembus sumber dengan gigih. Pagi hingga malam. Riset yang makan keringat. Wawancara yang berjibun. Ia menukik tajam hingga mampu menterjemahkan, misalnya, sesosok kepribadian manusia dengan segala kerumitannya ke dalam kata-kata. Bahasanya tidak harus mendayu-dayu. 

Bahasa bisa lugas. Dari segi struktur karangan, genre ini bentuknya model gelombang sinus. Naik turun. Liar. Tapi ia juga cantik dan memikat. Rasanya pembaca tidak bisa melepaskan karangan itu sebelum tuntas membaca. 

Saya sering ditanya apakah karya Seno Gumira Ajidarma Saksi Mata masuk dalam kategori jurnalisme sastrawi? Karya ini karya sastra yang memukau. Tapi karya itu adalah fiksi. Ajidarma tidak menyampaikan fakta yang nyata. Nama-nama diganti. Tempat juga tidak disebutkan jelas. Saksi Mata adalah karya fiksi yang memakai data-data pembantaian Dili pada November 1991 sebagai ide cerita. Ia bukan karya jurnalistik tentu. 

Ketika mendalami jurnalisme sastrawi di Amerika, saya selalu diberitahu adanya tujuh pertimbangan bila seseorang hendak membuat laporan dengan gaya ini. 

Fakta. Jurnalisme selalu mensakralkan fakta. Walaupun genre ini memakai kata “sastra” tapi ia tetap jurnalisme. Karena itu fakta juga sakral baginya. Setiap detail seyogyanya berupa kenyataan. Nama-nama orang adalah nama-nama sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar kejadian. 

Apabila ada dua orang bertemu dan mengadakan pembicaraan. Seorang wartawan seyogyanya mengecek kepada keduanya apakah benar si A mengatakan ini dan si B mengatakan itu. Orang mungkin bisa lupa. Orang mungkin bisa berubah persepsi, seiring perjalanan waktu. Minimal, esensi dari pembicaraan itu harus disetujui A dan B bila hendak dilaporkan dalam jurnalisme.  

Kalau berbeda? Ada dua pilihan. Tidak dipakai sama sekali. Atau kalau pembicaraan itu penting, dilaporkan saja dari dua sudut yang berbeda. Si A bilang ini tapi si B bilang lain lagi. 

Tapi perbedaan bisa tidak terletak pada esensi. Biasanya ia terletak pada detail. Warna jas, warna dinding, bau minyak wangi, permukaan papan yang kasar atau jenis sepatu bisa diingat secara berbeda oleh orang yang berbeda. Tidak ada salahnya untuk pergi ke situs di mana suatu kejadian terlaksana, untuk mencatat detail di lapangan. 

Konflik. Sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik. Bila Anda berminat membuat laporan panjang, Anda seyogyanya berpikir berapa besar pertikaian yang ada? 

Tapi konflik bisa berupa pertikaian satu orang dengan orang lain. Ia juga bisa berupa pertikaian antar kelompok. 

Misalnya, upaya Arnold Ap mengembangkan musik Papua berbuntut ketegangan dengan pejabat militer dari Jawa yang dikirim ke Jayapura. Ap ditahan, didorong "melarikan diri" dan ditembak mati. Konflik juga bisa berupa pertentangan seseorang dengan hati nuraninya. Konflik juga bisa berupa pertentangan seseorang dengan nilai-nilai di masyarakatnya. Pendek kata, pertikaian adalah unsur penting dalam suatu laporan panjang. 

Karakter. Narasi mensyaratkan adanya karakter-karakter. Karakter membantu terikatnya suatu laporan. 

Ada karakter utama. Ada karakter pembantu. Karakter utama seyogyanya orang yang terlibat dalam pertikaian. Karakter utama seyogyanya juga kepribadian yang menarik. Tidak datar dan tidak menyerah dengan mudah (Orang yang mudah menyerah biasanya juga tidak mau dituliskan riwayatnya). 

Akses. Anda seyogyanya punya akses kepada karakter utama atau orang-orang yang mengenal karakter utama. Akses bisa berupa dokumen, korespondensi, album foto, buku harian, wawancara dan sebagainya. 

Saya sering mengibaratkan akses kepada karakter utama ini dengan akses yang dimiliki oleh seorang penulis biografi. Aksesnya luar biasa. Bisa masuk ke masalah-masalah pribadi karakter utama. Soal percintaan, soal skandal, soal kejahatan, berbagai dokumen dan sebagainya. 

