Friday, December 13, 1991

Catatan Perjalanan dari Jerman: Parkir Mobil Susah

Andreas Harsono
Suara Merdeka, Jumat, 13 Desember 1991

Dua hari saya di Jerman, saya sudah dibuat kagum oleh teraturnya transportasi umum. Untuk berpergian dalam kota, ada dua macam sarana transportasi umum: trem listrik dan bus kota. Jangan bayangkan bus kota di Jerman seperti bus kota di Jakarta, Surabaya atau di Semarang. Bus-bus dengan warna jingga itu hanya berhenti di halte yang disediakan, tepat pada waktu yang sudah ditentukan.

Ada lelucon tentang dua laki-laki Jerman sedang menunggu trem. Mereka berdua sekaligus juga sedang menunggu istri salah seorang di antaranya untuk berangkat bersama. Dua menit sebelum waktunya ternyata trem sudah datang, maka kedua jadi gelisah.

“Bagaimana ini istri Anda belum tiba,” tanya laki-laki yang pertama. 

Dengan pelan rekannya menjawab. “Jangan khawatir. Istri saya lebih tepat waktu dari pada trem ini.”

Dan benar juga, dua menit kemudian, ketika trem hendak berangkat, istri laki-laki pertama sudah muncul. 

“Unsur manusia sangat menentukan mutu suatu sistem agar sama-sama taat waktu,”  begitulah inti dari lelucon. 

Jadi, kalau ada orang yang ingin mau naik trem maupun bus, mula-mula yang dilihatnya adalah jam kedatangan bus bersangkutan di dinding halte. Kalau dicantumkan bus akan datang pukul 09:18, busnya akan datang pukul 09:18. Tentu bisa meleset. Tetapi sejauh pengalaman saya, tidak lebih dari 3 menit (kecuali kalau ada kejadian luar biasa). 

Di Eropa memang ada ungkapan, “Orang Jerman memang luar biasa disiplin.” Mereka tidak kenal jam karet dan kalau mengerjakan segala sesuatu sampai tuntas. Orang-orang Eropa yang lain jadinya menganggap orang Jerman itu sebagai orang-orang yang kaku dan tidak luwes. 

Bagaimana kalau ada penumpang yang ingin naik bus di luar halte? Jelas tidak akan dibukakan pintu. 

Awak bus memang hanya satu orang yaitu sang sopir. Buka tutup pintu diatur secara elektrik oleh sopir. Naik bus, kalau tidak membawa karcis, bisa beli pada sopir. 

Di Bochum, di leander Nordrhein Westfalen, tempat saya menginap, tarip bus dalam kota DM 2 (Rp 2.200). Makin jauh jarak yang ditempuh –terkadang ada bus kota yang melewati dua atau tiga kota yang berdekatan– makin mahal pula harga yang harus dibayarkan. 

Sedangkan di Kaiserslautern tiket bus dalam kota hanya DM1,8 (Rp 1,980). 

Bagaimana kalau naik bus tidak membayar? 

Karena memang tidak ada kondekturnya. Saya lihat kemungkinan untuk main kotor besar sekali. Ini mudah dilakukan karena pintu bus kota maupun trem selalu lebih dari satu pintu. Syukur kalau ini dilakukan tidak persis ada petugas kontrol. Tetapi kalau ada kontrol dan kewajiban memasukkan karcis ke tempat stempel otomatis ketahuan, seorang penumpang gelap bisa didenda DM 60 (sekitar Rp 66.000).
 
Selama di Jerman, saya belum pernah menemukan petugas kontrol masuk ke dalam bus dan memeriksa karcis. Tampaknya persentase yang menumpang secara gelap itu kecil sekali. 

Seorang mahasiswa Indonesia mengatakan pada saya, “Di Jerman melakukan perbuatan seperti itu dianggap tidak ada untungnya. Sama seperti kalau di daerah pertokoan, barang-barang dijajarkan begitu saja tanpa penjagaan ketat seperti di Indonesia." 

Jalur Sepeda

Selain dibuat kagum dengan pelayanan bus kota, saya juga kagum dengan prasarana bagi pengendara sepeda. Jalur buat sepeda dibuat khusus di daerah-daerah tertentu dalam kota. Jadi di setiap jalan, sekali lagi, di setiap jalan, ada tiga macam jalur. 

Jalan aspal atau paving buat mobil (biasanya pas untuk dua mobil saja). Trotoar buat para pejalan kaki dan jalur (biasanya) berwarna merah khusus bagi pengendara sepeda. Di Bochum, Hamburg, Karlsruhe, Kaiserslautern. Koln, Bonn dan lain-lain, saya lihat jalur sepeda itu diadakan dalam jumlah yang besar. Konon kota pertama ayang membangun prasarana transportasi tak bermotor secara besar-besaran adalah kota Freiburg. 

Persoalan bus kota dan sepeda ini penting karena sejak tahun 1970-an. Jerman dibuat pusing dengan meledaknya jumlah pemilik mobil. Sekitar 60 persen warga Jerman mempunyai mobil pribadi. Dalam satu keluarga tidak jarang ada lebih dari satu mobil. Jalan-jalan terus ditambah tapi tidak mampu mengatasi persoalan kemacetan lalu lintas. 

Di Jerman tidak sekali dua saya dibuat jengkel karena harus menunggu lama dalam kemacetan lalu lintas. Di Jakarta kemacetan lalu lintasnya jauh lebih parah dibandingkan di Jerman. Ini semua bisa terjadi karena dulu-dulunya pemerintah Jerman mendorong motorisasi agar setiap orang mudah bergerak dengan naik mobil. Alasannya, selain alasan-alasan usang soal kecepatan dan kepraktisan, adalah menunjang industri mobil. Di Jerman ada industri macam Mercedes–Benz. Opel, BMW dan lainnya. 

Yang terjadi kemudian adalah pertumbuhan mobil lebih cepat dari pertumbuhan jalan. Walaupun sudah dibangun autobahn (semacam jalan tol tapi tidak perlu membayar seperti di Indonesia) dan landscape bridge (jembatan persilangan yang sangat luas sehingga diatasnya bisa dibangun sebuah taman), tetap saja persoalan kendaraan bermotor jadi masalah besar. Selain kepadatan lalu lintas, polusi udara dan kebisingan juga jadi persoalan yang sulit dipecahkan.

Hari-hari saya di Jerman. Sedang terjadi pertikaian di kalangan elit Jerman tentang pembatasan kecepatan mobil dalam kota. Kelompok pecinta lingkungan, kaum cendekiawan maupun Partai Hijau, gerakan feminis dan sejenisnya, mendesak pemerintah untuk membatasi kecepatan mobil di dalam kota hanya 50 KM jam. Sementara dari kalangan industri mobil sangat berkeberatan dengan usulan tersebut. 

Perdebatan ini cukup sengit mengingat panjangnya sejarah gerakan anti kendaraan bermotor di Jerman. Yang menarik lagi segenap pecinta lingkungan di dunia Barat kemudian membuat persetujuan internasional, dinamakan Northern Alliance, yang menjadikan tanggal 15 November sebuah hari anti-motorisasi. Mereka bikin kampanye dari Paris, New York sampai Rio de Janeiro.

Motorisasi juga berarti resiko lalu lintas. Untuk mengatasi bahaya tertabrak mobil maupun mengatasi kebisingannya, di Jerman, yang selama ini terjadi, adalah membuat polisi tidur. Polisi tidur ada dimana-mana bukan hanya di jalan di kampung tetapi juga di daerah perumahan dengan jalan yang lebar. 

Dekat dengan tempat saya menginap, di sebuah hostel di Bochum, setiap 40-50-meter ada polisi tidur. Setidaknya ini cukup membuat para pengendara mobil tidak melarikan mobilnya dalam kecepatan tinggi.

Dan jangan anggap pengendara mobil di Jerman adalah pengendara yang ceroboh. Saya kuatir seorang pengendara mobil di Jerman bisa mati kaget kalau diharuskan mengendarai mobil di Indonesia.

Di Jerman para pengendara mobil tertib sekali. Pelanggaran lalu lintas ancamannya besar. Di zebra-cross para pengendara mobil dan penyeberangan jalan harus tertib menunggu lampu hijau. Biarpun jalan sepi kalau lampu merah artinya juga harus berhenti. 

Di jalan-jalan yang tidak ada lampu lalu lintasannya, para pengendara mobil berhenti tanpa disuruh apabila melihat ada orang yang mau menyeberang jalan. Demikian pula di jalan-jalan yang macet tidak terlihat ada pengendara mobil yang tidak sabar lantas mengambil jalur yang tidak mejadi haknya. Semua serba tertib. 

Tetapi masyarakat masih menuntut lebih banyak. Persoalan lalu lintas tidak bisa selesai hanya dengan membuat peraturan yang keras. Berapapun banyaknya jalan yang dibangun dan bagaimana pun ketatnya peraturan lalu lintas, belum bisa mengalahkan kecepatan pertumbuhan mobil, polusi udara, kebisingan. Ini tampaknya membuat banyak orang Jerman mendesak pemerintah untuk melakukan perubahan yang lebih dasar.

Tuntutan yang bisa saya pelajari dari beberapa pertemuan dengan anggota parlemen, politikus Partai Hijau maupun Sozialdemokratische Partei Deutschlands, relawan-relawati dari berbagai macam organisasi dan kelompok cendekiawan, mereka menghendaki infrastruktur dan teknologi transportasi diubah.

Sistem Alternatif 

Dan pilihan yang diinginkan adalah penyediaan transportasi umumnya yang baik, jalur sepeda di semua jalan serta riset-riset buat energi alternatif. 

Untuk yang terakhir ini Jerman memang menyediakan dana besar-besaran buat penelitian di bidang energi alternatif. Ketika menjejakkan kaki pertama kalinya di Jerman, saya sudah dibuat terkesan dengan sebuah feature tentang mobil tenaga surya seperti disodorkan dalam koran Frankfurter Allgemeine Sonntagszeitung (22/9/1991). Ia koran serius yang paling berpengaruh di Jerman diterbitkan dari Frankfurt.

Saya juga sempat mengunjungi berbagai lembaga riset tentang energi alternatif seperti Oka Institute di Darmstadt. Energie und Umweltzentrum di Springe. Institute Fraunhofer di Karlsruhe dan lainnya. Ini belum lagi riset-riset yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun perusahaan-perusahaan besar seperti Siemens, AEG, Bayer dan sebagainya. 

Di Dortmund saya sempat mengunjungi pameran bunga tahunan, yang di salah satu pojoknya, ada pameran tentang mobil tenaga surya. Benar-benar mobil yang biasa jalan, dengan interior yang indah dan tidak memakan bensin.

Perusahaan-perusahaan inilah yang kemudian membuat banyak orang Jerman secara sadar menyimpan mobilnya di rumah (kecuali untuk weekend), dan memakai sepeda. Saya bahkan menjalin hubungan akrab dengan seorang antropolog Jerman, yang memilih untuk memakai sepeda kemana-mana, sedemikian rupa, dan lama, sehingga tak bisa menyetir mobil lagi!

Buat orang-orang seperti ini perubahan di bidang transportasi masih terlalu lambat. Mereka berpendapat pemerintah Jerman masih terlalu lambat dibandingkan Belanda dalam hal penyediaan sistem transportasi alternatif.

Di Belanda transportasi sepeda memang sudah dibuat sangat efisien sehingga kemana-mana orang dikondisikan untuk naik sepeda (pengalaman saya di Belanda menguatkan pendapat ini).

Parkir Mobil

Salah satu bukti perubahan transportasi ini adalah makin sulitnya mencari parkir mobil di seluruh Jerman. Saya tidak jarang harus menyediakan waktu seperempat lebih awal apabila harus berpergian ke suatu tempat dengan mobil. Di daerah pusat perkotaan (downtown) syukurlah kalau bisa parkir sekitar 500 meter dari tempat yang hendak saya tuju. Bahkan di ruangan parkir universitas, tidak jarang mahasiswa tidak mendapat tempat parkir. Mereka harus meletakkan mobilnya di tempat yang jauh sekali dari ruang kuliah. Dan terkadang waktu setengah jam bisa habis hanya untuk mencari ruang parkir. 

Lebih gawat lagi, kalau parkir dekat pusat daerah perkotaan, tarif parkir sangat mahal. Di kota menengah seperti Bochum, parkir di jantung kota tarifnya DM1 per jam. Kalau hanya di pusat kota DM0.5 per jam. Di jantung tempat perbelanjaan dan makan, mobil dilarang masuk. Orang-orang yang bisa berjalan dan berbelanja di pertokoan dengan leluasa. Sedangkan berbelanja di kota besar seperti Dusseldorf, Koln dan lainnya, parkir di pusat kota bisa menjadi lebih mahal lagi. Di Dusseldorf misalnya, di daerah pusat kota DM3 per jam. Sistem parkirnya memakai mesin otomat.

Dalam pengalaman saya, biasanya para pengendara sepada juga tidak membawa sepedanya ke dalam zona tersebut. Karena memang lebih enak untuk berjalan kaki sambil menikmati suasana shopping center daripada bersepeda. Di sini biasanya pedagang kakilima, yang menawarkan barang-barang yang eksotis. Kupu-kupu dari daerah tropis, kalung-kalung dari Amerika Latin atau Persia, cincin-cincin ala orang Gipsi.

Di sudut-sudut fuessgaengerzone, zona khusus pejalan kaki, di tengah kemilau etalase pertokoan yang mewah, saya juga sering menemukan para pengamen membawakan lagu-lagunya. Bukan seperti pengamen di Indonesia. Di Eropa pengamennya membawakan lagu-lagu dengan baik sekali. Teknik permainannya tinggi. Mereka menyanyi dengan meletakan kotak gitar atau topi sebagai tempat bagi orang yang berminat untuk menyumbang. Pernah dalam satu kesempatan saya berjumpa dengan penyanyi-penyanyi rakyat asal Peru. Lagu yang mereka bawakan indah sekali (dalam bahasa Spanyol).

Alat-alat yang dibawa bermacam-macam: pan flute, gitar, tamburin dan sebagainya. Lebih unik lagi, sambil menyanyi para penonton bisa membeli rekaman kaset mereka dalam bentuk CD (compact disk), piring hitam maupun kaset. 

Saya waktu itu benar-benar menikmati musik mereka. Yang konon bercerita tentang kerinduan rakyat Peru terhadap kehadiran pahlawan-pahlawan mereka dari zaman lampau. Menarik bukan? Itulah bagian dari sistem transportasi tak bermotor yang ditawarkan di Jerman. Pembangunan prasarana transportasi tak bermotor, baik buat sepeda maupun pejalan kaki, ternyata juga menghadirkan dimensi yang mengagumkan.
 
 
  

 

Wednesday, December 04, 1991

Catatan Perjalanan dari Jerman: Dana bagi Penduduk yang Berpolitik

Andreas Harsono
Bernas, 4 Desember 1991

Pengantar: Beberapa waktu yang lalu Andreas Harsono, diundang oleh South East Asia Information Center dengan sponsor Bread for The World, mengunjungi negeri Jerman. Selama satu bulan lebih, pemuda Salatiga itu “jalan-jalan” ke seluruh Jerman. Berikut sebagian dari catatan perjalanannya yang dikirimkan kepada Bernas.

Kejadian itu bermula dari satu gedung yang menjadi kantor dari berbagai gerakan lingkungan hidup di kota Hamburg. Sewaktu mengikuti satu seminar tentang hutan tropis di Kalimantan, yang terbakar secara luar biasa, saya ditawari seseorang yang berasal dari Birma untuk pergi ke rumahnya. 

Pemuda Birma, yang sudah menetap 15 tahun di Jerman, mengajak saya untuk berbincang-bincang dengan rekan-rekannya yang lain. Entah mengenai kehidupan politik, kebudayaan, militer dan lainnya. Karena tawaran itu disampaikan dengan ramah, dan perasaan saya mengatakan, bahwa perjuangan ini mempunyai kepribadian yang menarik, dengan senang hati saya pergi ke rumahnya. 

Rekan tersebut berasal dari suatu organisasi yang bernama Deutsch-Burmesische Gesellschaft e.V. Hamburg. Organisasi ini adalah suatu perkumpulan yang menjadi suatu kelompok lobi bagi terjadinya demokratis di Birma. 

Malam itu mereka sedang berbicara tentang kemungkinan pemberian hadiah Nobel perdamaian buat Aung San Suu Kyi. Pembicaraan kami menang terjadi dua hari sebelum hadiah Nobel diumumkan.

Menurut rekan-rekan itu, mereka ikut lobi berbagai pendukung pemilihan pemenang hadiah Nobel, agar menjatuhkan pilihannya kepada Aung San Suu Kyi. 

Alasannya. Suu Kyi adalah seorang pejuang, Birma yang gigih memakai cara damai dalam memenangkan kekuasaan di Birma dari tangan rezim militer. Suu Kyi juga harus diingat, karena partai yang dipimpinnya, Liga Nasional untuk Demokrasi, adalah partai yang memenangkan pemilihan umum pada tahun 1989.

Tetapi pihak penguasa militer menolak mengakui kemenangan damai Suu Kyi dengan memberlakukan apa yang dikenal dengan State Law and Order Restoration Council (SLORC). Hukum itu adalah eufemisme dari hukum keadaan darurat. Dan berdasarkan inilah dari penguasa militer kemudian menahan Suu Kyi serta menangkap ribuan aktifis NLD lainnya. Termasuk pula menangkap U Nu, mantan Perdana Menteri Birma, yang ikut memelopori Konferensi Asia Afrika di Bandung.

“Pemberian hadiah ini akan membantu terfokusnya perhatian dunia kepada Birma,” ujar rekan itu. Dan alangkah bahagianya saya ketika dua hari kemudian, saya membaca di satu koran terbitan Oldenburg, bahwa hadiah itu memang jatuh ke tangan Aung San Suu Kyi. 

Di majalah Newsweek, seorang diplomat Barat yang tidak disebutkan namanya mengatakan “With Aung San Suu Kyi being awarded the Nobel Peace Prize, it will be core difficult for auto cratic Third Would regimes to lobby against the resolution.” Koran-koran Jerman juga memuat pidato Aung San Suu Kyi, yang terkenal sekali, “Freedom from Fear”.

Dalam perjalanan selanjutnya, saya menjadi lebih banyak tahu tentang gerakan-gerakan untuk negara Dunia Ketiga, yang banyak terpusat di Eropa. Saya bisa berkenalan dengan gerakan yang membantu perjuangan rakyat Amerika Latin. Melihat pemusik Peru bermain di jalanan, yang ternyata belakangan saya ketahui, juga merupakan aktifis Peru. Mereka bernyanyi selain demi sedikit uang, juga untuk menyiarkan kepada masyarakat Barat, akan persoalan-persoalan rakyat Peru. Saya juga berjumpa dengan pekerja gerakan Srilangka, Kashmir, negara-negara Afrika dan sebagainya. 

Orang-orang semacam inilah, yang tentu tidak terlepas dari bantuan rekan-rekan Jerman, yang bekerja secara sangat efisien dalam memperjuangkan demokrasi di tingkat internasional, dengan mein telefax, pesawat telepon, perpustakaan mini yang mengagumkan. Hubungan baik dengan organisasi macam Amnesty International, Parlemen Eropa dan lainnya. 

Mereka mampu bekerja dengan cepat. Terkadang suatu keadaan di negara mereka bisa lebih cepat mereka ketahui daripada rekan-rekannya di tanah air. Ada dari mereka yang menggunakan seluruh waktunya untuk gerakan. Menerbitkan buku, memantau keadaan dalam negeri, menelepon sana-sini, berbicara dalam seminar, mengadakan demonstrasi apabila ada pejabat negara bersangkutan datang ke Jerman dan lain-lain.

TERNYATA berpolitik di Jerman dibayar oleh pemerintah. Di negara ini apabila ada penduduk yang mau berpolitik pemerintah memberikan dana DM3 per orang per bulan (± Rp 3,300) sehingga organisasi-organisasi semacam Deutsch Burmesische Gesellschaft, selain mendapatkan uang iuran anggota, juga mendapat dana dari pemerintah. 

Makin banyak anggotanya, tentu makin besar tunjangan yang diterima. Dan bagi organisasi yang kurang mampu, pemerintah Jerman membantunya dengan menyediakan tenaga ABM (Arbeit Beschaffung Asnabme). Tenaga ABM ini adalah pekerja sosial yang bekerja pada organisasi, tapi gaji dan tunjangannya dibayar oleh pemerintah, seperti di Suedostasien Informationsstelle, pusat informasi yang koordinasi undangan saya, disana ada beberapa tenaga ABM yang bekerja secara penuh.

Berpolitik disini pengertiannya adalah memperjuangkan keinginan mereka dengan cara-cara yang legal. Lain kalau misalnya masuk kedalam organisasi yang tujuannya menakut-nakuti orang asing. (misalnya kelompok Neo Nazi). Ini termasuk ilegal sehingga tidak akan diberi tunjangan. 

Bahkan kalau terbukti melakukan kriminalitas bisa dituntut ke pengadilan. Di Jerman ada istilah yang cukup menakutkan yaitu “Berufsverboot” (professional disqualification). Orang yang terkena cap ini, biasanya dari kalangan kiri maupun kelompok-kelompok anti nuklir, tidak bisa bekerja sebagai pegawai negeri, guru dan public service lainnya.

Monday, December 02, 1991

Catatan Perjalanan dari Jerman: Pemuda Botak Mencari Mangsa

Andreas Harsono
Bernas, 2 Desember 1991


Pengantar: Beberapa waktu yang lalu Andreas Harsono, diundang oleh South East Asia Information Center dengan sponsor Bread for The World, mengunjungi negeri Jerman. Selama satu bulan lebih, pemuda Salatiga itu “jalan-jalan” ke seluruh Jerman. Berikut sebagian dari catatan perjalanannya yang dikirimkan kepada Bernas.


BERLIN kota yang sangat mengesankan. Ketika kereta api yang saya naiki dari Amsterdam berhenti di stasiun Berlin Zoologischen Garten, dalam pikiran saya terbersit ketakutan akan kriminalitas yang dilakukan oleh kaum Neo Nazi. Maklum saja karena hari-hari sebelumnya Jerman diguncang dengan aksi kekerasan kelompok “pemuda botak” semacam Skin Head atau Red Skin.

Sewaktu berada di Hamburg, saya mendengar ada seorang Afrika yang didorong dari pinggiran gedung tingkat empat. Jatuh dan luka cukup parah. Juga ada rumah orang Polandia yang dirampok dan dibakar. Pada kesempatan lain ada dua anak keturunan Turki dibakar pemuda-pemuda Jerman yang anti Ausländer (orang asing). Berlin adalah salah satu kota dimana kekerasan orang kulit berwarna paling sering terjadi. Waktu saya tiba di Berlin, sudah ada tiga mahasiswa Indonesia korban pemukulan.

Suasana yang saya bayangkan tidak tampak di stasiun Berlin. Biarpun kedatangan saya menjelang tengah malam, saat mana banyak orang asing dipukul, tapi stasiun itu tetap ramai. Banyak juga orang Turki, yang datang untuk menjemput saudaranya. Suasananya hangat. 

Seorang pemuda Jerman, yang bahasa Inggrisnya morat-marit, dengan ramah membantu dan mempersilahkan saya memakai telepon umum. Ini mengingatkan saya kepada pembicaraan dengan Hiltrud Cordes dari South East Asia Information Center, yang mengatakan bahwa orang Jerman yang anti-orang asing presentasi kecil sekali.

Tetapi mereka sangat mobile melakukan kriminalitas dan diberitakan berbagai media massa --termasuk laporan utama majalah Der Spiegel-- sehingga kesannya banyak. Ini tak berarti laporan media keliru namun kesannya sering tak proporsional, tentu berlebihan.


Di Berlin, kota yang akan menjadi ibukota Jerman beberapa tahun mendatang ini, saya terpesona oleh Strasse des 17 Juni. Inilah jalan terpanjang yang lewat di tengah Berlin, yang membuat Berlin dijuluki sebagai kota terpanjang di seluruh Eropa. Saya bayangkan bagaimana rezim Adolf Hitler ditaklukkan oleh Uni Soviet ketika tank-tank Soviet masuk ke Berlin pada Maret 1945, babak terakhir dari Perang Dunia II di daratan Eropa. 

Di kanan kirinya bertebaran gedung-gedung tua, yang cantik dan terpelihara rapi. Interior di dalam biasanya mewah. Jalan ini juga terdapat taman-taman penuh pepohonan tertata indah. Di jalan ini pulalah terdapat Gerbang Brandenburg antara Berlin Barat dan Berlin Timur. 

Gerbang ini menjadi salah satu saksi sejarah ledakan pertama keinginan kedua rakyat Jerman, sebelum reunifikasi 1989, untuk bergabung jadi satu negara.