Emosi. Jurnalisme sastrawi membutuhkan emosi dari karakter-karakternya. Emosi bisa berupa cinta. Bisa berupa pengkhianatan. Bisa berupa kebencian. Loyalitas. Kekaguman. Sikap menjilat. Oportunisme dan sebagainya. Emosi menjadikan cerita kita seakan-akan hidup. 

Emosi karakter juga bisa berubah-ubah bersama perjalanan waktu. Mulanya si karakter menghormati mentornya. Suatu kejadian besar menguji apakah ia perlu tetap menghormati mentornya atau tidak. Di sini mungkin ada pergulatan batin. Mungkin ada perdebatan intelektual. Ini seyogyanya memberikan ruang buat emosi. Apa emosi si karakter ketika tahu ia memenangkan pertarungannya? Apa perasaan si karakter ketika tahu ia dikhianati istri atau suaminya? 

Perjalanan Waktu
. Perbedaan antara feature, yang lebih pendek, dengan narasi, yang jauh lebih panjang, adalah keterkaitannya dengan waktu. Saya mengibaratkan laporan suratkabar “hari ini” dengan sebuah potret. Snap shot. Sedangkan laporan panjang adalah sebuah film yang berputar. Video. 

Robert Vare, mantan editor The New Yorker, menyebutnya “series of time.” Peristiwa berjalan bersama waktu. Ini memiliki konsekuensi penyusunan struktur karangan. Mau bersifat kronologis, dari awal hingga akhir. Atau mau membuat flashback. Dari akhir mundur ke belakang? Atau kalau mau bolak-balik apa benang merahnya supaya pembaca tidak bingung? 

Panjangnya waktu tergantung kebutuhan. Sebuah laporan tentang kehamilan bisa dibuat dalam kerangka waktu sembilan bulan. Tapi bisa juga dibuat dalam kerangka waktu dua tahun, tiga tahun dan sebagainya. Tapi bisa juga sekian menit ketika si ibu bergulat hidup dan mati di ruang operasi. 

Kebaruan. Ada unsur kebaruan yang harus Anda pertimbangkan bila hendak membuat laporan panjang. Tidak ada gunanya mengulang-ulang lagu lama. 

Kalau Anda hendak menulis cerita panjang soal pembunuhan G30S atau kerusuhan Mei 1998, sebaiknya berpikirlah dua atau tiga kali sebelum menjalankan ide ini. Cukup banyak fakta yang sudah diungkap oleh orang lain soal G30S atau kerusuhan Mei 1998. Ini tidak berarti tidak ada yang masih tersembunyi. Saya percaya masih banyak hal yang belum terungkap dari dua peristiwa besar itu. Tapi bersiaplah untuk mencari fakta-fakta baru. Bersiaplah untuk menembus sumber-sumber yang paling sulit yang belum ditembus orang lain. 

Mungkin lebih mudah mengungkapkan kebaruan itu dari kacamata orang-orang biasa yang menjadi saksi mata peristiwa besar. 

Hersey mewawancarai seorang dokter, seorang pendeta, seorang sekretaris dan seorang pastor Jerman, untuk merekonstruksi pemboman Hiroshima. Secara detail, Hersey menceritakan dahsyatnya bom itu. Ada kulit terkelupas, ada desas-desus soal bom rahasia, ada kematian yang menyeramkan, ada perasaan dendam, ada perasaan rendah diri. Semua campur aduk ketika Hersey merekamnya dan menjadikannya salah satu artikel termahsyur dalam sejarah jurnalisme Amerika. Hersey mempublikasikan karyanya setahun setelah bom nuklir dijatuhkan di Hiroshima. 

Fisikawan nuklir Albert Eistein tidak bisa mendapatkan edisi The New Yorker pada Agustus 1946 tersebut. Einstein membaca laporan itu karena ia berlangganan. Eistein ingin membeli enam buah lagi buat teman-temannya. Tapi majalah itu laku habis. Einstein kehabisan. 

Apa artinya? Sederhana saja. 

Einstein menemukan teori baru. Hersey juga menemukan sesuatu yang baru. Hersey menemukan sisi bengis dari bom nuklir! Itu saja. 


Disampaikan dalam pengantar diskusi jurnalisme sastrawi buat wartawan-wartawan yang diundang untuk menulis buat majalah media dan jurnalisme Pantau. Diskusi diadakan di Utan Kayu, Jakarta, 20-21 September 2000.