 Pada 9-10 November 1989, di Salatiga, saya melihat di layar televisi bagaimana gerbang ini penuh dengan manusia yang ramai-ramai menghancurkan Tembok Berlin. Gerbang ini panjang sekali. Saya terpesona dengan patung seorang ksatria sedang mengendarai chariot yang terletak diatas gerbang Brandenburg. Dengan warna kehijauan, kesan yang tampak adalah kuat. Dengan angkuhnya ksatria itu memandang jauh ke depan. 

Sekarang di sekitar Brandenburg sudah tak ada tembok Berlin maupun para demonstran. Yang sekarang banyak berkeliaran di Brandenburg adalah turis dan pedagang kaki lima, kebanyakan orang Turki dan orang dari Eropa Timur, menjual pecahan-pecahan Tembok Berlin. Secuil tembok legendaris ini dijual DM 25 (sekitar Rp 27500).

Saya tertarik untuk membeli satu atau dua biji pecahan tembok sebagai “oleh-oleh” buat ayah saya. Saya curiga pecahan -pecahan itu bukan pecahan asli. Lelehan catnya juga sampai ke sisi samping dari pecahan. Ia kelihatannya tembok biasa yang dicat sana-sini lantas di hancurkan. Karena cat masih basah ada yang meleleh ke sisi samping. Kalau itu asli tembok, tentunya tidak ada cat yang meleleh kesamping. Singkat kata, banyak souvenir palsu.

Sewaktu berada di Kaiserslautern, beberapa hari lalu, seorang dosen Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, yang melanjutkan studi di bidang matematika, menasehati saya untuk mencuil tembok yang penuh coret-coret tersebut di Berlin. 

“Jangan beli di kaki lima,” ujarnya.

Bagaimana mungkin? Sekarang Tembok Berlin sudah habis. Memang ada yang dibiarkan berdiri tegak tetapi itu dijadikan monumen sejarah bahwa kota Berlin pernah dipisah barat dan timur. Para turis tentu tidak bisa seenaknya merusak monumen itu.

Bayangkan kalau ada turis yang akan mencuil-cuil Candi Borobudur dengan pahat? 

Saya menikmati saja keindahan dan sejarah Brandenburg tanpa membawa secuil tembok.


Di Berlin saya sempat melewati taman dengan patung Karl Max dan Frederick Engels. Taman ini terletak di Berlin bagian timur. Taman besar di pusat kota. Yang menarik, tampaknya ada tangan-tangan jahil, sengaja mencoret-coret patung kedua tokoh penandatangan Manifesto Komunisme tersebut. Ini agak luar biasa dalam masyarakat yang menghargai public property.

Dalam seluruh perjalanan saya ke beberapa kota Jerman, selama dua bulan, belum pernah saya melihat ada monumen yang bercoret-coret. 

Di mulut patu Karl Max diberi lelehan cat berwarna merah, yang mengesankan Marx baru saja “minum darah segar.” Di baju Engels juga ada lelehan cat merah. Di dahi Engels ditempelkan selembar kertas putih. Apakah ini lambang Engels yang sedang “sakit” atau “gila”?

Memang semenjak reunifikasi banyak monumen yang dibangun oleh Eric Honecker, mantan pemimpin Socialist Unity Party dari Jerman Timur, hendak dirobohkan ataupun dilecehkan. Gedung-gedung besar yang dibangun Honecker untuk markas besar partai atau gedung pemerintah, dengan alasan bahan-bahannya banyak mengadung abses, bahaya buat kesehatan manusia, hendak dirobohkan. 

Ada juga patung Vladimir Lenin dari Uni Soviet hendak dirobohkan. Ini semua memancing pertikaian antara pro dan kontra. Yang pro biasanya memakai alasan-alasan teknis. Misalnya banyak mengandung asbes, yang dilarang pemakaiannya di Jerman Barat, atau dengan beralasan sudah tidak relevan lagi mempertahankan monumen tokoh komunis macam Lenin.

Sedangkan yang kontra bisa bermacam-macam pula alasannya. Saya menangkap, ada semacam kekecewaan pada orang-orang Jerman Timur kepada pemerintahan yang baru. Mereka merasa dilecehkan. Posisi-posisi penting pada pemerintahan hasil reunifikasi diduduki orang Jerman Barat. Salah satu nama yang sempat disebut mereka adalah Hans Modrow. Tokoh ini adalah pemimpin di kawasan eks Jerman Timur yang berperan penting dalam proses reunifikasi.

Sekarang Modrow duduk pada kursi legislatif tetapi tak berada pada kursi yang vital. Ini mengecewakan orang-orang yang bersimpati kepadanya. 

Peristiwa pencoretan patung Karl Max dan Frederick Engels merupakan contoh yang tepat untuk menggambarkan pro dan kontra di Laender-Laender baru. Negara Jerman sekarang terbagi dalam 16 Laender dan lima diantaranya merupakan bekas wilayah pemerintahan Honecker di Jerman Timur.

Orang-orang yang pro meluapkan kesalahannya terhadap sistem pemerintahan ini dengan merusak apa saja yang ada hubungannya dengan sosialisme. Tetapi ada juga orang-orang eks Jerman Timur yang bersikap kritis dengan melihat kelemahan-kelemahan sistem pemerintahan Jerman Barat lewat argumentasi yang kritis. 

Kelompok kedua inilah, yang dulunya berdiri di depan Erick Honecker, sekarang ramai-ramai memimpin aksi-aksi anti pengrusakan. 

Waktu di Berlin saya melihat ada suatu demonstrasi anti penggusuran patung Lenin. Di bawah patung Karl Max dan Frederick Engels, ada nada sedih, ternyata ada orang yang dengan menulis, “Wir sind schuldig." Artinya, "Kami memang bersalah." 

Namun ada orang menambahkan dua karakter depan kata "schuldig" menjadi, "Wir sind unschuldig." 

"Kami tak bersalah." 

Makna dari aksi coret-coret, yang saling bersahutan ini, adalah cermin dari debat yang menyalahkan Karl Max atas kegagalan sistem ekonomi negara-negara sosialis, tapi di sisi lain ada pula yang membela sosialisme dengan berpendapat, “Kami tak bersalah.” 

Lantas siapa yang salah?

Beberapa cendekiawan mengemukakan bahwa embargo ekonomi secara sistematis dan terus-menerus dari blok Barat --Amerika Serikat maupun sekutu-sekutu mereka di Eropa-- harus dipandang sebagai faktor yang menyebabkan keruntuhan negara-negara sosialis di Eropa Timur maupun Uni Soviet. Amerika Serikat adalah negara yang kuat, paling kuat di seluruh dunia, dengan kekuatan ekonomi dan militer tak tertandingi. Boikot ekonomi dari Amerika bikin tekanan hebat pada negara-negara ini termasuk Jerman Timur. 

Memang tak bisa dipungkiri bahwa negara-negara Tirai Besi punya pemerintahan yang represif dan banyak korupsi. Persoalan tidak sesederhana boikot. Pemerintahan yang represif, cepat atau lambat, bikin rakyat tak senang. Siapa yang salah dan bagaimana memerlukan debat beberapa dekade untuk mencari tahu duduk perkara dengan terang. 


Terlepas dari persoalan ideologi, sekarang kegembiraan reunifikasi antara Jerman Barat dan Jerman Timur sudah hilang. Pada awal reunifikasi mereka memang gembira karena bisa bebas bepergian dan mengunjungi saudara-saudaranya. Beberapa bulan kemudian suasana pesta harus segera berakhir. Dan yang tersisa adalah pekerjaan untuk menyepadankan (to match) kedua sistem ekonomi-sosial dari dua negara, yang berbeda selama 40 tahun.

Orang-orang Berlin Barat mulai jengkel dengan mobil Trabi di jalan-jalannya. Mobil kecil buatan eks Jerman Timur ini badannya terbuat dari karton dan plastik. Di satu sisi sangat hemat energi (1 liter bensin bisa untuk belasan kilometer) tetapi di sisi lain polusinya berat. Orang-orang Berlin Barat juga kesal dengan meningkatnya pencurian mobil dan rumah. 

Sedangkan di wilayah eks Jerman Timur, penduduknya terkejut dengan meningkatnya jumlah pengangguran. Dulu pemerintah selalu mencarikan pekerjaan buat semua warga. Sekarang tidak lagi. Ongkos hidup meningkat cepat. Harga barang-barang naik tetapi gaji tidak naik. Di eks Jerman Barat, biaya hidup memang lebih tinggi dari pada di Jerman Timur. Dulu pada zaman komunisme tak ada iklan komersial. Sekarang iklan bertebaran seluruh Jerman. 

Seorang mahasiswa Berlin mengatakan, “Dulu di pintu masuk perbatasan dapat dilihat panser dari Uni Soviet siap siaga. Tetapi sekarang sudah berganti dengan iklan rokok West dan Marlboro. Bahkan dapat dikatakan sekarang di eks Berlin Timur, lebih banyak dibandingkan dengan Barat." 

Persoalan-persoalan sosial seperti inilah yang kemudian mendorong suburnya semangat anti-orang asing. Pemuda-pemuda Neo Nazi banyak bermunculan dari eks Jerman Timur. Mereka mencari kelompok yang lemah seagai kambing hitam. Dan orang asing yang bekerja di Jerman adalah sasaran yang paling empuk.

Mereka menuduh orang asing merebut pekerjaan-pekerjaan mereka, makanan, pakaian dan lain-lain. Ketertutupan selama 40 tahun, dimana orang-orang Jerman Timur, tidak mendapat banyak kesempatan untuk bergaul dengan orang-orang di luar, membuat mereka sering salah mengerti dengan kebudayaan dan pemikiran yang berbeda.

Maka teriakan-teriakan, "Ausländer raus!" (Orang asing keluar) selalu tercetus dalam setiap demonstrasi-demonstrasi mereka di Dresden, Halle, Leipzig dan sebagainya. 

Semangat untuk menunjukkan nasionalisme sendiri, yang sempit yang anti pada yang liyan, perlahan juga muncul dengan melecehkan bangsa lain, termasuk orang Turki, yang kebanyakan Muslim, maupun Polandia dan Rusia, yang Kristen namun beda dengan Protestanisme di Jerman.

Ini mendapatkan reaksi yang tidak kalah besarnya dari orang-orang Jerman lain. Demonstrasi-demonstrasi anti rasialisme dan anti kekerasan muncul dimana-mana. Di Bochum, tempat di mana saya kebanyakan tinggal, saya pernah ikut berdemonstrasi anti rasialisme.

Dalam demonstrasi tersebut teriakan-teriakan “Internationale solidarity” menggema dimana-mana. Pernah saya ikut demonstrasi yang diikuti sekitar 5.000 orang. Saya diminta untuk ikut memegang suatu spanduk tentang perlunya menghargai orang lain. Penduduk Bochum sekitar 200.000. Ada yang karton dengan tulisan, "Foreigners, don’t leave me alone" maupun, "Everybody is a foreigner." Memang di dunia ini semua orang adalah pendatang. 

Persoalan penyelesaian kedua Jerman seharusnya tidak perlu terjadi dengan mencari kambing hitam untuk disalahkan, diburu dan dipukuli. Dan mengetahui ini semua, diam-diam saya menjadi sedikit mengerti dengan perjuangan dan keindahan Berlin, menyimpan segala dendam dan amarah. 


Catatan Perjalanan dari Jerman

Suara Merdeka, 22 November 1991

Suara Merdeka, 22 November 1991

Bernas, 1 Desember 1991

Bernas, 2 Desember 1991

Sunday, December 01, 1991

Catatan Perjalanan dari Jerman: Kebebasan pers dan Amerika Serikat

Andreas Harsono
Bernas, 1 Desember 1991

SELAMA HAMPIR DUA BULAN di Jerman saya benar-benar dibanjiri informasi dari siaran televisi yang menyiarkan konferensi Madrid dari detik ke detik atau peristiwa pernikahan Liz Taylor. Pertandingan sepak bola, konser musik dan sebagainya. Saya juga dibikin gembira dengan penerbitan pers yang membanjiri setiap toko di stasiun maupun kios-kios di ujung jalan. 

“Di sini informasi cepat sekali,” ujar seorang rekan. 

Saya bahkan bisa mengetahui berita tentang Indonesia --misalnya peristiwa penembakan di Dili-- lebih cepat, lebih akurat dan lebih lengkap dibanding kalau saya di Indonesia. Lewat hubungan telepon internasional, yang mahal sekali, saya senantiasa bisa mengetahui isu apa yang sedang hangat di kalangan teman-teman di Salatiga.

Pada tahun 1987 di Jerman, sebelum reunifikasi, setiap hari beredar sekitar 20.7 juta eksemplar penerbitan pers. 

Untuk penduduk Jerman, yang jumlahnya sekitar 65 juta jiwa, perbandingan tentu besar sekali. Saya pikir angka-angka ini sudah menunjukkan betapa besarnya minat baca orang Jerman. Sekaligus juga memperhatikan bahwa negara terluas di Eropa Barat ini sudah lama sekali memasuki kebudayaan tulis. 

Harian terbesar di Jerman adalah Bild Zeitung. Setiap hari rata-rata 5 juta eksemplar terjual habis lewat kios-kios di pinggir jalan. Koran ini ukuran tabloid sebanyak 12 halaman. Harganya DM 0.6 (Rp 660). Ia tipis sekali dan formatnya adalah tabloid. 

Di halaman tengah selalu ada gambar gadis, telanjang, juga memperlihatkan payudaranya. Koran ini termasuk salah satu koran yang ikut mengobarkan semangat kaum kanan dan anti orang asing. Isu ini belakangan ini  ramai di Jerman.

Dalam bulan September, Bild Zeitung pernah melaporkan, “Orang asing sekarang bisa membeli apa saja. Mereka bisa membeli jaket kulit yang bagus sementara saya tidak bisa." Itu omongan salah satu pemuda Jerman yang diwawancarai. Tabloid terbitan Hamburg ini bikin saya khawatir. Bakal banyak opini orang akan terpengaruh.

Tetapi ternyata persoalan kebebasan mengemukakan pendapat ini tidak sederhana yang saya bayangkan. Karena pada saat yang bersamaan di Jerman juga ada koran-koran dengan pemberitaan yang bisa mengimbangi Bild Zeitung. Dari Essen terbit Westdeutsche Allgemeine Zeitung dengan oplah 667.000 eksemplar per hari. Ini adalah koran kedua terbesar di Jerman.

Beda dengan Indonesia dimana koran nasional didominasi oleh suratkabar dari ibukota Jakarta, di Jerman koran daerah pun tetap bisa berkembang sampai keluar batas-batas daerahnya. Koran terbesar Bild Zeitung ternyata tidak terbit dari Bonn tapi dari Hamburg. Dan majalah yang sangat diperhitungkan, di Jerman maupun secara global, tentu saja, majalah Der Spiegel yang terbit tiap Senin dengan olah per hari 667.000 eksemplar. 

Sewaktu baru tiba di Jerman saya dikejutkan oleh kritik Der Spiegel terhadap Greenpeace, organisasi lingkungan hidup terbesar dalam sejarah dunia. Kritik ini ternyata menjalar kemana-mana. Masuk ke pusat-pusat pemberitaan media Barat, melewati batas-batas negara dan ketika pulang ke Indonesia, saya juga membacanya, di salah satu koran di Indonesia walau terlambat sekitar satu bulan setengah dari Der Spiegel.

Di Jerman, majalah ini dianggap oleh kalangan cendekiawan Jerman sebagai tiruannya majalah Time dari New York, Amerika Serikat. 

Amerika memang dihormati di Jerman. Usaha untuk meniru “American style of life” juga tidak malu-malu dilakukan di Jerman. Mungkin ini terjadi karena di Jerman sulit sekali untuk mendapatkan buku dalam bahasa Inggris. Siaran televisi semua dalam bahasa Jerman, film-film Amerika di-dubbing

Amerika adalah negara yang setengah abad lalu menaklukan Jerman dan sekarang menjadi salah satu sekutu Jerman yang terpenting dalam North Atlantic Treaty Organization. 

Tentara-tentara Amerika banyak yang berkeliaran di Jerman. Tentara-tentara Amerika ini tinggal di barak-barak mereka yang punya fasilitas lengkap, ibarat, komunitas yang eksklusif. 

Mereka mempunyai perumahan, sekolah, rumah sakit dan berbagai fasilitas sendiri. Saking banyaknya tentara Amerika di Kaiserslautern, salah satu kota yang saya kunjungi, ongkos bis bisa dibayar dengan dolar Amerika. 


PERTANYAAN yang sekarang penting untuk dijawab: Dengan demikian banyak penerbitan pers di Jerman apakah keseimbangan dan kebebasan berpendapat itu benar-benar terlaksana sepenuhnya? Dengan kemampuan menangkap siaran stasiun televisi yang mencapai 20an bahkan terkadang 30an channel, termasuk siaran dari Amerika Serikat, apakah keseimbangan dan kebebasan berpendapat terlaksana sepenuhnya?

Saya khawatir manipulasi berita atau setidaknya monopoli sumber pemberitaan, secara mendasar, sebenarnya masih bisa terjadi di negara maju seperti Jerman. 

Di balik angka-angka yang menggiurkan tentang jumlah penerbitan di Jerman, sebenarnya pers hanya dikuasai oleh sedikit orang. 

“Sekarang di berbagai daerah orang-orang tidak dapat lagi memilih antara dua atau lebih harian dengan laporan lokal yang berbeda dan sikap politik yang berbeda,” ujar seorang dosen suatu universitas daerah Ruhrgebiet. 

Ini bisa terjadi karena adanya merger pun integrasi berbagai perusahaan pers. 

Konglomerat pers semacam Axel Springer AG, yang menerbitkan Bild Zeitung, juga menguasai mayoritas saham dari koran-koran lain yang lebih kecil. Koran di Jerman praktis didominasi oleh Axel Springer AG termasuk dua kelompok lain, Welt on Sonntag dan Bild am Sonntag

Kemajuan teknologi dan kekuatan ekonomi membuat penerbitan-penerbitan kecil gulung tikar dan diambil perusahaan besar. Konsekuensi dari merger ini, tentu saja, sikap politik, dan pola pemberitaan menjadi seragam. Dan media cetak sampai media elektronik semuanya dikuasai oleh raksasa-raksasa bisnis informasi Jerman.

Ketika di Berlin saya juga menyaksikan suatu pemandangan yang unik tentang peranan perusahaan-perusahaan besar di bidang informasi ini. 

Di daerah perbatasan antara Berlin Barat dan Berlin Timur, Axel Springer AG mempunyai sebuah gedung yang tinggi sekali. Karena berdekatan dengan wilayah Berlin Timur, di puncak pencakar langit itu di pasanglah suatu billboard raksasa. Setiap hari di billboard tersebut dipasang kalimat-kalimat yang isinya dimaksudkan agar dibaca oleh penduduk Berlin Timur. Ini jelas keperluan propaganda karena itu, setiap kali di wilayah eks Jerman Timur terjadi intimidasi atau kejadian apapun yang mampu dibuat untuk mendiskreditkan pemerintah Eric Honecker, billboard itu pun dimuati kalimat-kalimat “berita.”

Pemerintah Jerman Timur tampaknya juga menanggapi psywar tersebut dengan membangun gedung-gedung yang lebih tinggi, berhadapan dengan gedung Alex Springer AG. Selain kebutuhan akan rumah meningkat, akhirnya gedung -gedung itu juga dimanfaatkan untuk menutupi billboard 

Saat saya datang ke Berlin, tentu saja, perang propaganda itu sudah berakhir. Tembok Berlin yang membatasi kedua gedung-gedung yang dibuat “bermusuhan” itu juga sudah tidak ada. Yang ada hanyalah tanah lapang, bekas daerah tak bertuan, yang sekarang sedang dibersihkan untuk dimanfaatkan pemerintah kota Berlin. Tetapi perang propaganda tersebut setidaknya membuktikan betapa perang informasi juga bisa terjadi secara telanjang dan kasar. 


Catatan Perjalanan dari Jerman 

Suara Merdeka, 22 November 1991

Suara Merdeka, 22 November 1991

Bernas, 1 Desember 1991

Bernas, 2 Desember 1991





Friday, November 29, 1991

Catatan Perjalanan dari Jerman: Mengenal LSM-LSM di Jerman

Andreas Harsono
Suara Merdeka, 29 November 1991

Seperti minggu lalu, kali ini kami tetap menurunkan catatan perjalanan, Andreas Harsono, yang selama sebulan lebih berada di Jerman. Banyak sisi-sisi menarik yang bisa direnungkan, justru karena penulisannya mengungkapkan dalam perbandingan dengan situasi di Indonesia.


Di Jerman seperti halnya di Indonesia banyak NGO (non-governmental organization) atau LSM (lembaga swadaya masyarakat) dengan ruang gerak yang berbeda-beda. Ada yang menjadi pusat informasi seperti Südostasien Informationsstelle di Bochum, Deutsch-Burmesische Gesellschaft di Hamburg dan lainnya. Ada pula yang bergerak di bidang lingkungan hidup seperti Robin Wood, Greenpeace, Bund für Umwelt und Naturschutz Deutschland (BUND) dan sebagainya. Atau yang menekankan kegiatannya pada penelitian seperti Oko Institute.

Atau yang lebih khusus lagi ada kelompok anti nuklir yang bekerja dalam gerakan anti transportasi atom (bahan bakar nuklir) seperti Burger Initiative gegen Antolagen. Selain itu juga ada kelompok pembelahan yang konsumen seperti Verbraucher Initiative semacam Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. 

Jadi kalau di perlihatkan dengan saksama, sebenarnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh mayoritas LSM itu, kurang lebih juga telah dilakukan di Indonesia. Sejauh pengetahuan saya, di Indonesia juga banyak terdapat LSM yang bekerja di lapangan lingkungan hidup, pusat penelitian, pusat informasi, gerakan konsumen dan sebagainya.

Tetapi saya yakin di Indonesia, belum ada organisasi yang semacam Internationale Coordinationsstelle-Aktiv gegen Bayer-ukweltgefahrung. Kalau di bahasa-indonesia-kan artinya, “Koordinasi Internasional -Aktif dalam melawan Perusakan Lingkungan Bayer. Tujuan organisasi ini dijadikan sangat khusus sekali yaitu mengadakan perlawanan terhadap perusakan-perusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan kimia Bayer dimana pun juga di muka bumi ini. 

Bayer salah satu konglomerat terbesar Jerman.  Di Indonesia salah satu produk Bayer yang terkenal adalah obat serangga Baygon. Organisasi “gegen Bayer” dibentuk untuk menandingi aksi-aksi perusakan Bayer termasuk di antaranya memperpanjang buruh-buruh Bayer di Brasil. Saya pikir di Indonesia masih belum ada LSM sejenis ini?

Beda Dasar

Tetapi saya tidak setuju kalau dikatakan bahwa bentuk dasar dari LSM di Jerman adalah sama adanya dengan bentuk dasar LSM di Indonesia. Salah satu perbedaan mendasar dari LSM Jerman dan LSM di Indonesia adalah badan hukumnya. 

Di Indonesia mayoritas LSM berbentuk “yayasan.” Ada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, yayasannya Sekretariat Bina Desa, Yayasan Bina Kesejahteraan Sosial di Surakarta dan sebagainya. Sedangkan di Jerman, mayoritas bentuk badan hukum dari LSM adalah eingetragene Verein (disingkat e.V.) yang bisa disetarakan dengan bentuk badan hukum “perkumpulan” di Indonesia. Misalnya, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) atau Perkumpulan Persatuan Sais Dokar di wilayah Salatiga.

Perbedaan mendasar antara e.V. dan yayasan adalah struktur organisasinya. Pada sebuah yayasan, kekuasan tertinggi terletak pada apa yang biasanya disebut sebagai “Badan Pendiri” Biasanya anggota-anggota badan ini sekaligus juga pendiri yayasan. Jumlahnya tidak banyak, bahkan di Indonesia tidak jarang pendirinya hanya 3 orang. Tetapi ketiga orang pendiri inilah yang menentukan mati hidupnya dan maju-mundurnya yayasan. 

Sedangkan pada sebuah e.V. kekuasaan tertinggi ada pada anggota. Dalam e.V. yang benar, boleh jadi ada lembaga perwakilan sehingga tidak semua anggota menghadiri rapat akbar. Tetapi dasarnya tetap yaitu kekuasaan tertinggi tidak terletak di tangan segelintir orang. 

Disinilah saya melihat dimensi demokrasi sebuah “perkumpulan” dari pada elitisme seperti pada yayasan di Indonesia. George Junus Aditjondro, salah satu “pakar LSM di Indonesia” –meminjam ungkapan seorang staf Wahana Lingkungan Hidup Indonesia-- menyamakan elitisme yayasan dengan elitisme sistem yang lebih besar. Karena sistem sosial di Indonesia adalah elit, maka dalam segala dimensinya, bagian -bagian dari sistem itu juga elit.

Kaya?

Seorang mahasiswa Jerman di Hamburg menjadi terheran-heran ketika mengetahui, bahwa mayoritas LSM di Indonesia badan hukumnya adalah “yayasan.” Sumber keheranan mahasiswa itu berasal dari fenomena Jerman, bahwa yayasan (stichting) biasanya didirikan oleh orang -orang kaya, yang hendak mengamalkan uangnya demi kepentingan sosial. Karena itu kekuasaan tertinggi dari yayasan wajar kalau elitis. Nama dari yayasan di Jerman, sama dengan di Amerika, juga diambil dari nama tokoh bersangkutan.

"Apa di Indonesia banyak orang kaya?" tanya seorang mahasiswa itu bergurau. 

Ditanya demikian perasaan saya jadi kecut. Karena saya mengetahui, bahwa sumber keuangan LSM di Indonesia kebanyakan dari sumbangan lembaga-lembaga di luar negeri. Biarpun ada juga yayasan-yayasan yang dananya dari dalam negeri, misalnya Yayasan Supersemar, Yayasan Dharmais, mereka dikenal dengan istilah “LSM plat merah”. Maksudnya milik pejabat atau keluarganya. Dana mereka sebenarnya dari negara yang dengan berbagai macam cara disalurkan ke yayasan-yayasan. LSM yang mengklaim dirinya “tidak berpelat merah” mengandalkan dananya dari bantuan luar negeri.

Sedangkan di Jerman seperti BUND misalnya, dana diperoleh dari iuran atau dukungan anggota. Hanya dengan iuran itu saja terkadang satu LSM cukup untuk membiayai operasinya. Termasuk menggaji beberapa orang untuk bekerja sebagai full timer. 

Bagi LSM yang kurang mampu, pemerintah Jerman membantunya dengan menyediakan tenaga AMB (Arbeitsbeschaffungsmaßnahmen). Tenaga ini adalah pekerja sosial yang bekerja pada LSM. Tetapi gaji dan tunjangannya di bayar oleh pemerintah, seperti di Südostasien Informationsstelle, pusat informasi Asia Tenggara, yang mengundang saya, disana ada beberapa tenaga AMB bekerja secara penuh.

Selain bantuan tersebut, pemerintah Jerman juga memberikan tunjangan kepada setiap penduduk Jerman yang hendak berpolitik. Berpolitik di sini pengertiannya adalah memperjuangkan keinginan mereka dengan cara-cara yang legal. 

Kalau ada penduduk Jerman yang ingin masuk dalam organisasi yang mengkhususkan diri untuk membantu rakyat Amerika Latin misalnya, pemerintah Jerman akan menunjang kegiatannya. Setiap bulan per orang mendapat bantuan DM 3 (kurang lebih Rp 3.300). Karena itu legal. Lain kalau misalnya masuk dalam organisasi yang tujuannya mengadakan teror terhadap orang asing. Ini termasuk ilegal sehingga tidak akan diberikan tunjangan. Bahkan kalau terbukti melakukan kriminalitas bisa dituntut ke pengadilan.

Greenpeace

Ketika di Jerman, saya beruntung mendapat kesempatan untuk merasakan bagaimana isu mengenai LSM mendapat perhatian secara besar-besaran. Majalah paling berpengaruh di Jerman, yaitu Der Spiegel lagi mengkritik habis-habisan Greenpeace. Organisasi lingkungan hidup yang terbesar dalam sejarah dunia itu diserang oleh Der Spiegel karena persoalan keuangan dan tidak ada demokrasi dalam mekanisme pengambilan keputusan.

Akibat dari laporan utama di bulan September itu, dimana-mana orang berbicara tentang Greenpeace. Koran-koran lain, bukan hanya di Jerman tetapi merembet keluar dari Jerman (termasuk di Indonesia), pada ramai memperbincangkan kritik tajam Der Spiegel. Dalam pertemuan-pertemuan dengan pimpinan LSM lain, secara bergurau ada yang berkata kepada saya, “... tetapi kami tidak. seperti Greenpeace.”

Pada tahun 1991, dalam usia yang keduapuluh, diperkirakan Greenpeace e.V. memiliki dana US$160 juta dari dukungan sekitar 5 juta anggota. Yang membanggakan mereka. Greenpeace dengan demikian mampu berdiri sendiri tanpa bantuan keuangan dari negara maupun perusahaan besar manapun. Dari markas besar di Amsterdam, Greenpeace mampu memonitor hampir semua kerusakan lingkungan di seluruh dunia. Greenpeace juga mengembangkan Green Link, jaringan data lingkungan hidup yang terbaik di seluruh dunia, maupun Green Base, pusat data raksasa.

Di samping itu, dengan aksi-aksinya bak pasukan berani mati, misalnya menggantungkan spanduk anti nuklir di patung Liberty (New York) atau jembatan sungai Thames (London). Greenpeace memiliki 8 buah kapal terbesar di dunia. Kapal-kapal itu dilengkapi dengan peralatan komunikasi satelit, transmitter foto, laboratorium pencemaran air, helikopter dan sebagainya. 

Dalam setiap aksinya, Greenpeace membawa wartawan foto sendiri dan hasilnya langsung dikirim secara elektronik ke kantor-kantor berita atau koran di seluruh sudut dunia. Greenpeace dengan segala kebesarannya, sejak tahun 1988, juga membuka cabang di Norwegia, Chili, Yunani, Irlandia, Moskow, Kiev, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Costa Rica dan Jepang. Sejauh ini, menurut keterangan seorang aktivis lingkungan hidup di Jakarta, Greenpeace dilarang pemerintah Indonesia untuk masuk ke Indonesia. 


Catatan Perjalanan dari Jerman: Beredar 70 Majalah Porno

Andreas Harsono
Suara Merdeka, 29 November 1991

Di Jerman kalau ada yang hendak membuka pembicaraan dengan orang asing, pertanyaan pertama yang biasanya mereka ajukan adalah, “Bagaimana kesan Anda dengan Jerman?” Dan itu pula yang harus saya hadapi selama di Jerman. Kalau yang menanyakan itu orang kebanyakan, sekedar tegur sapa, saya jawab ala kadarnya saja. “Pemandangannya Indah, negaranya kaya dan sebagainya.” 

Tetapi kadang-kadang ada juga orang yang kritis dan benar-benar ingin tahu tentang negaranya dari sudut pandang orang asing. Dan itulah yang terkadang saya alami.

Secara jujur suatu saat saya katakan, bahwa salah satu yang baru buat saya, selama di Jerman, adalah banyaknya majalah-majalah porno yang dijual secara bebas. Waktu pertama kali turun di bandar udara Frankfurt saya sudah dibuat kaget melihat banyaknya majalah porno dijual di bandara udara. Dari Playboy, Penthouse, Hustler, Herr Magazine, St Pauli, Erotik Girls, Sexy Girls, Beate Uhse dan lainnya. Selain itu juga ada yang semi porno (hanya memperlihatkan payudara). Misalnya Quest, Neue Revue dan sebagainya. Untuk yang belakangan ini masyarakat Jerman tentu saja tidak menganggapnya sebagai majalah porno, “Majalah gosip,” ujar mereka. Dan ini banyak bukan main.

Dan yang lebih baru lagi, ternyata majalah–majalah itu punya beberapa edisi, Playboy misalnya, selain edisi bahasa Jerman juga dijual edisi bahasa Inggris. Belakangan saya ketahui juga ada yang edisi bahasa Belanda dan Prancis. Mungkin masih ada edisi–edisi lain. Serikat pers Barat memang menembus batas-batas negara. 

Majalah-majalah seperti ini dijual di kios-kios kecil hampir di setiap ujung jalan di seluruh Jerman.  Di stasiun kota Mainz iseng -iseng saya pernah menghitung berapa majalah-majalah seperti itu diterbitkan. Hasilnya cukup mengejutkan. Ada sekitar 70 jenis majalah porno. Dan itu semua dijual bebas dan dipajang dengan santai di seluruh Jerman seperti halnya orang menjual majalah atau koran di Indonesia.

Eksplotasi Perempuan

Eksploitasi seksualitas kaum Hawa ini bukan saja lewat lembaran-lembaran kertas. Acara televisi juga diselingi dengan film semi porno maupun porno lunak. Memang tidak setiap malam ada film seperti itu. Tetapi untuk mengatakan sebagai “jarang” juga tidak tepat. 

Bahkan juga bikin saya geleng-geleng kepala, di Jerman ada sebuah stasiun televisi swasta --dari sekitar 30-an acara televisi yang bias ditangkap-- yang menyelenggarakan acara kuis bernama, “Tutti Frutti.” Dalam acara tebak-menebak itu pesertanya ada dua orang. Satu perempuan dan satu laki-laki. Mereka berlomba untuk hadiah-hadiah yang besar nilai materinya. Tetapi yang dipertaruhkan adalah pakaian mereka. Tiap kali markah (score) salah satu peserta berkurang, bisa ditebus dengan membuka pakaiannya satu per satu. Dan yang paling sering terjadi, pada akhir acara kedua peserta hanya memakai celana dalam. 

Acara ini banyak penggemarnya. Mungkin karena disajikan secara memikat dan halus. Pesertanya pernah seorang ibu rumah tangga dengan empat orang anak, yang body-nya konon sudah tidak bisa dibilang indah lagi. Tetapi itulah yang bikin acara ini jadi ramai. Apalagi diselingi dengan peragawati – peragawati yang juga bersedia melucuti pakaian dalamnya (sebatas dada) sesuai dengan nomor tebakan atau putaran dadu.

Pernah pula dalam suatu kesempatan, saya diajak untuk melihat-lihat daerah” lampu merah” di suatu kota besar (saya jadi ingat dengan mahasiswa-mahasiswa Jepang yang ikut pertukaran mahasiswa di Salatiga juga diajak mengunjungi lokalisasi pelacur). Di seluruh jalan-jalan kecil yang bersih itu banyak sekali etalase-etalase dengan lampu redup berwarna merah atau ungu. Dan di dalamnya ada perempuan-perempuan yang hanya memakai pakaian dalam sambil berusaha memikat “calon konsumen.”

Para pelacurnya banyak yang wanita kulit putih tetapi juga tidak sedikit dari kalangan perempuan kulit berwarna. Gadis kulit hitam, berkulit kuning maupun kecoklatan, semua bergaya sendiri-sendiri. Di Eropa Barat, yang biasa di kenal sebagai korban perdagangan perempuan, adalah gadis-gadis Thailand. Perasaan saya jadi campur–aduk. Di satu sisi, saya munafik kalau mengatakan tidak tertarik untuk melihatnya, tetapi di sisi lain saya juga merasa iba.

“Kok, seperti jualan daging mentah saja,” itulah komentar seorang rekan perempuan. Saya sendiri terkadang merasakan pemandangan seperti ini mirip pemandangan di kebun binatang. Ada wanita-wanita yang dipamerkan di balik “kurungan kaca.”

Dan di daerah yang sama pula ada banyak toko yang menjual berbagai “peralatan aneh,” gedung pertunjukan live show dan sebagainya. Saya lihat tidak sedikit pemuda yang berebut untuk nonton pertunjukan semacam ini. Di pusat-pusat kota (bukan di daerah lampu merah), juga selalu ada apa yang dinamakan sebagai sex shop. Ini memang toko yang jualannya berhubungan dengan seksualitas. Konon di setiap kota di Jerman ada toko dan daerah semacam itu. 

Kota Hamburg adalah salah satu kota dengan daerah “lampu merah” terbesar di seluruh Jerman. Mungkin dikarenakan kota Hamburg adalah kota pelabuhan. Pengalaman-pengalaman semua ini merupakan sesuatu yang baru buat saya. Singkat kata, saya jadi bertanya–tanya bagaimana norma – norma seksualitas yang berlaku di Jerman ini sedemikian rupa sehingga semua ini bisa terjadi?

Kebudayaan Global

Beberapa rekan dari Jerman mengakui, bahwa pornografi seakan – akan sudah menjadi sesuatu yang berlaku sehari–hari di Jerman. Tetapi mereka juga tidak setuju kalau dikatakan di Indonesia keadaannya jauh lebih reda. Kalau saya mau jujur, dalam bentuk yang lain sebenarnya ini juga terjadi di Indonesia. 
Seorang rekan Jerman bercerita bagaimana dia mengetahui banyak kaum laki-laki di Indonesia yang menyimpan majalah-majalah dan kaset video porno di rumahnya untuk di lihat secara diam-diam. Dan tidak jarang pula ketika naik bis umum di terminal-terminal Indonesia rekan tersebut ditawari dengan novel-novel porno atau gambar-gambar porno. “Jadi sama saja,” katanya. 

Sementara yang namanya pelacuran, biar secara resmi dilarang di Indonesia, bahkan konsumen diancam dengan hukuman pidana, di setiap kota, toh selalu ada kompleks pelacur. Jadi pada dasarnya sama saja. Pelacuran adalah profesi tertua di dunia sehingga pelacuran juga di mana-mana.

Saya tetap berpendapat, ini adalah sesuatu yang sudah berlebihan dari kacamata Indonesia. Di negara semacam Jerman, perempuan yang tidak keberatan memperlihatkan buah dadanya, jelas jauh lebih banyak dibandingkan dengan di Indonesia. 

Kebudayaan “buka-bukaan” ini bukannya tidak ada di Indonesia.  Tetapi saya belum pernah melihat, misalnya seorang mahasiswi yang kepanasan lalu berjemur matahari sambil bertelanjang dada, sedangkan di Jerman, musim panas biasanya diiringi dengan laki-laki maupun perempuan yang bertelanjang dada.

Dan dari cerita seorang mahasiswa indonesia di Jerman. Saya juga mengetahui, bahwa tingkah-laku remaja Jerman dalam berpacaran terkadang juga “mengerikan” orang Indonesia. Mereka tidak segan-segan untuk berciuman dengan mesra di tempat umum.  Kadang–kadang bahkan gremet – gremet segala.  Dan yang melakukan bukan pemuda umur 20an tahun. Tetapi terkadang pasangan-pasangan usia SMP. Buat ukuran Indonesia, tentu sangat luar biasa. Biarpun di kota–kota besar saya sering membaca laporan tentang remaja putri yang hamil, tetapi saya tidak yakin kalau remaja Indonesia bisa seberani itu. 

Tetapi ini semua tidak kemudian menjadi orang–orang Jerman pada jadi orang aneh. Karena seiring dengan meningkatnya usia, mereka juga menjadi jenuh dengan eksploitasi seks dengan cara demikian. Akhirnya mereka juga bicara soal cinta. Akhirnya mereka juga bicara soal mempunyai anak. Dan biarpun makin hari makin banyak pasangan Jerman yang hidup bersama di luar nikah, tetapi lahirnya anak, biasanya dilanjutkan dengan pernikahan. 

Tetap saya yakin dibalik semua ini ada nilai–nilai lain yang tidak sekedar hitam atau putih. Masalah seks di Indonesia seringkali dianggap sebagai hitam dan putih saja karena ditabukan. Karena ditabukan, banyak pemuda yang kemudian menjadi agresif hanya karena ada seorang gadis belia murah senyum, memakai rok mini lewat di hadapannya. Padahal dalam benak si gadis tidak ada apa–apa selain ingin kelihatan cantik untuk sesama perempuan. 

Dan dalam kerangka pemikiran yang campur aduk inilah, kebetulan saya membaca majalah Prisma yang pertama kalinya melapor-utamakan persoalan seksualitas. Meminjam pendapat Julia Suryakusuma, redaktur tamu majalah itu untuk edisi Seks dalam Jaring Kekuasaan. Di Indonesia, seksualitas sebagai bidang studi ilmu sosial boleh dikatakan belum lahir. Anehnya, pada saat krisis sosial, perilaku seksual sering kali menjadi lebih “ekspresif” dan mempunyai nilai simbolik yang besar sehingga seksualitas dapat menjadi semacam “barometer” masyarakat. 

Friday, November 22, 1991

Catatan Perjalanan dari Jerman: Bhineka Tunggal Ika ala Jerman

Andreas Harsono
Suara Merdeka, 22 November 1991

SALAH satu kenyataan
yang menarik perhatian saya di Jerman adalah fenomena kota terbesar di Jerman, ternyata bukan ibukotanya. Bonn ternyata tidak termasuk lima kota terbesar di seluruh Jerman. Kota-kota semacam Berlin, Hamburg, München, Frankfurt, dan Koln jauh lebih besar dari ibu kota Bonn. Baik dalam jumlah penduduk, luas wilayah, jumlah perputaran uang, tenaga terdidik dan lainnya. 

Kota-kota itu jauh lebih unggul. Biarpun sekarang sudah ada persiapan memindahkan ibukota ke Berlin, sesudah reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur, tetapi perpindahan tersebut bukan karena alasan dimensi kota melainkan alasan historis.

Ini menarik karena jauh berbeda dengan di Indonesia. 

Di Indonesia yang namanya Jakarta, jauh menjulang ke atas, sementara kota-kota yang lain tertinggal di bawah. Uang semua terpusat di Jakarta. Sarjana-sarjana pada lari ke Jakarta. Kantor-kantor pusat pemerintahan maupun perusahaan ada di Jakarta. 

Barang-barang lengkap ada di Jakarta. Dampaknya, selain daerah menjadi tidak menarik, tidak sedikit kekecewaan yang menjelma menjadi pemberontakan kepada Jakarta.

Di Jerman sebuah event yang bersifat international ternyata bisa diadakan di daerah yang bukan merupakan pusat pemerintahan. Pameran produksi, pameran kebudayaan, acara kesenian, konferensi, pertandingan olahraga dan lainnya tidak harus diadakan di pusat pemerintahan. 

Fasilitas-fasilitas juga tidak harus terletak di pusat. Sebuah contoh: lapangan udara terbesar di seluruh Eropa terletak di kota Frankfurt di Laender (negara bagian) Hessen. Ibukotanya adalah Wiesbaden. Lapangan udara itu terletak bukan di pusat pemerintahan daerah. Kalau dibandingkan dengan Jawa Tengah misalnya, lapangan udara terbesar justru terletak di Pekalongan. Bukan di Semarang. 

Dan masih banyak contoh lain untuk menunjukkan bagaimana ratanya pusat-pusat kekuasaan politik, ekonomi, kebudayaan, maupun teknologi di Jerman. Perbedaan inilah yang membuat saya ingin tahu mengapa pertumbuhan daerah-daerah di Jerman bisa begitu merata? 

Sedangkan di Indonesia tidak.

Desentralisasi

Selama hampir dua bulan “keluyuran” di Jerman, dan mengetahui beberapa fakta tentang Jerman, saya pikir ini semua bisa terjadi antara lain karena sistem pemerintahan yang terdesentralisasikan. 

Di Jerman ada semboyan semacam “Bhineka Tunggal Ika” --Einheit in der Vielfalt. Biarpun berbeda-beda dan terpisah-pisah tetapi tetap tunggal juga. Dari utara sampai selatan, dari barat sampai timur, biarpun bersatu, tetapi Jerman adalah negara-negara yang saling terpisah.  

Dalam negara makmur tersebut keragaman nya tidak kalah banyak dengan keragaman yang ada di Indonesia. Bedanya, di Indonesia keragaman terletak pada jumlah etnis, agama, dan bahasa (daerah). Di Jerman keragaman terletak pada sejarah dan struktur politik masing-masing daerah. 

Keragaman itu tidak diwujudkan dalam bentuk negara kesatuan. Tetapi justru diwujudkan dalam sebuah bentuk negara yang menghormati keragaman. Masing-masing daerah diberi kewenangan yang tinggi untuk mengatur nasibnya sendiri.

Sejak zaman raja-raja, sama dengan sejarah Indonesia, Jerman memang sudah terbagi dalam kerajaan-kerajaan kecil yang independen satu dengan yang lainnya. Kecuali dalam masa kediktatoran Nasionalis Sosialis 1933-1945, yang sentralistis dibawah kepemimpinan Adolf Hitler. Sistem yang desentralistis ini pula yang saya lihat pada Jerman hari ini.

Pada Jerman modern, struktur politiknya adalah struktur yang menomorsatukan desentralisasi.

Meminjam ungkapan seorang cendekiawan Jerman, Dr Konrad Reuter, “The architects of the Basic Law wanted to avoid setting up huge central authorities that would take decisions affecting people in far-away places.” Undang-undang dasar ini sengaja untuk mencegah orang-orang di Bonn menentukan semua aspek kehidupan daerah-daerah. 

Kemerdekaan ‘Laender’

Berdasarkan undang-undang dasar itulah, Jerman memiliki 16 “negara” (setelah reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur tahun 1989). Dalam bahasa resmi, keenam belas “negara” itu bisa dinamakan sebagai Laender. Mereka keberatan kalau disebut sebagai negara bagian dan juga keberatan kalau disebut provinsi. 

Sebuah Laender terbagi dalam beberapa kreis. Sedangkan yang menjadi wadah atau payung dari 16 Laender itu adalah bund (negara federal), kepala negara bund adalah seorang Presiden. Sedangkan kepala pemerintahan adalah Kanselir. Setiap Laender dipimpin oleh seorang presiden lengkap dengan kabinetnya masing-masing.

Dalam praktiknya, pemerintahan bund bertugas menangani misalnya urusan luar negeri, pertahanan, mata uang, besaran (berat, panjang dan sebagainya) atau masalah tapal batas. Sedangkan wewenang Laender misalnya pada persoalan pendidikan tinggi, media massa, film, konservasi alam, tata ruang, perencanaan daerah, registrasi, pembuatan KTP (ID card), paspor dan sebagainya. 

Tentu saja, ada beberapa persoalan yang bisa tumpang tindih, tetapi itu pun diatur secara rinci. Misalnya dalam soal keuangan, proyek-proyek yang harus dibiayai bersama tentunya akan dibiayai bersama-sama. Dan itu semua diatur oleh undang-undang. 

Tetapi biarpun demikian tidak berarti antara Laender-Laender dan bund selalu akur. Ketika saya berada di Laender Niedersachsen, salah satu Laender di Jerman bagian utara, saya menemukan adanya sengketa panas antara pemerintah pusat dengan pemerintah Laender. 

Persoalannya adalah nuklir. Pemerintah Niedersachsen berkeberatan dengan keberadaan empat pembangkit listrik nuklik maupun sebuah tempat pembuangan limbah nuklir di wilayahnya. Alasan mereka, terutama dari orang-orang Umwelt ministerium (kementerian lingkungan hidup), proyek-proyek itu terlalu bahaya bagi masyarakat sekitar. 

Sementara para pejabat dari pusat berpendapat sebaliknya. Pejabat pusat mengatakan, bahwa teknologi yang dipakai di sana merupakan jaminan tidak akan terjadinya bahaya apa-apa.

Dalam pertentangan itu, untuk memenangkan argumentasi, mereka harus mengacu pada undang-undang yang berlaku. Yang hanya tertulis kurang lebih, “Proyek-proyek hanya bisa berjalan apabila tidak membahayakan masyarakat.” Karena itulah, kedua pihak sibuk mencari bukti-bukti ilmiah, bahwa proyek itu berbahaya atau tidak berbahaya.

Berbagai pertemuan diadakan untuk membahas persoalan ini. Pers juga rajin sekali untuk menyiarkan isu tersebut. Konflik ini juga melibatkan penduduk Niedersachsen.

Di kantor lingkungan hidup, yang dipimpin oleh Monika Griefahn, yang sempat saya temui --menterinya masih muda, pernah ikut Greenpeace, popular dan menarik simpati--  saya melihat ada ratusan ribu tanda tangan warga setempat, yang menolak proyek nuklir. Griefahn mengusulkan tenaga matahari dan angin buat sumber energi. Dia juga mengusahakan waste management yang lebih baik agar air limbah dan sampah bisa daur ulang. 

Di sinilah saya melihat bagaimana pejabat-pejabat daerah dengan gigih mempertahankan kepentingan wilayahnya. Mereka tidak takut dituduh, tidak mementingkan kepentingan umum. 

Partai-partai politik sangat rajin untuk menggalang massa pemilihnya karena partai adalah bagian terpenting dari proses pengambilan keputusan. 

Di Jerman hanya ada empat partai besar, yang mampu mengirimkan wakil-wakilnya ke parlemen di Bonn: CDU (Christlich Demokratische Union Deutschlands), SPD (Sozialdemokratische Partei Deutschlands), FDP (Freie Demokratische Partei), dan Die Gruenen atau “Partai Hijau.” Die Gruenen menjadikan entry point partai adalah lingkungan hidup atau alam hijau. 

Dalam pemahaman saya, partai-partai itu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menampilkan wajah yang demokratis dan akrab dengan persoalan masyarakat. SPD misalnya, secara tradisional adalah partainya para buruh. Ia didirikan tahun 20-an sampai hari ini SPD masih bisa dekat dengan massanya. Griefahn politikus SPD.

CDU adalah partai Kristen tengah --bukan fundamentalis. Ini partai moderat yang berusaha menampung pemikiran seluas mungkin. Ia didirikan di Berlin pada 1945 sesudah Sekutu mengalahkan rezim Hitler. 

FDP adalah partai yang lebih kecil dari CDU maupun SPD. Ia sering jadi penengah antara dua partai besar tersebut sekaligus menentukan siapa yang berkuasa sebagai kanselir karena kursi FDP bisa berubah ikut SPD atau CDU. 

Die Gruenen partai paling kecil namun ide soal lingkungan hidup --dari energi terbarukan sampai daur ulang-- membuat mereka diperhitungkan. Siapa sih yang tak mau peduli pada lingkungan yang tetap baik, kalau bisa lebih baik, buat anak dan cucunya? 


Catatan Perjalanan dari Jerman

Suara Merdeka, 22 November 1991

Suara Merdeka, 22 November 1991

Bernas, 1 Desember 1991

Bernas, 2 Desember 1991


Catatan Perjalanan dari Jerman: Berjumpa dengan Persoalan Energi

Andreas Harsono
Suara Merdeka, 22 November 1991

Pengantar Redaksi: Beberapa bulan yang lalu Andreas Harsono, diundang oleh Southeast Asia Information Center, sebuah pusat informasi tentang Asia Tenggara di Jerman, dengan disponsori oleh Bread for the World, untuk mengunjungi negeri tersebut, kurang lebih sebulan, pekerja sosial di Salatiga itu akan mengikuti program “Tukar Pikiran Indonesia-Jerman:  Ekologi dan Lingkungan Hidup” Berikut sebagian dari catatan perjalanannya.



Lampu-lampu bandar udara Bangkok, dari udara perlahan-lahan mulai kelihatan. Bentuk kotak-kotak persegi panjang, bersamaan dengan pendaratan pesawat Lufthansa yang saya naiki bersama lima rekan lain dari Indonesia. Kami dipersilahkan menunggu satu jam di bandar udara Bangkok sambil menunggu pergantian awak pesawat. 

Kesempatan ini saya pergunakan untuk melihat-lihat bandar udara Bangkok. Bahasa Inggris yang sudah saya pelajari bertahun-tahun mulai meluncur dari mulut saya untuk keperluan berkomunikasi. Saya jadi teringat bagaimana saya bisa sampai mengikuti program tukar pikiran Indonesia-Jerman ini.

Perjalanan ini mulanya datang dari Candra Kirana, seorang swadayawati di Surakarta, yang menanyakan kepada saya bahwa kalau-kalau saya bisa mengikuti sebuah program “jalan-jalan” ke Jerman. Kebetulan masih ada tempat satu kosong dari enam tempat yang disediakan.

Tujuannya, seperti yang disebutkan oleh Peter Franke, koordinator South East Asia Information Centre, “The study program intends to give a group of Indonesians an insight in ecological and environmental enterprises, living areas and ecological institutions as well as an information exchange with German farmers, organisers of ecological project etc.”

Tawaran ini mengejutkan. Seumur-umur belum pernah saya pergi ke luar negeri. Dan untuk pergi ke tempat sejauh Jerman merupakan mimpi. Memang ada beberapa tawaran terdahulu namun tak terlaksana. Jadi dari pada kecewa, dengan hati-hati, saya katakan pada rekan tersebut, saya bersedia ikut apabila saya memang memenuhi persyaratan yang disebutkan. 

Lantas kami terlibat pembicaraan soal penyelesaian kasus waduk Kedung Ombo di Boyolali. Sampai hari ini persoalan ganti rugi tanah di wilayah genangan waduk Kedung Ombo belum tuntas. Masih ada sebagian warga, karena alasan-alasan yang masuk akal, tetap bertahan di wilayah genangan. 

Maksud saya, persoalan Kedung Ombo muncul karena adanya kebutuhan energi listrik dalam jumlah besar. Karena butuh listrik maka dibuatlah sebuah dam raksasa, berarti ada banyak tanah rakyat yang terpaksa digenangi air. Proses pembebasan tanahnya kacau, sehingga muncullah persoalan tanah, intimidasi, pelanggaran hak asasi manusia dan lain-lain. Dasarnya tetap sama: kebutuhan energi. 

Dalam kerangka seperti inilah Kelompok Solidaritas Kurban Pembangunan Kedung Ombo (KSKPKO), saya harapkan, bisa menjadi lebih mengakar dengan langsung mempersoalkan masalah energi di Indonesia. KSKPKO adalah jaringan mahasiswa yang protes soal penggusuran di Kedung Ombo. Kenapa harus membangun pusat pembangkit listrik yang tersentralisasi?

Saya bandingkan KSKPKO dengan OXFAM (Oxford Committee for Famine Relief). 

Keduanya sama-sama nongovernmental organization. OXFAM dibentuk di Inggris ketika negeri itu sedang dilanda kelaparan. Para aktivis OXFAM berpikir persoalan kelaparan itu sudah reda --bukan berarti hilang sama sekali-- namun kelaparan di Inggris terjadi karena tidak adanya kerja sama ekonomi yang baik di dunia ini. Persoalan kelaparan sangat terkait dengan persoalan lain, bukan hanya di Inggris, tetapi juga di luar Inggris. Mumpung sudah ada organisasi dan ada dana, perhatiannya kemudian dicurahkan pada negara-negara Dunia Ketiga, yang juga mengalami kepapaan. Jadi tujuan organisasi tersebut diperluas.

Demikian halnya dengan KSKPKO. Persoalan Kedung Ombo bisa saja dianggap reda. Tetapi jaringan ini masih ada. Kenapa tidak memanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang lebih berjangka panjang? Mengatasi persoalan-persoalan energi misalnya? Ini perlu dan penting karena manusia tidak bisa hidup tanpa energi. 

Makan, minum, listrik, transportasi, teknologi dan sebagainya membutuhkan energi. Dan makin tahun persoalan energi di Indonesia akan menjadi makin ruwet. Ini sudah terbukti di Jerman. Dan ia akan tambah ruwet lagi mengingat terbatasnya cadangan minyak bumi di sudut bumi manapun  juga. 

George Junus Aditjondro dari Cornell University, Ithaca, New York, yang sedang mempelajari persoalan Kedung Ombo, menyebut pendekatan yang banyak dipakai sekarang adalah "palang merah" --pengobatan, darurat. Dia usul juga ditambah dengan pendekatan "palang pintu" agar persoalan dasar dihadapi lebih awal, dicegah jadi persoalan, daripada sudah jadi masalah berdarah-darah.

Proses Sederhana

Sampai pada titik ini, Candra Kirana bilang, "Kamu berangkat saja ke Jerman.” 

Saya dimasukkan dalam rombongan pergi ke Jerman. Sangat sederhana dan tanpa seleksi macam-macam. Ini sekadar menunjukkan, bahwa persoalan pergi keluar negeri, seperti yang banyak dipikirkan oleh banyak orang, ternyata tidak harus melalui “seleksi resmi” dan sejenisnya. Banyak kesempatan ke luar negeri yang didapatkan hanya karena sekadar adanya hubungan. 

Kebetulan saya menaruh minat pada persoalan energi (antaranya transportasi), termasuk memikirkan tentang teknologi alternatif, dan di Jerman persoalan itu juga sedang ngetrend, dan kebetulan pula kenal dengan rekan di Surakarta tersebut, sehingga berangkatlah saya ke Jerman. 

Entah karena berfikir macam-macam, di Bangkok saya tersesat di ruang tunggu pesawat Lufthansa yang lain. Untung ada waktu untuk mengejar pesawat saya. Terburu-buru saya pergi ke tempat yang benar. Itu pun masih harus berurusan dengan petugas imigrasi gara-gara di ransel saya ada sebuah pisau silet (cutter). Petugas bersangkutan menahannya. 

Saya sempat menyambar beberapa koran yang disediakan di lapangan udara Bangkok. Ternyata sambaran itu ada hubungannya dengan kepergian saya. Di halaman pertama The Nation tertera judul “Government plans central body with powers to tackle traffic woes.” Kemacetan lalu lintas di Bangkok, sudah sedemikian parahnya sehingga perlu dicarikan terobosan baru. 

Ini adalah salah satu pencerminan betapa repotnya mengatasi persoalan energi. Kemacetan lalu lintas di Bangkok, sama juga dengan yang terjadi di Jakarta, dikarenakan laju pertambahan kendaraan bermotor lebih besar dari pada pertumbuhan jumlah jalan. Mayoritas jalan di Bangkok dikuasai oleh minoritas penduduk Bangkok: pengendara mobil pribadi. 

Koran satunya, Bangkok Post, memuat gambaran para pengendara sepeda motor di Bangkok yang terpaksa harus memakai masker (filter) polusi udara dalam perjalanannya karena udara Bangkok terpolusi berat oleh asap knalpot kendaraan bermotor. Saya pikir persoalan-persoalan yang dikedepankan oleh kedua koran berbahasa Inggris itu sama dengan persoalan transportasi yang terjadi di Indonesia. 

Mudah-mudahan di Jerman saya tidak perlu menemui persoalan seperti ini. 

Harapannya, saya bisa belajar bagaimana negara itu mengatasi persoalan-persoalan transportasinya. Di Indonesia saya tahu dengan pasti, bahwa keberadaan sistem transportasi tak bermotor terancam kelestariannya --sepeda, trotoar, becak, dokar, perahu-- yang pada giliran berikutnya akan merusak prasarana transportasi yang baik secara keseluruhan, memanjakan motorisasi, merusak lingkungan hidup, dan membahayakan kesehatan mahluk hidup termasuk manusia. 

Saya sering menulis soal bahaya selalu mengatasi keperluan transportasi dengan bangun jalan tol atau bikin angkutan kota dengan mobil kecil serta meminggirkan trotoar buat orang berjalan kaki atau melarang dokar dan becak macam di Salatiga. 

Bandar Frankfurt

Lantas saya tenggelam dalam perjalanan Bangkok-Frankfurt yang sangat panjang. Saking panjangnya, para penumpang memiliki kesempatan dua kali makan besar (dinner dan supper) dan satu kali makan pagi. Badan capek sekali, sesampai di Frankfurt, bandar udara yang besar sekali, kami masih harus menunggu pesawat, yang akan membawa kami ke Dusseldorf, sekitar tiga jam. Lagi-lagi saya menyambar koran-koran yang disediakan di sana gratis di ruang tunggu.

Hari masih pagi benar tetapi berita utama koran-koran berbahasa Inggris di Jerman ternyata bukan persoalan lokal.  The Wall Street Journal Europe memberitakan headline buat perang saudara di Croatia dan keengganan Presiden Irak Saddam Hussein membuka negaranya bagi tim Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lebih seram lagi, editorial koran tersebut menyamakan Saddam Hussein dengan Freddy Krueger, tokoh pembunuh dalam serial film horror Nightmare on Elm Street. Seperti halnya Krueger senantiasa muncul kembali untuk melakukan terror terhadap warga kota, Saddam juga dianggap sewaktu-waktu akan bangkit untuk meneror dunia. Keterlaluan juga koran ini. 

Mungkin saja di suatu tempat di Irak ada kemungkinan Saddam Hussein menyembunyikan senjata nuklir, tapi saya juga merasa tak nyaman dengan sikap pemerintah Amerika Serikat yang terlalu agresif. Dan mengapa The Wall Street Journal Europe masih harus menambah-nambahi persoalan ini? 

Tetapi saya sadar orang Indonesia tidak terbiasa membaca perbandingan sekasar ini. Koran-koran Indonesia jauh lebih berhati-hati dalam memaki-maki politikus. Di dunia Barat memang ada banyak “keterbukaan.” 

Mungkin ini kejutan pertama yang saya alami karena bersentuhan dengan dunia Barat. 

Hari-hari berikutnya pasti ada kejutan-kejutan yang lain dari masyarakat, yang tidak pernah saya lihat secara langsung ini. 

Bertahun-tahun hidup di Pulau Jawa dengan segala nilai-nilainya, yang buruk maupun yang baik, sekarang saya akan mulai berhadapan dengan nilai-nilai yang berbeda. 

Seorang ibu Jerman di bangku sebelah dalam penerbangan Frankfurt-Dusseldorf, ketika mengetahui saya baru pertama kali terbang ke Jerman, langsung berseru, “Aach, willkommen in Deutschland.”



Catatan Perjalanan dari Jerman 

Suara Merdeka, 22 November 1991

Suara Merdeka, 22 November 1991

Bernas, 1 Desember 1991

Bernas, 2 Desember 1991



Tuesday, May 21, 1991

Dances with The Gulf War

Andreas Harsono
Bernas, 21 Mei 1991

Kata genocide mempunyai makna yang dalam sekali tentang pemusnahan secara sistematis, terhadap suatu golongan bangsa. Pemusnahan secara sistematis artinya pemusnahan secara perlahan serta melewati berbagai tahap penyempitan ruang gerak bangsa yang dimusnahkan. Dengan cara inilah manusia-manusia yang haus kekuasaan mampu menghancurkan bangsa yang sumber daya alam maupun sumber daya manusianya hendak dikuasai. Ini digambarkan oleh Kevin Costner dalam film Dances with Wolves

Dengan Dances with Wolves, Costner mengisahkan bagaimana keserakahan orang-orang kulit putih mendorong mereka untuk melakukan genocide terhadap suku Indian. Dalam film itu, suku yang dimaksudkan adalah suku Indian Sioux. 

Lewat penuturan John Dunbar, seorang prajurit Amerika Serikat jaman Wild West, genocide itu diceritakan secara memikat. Mula-mula Dunbar yang idealis, secara tak disangkanya, ditugaskan untuk menduduki posnya di Fort Sedgewick. 

“Benteng” itu ternyata hanya berupa sebuah rumah kayu sangat sederhana di tengah padang rumput indah. Letnan kavaleri dan bentengnya ini juga tidak memiliki pasukan. Karena sesampainya di gubuk kecil itu, Dunbar harus menemui kenyataan, bahwa prajurit-prajurit yang bakal jadi anak buahnya sudah tidak ada atau … tinggal kerangkanya saja. Dunbar hidup sendirian.

Pemahaman Dunbar tentang suku Indian tidak jauh berbeda dengan pengertian yang dikembangkan oleh pemerintahannya. “Orang Indian yang baik adalah orang Indian yang mati,” ujar seorang sais kereta kuda. “Mereka tidak lebih dari pada pengemis dan pencuri.” Sampai suatu hari, dalam kesendiriannya, Dunbar dikejutkan oleh kehadiran prajurit-prajurit Sioux.

Pertumpahan darah hampir terjadi kalau saja Dunbar tidak bersikap terbuka dengan terlebih dahulu mengunjungi perkampungan Sioux yang ada dekat benteng. Adegan cukup menarik. Dunbar dengan seragam lengkap membawa bendera Amerika Serikat berjalan menuju kampung Sioux. Legitimasi negara ditunjukkan dengan sebuah bendera. Dibumbui kisah asmara. Perburuan bison, pertempuran dengan suku Pawnee, singkat kata, terjadilah persahabatan antara Dunbar dan suku Sioux.

Satu kali Dunbar dijumpai oleh teman-teman Indiannya sedang bermain dengan seekor serigala dan seekor kuda. Kedua binatang itu adalah sahabatnya dalam kesepian. Dan orang-orang Sioux memberi nama Dunbar dengan sebutan Dances with Wolves (Menari dengan Serigala), ketika malam-malam mereka menjumpai Dunbar sedang menari dengan serigala yang tak jauh dari unggunnya. Orang-orang Indian merasa senang bergaul dengannya. Apalagi setelah Dunbar menikah dengan salah satu anggota suku Sioux. Tapi pertanyaan yang belum berani dijawab oleh Dunbar adalah “Apakah orang kulit putih akan datang kemari? Berapakah jumlahnya?"
***

Pertanyaan itu hari ini sudah terjawab. Orang kulit putih telah mendiami seluruh sudut benua Amerika Utara yang dulunya merupakan tanah Indian. Orang kulit putih merebutnya dengan senapan, kekejaman, kelicikan, dan kekuasaan untuk menguasai sumber daya alam di benua impian itu --emas, minyak, besi, rumput, kayu dan sebagainya. Genocide terhadap suku Indian hari ini terbukti telah terjadi.

Pertanyaan yang dulu diajukan terhadap Dunbar, memang dijawab dengan peristiwa ditangkapnya Dunbar, oleh pasukan AS yang diperintahkan untuk menempati benteng Sedgewick. Tujuan kedatangan pasukan dalam jumlah besar itu, dalam alasan resmi versi pemerintah AS, adalah “menghukum Indian jahat”. Biarpun Dunbar beralasan di sekitar benteng Sedgewick tidak ada Indian jahat, tetapi Dunbar yang berpakaian Indian itu, justru dituduh pengkhianat, deserter dan pelaku tindak subversi (dalam bahasa ala Orde Baru).

Dunbar justru disiksa. Dari kejauhan rekan-rekannya dari suku Sioux melihat dan bersumpah menuntut balas. Dalam suatu perjalanan melaksanakan “penghukuman” terhadap Indian jahat, pasukan AS diserang oleh prajurit-prajurit Sioux. Dibantai habis. Digorok, dikampak dan dalam adegan di film memang di perlihatkan bagaimana sikap prajurit Sioux terhadap musuh-musuh mereka (kebrutalan yang sama juga diperlihatkan Costner lewat tingkah pola prajurit-prajurit AS yang bermoral rendah, tidak mampu baca tulis dan bengis). 

Kevin Costner cukup lihai mempermainkan perasaan penonton, dengan membuat adegan mengejar prajurit AS yang hendak mencari Dunbar serta suku Sioux, lewat musim salju dan daerah perbukitan. Jejak demi jejak dipasang terus. Dan berkebalikan dengan kisah legendaris tentang Buffalo Bill, yang digambarkan senantiasa didampingi oleh orang Indian pencari jejak yang mahir dan memerangi Indian jahat, dalam film Dances With Wolves, justru para pencari jejak digambarkan sebagai penjilat-penjilat yang bersedia bekerja sama dengan orang kulit putih demi sedikit kemewahan (perhiasan, uang, perempuan, minuman keras). 

Klimaksnya tentu saja, dengan kehalusan yang luar biasa, Costner menutupnya dengan narasi yang mengatakan genoside terhadap Indian Sioux akhirnya tuntas juga.

Dumbar mungkin mati dalam perjuangannya. Demikian halnya dengan rekan-rekan yang lain, secara halus, penonton dipersilahkan menerka sendiri bagaimana kebudayaan Indian dihancurkan, gaya hidup mereka dipaksa menjadi “putih”, penyakit kelamin merajalela, bermabuk-mabukan, berjudi dan lain-lain. Dan di atas pemusnahan daya tahan suku Sioux serta ratusan suku Indian lainnya, kemegahan Amerika putih (WASP = White, Anglo Saxon Protestant) didirikan.

Dances with Wolves menceritakan pada kita, bagaimana pemerintah AS memusnahkan bangsa lain yang dianggap menjadi penghalang mengalirnya sumber daya alam dan sumber daya manusia ke kantong mereka. Dua ratus tahun yang lalu, secara sistematis bangsa Indian dihapus dari peta Amerika. Bagaimana sekarang?

Adanya satu pesan penting dari film Dances with Wolves. Kevin Costner terlambat dua ratus tahun dalam memproduksi film yang mampu menggugah kehormatan bangsa Amerika tetapi banyak ditolak kalangan Hollywood itu. 

Kesadaran akan bagaimana pemerintah AS, dengan berbagai legitimasi hukum dan perundang-undangannya memusnahkan bangsa lain, yang dianggap menjadi penghalang kelancaran aliran sumber daya alam dan sumber daya manusia ke kantong mereka, adalah keterlambatan yang menyolok mata, yang menutupi kenyataan, bahwa masyarakat Amerika tidak bisa hidup dengan baik tanpa kehadiran yang seimbang dari bangsa -bangsa lain. 

Perang Teluk Persia adalah keterulangan peristiwa yang digambarkan dalam film Dances with Wolves. Pemusnahan suku Indian dua ratus tahun silam diulangi lagi secara terus-menerus oleh pemerintah AS, dan salah satu puncak yang paling dramatis adalah genocide terhadap rakyat Irak. Kevin Costner seharusnya membuat film “Dances with the Gulf War” agar tidak bisa dituduh terlambat dua ratus tahun. 

Dalam Perang Teluk terlihat, bahwa tujuan AS tidak lain selain mengamankan berbagai kepentingannya di kawasan Timur Tengah. Dari berbagai urutan kejadian Perang Teluk terlihat bahwa AS sesungguhnya memang tidak mempunyai maksud lain selain menaklukkan Irak. 

AS mula-mula telah memiliki pengetahuan terhadap maksud Irak menyerbu Kuwait. Dutabesar AS untuk Irak April Glaspie telah diberitahu oleh Saddam Hussein beberapa minggu sebelum penyerbuan ke Kuwait, jika Kuwait masih melanjutkan peningkatan produksi minyaknya (sehingga menurunkan harga), Irak tidak punya pilihan lain selain menyerang Kuwait. Dutabesar AS menanggapi pemberitahuan ini dengan mengatakan bahwa hal tersebut seluruhnya menjadi masalah Arab, dan AS tidak akan campur tangan.

Beberapa saat sebelum peperangan dimulai, dalam pertemuan di Bagdad dengan Sekretaris Jenderal PBB Perez de  Cuellar, Saddam juga mengatakan bahwa Irak  bersedia untuk mendiskusikan sebuah “paket perjanjian.” 

De Cuellar sendiri melaporkan kepada PBB, bahwa Menteri Luar Negeri Irak, Tariq Aziz, berulang-ulang menekankan keinginan Irak untuk berdialog dengan AS dan Masyarakat Ekonomi Eropa maupun negara-negara Arab. Sementara pada saat yang hampir bersamaan AS melarang pendaratan pesawat Aziz di New York untuk merundingkan proposal Irak kepada PBB. Surat kabar Amman Al Rai (14/2) mengungkapkan bahwa AS telah menasehati Emir Kuwait untuk tidak membuat kompromi apapun dengan orang-orang Irak pada saat perundingan penghindaran perang, jauh sebelum Irak menyerbu Kuwait pada 2 Agustus 1990. Demikian halnya ketika Mikhail Gorbachev dari Uni Soviet melancarkan paket gencatan senjata, dan Irak menanggapinya dengan baik, AS justru melancarkan serangan darat.

Ini sebenarnya penjebakan terhadap Saddam Hussein, seperti halnya dua ratus tahun yang lalu, prajurit-prajurit AS menjebak suku-suku Indian untuk melakukan kesalahan kecil, sedemikian rupa sehingga memberi peluang bagi militer AS untuk memusnahkan musuh-musuhnya. Esensinya sama walau detailnya  berbeda. 

Sekarang perangkat hukum yang dimain-mainkan dalam Perang Teluk, jelas lebih rumit dan lebih canggih dari perangkat hukum yang dipergunakan dua ratus tahun yang lampau. Memanipulasikan kekuatan AS dalam forum PBB, dua ratus tahun yang lalu belum terjadi. Tetapi pesan utama dari Perang Teluk tidak berbeda jauh dengan pesan yang hendak disampaikan oleh film Dances with Wolves

Dua ratus tahun lalu, John Dunbar dan hampir seluruh masyarakat kulit putih dicuci-otak dengan ide, “Indian yang baik adalah Indian yang mati.” Sekarang pun, dalam ketidakseimbangan coverage pers Barat terhadap Perang Teluk, yang diperburuk oleh adanya sensor dari pasukan gabungan, masyarakat dunia diajak untuk berpikir, “Saddam adalah maniak, dan Irak yang baik adalah Irak tanpa Saddam  Hussein”. 

Tragisnya, berbagai pesawat televisi di penjuru dunia, membuat peristiwa perang ini sedemikian “menghiburnya” sehingga tidak kalah dengan Piala Dunia. Atau di mata sebagian orang lebih cocok dianggap sebagai space invaders game di layar monitor komputer. Dua ratus tahun yang lalu kekejaman dan kebengisan perang, mampu direduksi sedemikian rupa, menjadi permainan koboi-koboian anak kecil. Ada Indian menyerang koboi.  Tembak-menembak dan Indian jahat mati. Anak kecil pun dibuat berpikir seperti itu. Sekarang anak-anak belajar mengucapkan kata “Patriot”, “Scud” dan sebagainya dalam konotasi perang Irak-Amerika Serikat.

Karena itulah, film Dances with Wolves hanya menambah kekecewaan saya terhadap sikap kita dalam Perang Teluk. Sebagai sesama negara Dunia Ketiga, saya pikir, Indonesia seharusnya berperan lebih besar dalam krisis tersebut. Seperti halnya John Dunbar memaksa suku Sioux melarikan diri dan memisahkan diri dari Dunbar, dalam abad pesawat ruang angkasa ini pun, pemerintah Indonesia seharusnya menasehati Irak untuk segera keluar dari Kuwait (setidaknya hanya menyisakan dua pulau untuk dikuasai) sambil menghalangi intervensi AS dalam melakukan genocide terhadap rakyat dan kebudayaan Irak. 

Saya menyesalkan sikap pemerintah Indonesia, ikut mengecam Irak sambil melupakan bagaimana emir-emir Kuwait menikmati uang minyak mereka, demi kepentingan mereka sendiri, tanpa mengingat kepentingan jutaan rakyat Arab, yang miskin dan dieksploitasi negara-negara Dunia Pertama. 
***

Andreas Harsono adalah mahasiswa teknik Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga